Dip His Finger

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah kubilang mengundang Andro ke rumah ini tuh sebenarnya bikin perkara. Keberadaannya membuat perasaanku jadi tidak enak. Dia terlalu menempel. Untuk berbicara saja harus mencondongkan tubuh sampai aku juga terpaksa mundur agar tidak bersentuhan dengan dia.

"Kalau ngomong yang keras aja, nggak usah bisik-bisik. Di rumah ini orang biasa saling berteriak," kataku yang dijawabnya dengan tawa ringan. Tapi, tetap saja tidak berubah. Dia tetap mendekat kalau mau berbicara padaku.

Sialnya, suami dan anakku menyukainya. Mereka ngobrol tentang pertandingan sepak bola dan badminton yang sama sekali tidak kumengerti. Anakku memang sering menonton pertandingan olahraga dengan suamiku. Mereka pergi ke mana pun ada pertandingan yang mereka anggap seru. Ya, mereka saja. Aku lebih suka di rumah menikmati kesendirian selama mereka pergi. Sekarang, mereka malah janjian untuk nonton bareng pertandingan di TV setiap hari mulai minggu depan.

Aku sudah berusaha memberi kode pada suamiku, tapi dia itu tidak pernah peka dengan kode. Waktu kutendang kakinya, dia malah melotot sambil bilang, "Kenapa, sih? Masa kakinya nggak bisa diam gitu?"

Andro menyingkap taplak meja, melihat kakiku yang berusaha menendang kaki Mas Roni lagi.

Patih malah dengan cerdasnya mengajak Andro main game. Mas Roni membelikan PS yang lengkap dengan asesorisnya saat Patih mendapat ranking pertama di kenaikan kelas kemarin. Bukan khusus buat Patih sebenarnya. Kalau sedang libur, Mas Roni juga senang main PS. Tapi, belakangan dia sudah tidak punya banyak waktu lagi. Patih sering merasa bosan bermain sendiri. PS itu sudah jarang dimainkan. Dia lebih suka bermain game online di gadget.

Setelah makan malam itu, aku berharap bisa segera masuk kamar dan Andro itu pulang. Ternyata, dia malah main PS bersama Patih dan suamiku. Mereka ramai sekali di ruang keluarga lantai dua. Aku ingin sekali menjerit dan menyuruh mereka masuk kamar.

"Sudah. Biar aja," kata suamiku waktu aku menyuruh mereka berhenti main dengan alasan Patih butuh tidur cepat. "Besok Sabtu. Biarin aja Patih sesekali tidur lambat. Nggak sering kan kita kedatangan teman begini? Kamu tidur saja dulu. Nanti aku nyusul."

Tidur? Dengan orang asing nggak jelas akhlaknya di rumahku? Bagaimana kalau dia mengajarkan Patih yang tidak-tidak? Anak itu mudah bergaul. Dalam sekejap dia bisa meng-copy kata-kata atau perilaku temannya.

Dengan kesal, aku turun dan membereskan dapur, hal yang selalu kulakukan kalau sedang banyak pikiran. Dengan bergerak, aku jadi bisa melupakan kekesalanku sendiri. Kuangkat piring-piring ke tempat pencuci piring. Cukup banyak. Aku bisa mencuci pelan-pelan sampai tengah malam.

"Mau kubantu?"

Aku melompat kaget saat dia membisikkan kalimat itu di telingaku.

Kenapa aku tidak mendengarnya turun?

"Kenapa? Kagetan mbaknya. Biar aku aja yang nyuci, Mbak. Kan tadi sudah dikasih makan malam gratis. Mbaknya naik aja. Tidur kalau memang ngantuk," katanya sambil mengusap leherku. Spontan, aku mundur menghindari tangannya.

Jadi ini kenapa dia sering memegang pinggul cewek yang ke rumahnya?

"Kamu bisa megang-megang cewek lain sesukamu. Kamu nggak bisa begitu sama aku." Sebenarnya, aku tidak berniat ketus. Tapi, dia sudah keterlaluan. Bagaimana kalau suamiku lihat? Bisa-bisa dikira di antara kami ada hubungan yang tidak-tidak.

Dia mengangkat tangan sambil mengucapkan maaf. Dengan senyum yang memperlihatkan lesung pipinya, Andro berkedip. Dia mengambil alih posisi di depan bak pencuci piring, membuatku harus mundur kalau tidak mau berdempetan dengannya.

Suamiku turun membawa gelas kotor dari lantai dua. Tentu saja dia terkejut melihat Andro di depan pencuci piring. Dia sendiri seumur hidup tidak pernah menyentuh piring kotor.

"Biarin aja May yang nyuci. Masa cowok badannya besar gitu nyuci piring. Itu pekerjaan perempuan."

Andro tertawa. "Nggak ada kerjaan laki atau perempuan, Mas. Semua sama. Tadi saya sudah dimasakin. Sekarang giliran saya yang membalas kebaikan Mbak May." Dia berbalik menerima gelas kotor dari tangan suamiku. "Kalau perempuan bisa kerja nyari uang, laki-laki juga harus bisa ngerjain kerjaan dapur. Biar nggak kalah sama perempuan."

Tentu saja suamiku tidak bisa membalas ucapan Andro itu. Dia diam saja, kembali ke lantai dua.

Dalam hati, aku berterima kasih pada Andro. Aku tidak tahu dia bisa punya pemikiran seperti itu. Sebenarnya, aku tidak mengeluh kalau harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Aku suka melakukannya. Hanya saja, kadang aku ingin Mas Roni melakukan sendiri hal-hal kecil, terutama saat aku sedang serius dengan pekerjaanku.

Dia selalu mengomentari pekerjaanku yang penghasilannya hanya segitu-segitu saja. Dia lupa kalau aku melakukan pekerjaan itu di rumah, di tengah repotnya merawat rumah dan menyiapkan keperluan untuk dia dan anaknya. Mana bisa aku menyainginya yang hanya fokus pada pekerjaan. Saat menyelesaikan pekerjaan kantor di rumah pun dia tidak mau diganggu. Sedang aku harus mengerjakan pekerjaan sambil menemani Patih belajar. Bagaimana aku bisa berharap banyak?

Namun, satu pendapat itu tidak mungkin menjadi alasan untuk menerima Andro sebagai teman. Sekalipun hampir setiap hari dia mengirimiku makanan (dia memberikan masakan itu pada Patih atau suamiku karena tahu aku bisa menolak pemberiannya) atau membuatkan Patih bekal sekolah, tetap saja aku tidak bisa menerimanya.

"Masakanku nggak enak ya, Mbak?" tanyanya waktu mengantar meat loaf yang kesekian kalinya.

"Enak, kok. Terima kasih, ya. Cuma tolong jangan terlalu sering. Aku nggak enak."

Dia merengut dengan wajah lucu. "Kalau enak, kenapa Mbak nggak pernah beli ke rumah?"

Eh?

"Ibu-ibu lain sering beli ke rumah. Mbak sendiri yang nggak."

Karena kalimatnya itu, aku jadi merasa bersalah. Apa selama ini dia memberiku karena ingin aku memuji masakannya dan jadi pelanggannya?

Karena merasa tidak enak, aku bertanya pada Karin saat dia mengantar kopi.

"Gue juga nggak. Asisten gue masakannya enak. Kenapa gue kudu beli?" katanya sambil memperbaiki jilbab yang miring. "Gue kagak suka ikut-ikutan yang happening. Belum tentu anak-anak gue suka. Laki gue juga sukanya makan ikan. Lagian, belanja ke sana lebih banyak modharatnya. Bisa kena talak gue." Aku selalu takjub pada kemampuan Karin bicara. Dia bisa menggigit jarum atau peniti sambil terus bicara tanpa takut tertelan.

"Dia sering ke sini, Kar. Main sama Patih atau ngobrol sama suamiku, sih. Gue jarang ketemu sama dia. Kalau sudah ketemu, dia mepetin gue terus. Gue jadi nggak enak."

Karin melihatku sambil berkacak pinggang. "Lu jangan main api, deh. Rumah tangga lu adem gini. Lu punya pilihan, kasih tahu laki lu kalau dia macem-macem biar dikasih pelajaran tu orang. Kalau dia sudah keterlaluan, lu lapor polisi. Laki kurang ajar kayak gitu kagak bisa dikasih hati. Lu lengah dikit, rumah tangga lu jadi korban. Kasihan anak lu."

"Sudah. Gue sudah kasih tahu laki gue. Dia bilang nggak mungkin. Lu tahu, gue nggak menarik di mata laki gue. Menurutnya, nggak mungkin Andro naksir gue."

"Yaelah, Serit Kutu. Orang yang otaknya menceng kayak dia mah kagak peduli orang menarik apa kagak. Ada orang yang tertantang buat ngegoda milik orang lain. Modelan laki kayak dia itu rentengan di Jakarta ini. Banyak. Kalau cewek namanya pelakor. Lu lihat, kadang pelakor itu kagak ada otaknya. Cakep, kaya, ngembat laki orang yang kagak ada apa-apanya. Kenapa? Cuma buat senang-senang. Entar kalau rumah tangga orang itu berantakan ya ditinggal."

Aku menunduk, memainkan ujung bungkus cokelat kopi Karin. Dalam hati aku membenarkan ucapan Karin. Aku pernah membaca kasus seperti itu. Kurasa, Andro memang model lelaki yang seperti itu. Dia merasa nyaman dan senang dikelilingi perempuan bersuami, bukannya mencari gadis single yang bisa diajak berhubungan serius.

Tapi, apa yang bisa kulakukan? Mas Roni sama sekali tidak mau ambil pusing dengan curhatanku. Menurutnya aku ini cuma cari perhatian dan GR sendiri.

"May ... May ... kalau kamu ngomong begininlima belas tahun lalu waktu kamu masih ABG, aku percaya. Sekarang, coba lihat! Kamu dandan aja nggak pernah. Masa cowok kayak Andro bisa naksir sama kamu?"

Aku memang sakit hati dengan ucapan suamiku yang seolah mengatakan kalau aku sudah tidak menarik lagi. Tapi, di sisi lain aku juga bersyukur karena suamiku tidak cemburuan. Keluarga Pak Dimas sudah menjadi korban Andro. Pak Dimas melabrak Andro yang katanya tidur dengan istrinya. Dengan santai Andro berkata, "Banyak cewek lain. Kenapa saya harus tidur sama istri bapak?"

Bukannya senang mendapat kesaksian seperti itu, istri Pak Dimas menampar Andro dan memakinya. Andro sama sekali tidak menunjukkan wajah kesal.

"Bu, kalau berkhayal jangan tinggi-tinggi." Dia mendorong istri Pak Dimas dan menutup pintu seolah tidak terjadi apa-apa. Dia membiarkan Pak Dimas dan istrinya berkelahi di depan rumahnya. Orang-orang menonton dan menggunjingkan istri Pak Dimas.

Banyak ibu-ibu yang mengaku ke sesama ibu-ibu kalau punya hubungan dengan Andro. Kejadian yang menimpa Istri Pak Dimas ini menjadi bahan gosip yang seru. Mereka menertawakan istri Pak Dimas dan menyebutnya Ratu Halu atau tukang berkhayal.

Aku tidak tahu mana yang benar. Aku hanya membaca di grup WA ibu-ibu kompleks dan menonton di jendela kamarku.

Cibiran itu terus berlanjut sampai suatu malam Pak Dimas dan istrinya menggedor rumah Andro lagi. Orang-orang yang mendengar kerasnya gedoran Pak Dimas keluar untuk menonton reality show itu lagi.

"KAMU BENAR TIDAK PERNAH TIDUR SAMA ISTRI SAYA?" Bentakan Pak Dimas terdengar sampai ke ruang tengah rumahku. Anakku sampai berlari ke kamarku, ikut menonton.

Andro menjawab dengan suara pelan.

"TERUS, INI ANAK SIAPA? ISTRIKU HAMIL SAMA SIAPA?"

Andro maju, menampakkan wajahnya di bawah lamlu teras. "Memangnya bapak tidak punya penis? Bapak tidak pernah menggauli istri bapak sampai tanya ke saya itu anak siapa? Selera saya tinggi, Pak."

Tentu saja jawaban ini membuat orang-orang yang ada di sekitar rumah Andro tertawa.

Kok bisa Pak Dimas mempermalukan diri sendiri begitu? Kenapa dia tidak berbicara baik-baik dengan Andro di dalam rumah, dihadapan RT atau keluarga dan menyelesaikan ini dengan baik-baik. Apa dia tidak malu melihat istrinya meminta pertanggungjawaban Andro sementara Andro mengelak pernah tidur dengannya?

Kerumunan orang yang menonton peristiwa itu makin banyak. Mereka mengulurkan HP tanpa malu-malu dan mengunggah peristiwa itu. Bisa dibayangkan bagaimana malunya keluarga Pak Dimas seharusnya?

"Maksudnya, Bang Andro bikin istri Pak Dimas hamil, Ma?" tanya Patih berusaha menelaah kejadian yang dilihatnya.

Aku mengangkat bahu. "Nggak tahu. Bang Andro bilang nggak, tapi istri Pak Dimas ngeyel."

"Bang Andro itu nggak suka sama istri Pak Dimas."

Aku melihatnya tidak percaya. "Sok tahu kamu."

"Bang Andro yang bilang. Bang Andro sukanya sama Mama. Kalau nanti sudah punya istri, maunya sama yang kayak Mama."

Dalam sekejap, rasanya napasku hilang. Aku berusaha tersenyum dan bernapas

"Aku juga suka sama Mama. Tapi, aku pengin punya istri yang suka diajak main badminton."

"Ah! Kamu SD aja belum lulus sudah ngomongin istri. Beresin sana kamarmu. Mana ada cewek yang mau jadi istri cowok jorok gitu. Baju kotornya masukin keranjang!"

Terlambat! Anak itu sudah lebih dulu lari, hal yang selalu dilakukannya kalau aku memperlihatkan tanda-tanda akan mengomel.

Aku kembali menonton kelanjutan peristiwa itu. Baru jam sepuluh keributan itu bisa ditenangkan security komplek dan Pak RT. Andro sendiri sudah lama masuk ke dalam rumah dengan alasan kelelahan dan ingin istirahat. Dia mengatakan dengan jelas kalau rumah tangga Pak Dimas sama sekali tidak ada urusan dengannya.

"Tolong didik istrinya, Pak," kata Andro sebelum menutup pintu rumahnya.

Setelah Pak RT turun tangan, tidak ada lagi keributan. Semua berjalan normal. Orang-orang masih menggunjingkan istri Pak Dimas, tapi tidak ada yang berani mengungkitnya di jalanan. Mereka khawatir melukai hati Andro yang jadi kesayangan mereka.

Lalu, aku tidak akan lupa kejadian sepuluh hari setelah peristiwa itu. Suamiku sedang tugas ke luar kota. Aku sama sekali tidak bisa tidur karena nyeri haid. Aku duduk di jendela, membaca novel yang baru kubeli, waktu kudengar tangisan perempuan di depan rumah Andro. Tangisan yang mulanya kukira suara kuntilanak itu memilukan sekali. Bu Rizky di sebelah rumahku keluar juga ingin tahu.

Itu Bu Dimas. Dia menangis meminta Andro keluar. Tapi, tidak ada tanda-tanda Andro peduli pada suaranya. Rumah Andro tetap sepi. Lampu-lampu sudah mati.

"KALAU KAMU NGGAK KELUAR, AKU BAKAL MATI."

Ultimatum itu membuat beberapa orang memanggil Bu Dimas untuk mengingatkannya. Tentu saja Bu Dimas tidak peduli. Dia hanya memikirkan Andro.

Aku melihat kilau logam perak di tangannya. Aku yakin benda yang dikeluarkan dari tasnya itu pisau kecil. Aku berdiri, ingin melihat lebih jelas. Tapi, Bu Dimas sudah menggorok lehernya sendiri. Aku menjerit. Orang-orang menjerit. Darah menyembur keluar dari lehernya. Bu Dimas mengeluarkan suara seperti tercekik.

Ada yang berteriak. Ada yang menangis. Ada yang menjeritkan perintah-perintah untuk menelepon polisi atau ambulan. Ada yang muntah. Aku sendiri terdiam di jendela kamarku, menatap peristiwa yang sebelumnya kupikir cuma ada di film itu.

Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan yang kulihat. Mataku sampai panas. Aku tidak berkedip rupanya.

Bu Dimas terbaring di atas genangan darahnya sendiri, sementara Andro masih belum keluar dari rumah. Sampai orang-orang ramai di depan rumahnya, Andro tidak juga keluar.

Saat polisi dan ambulans sudah mengevakuasi mayat, sekitar jam dua belamalam, Andro baru datang. Dia turun dari motor besarnya, kaget orang-orang memenuhi rumahnya. Polisi menanyainya. Ya, pasti dia bingung. Dia tidak merasa punya hubungan apa-apa dengan Bu Dimas.

Polisi mengetuk rumahku. Tentu saja. Aku ditanyai juga apakah melihat kejadian itu. Sempat aku ingin berbohong agar tidak harus bersaksi. Tapi, rasanya itu jahat. Aku menceritakan semua pada polisi. Itu muri bunuh diri.

"Saya pikir, Bu Dimas itu mengalami delusi, Pak," kataku pada polisi. "Bisa jadi dia berkhayal demikian karena tidak bisa mendapatkan orang yang disukai."

"Ibu psikolog?"

Aku menggeleng. "Saya cuma pernah membaca kasus seperti ini. Banyak perempuan yang patah hati mengalami delusi begini. Kasihan Bu Dimas."

Polisi itu mengangguk-angguk setuju, lalu mengucapkan terima kasih setelah mencatay namaku.

Setelah polisi itu pergi, Andri berlari kecil ke rumahku. "Boleh minta air putih, Mbak? Aku habis minum tadi sama teman-teman. Agak nggak enak tenggorokanku."

Aku mengangguk. "Tunggu di sini," kataku dingin. Kuambilkan segelas air putih hangat dari dispenser sementara dia menunggu di teras.

"Jahat banget. Masa aku dibiarin di teras?"

"Kalau kamu masuk, nanti tetangga mikir yang nggak-nggak. Aku nggak mau berakhir kayak Bu Dimas."

Dia tertawa. Setelah menghabiskan segelas air hangat, dia menjilati bibir. "Seenak apa pun minuman, tetap lebih segar air putih."

Aku diam saja. Kuambil gelas di tangannya tanpa bicara apa-apa.

"Air putih itu seperti istri yang baik. Semolek apa pun tubuh perempuan di luar sana, tetap istri yang membuat segar dengan pelukannya." Dia menatapku. "Kayak kamu, Mbak."

Aku menggeleng dan beranjak ke rumah. "Sakit kamu!"

Dia menangkap tanganku. "Mbak mau tahu yang sebenarnya?" tanya Andro dengan senyum lebar. Dia menelengkan kepala ke arah rumahnya. Mungkin, yang dja maksud itu peristiwa bunuh dirinya Bu Dimas.

"Apa?" tanyaku benar-benar ingin tahu.

Dia melihat ke arah rumahnya dengan senyum lebar dan wajah yang seolah puas sudah berhasil membuat prestasi besar. "Aku tidur sama dia. Aku yang hamili dia."

***

Kalau dipikir-pikir bener ya si Karin. Kudu tegas sama orang kayak Andro. Kalau emang dia berani kurang ajar, lapor ke suami. Kalau dia sudah mengganggu ya lapir ke polisi. Nggak usah merasa nggak enak sama pebinor begini.

Kebanyakam dari kita merasa nggak enak kayak May. Kita memelihara orang kayak gini. Bahkan some of us malah meladeni orang seperti ini kayak yang dilakukan sama May. Jadinya yah... udah. Saat ribit sama suami, mikirnya, "coba aku bisa sama dia. Pasti bahagia."

Padahal belum tentu.

Semua cowok mah emang ngegas kalau belum dapet. Tenaganya full prima kalau masih ngejar. Entar kalau sudah dapet juga kelakuannya sama.

Memang, cowok kayak Heath, Dave, Tundra, dan Drey itu ada di dunia ini. Tapi, sekarang apa modal kita mau dapet suami seperti mereka?

Coba lihat Savanna. Dia bisa menaklukkan Drey karena dia memiliki sesuatu yang berbeda. Coba... siapa di antara kalian yang bisa kayak savanna; nggak pernah ngeluh walau dicekek mamaknya Drey atau melahirkan di bak mandi, disakiti berkali-kali sama Drey sampai lihat Drey cipokan ama cewek lain juga tetap menerima Drey. Udah gitu dia nggak pernah mengungkit kesalahannya Drey. Sama sekali juga nggak dendam ama Drey. Bisa kayak gitu? Suami ngelirin cewek lain aja ributnya sampai ke medsos.

Selain itu, savanna melakukan semua yang diperintahkam suami. Bahkan dia mau pakai baju apa aja yang dipilihkan Drey. Apa kita bisa? Beda selera warna ama suami aja dongkolnya seminggu. Savanna diseret Drey ke sana-ke mari diem aja. Nggak dibolehin balik ke Indonesia juga dia diem aja. Padahal, pasti dia kangen banget sama abangnya atau pengin nyekar gitu ke makan ortunya. Savanna nggak pernah nuntut.

Kita adalah siapa suami kita. Drey jadi lelaki terhormat yang penuh cinta karena didikan istrinya juga. Savanna jadi cewek yang damai nggak menuntut apa-apa karena semua sudah dicukupi sama Drey. Bukan masalah harta. Banyak orang yang hartamya melimpah tapi tak bahagia. Ini masalah pemenuhan kebutuhan batin; cinta, perhatian, kasih sayang, dan sebagainya.

Kalau pengin suaminya penuh cinta, jadilah istri penuh cinta tanpa syarat yang mengabdi tanpa tapi. Kalau masih suka menolak pas diajak nana-nina atau ngomel panjang lebar kalau suami pulang telat, ya udah ...

Eh ya...

Semalam saya menerbitjan works baru di wattpad. Cuma cerpen ringan tentang dua anak kucing. Sudah pada baca?

Kita ketemu besok di The In Between ya. Ada Riyadh yang khusyuk mengaji lho besok. Siapa coba yang kangen sama abang satu ini?

Hihihi...

Ada Steve juga yang marah-marah.

Ah... kerjaan Steve emang marah-marah doang. Nyebelin emang bapak satu itu.

See you, Little bees.

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro