Make it Out

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah kubilang, aku tidak pernah berhubungan dengan polisi. Sebisa mungkin aku malah menghindari urusan dengan polisi. Entah kenapa berhubungan dengan petugas berseragam, apalagi dengan senjata lengkap ini membuatku takut. Mungkin, karena Mama sering menakutiku sejak kecil. Mungkin juga karena aku terlalu sering menonton film di mana polisinya menembak penjahat sampai meninggal. Jadi, yang ada di otakku hanya kematian saat berhubungan dengan polisi. Sepanjang jalan, sejak turun dari mobil, aku menggandeng tangan Patih terus. Walah mulutku berkata, "Pegang Mama. Nanti kamu salah jalan," tapi sebenarnya akulah yang ketakutan. Aku yang butuh ditenangkan.

Sisi baiknya, Andro menghentikan mobilnya di seberang kantor polisi. Dia diam saja di dalam mobil itu, entah memang sengaja tidak ingin menampakkan diri atau sama denganku, takut pada polisi.

Aku iri sekali pada Karin. Walau kostumnya menurut beberapa orang yang sepemikiran dengan Mas Roni terlalu ekstrim, dia sama sekali nggak minder atau lantas membuat jarak dengan orang lain. Karin tetap tersenyum ceria dan menyapa orang-orang dengan sewajarnya. Dia berkomunikasi dengan baik sampai membuat orang yang baru mengenalnya jadi terlihat menyukainya.

"Tante Karin itu orangnya seperti kucing, ramah sama siapa aja, tapi bisa nyakar juga," komentar Patih yang dibisikkannya padaku.

Aku sangat setuju padanya. Sangat. Karin seperti kucing persia yang tidak mempermasalahkan dengan siapa dia bergaul. Bahkan dia tidak mau dipanggil "ustadzah" seperti panggilan biasa yang disematkan pada istri-istri Ustadz.

"Mulut lu enteng amat manggil gue ustadzah. Yang ustadz laki gue. Gue mah emak-emak biasa. Kagak usah pakai embel-embel segala," katanya saat pertama kali kami bertemu dulu.

Aku mengagumi segalanya dari Karin yang tidak kumiliki, bahkan suami yang begitu mencintainya. Banyak yang berjata kalau suaminya dulu miskin sekali sampai pernah jadi buruh bangunan sambil sekolah. Tapi, siapa peduli? Mereka bahagia sekarang. Hidup mereka sempurna. Kemampanan hidup sama sekali tidak menjamin kedewasaan seseorang.

Karin kembali padaku setelah berbicara dengan seorang lelaki bertubuh tegap dengan kumis mirip sisir yang seperti muncul begitu saja dari dalam hidungnya. Wajahnya cerah, kemungkinan dia berhasil bertemu dengan kapolres seperti yang dijanjikannya.

"Ayo, udah ditunggu sama bapaknya," katanya sambil mengulurkan tangan untukku.

"Aku di sini aja?" tanya Patih pada Karin.

"Lu maunya gimana? Kalau lu emang pengin ikut, ya ikut aja. Kagak ada larangan kok buat anak kecil. Cuma, entar lu kudu ngerti kalau emak lu cerita soal bapak lu."

Patih mengangguk.

"Apa nggak sebaiknya kamu nunggu di sini aja?" tanyaku pada Patih.

Dia menggeleng. "Ma, aku bisa kok jagain Mama. Aku juga bisa bantu jelasin ke pak polisinya tentang Mama. Siapa tahu Mama butuh diingetim soal apa gitu. Kan Mama suka lupa."

"Ih, masyaAllah! Anak lu pinter amat. Pengin gue ambil mantu jadinya. Lu ngaji yang bener, ya siapa tahu lu jodoh anak gue," kata Karin dengan senyum lebarnya seperti biasa saat kami berjalan ke ruangan di dekat koridor pertama.

Ruangan itu memang khusus digunakan untuk menerima tamu khusus. Sepertinya kali ini Karinlah tamu khusus itu. Di meja sudah ada beberapa gelas air mineral sebagai sajian dan senyum pak polisi yang terlihat lebar untuk kami.

Nurdin Sihab nama yang ada di dadanya, di antara simbol-simbol yang tidak kumengerti tentang pangkat dan banyak hal lainnya. Usianya mungkin sudah empat puluhan, tapi tubuhnya tegap dan ramping seperti orang yang sering berolahraga dan suka kegiatan outdoor. Dengan tubuh sebagus itu dan wajah yang cukup tampan, dia lebih pantas menjadi artis daripada polisi. Aku mungkin akan percaya kalau dia ternyata hanya artis yang menyamar menjadi polisi. Dia mengulurkan tangan padaku dan Patih, lalu menyuruh kami duduk. Sebenarnya, lebih tepat kalau kubilang "mempersilakan", tapi yang ada di kepalaku hanya kata "suruhan" saja kalau bertemu dengan polisi.

Pak Nurdin memperhatikan wajahku. "Bisa dilepas kacamatanya, Mbak?" tanyanya dengan nada bicara seperti takut menyinggungku.

Kulepas kacamataku dengan gaya biasa untuk menunjukkan kalau aku nggak takut orang lain melihat luka ini.

"Kemarin kejadiannya?" tanya Pak Nurdin yang sepertinya sudah mendapat kata pengantar dari Karin.

"Iya, Pak," jawabku tanpa keraguan. Aku sering mendengar kalau polisi didik khusus untuk melihat gelagat seseorang. Mereka bisa tahu orang yang diajak berbicara sebenarnya berbohong atau tidak.

Pak Nurdin melepaskan napas panjang, lalu bersandar ke kursi. "Ya ... ya," katanya seperti sedang menilaiku. "Ada surat dari rumah sakit? Bukan visum. Kalau visum kan harus ada pengantar dari sini. Surat bukti pemeriksaan atau hal lain sebagai penanganan pertama setelah kejadian?"

Aku mengangguk. "Ada, Pak." Kukeluarkan kertas yang diminta Karin untuk kusimpan kemarin. "Karin yang mengantar saya ke rumah sakit setelah kejadian."

"Jadi, Mbak Karin sempat melihat suami Mbak May keluar dari rumah?"

"Nggak, Pak," jawabku cepat. "Saya sempat pingsan setelah kejadian. Kepala saya sakit sekali. Waktu bangun, saya cari anak saya. Saya pikir anak saya hilang. Waktu saya ke teras, pas Karin sampai di depan rumah sama suaminya."

"Terus anaknya di mana?" Pak Nurdin melihat Patih.

"Saya sekolah, Pak. Saya pergi ke rumah teman subuh-subuh karena Papa marah-marah semalam. Saya mau ulangan. Malas kalau pagi-pagi dengar Papa marah."

Pak Nurdin tersenyum. "Pinter kamu. Kabur duluan." Lalu, dia melihat padaku lagi. "Suaminya sekarang di mana?"

Aku menggeleng dan merasa bodoh sekali. Mas Roni mengatakan pada Andro kalau dia tidak membutuhkanku lagi. Sebenarnya, istri macam apa aku ini? Apa yang sudah kulakukan sampai suamiku begitu benci padaku?

"Eh? Kok nangis?" tanya polisi itu. Dengan gugup, aku memegang wajahku. Benar, aku menangis. Aku menggeleng dan mengeringkan air mataku dengan ujung lengan cardigan.

"Apa suaminya memberikan ancaman?"

Selain perceraian? Tidak ada. Tidak ada ancaman yang lebih mengerikan dari itu.

"Mbak," kata Pak Nurdin pada Karin. "Mbak May ini didampingi aja bikin laporannya ke bagian depan. Nanti bisa langsung kami tindak kalau memang khawatir pelakunya melarikan diri."

"Aku mau jadi polisi. Aku mau jadi polisi yang saleh dan nggak suka minta-minta uang ke orang," kata Patih yang ingin sekali kutarik tangannya agar diam.

Pak Nurdin terbahak. "Bagus itu. Bagus. Harus begitu. Jadi polisi harus tegas, dekat sama agama, dan nggak main uang. Hebat itu. Kalau ketemu polisi yang suka minta-minta uang, lapor sama bapak, ya. Nanti langsung dapat sanksi profesi. Oke?"

"Nggak usah lapor, Pak. Bapak berdiri aja du jalan waktu ada razia. Bapak nggak usah pakai seragam. Nanti Bapak bisa tahu sendiri mana yang nakal dan mana yang nggak."

Bapak itubteetawa lebih keras dari sebelumnya. Matanya sampai berair kali ini.

"Anak ini kalau besar suruh jadi pengacara aja, Mbak. Pinter banget ngomongnya. Kayak itu, siapa ... keponakannya Mbak Karin yang bule itu? Yang waktu itu ketemu di Savanna. Itu kalau ngomong lancar bener."

"Siape? Archie?" tanyanya pada Pak Nurdin yang dijawab dengan tawa keras. "Itu dari janin udah drama banget, Pak. Makanya kita sayang banget sama dia. Bikin rame. Eh, ini jadi dibawa ke depan ya, Pak?" Karin melambaikan berkasnya. "Maaf, buru-buru, Pak. Emak-emak ninggal bocah banyak di rumah. Kalau kita rumpi terus, entar kagak kelar-kelar urusannya." Karin mengibaskan tangan seperti sedang merumpi di depan rumah.

Aku terus memperhatikam gerak tubuh Karin, berusaha meniru sikap ramah dan luwesnya. Dalam kepalaku terus berputar pertanyaan, apa kalau aku seramah dan seluwes Karin, Mas Roni akan bertahan? Apa dia tidak selingkuh? Apa dia akan tetap mencintaiku?

Patih menggenggam tanganku saat kami berjalan ke petugas yang dimaksud. Aku langsung duduk, tidak menoleh untuk mengucapkan terima kasih pada Pak Nurdin. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Aku seperti ingin segera menyelesaikan urusan ini, pulang, dan memeluk gulingku di kamar lagi, tempat paling aman dalam hidupku.

Petugas itu menanyakan data diri dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian. Sesekali aku menangis menjawabnya. Aku ingin sekali bisa menjawab pertanyaan itu dengan tenang seperti yang dikatakan Patih, "jawab aja kayak lagi curhat sama Tante Karin." Tapi, aku selalu menangis setiap curhat dan Karin nggak mengeluarkan suara tegas laki-laki yang mengingatkanku pada Mas Roni.

Tanya-jawab itu selesai dalam waktu satu jam. Petugas itu mengatakan sesuatu pada Karin. Aku sama sekali tidak memperhatikan. Aku memejam, menolak melihat orang di sekitarku. Ingatan tentang Mas Roni seperti merenggut semua kekuatan dan kebahagiaanku. Di dalam kepalaku memutar suara-suaranya lagi. Hardikan-hardikannya yang membuatku merasa tidak berharga juga terdengar lagi. Aku melonjak saat ada suara keras. Di koridor, saat ada polisi yang berkelakar dengan suara keras, aku menunduk, memegangi kepalaku. Kupikir itu Mas Roni yang ingin memukulku.

Karin menarikku berdiri, lalu memelukku sebentar. Dia membelai punggungku seolah aku ini anak kecil yang ketakutan.

"Lu yakin kagak apa-apa?" tanyanya setelah aku melepaskan diri.

Aku mengangguk saja, berbohong. Aku tahu aku tidak sedang baik-baik saja. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Padahal saat dipukuli Mas Roni aku tidak takut sama sekali. Kenapa sekarang aku malah begini?

Karin menggandengku ke mobil. Patih membukakan pintu mobil untukku. Sebelum masuk, aku melihat ke seberang jalan. Mobil besarnya masih di situ, menungguku. Di dalam hati aku memanggil namanya, berharap dia yang mengantarku pulang. Aku tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin bersama seseorang yang bisa melindungiku.

Namun, mobil itu melaju pelan keluar dari barisan parkir. Sebentar kemudian, mobil itu semakin cepat, menghilang di tengah keramaian jalanan Jakarta. Hatiku terasa sakit. Aku meraung dalam kesedihan yang teramat.

***

Halooo, Little Bees!

Apa kabarnya kalian?

Sebelumnya saya mau ucapin terima kasih banyak atas dukungab kalian semua sampai ke luar Wattpad. Alhamdulillah saya bisa jadi penulis terbaik di Storial dan di Cabaca untuk tahun 2020. The In Between dan Our Tangled Vow juga bisa menjadi buku terbaik di Storial dan Cabaca. Ini merupakan pemompa semangat saya. Pas lagi teler dapat kabar ini, rasanya luar biasa banget.

Terussss ...

Maaf banget ya, saya baru muncul di Wattpad hari ini. Sebenarnya, sudah dari awal Desember saya pengin aktif ke Wattpad lagi, tapi ternyata kesibukan saya mengerikan. Entahlah ... saya sebenarnya nggak enak mau izin sakit terus gini. Cuma ... ya emang beginilah keadaannya. Hehehe... badan saya kesenggol dikit udah rubuh aja. Jadinya ya gini. Kalau dulu saya bisa menghasilkan 10K-15K kata dalam sehari, sekarang mentok cuma 7500 kata. Ini cuma 3 bab. Huhuhu...

Sambil sakit, saya tetap harus kerja. Jadi, saya mengutamakan yang memang menghasilkan duit dan udah ada kontrak. Kayak di platform berbayar sama kontrak-kontrak menulis lainnya, seperti ngisi konten website, training online, ghost writer, dll.

Kenapa gini? Karena beli obat, suplemen, dan perawatan dokter itu pake duit, nggak pake kecup jauh doang. Wkwkwk...

Kesian saya ini jadi mamaknya Drey, tapi nggak pernah dikasi nafkah sama anak sendiri. Huhuhu...

Mohon doanya ya semoga tahun 2021 ini saya bisa menyelesaikan semua cerita dengan baik dan bisa menghasilkan banyak cerita baru untuk kalian. Aamiin...

Belakangan ini kami sekeluarga gak bisa cium atau ngerasain apa-apa. Bikin teh segelas pakai gula dua sendok sama sekali nggak ada rasanya. Hihihi... udah, ah. Nggak usah bilang siapa-siapa. InsyaAllah sehat, kok. Hari ini udah balik pelan-pelan indera perasa dan penciuman saya. Udah nggak numb lagi mulut saya. Mohon doanya aja ya.

Duh ... kehilangan dua indera sebentar aja rasanya gak enak banget. Lah gimana Killian yang nggak bisa merasakan apa pun selama bertahun-tahun? Pipis dan eek pun dia nggak ngerasa. Huhuhu...

Nah, kali ini kita bakal bahas tentang janji saya di part sebelumnya, gimana membesarkan anak seperti Patih?

Kunci utama dalam pendidikan anak sama dengan kunci utama rumah tangga, KOMUNIKASI.

Coba deh kalian lihat anakan-anakan bule itu. Mereka tuh kalau diajak orangtua ngomong bisa sampai ngerti gitu. Anak-anak yang pinter ngomong kayak Archie, Claire, Alice, Mila, dan yang lainnya itu udah biasa mah di sana. Soalnya di sana anak udah diajak tukar pikiran sejak bisa ngomong. Ditanya apa maunya dan dibebaskan mengungkapkan pendapat.

Beda ama di Indonesia. Kalau anak membela diri, pasti orangtuanya bilang, "Kamu itu dikasih tahu orangtua jawaaaaabbbbbb aja. Kalau dikasih orangtua itu diem. Kamu tuh nggak tahu apa-apa. Mingkem!"

Kenapa orang Indonesia begini?

Karena beginilah kita didik sejak zaman nenek moyang dulu. Kita mendapatkan didikan "anak harus diam" itu dari ortu terus ortu dapet dari ortunya lagi terus ortunya ortu dapet dari ortunya lagi. Gitu aja terus sampai 10 keturunan.

Kenapa gitu?

Karena ortunya ortu ortu moyangnya ortu itu dijajah sama orang asing. Kita didoktrin untuk melihat orang asing itu lebih mulia dari kita dan nggak boleh dibantah omongannya, sesalah apa pun. Saat kita menjadi orangtua yang notabene memiliki "kekuasaan" atas anak kita, jadilah kita pengin duduk di posisi "mulia" tersebut.

"Sekarang giliran, aku yang berkuasa. Ngoahahaha... berani anakku ngebantah aku, jadi perkedel dia. Kupijak-pijak mukaknya kayak aku dulu dipijak mamakku."

Jadilah kita memperlakukan anak kita seperti negeri jajahan.

Inilah yang dinamakan inner child, Bees.

"Utang" kita di masa lalu yang belum "dibayar" dengan maaf, jadi bagian dari diri kita di masa sekarang.

May kenapa bisa begitu terkontrol saat menangani Patih?

Karena dia sadar tentang inner child nya ini dan nggak mau melakukan hal yang sama pada anaknya agar anaknya nggak jadi sama seperti dia. Karena May sendiri belum bisa menyelesaikan masa lalunya, jadilah dia menekan perasaannya sendiri. Huhuhu...

Kasihan May itu. Semua dipendem dalam hati. Dia nggak punya tempat curhat atau meluapkan kegelisahan. Makanya saat Andro hadir, May seperti punya seseorang yang bisa memahami hal yang nggak bisa diungkapkan.

Ah... semoga May bisa bahagia ya pada akhirnya. Huhuhu...

May sudah menunjukkan tanda-tanda gangguan itu. Ada yang pernah mengalami saat tiba-tiba nangis karena ingat hal yang membuat jadi trauma? Sensitif banget gitu sampai kesenggol aja nangis kejer.

Cerita aja di sini siapa tahu bisa enteng, Bees.

See you next part ♡♡♡

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro