His Lovely Thought

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku barpaling darinya. Aku membuka pagar sekolah dan tersenyum pada satpam sekolah yang seperti ingin memprotesku. "Mau ketemu sama gurunya Patih sebentar," kataku pada satpam itu.

Sebelum Patih keluar dari pintu sekolah, aku memeluknya. Aku mengusap kepalanya dan menciuminya. "Bisa ulangan tadi?"

"Alhamdulillah sih, Ma. Yang kita kerjain keluar semua." Dia menjawab dengan ekspresi seolah tahu kalau ciumanku bukan tanpa arti. Dia melihat ke belakangku, lalu ekspresinya berubah menjadi keras.

"Ayo masuk," kataku sambil mendorongnya kembali ke sekolah. Aku tidak melihatnya lagi karena tahu mungkin aku akan berubah pikiran. Dia selalu membuatku menurunkan pertahananku

Dengan terpaksa aku mendengarkan guru Patih bercerita tentang yang dilakukan Patih di sekolah. Sebenarnya, aku tidak ingn mendengar ini di depan Patih. Aku tidak suka membuatnya malu dengan keluhan dari gurunya. Aku juga tidak ingin membuatnya besar kepala dengan mendengarkan pujian yang dibesar-besarkan. Biasanya, aku selalu merahasiakan dari Patih apa yang dikatakan gurunya. Aku ingin dia tahu aku mencintainya apa adanya, bukan karena laporan orang lain.

Sekitar setengah jam aku mendengar celoteh yang tidak kuinginkan. Untung saja kali ini tidak banyak hal buruk yang dikatakan gurunya. Yah, seperti biasa, hanya pesan untuk banyak belajar dan tidak lagi melamun di kelas.

"Mama nggak mau menghakimi kamu. Tapi, kenapa sih kamu melamun di kelas?" tanyaku saat kami berjalan menuju pintu depan sekolah lagi.

"Kalau aku cerita, Mama janji ya nggak marah?"

"Kenapa harus marah?"

"Janji aja," protesnya.

"Oke. Mama janji." Walau begitu, jantungku berdebar juga. Aku khawatir yang diucapkannya ternyata tentang rumah tangga kami.

"Aku kebanyakan main game pas malam. Pas di sekolah sebenarnya aku ngantuk, bukan melamun."

Ah, leganya!

"Kok kamu bandel, sih, main game sampai malam?" Aku sama sekali tidak berniat memarahinya. Aku juga dulu senang bermain game saat pertama kali punya HP.

"Kadang, di kepalaku sering ada suara bentakan Papa. Kalau aku diemin, bentakannya makin keras. Rasanya bentakan itu cuma hilang kalau aku konsentrasi sama sesuatu. Kan capek, Ma, kalau aku konsentrasi sama pelajaran terus. Jadi, aku milih konsentrasi sama game aja. Aku pakai headset, terus main game sampai ngantuk."

Aku berhenti. Aku menariknya sampai berada di depanku. Aku berjongkok agar bisa menatap matanya dalam satu level yang sama. "Kenapa kamu nggak bilang sama Mama?"

"Mama sudah repot sama kerjaan. Mama juga sering dimarahi Papa. Aku yakin Mama juga sering nggak bisa tidur kayak aku. Mama yang kasihan. Mama nggak bisa main game kayak aku."

Patih, anak semata wayangku! Kenapa kamu tidak seperti anak lain yang berontak dan marah pada Mama? Ucapanmu yang begitu tulus dan lembut ini membuat Mama tidak tahu apa yang sebenarnya harus Mama lakukan, Nak.

"Terima kasih," kataku pada akhirnya. "Mama nggak tahu harus ngomong apa ke kamu, tapi terima kasih, Patih."

"Kenapa Mama nggak tahu harus ngomong apa ke aku?"

"Soalnya kamu ... lebih dari apa yang Mama pikirkan. Kamu dewasa dan pintar. Waktu seumuran kamu, Mama cuma bisa ngambek. Mama nggak mau mikirin yang dipikirin ortu Mama."

Dia menyentuh pipiku. "Karena Mamaku bukan Nenek. Mama yang ngajarin aku buat jadi anak soleh. Mama kan yang bilang kalau aku harus bantuin Mama. Kalau nggak bisa bantuin, paling nggak aku nggak ganggu Mama."

Aku? Jadi aku yang memaksanya untuk jadi dewasa begini? Kata-kataku yang membentuknya agar tidak menjadi seperti anak lain?

"Kamu sayang Mama? Setelah semua yang terjadi ini?"

Dia mengangguk. "Sayang, dong. Kan surgaku di kaki Mama."

Sebenarnya, aku sama sekali tidak ingat pernah mengatakan hal itu. Mungkin saat itu aku sedang repot sekali dengan pekerjaanku sampai merasa tidak mau diganggu Patih. Mungkin sebenarnya aku hanya memintanya untuk tidak membuatku repot saat sedang bekerja, bukan mengajarkan filosofi hidup seperti itu. Sekarang, aku merasa bersalah. Aku tidak ingin dia menyimpan beban sendiri, tidak di usianya yang masih belia ini

Apa aku perlu meminta maaf dan memulai lagi semuanya dari awal dengannya?

"Ma," dia menarik tanganku. "Bang Andro masih di sana," katanya tanpa menunjuk Andro.

Dia masih berdiri di seberang jalan, persis patung jangkung tampan yang sengaja diletakkan untuk membuat cewek-cewek kehilangan konsentrasi. Dia menungguku. Dia ingin berbicara denganku, mungkin bukan hanya sekadar berbicara. Tubuhku tahu yang diinginkannya.

Aku bernapas dalam.

"Apa kita perlu ngobrol sama dia?" tanyaku hati-hati, tidak mau Patih berpikir yang tidak-tidak, lalu marah lagi padaku.

"Ngobrol untuk memutuskan hubungan Mama sama dia?"

Aku melihat anak itu. "Ngobrol bertiga untuk meluruskan semua yang salah di antara kita."

"Apa yang salah?"

"Pendapatmu, perilaku Mama, dan caranya mendekati Mama."

Dia diam saja. Setelah lama dia melihat Andro, baru dia berkata, "Seharusnya aku dulu dengerin Mama pas Mama bilang nggak usah berteman sama dia. Aku seharusnya tahu kalau pas dia bilang dia suka sama Mama."

Kali ini aku yang diam saja, bingung bagaimana menanggapi anakku. Aku tidak ingin salah bicara lagi, apalagi sampai menggiringnya pada pemikiran yang lebih salah.

"Ayo kita ke sana, Ma."

"Hah? Apa?"

"Ayo kita ngobrol sama dia." Patih mendongak melihatku. "Tapi, obrolan ini bakal jadi obrolan terakhir sama dia. Setelah ini, kalau dia emang mau deketin Mama dan Mama suka sama dia, kalian harus melakukannya dengan benar, bukan dengan cara yang dilarang sama agama."

Lihat, aku mendapat nasihat dan teguran dari anakku sendiri, yang bertahun-tahun lebih muda dariku. Orangtua macam apa sih aku ini?

Tapi nyatanya, aku mengikutinya juga. Anak itu berjalan tegap sambil menggandeng tanganku melintasi halaman sekolah. Sepertinya dia sudah punya banyak hal yang ingin dikatakan dalam kepalanya. Aku tidak berani bertanya. Aku juga sebenarnya tidak siap untuk ngobrol bertiga seperti ini, bahkan melihat Andro saja aku merasa tidak berani.

Kenapa sih aku selalu pengecut begini? Kenapa aku selalu tidak berani duduk untuk diskusi? Kenapa aku selalu takut mengeluarkan yang kupikirkan?

"MAY! PATIH!"

Kami berpaling pada mobil merah yang ada di dekat kami. Karin melambai di samping mobil itu. "Buruan! Panas! Yaelah! Gue meleleh."

Aku melihat Patih. Dia tersenyum. Kelihatannya, dia senang kami tidak perlu ngobrol dengan Andro hari ini. Anak itu berlari ke mobilnya Karin dan mengangguk, mengucapkan salam sebelum membuka pintu belakang mobilnya. Dengan langkah pelan, aku mengikutinya, bersalaman dengan Karin, lalu masuk ke mobil itu, meninggalkan orang yang sangat ingin kutemui.

Aku terkejut ternyata Karin tidak sendiri di dalam mobil itu. Seorang cewek berhijab sedang menelepon saat aku masuk. Dia menutup teleponnya, lalu berbalik melihat kami. "Hai!" Dia menyapa ramah dan mengulurkan tangannya yang kurus panjang. "Aku Alice. Apa kabar?"

Mata cewek itu biru terang dan berkilau. Wajahnya yang sebagian tertutup hijab berbintik cokelat. Hidungnya mancung dan bibirnya merah muda. Cewek itu mungkin berumur dua puluhan, tapi dia terlihat lebih muda dari Andro.

"May," jawabku agak canggung. "Ini Patih, anakku."

"Senang kenalan sama kamu, Patih." Dia menyapa Patih tanpa mengulurkan tangan. Patih tersenyum lebar juga padanya. Bahasa Indonesianya tidak terlihat kaku. Dia sepertinya sudah lama tinggal di Indonesia.

Karin masuk mobil lagi, "gue nganter bocah ini dulu ke lakinya, ya. Deket doang."

"Eh, iya. Nggak apa-apa," jawabku agak canggung. Aku yang merasa tidak enak Karin sampai meminta izinku.

Dia menjalankan mobil hingga ke lampu merah selanjutnya. Aku tidak berani berbicara apa pun. Cewek itu juga kelihatannya sibuk dengan HP-nya.

"Aku ingin makan martabak telur sebelum pergi," kata Alice pelan seperti berbicara pada diri sendiri.

"Entar minta dibelokin sebentar sama laki lu. Sunblock sudah bawa?"

"Sudah," katanya tanpa mengangkat wajah. Dia begitu serius dengan layar HP-nya.

Karin menepikan mobil setelah melewati lampu merah. Alice membereskan barang-barangnya ke dalam tas kulit warna hitam. Dia menurunkan cermin dan memakai sunblock pada wajahnya. "Bersyukurlah kalian cewek Asia yang nggak perlu memakai sunblock seketat ini."

Karin tertawa. Yang nggak kusangka, Patih ikut bercelatuk, "Matahari memang bikin item, Kak. Banyak yang takut sama matahari."

Alice menutup kacanya lagi, lalu berpaling pada Patih, "Aku mengenal orang yang dulu begitu takut pada matahari."

"Takut beneran?" tanya Patih lagi yang sebenarnya menyuarakan rasa penasaranku juga.

"Iya. Dia sembunyi setiap matahari terbit. Dia punya ruang besar di bawah tanah di rumahnya."

Patih melongo, takjub pada apa yang didengarnya. Sebenarnya, aku juga, tapi aku kan tidak bisa melongo begitu. Aku menjaga senyum saja.

"Aku pergi, Karin. Tolong doakan kami," katanya sambil memeluk Karin.

"InsyaAllah. Gue bakal terus doain elu, Al. Jaga bayi lu, ya. Kalau lu masih di Indonesia, hubungi gue kalau lu butuh apa-apa. Ingat, ya. Kagak usah sungkan. Gue sayang sama kalian. Semoga Allah melindugi kalian."

"Terima kasih, Karin." Dia melihatku, lalu tersenyum. "Senang kenalan denganmu, May, Patih. Semoga kita bisa ketemu lagi," katanya sebelum mengucapkan salam dan keluar dari mobil.

Karin membiarkannya berjalan beberapa meter sebelum menjalankan mobil.

"Saudara?" tanyaku pada Karin.

Karin menghapus air matanya dengan ujung lengan baju. "Anak temen gue. Dia cewek paling kuat yang pernah gue lihat."

"Dia ke mana?"

"Nyari kebahagiaan."

Mencari kebahagiaan?

Cewek itu berjalan ke mobil hitam yang kelihatannya menunggunya. Pintu belakang mobil itu terbuka. Dia masuk dan menutup pintu sebelum mobil itu berjalan kencang mendahului kami. Apa memang harus begitu kalau mencari kebahagiaan?

Aku berbalik lagi, lebih ke belakang. Mobil besar hitam tepat berada di belakang kami. Tanpa melihat platnya, aku tahu siapa yang berada di belakang kemudinya. Cowok itu tidak akan berhenti mengejarku, tidak akan pernah.

Patih menggenggam tanganku. "Dia bikin takut, Ma," bisiknya. "Masa kita diikuti begitu?"

Aku melihat ke belakang lagi, "kita memang harus bicara sama dia, Patih. Harus," kataku tanpa melepaskan pandangan kaca hitam mobil itu.

***

Beugh ... Alice sudah bunting, Bees...

Siapakah yang berani membuntingi anaknya Pak Thompson?

Saya deg-degan si May mau ngelapor polisi sebenarnya, tapi minggu depan aja deh. Saya capek banget ini. Hehehe...

Eh ya, Bees...

Saya ini heran, kenapa sih kayaknya emak-emak pada membenci lelaki, terutama suaminya? Pada setiap ada postingan mengenai "kejahatan" lelaki, mesti umpatan lemes banget keluar dari komentar emak-emak. Bahkan yang menyeramkan tuh kalau lagi ada cerita viral tentang poligami atau lelaki tukang selingkuh, emak-emak bakal langsung ngegas.

Beberapa waktu lalu waktu masih ada cerita Layangan apa gitu yang heboh di Facebook, saya tuh sampai dicurhatin bapak-bapak yang tanya kalau dia mengambil HP istri agar istrinya nggak ngikutin cerbung itu apakah dosa?

Masalahnya, istrinya langsung berubah jadi paranoid dan judes sama si Bapak. Padahal, si Bapak merasa nggak melakukan kesalahan fatal sampai selingkuh seperti dalam cerita tersebut.

Waktu saya minta si Bapak merekam bagaimana kondisi rumahnya, eh bener. Bininya nyindir parah banget tiap ada yang nggak beres. Pas lagi ngobrol adem bercandaan, istrinya ngegas, "Oh, gitu. Jadi dia lebih cantik daripada aku? Matamu lihat dia? Ingat ya, Pah. Kusumpahin picek nanti matamu kalau jelalatan."

Hal seperti inu ternyata dialami sama bapak-bapak lainnya. Nggak sedikit bapak yang mengirim email untuk curhat nggak tahan sama istrinya yang kalau ngomong cerewet sekali. Sebenarnya dia nggak mau fokus sama HP saat di rumah. Tapi, kepalanya pusing banget begitu sampai rumah, istrinya nyerocos terus. Yang mengerikan, dia sering menyumpahi suaminya mati.

Sebagai seorang bucin yang sudah melewati gonjang-ganjing kehidupan dan memperbaikinya, saya sedih banget mendengar perempuan mengatakan hal ini.

Tidak, Bees. Saya bukan pembela laki-laki dan merendahkan perempuan. Saya hanya ingin meluruskan hal yang tidak benar agar rumah tangga kalian tidak seperti rumah tangga yang sudah pernah curhat saya saya itu. Saya berharap kita semua bisa introspeksi dan memiliki rumah tangga yang lebih baik daripada rumah tangganya May.

Saya mengerti kehidupan emak-emak itu berat banget. Bener deh. Ngurus anak yang mungkin lebih dari satu, mendengar kritikan keluarga pada hal yang sebenarnya menjadi kelemahannya, dinyinyiri tetangga karena hal sepele, melayani suami siang malam mulai dari isi sempak sampai isi perut, sampai menghadapi masalah dengan dirinya sendiri.

Sungguh, capek jadi emak-emak itu memang. Tapi, jangan jadikan hal ini sebagai alasan untuk berbuat kasar pada suami, Bees.

Bees, rido suami itu penting banget. Kalau kita meninggal tiba-tiba dalam keadaan suami sakit hati sama mulut kita, kayak gimana mau masuk surga?

Sudah di dunia menghadapi masalah berat, menderita, nangis-nangis, eh di akherat kepleset di neraka. Ketemu sama Evangeline pulak. Jadi deh budaknya Evangeline di neraka. Huhuhu...

Bees, saya mengerti emak-emak butuh pelampiasan kekesalahn. Study from home yang bikin nangis, sampai harga sembako yang naik memang bikin masalah besar dalam hidup emak-emak, tapi jangan jadikan ini sebagai alasan untuk menyakiti orang yang kita cintai.

Kalau suami kita nggak melawan saat kita kata-katai, kalau suami kita diam saja, bukan berarti dia rido. Bisa jadi dia memendam semua dan menjadikannya sebagai dendam pribadi pada kita. Akhirnya, dia malas diajak ngeseks karena kebenciannya pada istri meningkat. Dia malas di rumah karena toh di rumah dimaki-maki mulu. Dia memilih curhat sama orang lain karena merasa curhat sama istri nggak didengarkan dengan baik, malah diomelin mulu. Nah, kalau sudah begini, apakah suami bisa disalahkan jika berharap ketenangan di tempat lain?

Suami juga manusia, Bees. Bisa salah dan mungkin ada benarnya, samalah kayak kita yang sering salah, banyak juga benernya. Kalau memang suami salah, ingatkan dengan cara yang baik. Kalau kita salah terus dibentak, jelaskan pada suami kalau bukan begitu cara komunikasi sama kita.

Kalau komunikasi dalam rumah tangga sudah sebaik ini, saya yakin masalah apa pun bakal bisa dihadapi dengan baik, kok.

Lidah itu tidak bertulang, Bees. Lidah bisa mengeluarkan apa saja yang dikehendaki. Kita yang mengatur lidah itu, Bees. Jangan sampai mulut kita ditiru sama anak-anak dan dipraktikkan nanti kalau mereka rumah tangga.

Jadikan anak-anak kita seperti Patih yang begitu dewasa dan tahu mana yang baik dan salah. Sekalipun May hancur berantakan, dia tetap berusaha agar Patih mendapat yang terbaik. Dia ingin Patih menjadi anak yang baik, lebih baik dari dirinya.

BTW, coba ini saya tanya siapa yang sudah subscribe cerita saya di KBM App? Bahkan udah kasih bintang segala. Wkwkwkwkk...

Padahal ceritanya lho belum ada.

Saya belum memutuskan mau dibawa ke mana cerita ini, Sayangku. Saran Odey sih di Storial saja biar barengan sama yang lain, tapi saya ingin mencoba hal baru. Entarlah saya istikharah dulu. Heheheh...

See you next part, Bees.

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro