Heaven inside your eyes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Andro? Apa benar dia yang mengirimiku bunga?

Bagian depan rumahnya sepi. Dengan pagar tinggi barunya, aku tidak bisa melihat sampai ke pintu depannya lagi. Rumah itu jadi benar-benar tertutup. Pagar dinding beton setinggi tiga meter dipasang memutari rumahnya. Bagian depan pagar itu dibuat berbentuk undakan yang diisi air mancur dan bunga-bunga, membuat pemandangan bagian depan rumahnya lebih estetik. Orang juga jadi tidak terlalu mempermasalahkan ketertutupannya saat ini. Gerbang pagar yang terbuat dari kayu dan besi hitam disusun rapat, sama sekali tidak memungkinkan orang lain untuk mengintip ke dalam.

Memang, itu hak dia untuk membuat rumah serapat itu. Toh rumahnya juga malah terlihat lebih indah, tapi dia seolah memutus hubungan dengan tetangga sekitar. Dia seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh dilihat orang lain.

Kenapa? Apa yang dia sembunyikan? Apa dia sudah muak dengan perempuan-perempuan di sini yang suka masuk ke rumahnya tanpa izin?

Ah, kukira selama ini dia malah menikmati semua perhatian itu.

Rumahnya benar-benar tertutup sekarnag, tidak ada tanda kalau dia akan keluar dari rumah itu. Kalau dia tidak ada di rumah juga tidak ada yang tahu. Lampu teras bagian atas masih menyala padahal hari sudah siang, entah karena dia tidak ada di rumah atau memang lupa mematikan lampu. Aku juga kadang seperti itu kalau sedang sibuk mengerjakan banyak hal di rumah. Saat sore akan menyalakan lampu, baru ingat kalau lampu belum kumatikan seharian.

"Mbak May?"

Aku terkejut dengan panggilan itu. Rupanya, fokus sekali mataku memperhatikan rumah Andro. Kukucek mata yang sampai panas karena lupa berkedip.

"Ya?" jawabku pada ibu-ibu yang berdiri di depan pagar rumahku.

Ibu-ibu yang mungkin seusia denganku itu tersenyum, membawakanku sekeranjang kecil buah-buahan. Dari senyumnya kelihatannya dia hanya tetangga baik yang ingin bersikap baik padaku.

Kubukakan pagar untuknya. Aku meminta maaf karena ujung pagar yang kubuka hampir mengenai tubuhnya.

"Serius amat Mbak May lihat rumahnya Mas Andro," katanya sambil berjalan masuk ke halaman rumahku. "Aku juga senang sama desain pagarnya. Jadi enak ngelihatnya ada air mancur sama taman bunganya gitu. Eh, lupa. Ini buat Mbak."

"Ada apa?" tanyaku dengan nada yang agak defensif. Aku jarang sekali menerima kebaikan cuma-cuma dari tetangga. Biasanya kami saling memberi pada masa tertentu, seperti saat ada yang sakit, hajatan, atau acara lain. JIka ada satu yang sudah memberi, harus dibalas dengan pemberian lain juga. Begitu terus sampai salah satu memutuskan malas memberi dan menjadi gunjingan yang lainnya.

"Aku mau jenguk Mbak. Mau lihat bagaimana keadaan Mbak." Dia tersenyum lebar.

Menjenguk aku? Memangnya dia siapa? Aku saja tidak mengenal nama dan wajahnya sama sekali.

"Mbak, maaf. Bukannya saya nggak mau nerima, tapi ... Mbak siapa?"

Dia memajukan kepalanya, seperti ayam yang ingin mengais tanah. "Mbak nggak ingat?" Wajahnya yang semula penuh tanda tanya langsung berubah jadi lebih tenang dengan senyum lebar. "Maaf. Aku lupa. Mbak mungkin agak amnesia gara-gara kejadian itu, ya?"

"Kejadian?"

"Itu, dipukul sama suami Mbak."

Ah! Jadi begitu? Berita itu sudah menyebar ke mana-mana dan dia termasuk yang bersimpati kepadaku? Satu bagian dari diriku tidak bisa mempercayainya. Aku ingin mengusirnya dan mengatakan kalau aku tidak butuh rasa kasihannya. Namun, satu bagian lagi dari diriku ingin dia tetap di sini. Paling tidak, untuk memastikan kalau aku tidak benar-benar sendiri. Mungkin saja dia mau memaklumi yang sedang kualami. Mungkin saja dia mau menjadi temanku tanpa menghakimi atau menasihati aku seperti yang lain.

"Duduk di sini, yuk, Mbak," ajakku dengan perasaan tidak enak yang menggantung rendah di dalam batinku.

"Makasih, Mbak," katanya dengan suara yang manis. Setelah duduk di kursi teras dengan kaki mengapit roknya, ibu-ibu memperkenalkan diri, "Kalau Mbak nggak ingat, namaku Dwi. Aku istrinya Pak Burhan di rumah nomor tiga puluh sana. Aku sering lewat sini dan kenal sama Mbak. Beberapa kali kita pernah teguran, terus ketemuan di acara tujuh belasan. Ingat?"

Sama sekali tidak. Aku malah tidak yakin pernah datang ke acara tujuh belasan. Yang kuingat memang beberapa kali aku menemani Patih mengikuti lomba tujuh belasan, tapi tidak yakin sama sekali kalau pernah bertemu orang saat itu.

"Maaf, Mbak." Aku menggeleng dengan rasa malu yang menjadi. Aku khawatir dia tersinggung.

"Ya, udah. Nggak apa-apa, Mbak. Namanya juga lagi sakit. Kemarin kayak gimana, Mbak? Mbak laporin mertuanya Mbak juga?"

Aku menggeleng lagi. "Kasihan, Mbak. Sudah tua."

Dia mengembuskan napas panjang. "Mbak baik banget. Kalau aku sih sudah kulaporin sekalian, Mbak. Mereka itu sudah merencanakan sejak di rumah sampai bawa pisau gitu. Mbak taruh di mana pisaunya?"

"Di dapur. Itu pisau biasa, kok. Mereka itu nggak punya keinginan untuk membunuh. Mereka cuma sakit hati aja sama saya yang bikin anak mereka masuk kantor penjara."

"Harusnya memang dipenjara, Mbak. Kemarin kan Mbak sampai babak belur gitu. Aduh, aku tuh menguira Mbak jatuh atau kecelakaan gitu. Aku nggak mikir kalau Mbak dipukuli suami sampai kayak gitu. Kan aku sempat lewat sini pas Mbak duduk di sini sama Mbak Karin."

Aku memaksakan senyum, tidak punya ide apa-apa lagi untuk menjawab kata-katanya. Aku terharu, sangat terharu. Waktu itu aku tidak yakin kalau aku diperhatikan orang lain. Kupikir, orang yang lewat, ya, hanya lewat saja, tidak ada keinginan untuk berbalik ke rumahku dan mengkhawatirkan bagaimana lukaku.

Dia memegang tanganku. "Mbak, aku dulu juga pernah lihat gimana orangtuaku ribut. Rasanya kayak mau kiamat aja. Yang Mbak May lakukan sudah benar. Jangan sampai laki-laki kayak gitu teganya sama istri nggak dikasih pelajaran. Kalau sudah merasakan penjara kan dia kapok. Kalau dia nanti nikah lagi, nggak akan memperlakukan orang kayak gitu."

Lagi-lagi aku hanya bisa membalasnya dengan senyum. Ada sumbatan di tenggorokanku yang membuatku yakin pasti menangis jika sampai membuka mulut.

"Terus, Mbak sama Mas Andro ada hubungan apa? Kok Mas Andro sampai belain Mbak segitunya?"

Aku melihatnya, terkejut dengan pertanyaannya. Aku berusaha mencari alasannya bertanya seperti itu. Apa dia ingin tahu sesuatu tentang Andro atau memang hanya sekadar penasaran terhadap masalahku saja?

Cewek mana di kompleks ini yang nggak terpikat sama Andro? Jangan-jangan dia juga?

"Maaf, Mbak. Bukannya aku mau bongkar-bongkar. Aku cuma pengin tahu ceritanya aja. Kemarin kan viral, Mbak. Ada yang videokan sampai di-share ribuan orang dalam sehari. Sekarang kayaknya nambah lagi yang share videonya."

Aku menggeleng kaget, lalu menunduk malu, bukan karena video itu jadi viral, tapi karena merasa seperti boneka pajangan mobil yang kepalanya terus bergoyang.

"Makanya, sekarang aku pengin klarifikasi sendiri ke Mbak soal video itu yang dinarasikan katanya Mbak punya hubungan sama Mas Andro, terus Mas Andro belain sampai mati-matian di depan mertua Mbak."

Otakku berputar mencari alasan.

"Karin dan Tundra juga ikut bantuin saya. Apa mereka juga punya hubungan sama saya?" Aku menunggu jawaban darinya. Setelah kupikir dia menunggu penjelasan, kulanjutkan lagi, "Saya sama Andro itu sudah kayak saudara. Tadinya Mas Roni yang berteman sama Andro. Sering ngapa-ngapain bareng. Tapi, sejak Mas Roni kasar ke saya, jadinya Andro jadi baik ke saya sama Patih. Dia nggak punya siapa-siapa katanya, jadi ya yang dijadikan teman kami ini."

Ah, bagus sekali caraku menjelaskan kebohongan ini.

"Kirain Mas Andro nungguin Mbak jadi janda." Dia tertawa untuk lawakannya yang sangat tidak lucu. "Biasanya, orang kalau jadi janda itu tambah cantik, tambah bersih. Nggak tahu kenapa auranya janda itu beda. Sama perawan aja masih lebih bersinar jandanya, apalagi Mbak belum tua. Orang masih melihat Mbak itu cantik-cantik aja. Kupikir Mas Andro nungguin itu."

Aku ikut tertawa dengannya walau tawaku benar-benar terasa dipaksakan.

"Mbak, saya mau ke dalam dulu, ya. Saya kerja di rumah. Jadi penerjemah di website. Cuma ini kerjaan yang bisa saya lakukan buat nyambung hidup. Nanti kita sambung lagi, ya. Kalau saya ngobrol terus kan jadi nggak dapat uang."

Dia setuju. Setelah memberikan lagi buah-buahannya dan banyak saran untuk menjaga kesehatan agar aku tidak sakit sebagai ibu tunggal, dia pamit pulang. Aku menekan kuat keinginan untuk melempar bagian belakang kepalanya dengan keranjang buah ini.

Mobil besar warna putih lewat di depan rumahku. Lelaki itu turun untuk membuka pagar besarnya yang ternyata terkunci. Saat kembali ke mobil, dia melihatku. Kacamata dan topinya tidak akan menutupi kerinduan yang ada pada dirinya. Bibirnya membuka, entah mengucapkan apa. Aku ingin ke sana dan menyentuhnya, mengatakan betapa aku mencintainya. Namun, aku memilih memeluk bunga yang kupikir darinya, lalu berbalik, masuk ke rumahku sendiri.

Aku menginginkannya, tapi kehilangan selera atas dirinya hari ini. Entah kenapa.

***
K

ita bahas lagi soal author's note kemarin yang menghasilkan banyak tanya di benak kalian, Bees.

Kadang orang memang seperti May, yak, malas untuk mendengarkan nasihat dari orang lain pada saat tertentu. Penginnya sendirian sampai lukanya sembuh sendiri. Kita nggak bisa seperti Patih memaksakan orang untuk mengikuti jalan pikiuran kita. Sebaik apa pun pikiran kita, nggak bisa kita paksakan orang untuk sepemikiran sama kita.

Yang namanya hidayah itu datang pada orang yang tepat pada saat yang tepat. Untuk yang membaca Something Wrong About Us sampai habis, pasti kesal sama Mela dan Rudy yang nggak mau mendengarkan nasihat dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Sudah banyak banget yang ngasih masukan ke Rudy, tapi dianggap angin lalu. Dia malah dengerin orang-orang yang negatif muli.

Ya, gimana? Namanya juga belum dapat hidayah.

Kadang, kita ngerasa jengkel sama orang yang masalahnya itu-itu aja. Dia berkubang pada masalah yang itu-itu aja. Sudah dinasihati, tetap saja dia nggak mau berubah.

Sebenarnya, mau dijungkir-bbalikin kek gimana juga sudah jelas... masalah dia tuh satu, belum dapat hidayah. Nggak bisa kita paksakan begitu saja. Jadi, ya udah. Kasih tahu aja ke dia, "Aku sudah pernah ngasih nasihat yang begini untuk masalahmu yang ini. Kalau kamu memang cuma ingin didengarkan, hayuk aku dengarkan ceritamu, tapi aku nggak bisa apa-apa lagi karena semua yang kutahu sudah kubilang ke kamu."

Dengan begini, dia bakalan mikir juga nantinya.

Nggak usah dipaksa kalau dia memang belum siap. Biarin aja dulu. Kalau memang sudah datang waktu yang tepat, nanti dia akan mikir sendiri, kok.

Nah, saya mau ngasih pemberitahuan nih ke kalian.

Karena mau lebaran, saya off dulu yak. Part depan belum saya tulis. Nggak lucu kan kalau yang lain prepare buat lebaran, saya nangisin Andro sendiri?

Kita ketemu di minggu berikutnya, ya.

Untuk yang di Storial sama Cabaca masih lancar sampai lebaran karena yang posting bukan saya. Wkwkwkwk...

Di Cabaca manfaatkan jam happy hour buat baca abis tiga buku saya di sana. Selama Ramadhan, happy hournya jam 3-4 subuh dan 21-22 malem waktu indonesia barat yak. Sesuaikan jika kalian tinggal di daerah lain.

Mohon maaf lahir batin ya, Bees. Saya udah maafin semua salah kalian, kok. Baik yang suka marah-marah di DM kalau saya telat update sampai kalian yang bikin saya ngakak sampe keselek karena halu yang nggak sembuh-sembuh. Semoga kita semua benar-benar merayakan kemenangan yang fitri ya, Bees. Aamiin...

See you next part, Bees.

I LOVE YOU SOOO MUCH,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro