Hold my Hand

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Patih masih memintaku menemaninya belajar setelah kami mencuci piring dan menyalakan mesin cuci. Kami mulai membenahi rumah, awal yang baik untuk membenahi hidup dalam rumah ini. Kukatakan padanya kalau aku tidak mungkin sanggup membayar cicilan rumah dengan pendapatanku sebagai penerjemah yang tidak seberapa. Tahu apa jawabannya?

"Aku punya tabungan, Ma. Kan kalau ke rumah Kakek pasti dikasih uang. Uangnya nggak kujajanin. Kalau memang kita nggak bisa hidup di sini lagi, kita bisa cari rumah yang kecil. Kita jual barang-barang di sini, terus cari rumah yang kecil aja. Dekat sekolahku ada rumah dikontrakkan, kok. Nanti aku bisa bikin slime terus kujual di sekolah. Kayak dulu lagi, Ma. Pas ada enterpreneur day di sekolah itu. Anak-anak cewek masih ada aja kok yang suka sama slime."

Saat kutanya tentang apa aku harus lapor polisi atau tidak, dia menjawab, "Jangan kasih aku contoh yang jelek, Ma. Orang salah harus dihukum. Bukan cuma bikin Papa tahu apa salahnya, tapi juga jadi contoh biar aku tahu walau mukul keluarga, aku bakal tetap dihukum."

Tuhan benar-benar sayang padaku. Tuhan mengambil Mas Roni dan memberiku Patih. Aku yakin, dia bisa menjagaku sampai besar nanti. Sebelum ini, aku tidak tahu kalau Patih sedewasa ini dalam berpikir. Dia masih sering merengek dan minta peluk kalau manjanya kumat. Ternyata dalam masa sulit begini, Patih menunjukkan kedewasaan yang nggak kusangka.

"Kalau gitu, besok temani Mama ke kantor polisi, ya?"

Dia mengangguk. "Asal Mama buang baju-baju Papa di mesin cuci itu."

"Kamu benci banget sama Papa?"

"Aku benci sama Papa bukan karena yang dilakukan Papa ke Mama, tapi yang dilakukan Papa ke aku juga. Seharusnya Papa melindungi Aku, bukannya bikin takut gitu. Bapak apaan kayak gitu!"

Aku ingin memberinya pengertian dan melindungi ayahnya, tapi dalam kondisi begini, aku khawatir malah membuat hubungan kami menjauh.

"Kamu kok bisa ngomong gitu? Mama nggak bisa ngomong gitu waktu seumuran kamu." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Bukannya Mama yang bilang kalau ada apa-apa kasih tahu Mama biar Mama nggak salah ngertiin aku?"

Aku tertawa juga. Entah yang kulakukan padanya ini sudah benar atau tidak, Patih memang senang sekali menjawab omongan orang lain. Ini yang membuat orangtuaku dan orangtua Mas Roni berkata Patih itu anak yang suka menantang orang, pembangkang dan suka membantah omongan orangtua. Awalnya sih lucu-lucu saja saat Patih kecil mencerocos terus tentang hal-hal kecil. Setelah semakin besar, semakin banyak yang diketahuinya, Patih mengoreksi apa saja dan mengkritik apa saja yang menurutnya tidak tepat. Dia seperti perpanjangan tanganku yang tidak bisa mengungkapkan pendapat secara gamblang. Karena selera kami sama, Patih sering menyuarakan hal yang tidak bisa kusuarakan.

Setelah dia menguap beberapa kali dan kepalaku sendiri sudah berat, kami menghentikan sesi belajar. Kuminta dia menutup buku-buku latihan soalnya dan tidur.

"Nggak baik memaksa otak yang sudah capek. Mending besok Subuh kita mulai belajar lagi."

"Mama juga tidur, ya. Jangan sampai Mama ngantuk di kantor polisi." Dia mengucek mata yang sepertinya mulai berat.

"Oke. Habis pulang sekolah?"

"Kalau Mama belum bisa bawa motor sendiri, naik taksi aja." Dia membelai wajahku yang memar. "Masih sakit, Ma?"

Aku mengangguk. "Kita selesaikan masalah ini berdua."

Dia menciumku dan mengucapkan salam sebelum ke kamar mandi untuk gosok gigi. Aku menuliskan pesan cinta di salah satu bagian belakang buku catatannya seperti biasa dengan pensil. Ini kebiasaan lama kami. Aku memulai kebiasaan ini sejak dia kelas satu. Mulanya dia ngambek setiap mendapat tulisan itu karena takut diejek teman-temannya kalau ada yang lihat. Lalu, saat aku berhenti menuliskan kata cinta dan pesan di belakang bukunya, dia malah bertanya.

"Katanya takut diejek orang," jawabku. "Mama cuma nurut aja yang kamu mau."

Dia berkata malu-malu, "Kalau dipikir-pikir aku suka sama tulisan Mama, kok." Jadilah kebiasaan itu kuteruskan sampai hari ini. Kuharap saat dia penat di sekolah, pesan dan kalimat motivasi dariku bisa membuatnya semangat lagi.

Setelah menelan obat penahan nyeri dan mengoleskan krim pada luka-luka di wajahku, aku berbaring di tempat tidur. Aku sempat bangun untuk melihat apa aku sudah mengunci pintu belakang atau belum, lalu kembali ke kamar. Ketika aku akan menutup pintu kamar, terdengar suara kunci yang dibuka dari pintu depan. Suara itu khas sekali karena kunci pintu depan itu agak berat. Aku sudah sering menandai bunyinya kalau Mas Roni pulang malam.

Apa dia kembali? Apa ada yang belum diambilnya dari rumah ini? Apa dia mau mengambil Patih?

Pelan, aku turun dari tangga lagi. Nggak ada suara orang meletakkan kunci di meja. Ini kebiasaan Mas Roni. Nggak ada suara sepatu yang dilepas juga. Apa Mas Roni buru-buru? Apa pencuri? Apa ada orang yang tahu kalau malam ini aku sendirian dan nekat membobol rumahku?

Tenggorokanku seperti tercekat. Di tangga bagian bawah, aku melihatnya. Orang yang masuk sudah pasti bukan Mas Roni. Laki-laki itu tinggi. Tudung kepala jaket hitamnya menutupi bagian belakang kepalanya. Dia memakai celana panjang hitam. Aku baru akan berteriak saat orang itu bergerak cepat menutup mulutku.

"Ini aku," desisnya. Dia melepas tudung kepalanya. Sebenarnya tidak perlu. Aku hafal aroma dan suaranya. Aku tahu ini dia.

"Ngapain kamu masuk kayak maling?" semburku saat dia melepaskan tangannya di mulutku.

"Aku kepikiran Mbak terus. Kalau aku ketuk pintu, aku yakin Mbak nggak bakal bolehin aku masuk. Jadi, aku pakai kunci maling." Dia tersenyum lebar.

"Kunci maling?"

Dia menunjukkan dua batang besi yang tipis dan berlekuk aneh pada bagian pinggirnya, persis seperti kunci rumah, lalu memasukkannya lagi ke saku celana jinsnya. "Aku cuma pengin tahu gimana kabar Mbak sekarang. Cuma itu. Kenapa nggak boleh?" Dia menyentuh wajahku, menelusuri lukaku dengan telunjuknya. "Masih sakit?"

Pertanyaannya sama dengan Patih, tapi kenapa rasanya di hatiku pertanyaan ini berbeda?

"Sudah nggak. Aku minum obat tadi. Pulang, Andro. Ini sudah jam sepuluh dan kamu nggak pantas ada di sini. Tolong pahami posisiku."

"Terus siapa yang memahami posisiku?"

"Posisi apa?" Aku menoleh ke atas, berharap Patih nggak turun untuk melihatku bertengkar begini. "Kenapa semua laki-laki egois? Kenapa kamu nggak mikir akibat perbuatanmu ke aku? Apa menurutmu nggak cukup aku kayak gini? Gimana kalau Patih tahu tentang kita? Gimana kalau tetangga tahu?"

"Ayo kita pergi." Matanya seperti memohon. "Aku bakal jaga Mbak sama Patih. Aku bakal bahagiakan kalian."

Aku sedang nggak ingin berdebat. Rasanya obat penahan nyeri yang tadi kutelan sama sekali nggak ada gunanya. Kepalaku berdenyut menyakitkan lagi. Aku ingin menangis saking sakitnya.

"Sudah sana! Pulang! Aku mau tidur." Buru-buru aku berbalik ke kamar, mengambil air minum dan menelan satu pil lagi.

Aku terkejut saat Andro menutup pintu kamarku dan menutup gorden jendelaku sebelum menyalakan lampu duduk di samping tempat tidur.

"Aku ngerti kalau Mbak nggak percaya sama aku sekarang. Paling nggak, kasih aku kesempatan buat jagain Mbak sama Patih. Mbak bisa bilang ke orang lain aku sahabat Mbak atau adik angkat atau apa aja terserah. Aku cuma ingin ada di samping Mbak dan jadi orang yang bisa diandalkan buat kalian berdua."

"Kenapa? Kenapa kamu sepeduli itu sama aku?"

"Aku sudah bilang kalau aku sayang sama Mbak, kan?"

"Kenapa harus aku?"

Dia membuka mulut seperti akau mengeluarkan kata-kata dengan keras, tapi dia terlihat bingung dan menutup mulut lagi.

"Nggak tahu, Mbak." Dia menggeleng seperti orang bingung. "Nggak tahu. Ada banyak cewek yang kutiduri, tapi aku selalu melihat ke jendeela itu, tempat Mbak melihatku. Kapan pun Mbak nggak terlihat di situ, aku kayak orang gila. Aku pengin Mbak ada di situ terus. Aku mau terus bisa melihat Mbak."

"Kamu gila."

"Memang." Dia berdiri, mendekatiku. "Aku memang gila. Aku nggak waras sejak lihat Mbak." Dia menyentuh wajahku lagi. Kali ini jarinya tidak benar-benar menyentuh kulitku. Dia menyentuh rambut halus di permukaan kulitku, membuat tubuhku merinding. "Izinkan aku buktikan ke Mbak."

"Aku cuma pelampiasan seks buatmu? Suatu hari kamu bakal bosan sama aku. Berapa tahun umurmu, Andro? Berapa umurku? Aku cuma punya waktu sebentar lagi. Habis itu, aku sudah nggak menarik lagi buat kamu."

"Apa karena aku lebih muda aku nggak pantas jatuh cinta? Apa karena aku suka nakalin cewek lain, Mbak anggap aku nggak punya hati? Aku cuma manusia biasa, Mbak. Aku punya salah seperti orang lain. Aku juga bisa berubah seperti orang lain. Yang kubutuhkan cuma kesempatan. Kalau aku punya sedikit aja waktu, aku yakin aku bisa tunjukkan ke Mbak kalau aku juga bisa jadi laki-laki sejati. Aku bisa jadi ayah yang baik buat Patih."

Dia memijat tengkukku, melepaskan rasa nyeri yang dari tadi menggelayuti bahuku. Jarinya naik hingga ke bagian belakang kepala, memberiku pijatan pelan yang menenangkan.

"Mau kutemani tidur?" tanyanya pelan, tepay di atas kepalaku.

"Nggak," kataku cepat, mundur darinya. Aku nggak mau jatuh ke pelukannya lagi. "Aku ... Makasih, Andro. Aku ... aku ...."

Alasan apa yang bisa membuatnya pergi?

"Aku halangan." Ah, May! Kok bego ya kamu?! Masa iya tidak ada alasan lain?

Dia tersenyum. "Kubilang aku mau temani Mbak tidur, bukan seks. Mbak pikir cuma itu yang kumau dari Mbak?" Dia menelengkan kepala ke tempat tidur dan melepas ritsleting jaketnya. "Aku tahu gimana rasanya habis menghadapi hari-hari menyeramkan. Dulu, aku sering begitu. Aku pengin tidur dipeluk seseorang. Aku yakin, itu juga yang mbak inginkan."

Dia melepas jaketnya dan meletakkan dengan sembarangan di kursi kerjaku. Kaos kuningnya kusut dengan bagian lengan yang terlipat ke atas memperlihatkan otot lengan yang besar. "Aku juga pernah dipukul. Biasanya aku nggak mau sendirian karena bakal mimpi buruk. Aku yakin Mbak juga sebenarnya pengin punya teman."

Dia melepas sepatu dan kaus kakinya, meletakkan keduanya berdampingan dengan rapi di pinggir tempat tidur. Dia membuka semua bagian selimut untuk mengibaskan dua kali ke samping sebelum memasangnya lagi. Kelihatannya dia sudah terbiasa hidup sendiri dan merapikan rumahnya sendiri. Apa dia pernah dipukuli ayahnya sampai memutuskan tinggal sendiri setelah dewasa?

Dia tidak memberiku kesempatan untuk bertanya. Dia berbaring di tempat tidur, lalu menepuk bantal di sampingnya. Setelah aku berbaring dengan ragu di tempat itu, dia berbaring menyamping untuk membelai kepalaku. Belaiannya lembut membuat mataku otomatis terpejam merasakan kenyamanan yang diberikannya. Entah karena obat yang kutelan atau memang begini rasanya dibelai, aku jadi mengantuk sekali. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku dibelai begini. Ah, aku malah ragu Mama dulu punya waktu untuk membelaiku.

"Mau kuceritakan dongeng atau nyanyi aja?" tanyanya pelan. Aroma mulutnya seperti kiwi atau buah lain yang agak asam dan manis. Saat dia mengecup bibirku, bibirnya terasa dingin, basah, dan agak kecut seperti habis makan buah

"Kamu nggak sikat gigi?"

"Aku nggak bawa sikat gigi?" Dia memajukan bibir. "Aku nggak berencana menemani Mbak tidur. Kukira, lihat Mbak sebentar aja sudah cukup. Ternyata ...." dia menggigit bibir. Matanya menatapku sayu.

"Aku punya mouthwash," kataku buru-buru, tidak mau jatuh dalam suasana romantis, lalu tergoda untuk melakukannya lagi. "Kumur aja dulu sana," suruhku sambil mendorong sedikit dadanya.

Dia tersenyum lebar. Dengan cepat dia melompatiku ke kamar mandi di bagian lain kamar. Setelah selesai, dia meniup wajahku dengan aroma mint segar dari mouthwash.

"Aku nggak suka yang herbal begini. Rasa herbalnya dibuat-buat menurutku."

"Mas Roni suka. Aku beli yang dia mau. Aku nggak suka dia ngomel."

Dia diam saja. Dia berbaring di sampingku lagi dan menarikku ke pelukannya. Aroma tubuhnya membuatku merindukan yang kami lakukan beberapa waktu lalu. Dia mendesah, menyesap aroma rambutku yang masih belum sepenuhnya kering.

"Besok kita beli semua yang Mbak suka. Nggak akan ada yang ngomel kalau Mbak mau memakai apa pun yang Mbak inginkan. Aku yang jamin." Dia membelai punggungku dan mengecup kepalaku beberapa kali sebelum mengeluh dan tidur.

Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya, tapi untuk apa? Di mataku dia cuma anak kecil yang berkhayal memiliki boneka yang diinginkannya. Hanya tinggal menunggu waktu saat dia memutuskan bosan padaku dan pergi. Aku cuma ibu-ibu yang sebentar lagi akan keriput dan sama sekali tidak menarik. Dia akan melirik gadis lain yang lebih muda dan lebih menggairahkan, sama seperti Mas Roni.

***

Yaaaaa... siapa sih yang nggak meleleh digituin sama brondong tampan setelah prahara rumah tangga yang mengerikan? Apalagi cewek itu emang fitrahnya membutuhkan seseorang sebagai tempat bersandar atau sekadar dipeluk. Sekuat apa pun dia atau setajam apa pun mulutnya, tetap dia bakal senang kalau ada seseorang yang memeluknya dengan sayang.

Iyaaaa... biar kayak modelan Evangeline sama Lady Mary itu. Makanya itu Lady Mary gendakan sama bapaknya Raymond, kan?

Kalau kalian jadi May gimana?

Sekarang, kita bahas soal yang kemarin belum yaaaa... kemarin kita bahas soal tugas suami dalam rumah tangga. Sekarang kita bahas tugas istri.

Tugas istri itu cuma satu, Sayang, MEMATUHI SUAMI.

Enteng banget, ya? Cuma patuh doang. Hihihi...

Tapi, pada praktiknya ini sulit banget, terutama jika suami kita seperti Roni kelakuannya. Iya benerrr... walau suaminya kayak Roni, tetap harus dipatuhi selama dia tidak mengajak ke jalan dosa. Nggak peduli gimana sikap suaminya, kita tetap harus patuh sama titahnya. Ngeri kaaaannnn... makanya kudu milih suami yang bener jangan asal sah, jangan asal ganteng, apalagi asal pake kendaraan cakep. Aduh ... tar yang ancur masa depan kita. Huhuhu...

Banyak orang yang bilang, "Kalau suaminya macam Drey mah asyik aja ngadepinnya, kata banyak cewek yang melihat indahnya hubungan Savanna dan Drey."

Eh, nggak semudah itu, Sayang. Coba pikir, ya. Savanna itu punya selera sendiri. Dia membuang semua selera berpakaiannya demi memanjakan mata Drey yang sukanya Savanna pakai dress-dress desainer kesukaan dia. Tuh, Marly yang senang pakai batik aja disindir abis-abisan sama suaminya gegara beda selera. Tapi, mereka mengesampingkan semua selera ini demi mengikuti suami mereka.

Hal ini bukan merupakan bentuk ketidakberdayaan mereka, tapi karena mereka tahu bahwa yang perlu disenangkan adalah mata suami mereka, bukan mata orang lain. Mereka tampil untuk suami dan berdandan seperti yang diinginkan suami, bukan orang lain. Mereka mengalahkan ego agar bisa tunduk pada suami.

Sulit yaaaa? Iyaaaa... semua bakal sulit kalau kita tetap membawa keakuan dalam rumah tangga.

Savanna tuh berapa kali sih diinjek-injek sama Drey harga dirinya? Ingat kan gimana mulutnya Drey dengan lincahnya bilang "Maukah kamu jadi pelacurku?"

Saat menjadi istri Drey, dia nggak lagi mengungkit semua itu. Dia menghapus ingatannya dan benar-benar patuh pada Drey. Sebelum menikah, dia bilang, "Kapan giliran kamu ngikuti aku?"

Tapi, setelah menikah, Savanna benar-benar takluk pada suaminya. Dia menyerahkan semua keputusan pada Drey. Kalau mau, bisa saja dia protes pas diseret Drey ke sana-ke mari melarikan diri. Marly juga bisa protes nggak mau ikut ke kampung suaminya yang terpencil gitu. Tapi, mereka memilih patuh karena mereka tahu, itulah tugas istri.

Suami nyuruh nyapu, ya nyapu. Suami nyuruh nyetrika, ya nyetrika. Suami nyuruh rebahan, ya rebahan.

Inilah alasan saya pada part kemarin menulis, PILIHLAH LELAKI YANG SUDAH MATANG.

Jangan pilih lelaki yang mabok. Nanti suruhan yang diberikannya tuh yang nggak bener semua. Lelaki yang bener dan paham agama juga posisinya di dalam rumah tangga pasti nyuruh kita melakukan kebaikan. Tapi, kalau lelaki yang nggak ngerti, yang dilakukannya mah bisa nggak jelas apa dasarnya.

Sayangnya, perempuan sekarang aneh. Pas masih pacaran tuh semua aja dikasih, bahkan saat pacarnya minta kelon. Semua dilakukan demi menjaga agar pacarnya nggak lari. Tapi, begitu menikah, sibuk aja bilang "Kenapa kamu nggak hargai pendapatku? Kamu anggap apa aku?"

Kebalik, Jubaedah. Kebalik!

Bagaimana kalau sudah terlanjur memilih suami yang seperti Roni?

Jangan lakukan apa yang dilakukan May.

Ajak suaminya untuk berubah. Tapi, jangan disuruh dan jangan diperintah. Sudah menjadi kodrat lelaki untuk memerintah dan menyuruh karena dia pemimpin rumah tangga. Ini memang sudah dari sananya begitu. Justru, lelaki yang mau aja disuruh-suruh itu biasanya sudah kehilangan harga diri. Dia sudah tidak memiliki self-esteem yang baik. Orangnya pasrahan, tidak agresif, dan susah diajak berkembang ke arah yang bebas gitu.

Cara mengajak suami berubah adalah dengan istrinya dulu yang berubah. Istrinya dulu yang menurunkan suara, nggak ngomel, nggak ribut, nggak membantah, dan ngeromantisin suaminya. Nanti, perlahan suaminya bakal mengikuti, kok.

Gimana kalau kayak May? Udah diem aja, tapi masih dihajar suaminya?

May sih terlalu diam sampai dia nggak menyuarakan isi hati. Akhirnya, masalah jadi seperti api dalam sekam.

Kok jadi istri mulu yang salah?

Nggak. Istri nggak salah. Istri cuma perlu bermain cantik aja. Kalau nggak boleh memaksa, memerintah, dan mendebat suami, istri harus bisa merayu dan memanjakan suami.

Cleopatra bikin Mark Anthony klepek-klepek kejet-kejet kan bukan karena dia sok merintah-merintah Mark. Walau Cleopatra itu ratu, dia tetap bersikap lembut dan menyetir Mark dengan cara yang alussss... Cleopatra tahu kalau dikasarin, Mark ngak bakalan mau tunduk. Dialusin dong makanya. Hehehe...

Istri adalah jantung rumah tangga. Kalau istrinya bahagia, rumah tangga bakalan bahagia juga, nggak ada ceritanya istri bahagia terus ngegebukin anak. Istri bahagia kalau suaminya bisa bikin bahagia. Suami yang nggak bisa bikin bahagia harus diajari gimana caranya bikin bahagia.

Kalau bukan istri yang mengajari suami, mau siapa lagi? Pak RT? Pak RW? Mbak-mbak sebelah rumah? Cica-Cica di dinding kayak Mas roni gitu?

Dari banyak istri yang melaksanakan cara ini, 90% mengatakan suaminya mengalami perubahan drastis. sisanya nggak sabar dalam proses dan memutuskan untuk nggak melakukan perubahan lagi. Pasrah.

Perubahan memang nggak bisa terjadi mendadak dalam waktu cepat. Biasanya perubahan itu bulanan sampai tahunan, tergantung bagaimana kondisi lelakinya. Kalau lelakinya benar-benar paham agama, proses akan lebih cepat. Kalau lelakinya belum paham agama sama sekali atau masih denial sama agama, biasanya prosesnya bakal cukup panjang.

Kenapa?

Karena Kalau lelaki itu takut sama Tuhan yang nggak terlihat, berarti dia memiliki kontrol yang baik terhadap dirinya. Dia punya alasan untuk percaya dengan keyakinan penuh. Nggak perlu lagi deh kita heboh mengingatkannya untuk berbuat baik atau menjaga sumpah suci pernikahan. Lelaki yang takut sama Tuhan akan selalu berusaha agar tidak membuat marah Tuhan.

Ada yang kelihatan religius, tapi kelakuannya kayak setan.

Ya, kelihatan kok orang yang beneran takut sama Tuhan sama yang sekedarnya saja. Kita yang harus waspada dan bisa mmenilai secara objektif. Jangan asal ibadah aja. Tappi ibadah yang sungguh-sungguh. Bukan asal jungkir balik solat aja, tapi yang solatnya bisa menjaganya dari perbuatan buruk. Kalau dia solat tapi masih rajin WA yang bukan muhrimnya tanpa alasan yang jelas, bisa jadi solatnya nggak bener-bener solat. Orang yang takut sama Tuhan akan menjaga kelakuannya dengan lawan jenis.

Apa kalian siap dengan perubahan rumah tangga? Apa kalian ingin punya rumah tangga yang benar-benar penuh cinta?

Jangan jadi May yang pasrah sama kondisi rumah tangganya, ya. Jadilah seperti Karin yang terus berusaha agar suaminya mencintai dia sekalipun sebenarnya kalau dia mau bisa kok dia cari suami yang lebih baik. Ingat nggak gimana emaknya Karin mendorong Karin untuk dapat suami baru?

By the way... saya kemarin iseng banget pengin bikin cover baru buat Andro. Menurut kalian gimana? Ganti apa nggak?

Kesemutan rasanya hati saya lihat si Abang ngelihatin gitu. Wkwkwkwk...

Keputusan di kalian mau ganti apa nggak.

See you next part, Bees.

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro