G.S.K [Part 7]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zoey menepuk tangan, sengaja dia lakukan untuk menarik perhatian orang-orang di sana. "Selamat malam semuanya, mari kita mulai menyusun puzzle yang ada—"

"Kalian sudah menemukan pelakunya? Kalian bisa berhenti membuang waktuku, aku sudah rugi berapa ratus ribu karena kalian menahanku di sini—"

"Tenanglah sedikit, mas Rivel. Setelah ini, semua akan selesai. Biarkan aku membeberkan deduksi ini," jelas Zoey dengan tenang. Dia harus tetap tenang untuk bisa berpikir.

"Oke. Terima kasih untuk waktunya. Korban kita nona Nadine, umur tiga puluh satu tahun dengan profesi sebagai ketua tim marketing dari perusahaan Jayanegara. Tim Nadine beranggotakan Zoya Mecca—berumur dua puluh lima tahun, dan Rivel Setiadi—berumur tiga puluh dua tahun. Korban ditemukan terbaring dengan separuh badan berada di dalam bilik dan separuh lagi berada di luar bilik. Posisi kepala menghadap ke arah pintu dengan posisi tangan memegang lehernya ...."

Zoey sengaja berhenti beberapa saat, dia suka menikmati perubahan ekspresi yang ada diantara orang-orang yang ada di sini, seolah memperjelas tindakan apa yang telah mereka perbuat.

Mayoritas seluruh pandangan tertuju padanya, menanti kelanjutan dari ucapan Zoey, sementara Christine sudah berdecak kesal. Dia sudah menduga pria di sampingnya akan bertingkah seperti ini sebelum memaparkan apa yang mau dia sampaikan.

Zoey menyadari decakan pelan dari teman lamanya ini, dengan pandangan jenaka dia menatap balik Christine dan menaruh jari telunjuk di bibirnya, menyuruhnya untuk tetap diam dan sabar menanti penjelasannya.

"Dari yang kita lihat, korban terlihat seperti sesak napas. Ada garis merah di lehernya, tapi tidak ditemukan benang di sekitar tempat kejadian perkara ini. Ini seperti puzzle yang perlu kita susun ulang."

"Jangan bertele-tele," bisik Christine. Dia tidak suka dengan Zoey yang gemar memanjangkan penjelasan dengan hal yang tidak terlalu penting. Zoey mengangguk dan kembali melanjutkan penjelasannya.

"Korban dicekek dengan benang pada lehernya, lalu pingsan. Terlihat ada perlawanan diantara korban dan pelaku. Lalu, korban dibunuh dengan pisau yang ditikam di perutnya. Pisau itulah yang menghabisi nyawa korban. Alat bukti pisau berwarna merah muda yang berlumuran darah ditemukan oleh tim penyidik dan pemilik dari pisau ini adalah saudari Zoya Mecca, tapi bukan dia pelakunya."

"Hah? Kok bisa?" Terdengar banyak orang mulai berbisik. Terlihat jelas mereka mempertanyakan kebenaran dari penjelasan Zoey.

"Heh, bu polisi! Dia siapa, sih? Masa dibiarin ngomong hal bullshit kayak gitu? Buta apa gimana, sih? Jelas-jelas yang punya pisau itu Zoya, kok malah dibilang bukan punya Zoya? Apa jangan-jangan kamu punya hubungan khusus sama Zoya, ya? Ngaku, cepet!" Rivel terus berteriak, suaranya yang keras benar-benar memekakan telinga.

Beberapa diantara mereka terlihat menutup kedua telinga dengan telapak tangan, mungkin merasa kesakitan pada telinga mereka karena mendengar teriakan Rivel.

"Sst! Bisa jaga ketenangan? Ini kafe, bukan pasar. Kamu orang terdidik, bukan orang utan," tandas Christine. Dia sudah berada di titik batas kesabarannya.

"Nah, sudah-sudah. Jangan bertengkar, teman-teman ...."

"Kamu bukan temanku!" seru Rivel dengan cepat.

"Ya sudah, yang merasa temanku saja. Kita lanjut," ujar Zoey masih dengan senyuman di wajahnya.

"Ada hal yang hampir terlewat. Dari catatan yang dirangkum tim penyelidik terkait keterangan kalian berdua, dan nona yang ada di ujung sana juga, tentu saja. Mas Rivel, Anda dimana saat korban menemui tim sponsor kemarin sore?"

"H-hah? Bukannya sesi wawancara sudah selesai? Kan, sudah saya bilang semua ke tim yang pake baju abu-abu di sana. Kenapa nanya lagi?" Rivel terlihat kesal.

"Bisa dijawab saja pertanyaan, si bodoh ini? Jangan memperlama waktu," tandas Christine.

"Y-ya, ada di kantor,lah. Kemana lagi?"

"Siapa saksinya yang melihat mas Rivel di kantor saat korban pergi dari kantor?"

Rivel meneguk ludah dengan susah payah, rasanya tenggorokannya jadi kering sekali. Debaran di dada semakin menjadi-jadi. Dia benci tersudutkan seperti ini.

"Ada! Tanya aja ke Zoya!"

Zoey menatap ke arah Zoya, "Benar begitu, mbak Zoya?"

"I-iya. Saya sempat ke ruangan mas Rivel untuk diskusi. Tapi, mas Rivel langsung pergi keluar ruangan—"

"—maksudnya?" potong Zoey penasaran.

"Katanya ada berkas mbak Nadine yang tertinggal," jawab Zoya dengan tegas. Dia yakin dengan ingatannya, setelah dimarahi habis-habisan, pria itu meninggalkannya sendirian di ruangan bernuansa biru tosca itu.

"Kenapa Anda tidak mengatakan hal itu, mas Rivel?" Christine mulai bersuara.

"Kalian tidak bertanya. Ya, nggak saya jawab." Selalu saja dibalas dengan intonasi penuh emosi.

Zoey tersenyum tipis. "Mbak Zoya benar dan mas Rivel juga tidak membantah kenyataan itu." Zoey kembali mendekat ke arah Zoya dan Mecca. Lalu, mulai melanjutkan ucapannya.

"Mas Rivel, ada hal lain yang belum Anda sampaikan ke tim penyelidik kami?"

"Tidak. Sudah semua."

"Bukankah kamu mampir membelu senar gitar saat jalan pulang?" tanya Zoey dengan sengaja. Memancing Rivel untuk membongkar hal yang dia tutupi.

"Hah? Apa maksudmu? Mana buktinya? Jangan asal nuduh aja!" pekik Rivel kesal.

"Hmm, oke. Kalian tahu tidak kalau di dashboard mobil korban ada terpasang CCTV?" lanjut Zoey sambil tersenyum.

Mendengar tuturan kata itu membuat Rivel semakin pucat pasi. Belum lagi nyeri di telapak kakinya semakin menjadi-jadi.

"Di sana, terlihat jelas wajahmu yang tersenyum ke arah Nadine. Kamu bahkan menunjukkan senar gitar itu ke dia. Ada botol tumbler di dalam mobilnya. Anehnya, ada ukiran namamu disitu. Apakah itu punyamu?"

Serapi apapun pelaku menyembunyikan fakta, pada akhirnya akan terkuak juga. Tergantung pada bukti yang ditemukan, berpacu pada waktu. Semakin lama mereka memecahkan sebuah kasus, maka semakin besar kemungkinan pelaku untuk melarikan diri.

Rivel hanya mengepalkan tangan, tidak berbicara sedikit pun. Zoey tersenyum memandang tingkah pria emosian di depannya.

"Masih tetap diam? Oke. Coba lepas kaos kakimu. Bukankah kuku palsu korban menyakitkan? Kurasa jika kamu menyimpan lebih lama lagi, bisa melukai kakimu," lanjut Zoey lagi.

Christine sudah menyadari hal ini, kuku palsu Nadine hilang satu. Mereka sudah mencari, tapi tetap tidak menemukan keberadaannya.

"Mungkin mas Rivel mau dibantu tim penyelidik untuk membukakan kaos kaki Anda?" tawar Zoey lagi.

Senyuman jenakanya terlihat menyebalkan, melihat ekspresi pasrah dan kilat amarah dari manik matanya membuat Zoey semakin bersemangat.

"Seharusnya tidak begini. Nadine, tidak seharusnya dia menerima Zoya. Tidak seharusnya dia membatalkan rencana pertunangan kami," gumamnya pelan.

"Pertunangan?" tanya Christine lagi. Dia mengerutkan dahi, berusaha mengingat kembali data apa yang dia lewatkan.

Rivel tersenyum kecut,"Iya. Seharusnya akhir tahun ini kami menikah. Sayangnya—"ucapannya terhenti, dan menatap Zoya dengan penuh amarah.

Situasi semakin memanas, Zoey terus berharap semoga tidak ada pertumpahan darah lagi di sini. Dia ingin segera pulang dan istirahat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro