G.S.K [Part 11]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rivel memandang manik mata Zoey lekat-lekat, matanya terlihat memerah, hidungnya pun ikut memerah. "Buat apa masa hukumanku dikurangi kalau Nadine tidak ada lagi di sini? Hidup tanpa Nadine seperti Neraka bagiku. Tidak ada alasan buat aku bertahan hidup lagi," ujarnya dengan terisak. Isakan yang memilukan perasaan orang yang mendengarnya.

"Mas Rivel, perjalananmu masih panjang. Anda bisa menebus kesalahan dengan meminta ampun serta menjalani masa hukuman. Saya hanya orang luar, tidak berhak untuk menghakimi apa yang mas Rivel lakukan. Saya tidak tahu apa yang mas Rivel alami dan rasakan, hanya Anda sendiri yang tahu semenyakitkan apa rasanya. Belajar dari sana dan berjalanlah maju. Jangan terlalu lama larut dalam kesedihan—"

"—masih ada harapan?" tanya Rivel dengan tatapan sendu.

Zoey tersenyum,"Tentu saja. Selama masih hidup, selalu ada harapan. Oh iya, ini kami temukan di mobil korban. Mungkin ini bisa membantumu sedikit," ujarnya sambil menyerahkan sebuah amplop biru muda.

Perlahan dia menerima amplop itu dan melihat tulisan tangan Nadine di sana, "Untuk Rivel." ujarnya lalu menangis kencang. Sedari tadi dia menahan tangisnya, kali ini dia tidak sanggup lagi untuk tetap kuat, tanpa Nadine dia hancur.

Pria itu memegang erat surat yang ditulis oleh wanita kesayangannya. Air matanya terus mengalir, mata dan hidungnya mulai memerah. Tangan kanannya memegang erat surat itu, sementara tangan kirinya memegang dadanya. Begitu menyesakkan, untuk berdiri pun rasanya sulit. Rivel masih setia dengan berlutut di lantai, meratapi kepedihan yang dirasakannya. 

"Jangan lagi mencoba menebus kesalahan yang tidak kamu lakukan. Entah apa yang ada di pikiranmu tadi. Jangan lagi mencobanya," ujar Christine. Dia tidak habis pikir, masih ada orang yang mau memikul hukuman dari kesalahan yang tidak diperbuatnya.

Rivel menengadah menatap wajah tirus Christine lalu tersenyum, "Biar semakin sakit. Nadine pasti tersiksa hingga saat-saat terakhirnya. Aku tidak ada di sana, aku tidak berhasil melindunginya. Aku orang bodoh yang pantas dihukum dan disiksa. Membiarkan wanitaku pergi karena kesalahan yang aku lakukan," gumamnya sambil menarik rambutnya kasar.

Zoey tersenyum tipis, melihat pemandangan seperti ini selalu membuatnya ikut sakit hati. Dia tidak tahu rasanya ditinggal mati oleh orang yang disayanginya, tapi dia tidak ingin merasakannya. Kalau bisa, biar dia saja yang pergi bukan orang yang disayanginya. Zoey tidak ingin merasakan sakitnya kehilangan dan pedihnya kesepian. 

Zoey ikut berlutut di depan Rivel dan memandangnya dengan tatapan sendu. "Jangan terlalu lama berlarut dalam kesedihan. Hiduplah dengan baik. Masih banyak hal baik yang bisa kamu lakukan. Sekarang berdirilah, ikut mereka ke kantor polisi. Bersikaplah yang baik dan bekerja sama. Bisa ya, mas Rivel?" ujar Zoey perlahan. 

Rivel tersenyum tipis, lalu menatap kembali ke surat yang ditulis Nadine untuknya. "Semoga saja."

Seusai itu, dia mulai berdiri dan menghela napas panjang. Tidak ada gunanya menangis lebih lama lagi di tempat ini. Semua yang terjadi sudah terlanjur terjadi. Waktu tidak akan bisa diulang, begitu pula dengan nyawa Nadine, tidak akan kembali. 

Hal ini tidak akan mudah untuk dilaluinya, tapi Nadine akan selalu ada di hatinya. Dia tidak pernah benar-benar sendirian. Pelajaran menyakitkan ini akan membekas dalam relung hatinya, menjadikan cerita untuk anak cucunya kelak jika dia bisa jatuh cinta lagi. Namun, Nadine selamanya akan ada di hatinya, tidak ada yang bisa menggantikan wanita itu untuknya. 

🎵

Christine kembali ke tempat duduknya, membuka gelas tinggi yang ditutupi dengan penutup gelas berwarna kuning. Setelah mencapai posisi nyaman, dia membuka penutup gelas dan menyesap minuman yang sudah ditinggalkan beberapa jam ini.

Zoey mengikuti wanita itu, dia tidak berniat kembali ke mejanya. Lagipula, sudah tidak ada apa-apa di sana. Dia tidak berminat lagi dengan makanan dingin yang akan dimakannya tepat sebelum teriakan tadi terdengar. Pria itu anti dengan makanan yang dingin, dia lebih suka menyantap makanan yang baru selesai dimasak.  Saat ini, mengikuti Christine adalah hal yang diminatinya. Dia sudah lama tidak bertemu dengan wanita yang minim ekspresi ini.

Christine menyadari sedang ditatap oleh orang yang menyebalkan, membuatnya mendengkus kasar. "Kenapa liatin gitu? Kenapa ngikutin? Mau ngapain?" tanya Christine dengan rombongan pertanyaan, seperti biasanya.

Zoey tersenyum, dia senang mendengar pertanyaan rombongan ala Christine. Kalau orang lain yang menanyakan banyak pertanyaan, pasti dia akan kesal dan menjawab dengan singkat. Beda cerita jika yang menanyakan adalah Christine, pertanyaan rombongan itu akan mengundang senyuman manis di wajah Zoey. Dia tidak pernah berubah, selalu tersenyum dengan pertanyaan, omelan dan apapun yang Christine lakukan.

"Orang nanya malah senyam-senyum. Sakit?" tanya Christine sarkastik.

"Pedas bener. Habis makan cabe?" tanya Zoey mencoba mencairkan suasana yang tegang diantara mereka.

Dia memutar matanya, tidak selera meladeni candaan Zoey lebih lama lagi. Christine tidak melanjutkan makan dan minum yang ditinggalkannya tadi. Setelah mengusap layar ponsel, wanita dengan rambut panjang ini mulai menatap layar ponselnya dengan kening berkerut.

"Kenapa?" Zoey menyadari ada yang tidak beres. Mungkin ada info terbaru dari tim penyelidik yang disampaikan kepadanya.

Christine menghela napas panjang, "Dia terlibat dalam kasus tadi."

"Dia siapa?" Zoey masih belum paham dengan apa yang dimaksud Christine. Dia tidak melanjutkan ucapannya, memilih berdiri dan menarik tangan Zoey keluar dari kafe ini.

"Eh, kamu udah bayar?" tanya Zoey tiba-tiba teringat kalau dia belum ke kasir untuk membayar pesanan adiknya dan dia sendiri.

"Adikmu sudah bayar. Nanti aku transfer ke dia. Tenang aja," jawab Christine santai.

"Loh? Mana adikku? Bukannya dia ada di sini?"

Christine menghela napas panjang, "Sudah pergi daritadi sama rekanku. Berada di tempat ini lebih lama lagi tidak akan baik untuknya. Dia pulang ke rumah kalian. Semoga rumahmu punya sistem keamanan yang bagus," ujar Christine lagi.

"Dia akan baik-baik saja. Pasti," gumam Zoey lagi. Setiap kali berhadapan dengan kasus, dia selalu lupa dengan orang yang diajaknya pergi. Dia akan lupa dengan lingkungannya dan fokus pada kasus yang dia hadapi. Seperti dulu saat dia terlalu fokus dengan kasus yang dia dan Christine hadapi, hingga dia lupa untuk melindungi orang yang disayanginya. 

Hari ini membuatnya deja vu, mengingat kenangan dulu di masa-masa kejayaannya bersama Christine. Selalu menanti kasus untuk datang dan diselesaikan bersama, hingga hari itu datang. Hari dimana dia harus memilih untuk mengejar pelaku atau menyelamatkan rekan kerja yang teramat penting baginya. Meskipun dia tahu sudah ada bantuan yang akan menyelamatkan rekan kerjanya jika dia memilih mengejar pelaku, tapi tetap saja hal itu meninggalkan rasa bersalah. Sialnya, rekan kerja yang dikorbankannya waktu itu adalah Christine— orang yang disayanginya.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro