Step on Side

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu apa-apaan," desisku sambil mendorongnya, berusaha melepaskan diri darinya. Tentu saja tidak bisa, tidak akan bisa. Andro lengket seperti gurita. Tangannya memelukku, menggenggam dadaku dengan kuat. Satu tangannya lagi menarik bagian depan tali braku seperti tali kekang yang dia ikatkan padaku.

"Nggak akan," katanya tegas di telingaku dalam bisikan yang membuat bulu kudukku berdiri.

Tentu saja ini membuatku panik. Bagaimana kalau orang melihat kami? Bagaimana kalau tetangga kami melihat kami? Bagaimana kalau salah siapa pun yang melihat kami melaporkan kami ke Patih? Bagaimana kalau mereka berpikir hubungan kami yang membuat Mas Roni lari dari hidupku?

"Andro, please. Tolong lepasin aku."

"Apa yang kudapat, Mbak? Apa yang kudapat dari ngelepasin Mbak? Nggak ada. Cuma rasa sakit. Aku kangen Mbak. Kangen banget." Dia menciumi kepala dan bagian belakang leherku. Tangannya melingkar di perutku, lalu menyusup ke balik celanaku. Astaga! Aku merasa lemas sekali. Aku ingin menyerah di pelukannya. Aku ingin kami melakukannya saat ini juga.

Seorang ibu-ibu gemuk berhijab hijau tua mendorong trolinya ke arah kami. Dia menatap kami dengan tatapan mencela. Andro juga berpaling melihatnya. Kugunakan kesempatan ini untuk mendorongnya. Mungkin karena segan dengan ibu-ibu itu, Andro akhirnya melepaskanku. Dengan senyum lebar, Andro berkata, "Maklum, pengantin baru. Nggak bisa nahan, Bu." Dia mengucapkannya tanpa rasa berdosa sama sekali.

Ibu-ibu itu terlihat ingin protes, tapi dia memilih mengambil botol yogurt, lalu pergi begitu saja. Mungkin dia akhirnya memaklumi kami. 

"Kamu nggak ada malunya, ya?" semburku kesal sekali padanya.

"Kenapa malu? Aku sama cewek yang kucintai." Dia menggigit bibir dengan tatapan lurus padaku.

"Cinta? Andro, yang kamu rasakan ke aku tuh cuma kesenangan."

"Mbak mulai lagi." Dia memutar mata dengan kesal. "Gimana sih cara meyakinkan Mbak kalau aku tuh sayang banget ke Mbak? Aku cinta. Love. Liebe. Aime. Sebut aja! Aku benar-benar serius sama Mbak. Mbak maunya apa? Kita nikah? Ayo! Sekarang?"

"Aku masih istri Mas Roni."

"Istri?" Dia mendekat setelah mengucapkan kata itu dengan ekspresi jijik. "Mbak, dia sudah ninggalin Mbak. Dia sudah ngajak Mbak pisah pastinya. Sekarang, dia lagi senang-senang sama pelacurnya. Dia sudah lupa sama Mbak. Apa mbak masih menganggap dia suami?"

"Secara hukum dan agama, dia masih suamiku sampai kami benar-benar bercerai, Andro. Hidup ini pakai hukum. Ada yang bikin kita biar nggak liar begini."

"Padahal aku suka kalau Mbak liar." Dia menarik pinggulku lagi sampai menabrak tubuhnya. Seluruh tubuhku merinding dan dingin.

Ibu-ibu lain mendekati kami. Dia terlihat terkejut melihat kami menempel begitu. Andro melepaskanku, mendorong troliku menjauh dari rak pendingin setelah mengambilkan keju yang kuinginkan tadi. Sambil berjalan dia menarik pinggangku, menggandengku seolah kami memang benar-benar pasangan yang sering berbelanja bersama. Dia menarik daftar belanjaan yang kupegang. Bibirnya tersenyum saat membacanya.

"Persediaan pembalut? Nggak sekarang, kan?" Dia mengangkat tangan yang dipakainya menyentuh kemaluanku tadi. "Masih bersih," katanya sambil memasukkan jari tengahnya itu ke mulut.

"Kamu sinting!"

"Mbak sudah berkali-kali bilang aku sinting." Dia tertawa dan mencengkeram pantatku. Cercaan itu sama sekali tidak berarti baginya. "Asal Mbak tahu, aku ini memang sinting. Saat menyentuh Mbak, aku merasa kita berdua memang sama-sama sinting. Kayaknya, ide bagus kalau kita satukan kesintingan kita, biar Mbak tahu gimana nikmatnya nggak waras itu."

Aku menatapnya terus, mencoba menyelami pikirannya. Bibir merahnya yang terbuka memang benar-benar menjanjikan kenikmatan. Hidungnya yang berbentuk sempurna dan mulus tanpa komedo itu memberikan ketampanan yang luar biasa untuknya. Dia sosok lelaki muda yang bebas, lelaki yang tidak memikirkan masa depan. Dia merasa bisa melakukan apa saja karena belum memahami konsekuensi dari yang dilakukannya. Mungkin aku juga seperti itu dulu saat memutuskan menikah dengan Mas Roni, muda, naif, dan berpikiran pendek sekali. Jelas Andro tidak akan siap dengan komitmen. Dia tidak akan siap dengan konsekuensi atas hubungan kami.

Orangtuaku pasti tidak akan setuju sekalipun aku sudah bercerai dengan Mas Roni. Usianya terpaut jauh sekali dariku. Dia juga nggak terlihat seperti cowok matang yang siap berumah tangga dan memiliki seorang anak. Dia masih sering keluyuran dan melakukan banyak hal sendiri. Pasti nanti dia terkejut kalau harus dibebani tanggung jawab kepemimpinan rumah tangga. Untuk yang seperti Mas Roni saja akhirnya serong dengan orang lain, apalagi Andro. banyak cewek yang suka sama dia. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti dia tertarik pada salah satu cewek itu. Aku sudah tua. Sebentar lagi aku bakal keriput dan mungkin menopause. Dia pasti bakal nyari cewek lain yang lebih segar, lebih cantik daripada aku. 

Rasanya, aku tidak akan sanggup hidup seperti itu. Aku tidak akan bisa menerima perpisahan lagi.

"Andro, kamu pulang aja." Kuulurkan tangan untuk menarik daftar belanjaan dari tangannya. 

Dia menarik tangannya menghindariku. Dia berhenti mendorong troli dan melihatku. "Kenapa?"

"Aku juga mau pulang," kataku pelan, sama sekali tidak merasa nyaman. Rasanya ada yang menarik kebahagiaan dari dalam hatiku. "Aku capek," kataku lagi.

"Mbak duduk aja. Biar aku yang ambil belanjaannya." Suaranya terdengar khawatir.

Aku menggeleng. "Aku capek sama hidupku. Tolong jangan kejutkan aku kayak gini. Aku ...."

Aku melihat ke arah lain, menyembunyikan mata yang sudah berkaca-kaca. Aku jadi sangat ingin menangis. 

Dia memelukku lagi. Rasanya sehangat yang kuingat. Aku menyukainya. Aku ingin dipeluk seperti ini selamanya.

"Aku di sini, Mbak. Aku bakal dengerin apa pun yang Mbak katakan. Aku bakal jadi orang yang mencintai Mbak dan Patih. Apa pun yang Mbak mau." Dia mendekapku, memegang kepalaku dengan cara yang sangat kusuka. Jari-jarinya di sekeliling kepalaku, menyusup di antara rambutku, menekan kulit kepalaku dengan lembut. "Apa pun yang Mbak mau pokoknya. Jadi apa aja aku mau. Mbak mau cuma jadikan aku teman ngobrol juga aku mau aja. Aku nggak suka lihat Mbak kayak gini."

Kutarik tangannya agar lepas dari tubuhku. "Kalau gitu, tinggalin aku sendirian, Andro. Aku nggak mau menambah beban hidupku lagi."

"Karena status kita?" Tatapannya berubah serius, tidak ada kilatan nakal lagi dari mata cokelat gelap itu. 

"Iya. Juga karena Patih. Aku sudah berkali-kali bilang gini ke kamu. Masa kamu nggak paham-paham juga?"

"Aku nggak mau paham, Mbak. Ini nggak masuk akal. Mbak sudah berkorban banyak dalam rumah tangga Mbak. Sekarang, Mbak harus mengorbankan kebahagiaan Mbak demi Patih. Apa itu adil? Kenapa kita nggak bisa membahagiakan Patih sama-sama?"

"Karena dia sudah melihat kita begituan, Andro." Kutekan nada bicaraku serendah mungkin walau sebenarnya aku ingin menjeritinya. "Apa kamu nggak bayangkan gimana patah hatinya dia melihat ibu yang seharusnya jadi panutan malah kayak lonte gitu?"

Dia mencengkeram daguku, mendekatkan wajahku pada wajahnya yang menunduk. "Jangan bilang gitu. Kamu perempuan baik-baik, May. Kamu ... milikku."

Aku memberontak, melepaskan diri darinya. "Milikmu? Gimana aku bisa jadi milikmu? Kita nggak punya hubungan apa-apa. Aku milik orang lain, Andro."

Wajahnya bergetar, seperti ingin sekali marah. Bibir bawahnya yang lebih tebal membuka seperti orang yang ingin muntah. Dia mundur, seolah aku berhasil menusuknya dengan pedang yang tak terlihat.

"Tapi, aku cinta kamu, May. Masa ... kamu nggak kasihan sama aku?" Dia menunduk, menatapku dengan tatapan terluka. "Aku gila, May. Aku pengin sama kamu terus. Tiga hari ini aku membiarkan kamu sendirian karena kupikir kamu pengin punya waktu untuk menyendiri. Kamu butuh waktu untuk memulihkan diri. Aku sinting di rumah. Aku membayangkan kamu terus. Mau sampai kapan aku harus begitu?"

"Kamu bisa sama cewek lain."

"Apa kamu lihat aku sama cewek lain?" Dia menggigit bibir dan menggeleng. "Aku nggak bisa, May. Aku mau kamu." Dia menunduk, persis anak kecil. "Cuma kamu."

Sebenarnya, aku kasihan padanya. Mungkin saja dia kesepian. Mungkin dia memang butuh seseorang untuk mencintainya. Tapi, aku tidak mungkin membiarkannya mendekatiku. Di antara kami sudah ada aliran listrik yang kuat. Kami saling menginginkan satu sama lain. Begini saja tubuhku sudah sangat menginginkannya. Aku membayangkan bagaimana nikmatnya disetubuhi di antara rak supermarket begini. Menyenangkan. Tidak ada yang tidak menyenangkan jika bersama Andro. Aromanya saja yang begini saja sudah sangat menggoda.

Ibu-ibu tua dan cewek remaja yang menemaninya mendorong troli melewati kami. Andro menarik troliku agar tidak menghalangi trolinya. Mereka melihat Andro dan tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Cewek itu berbalik melihat Andro lagi setelah melewati kami. Melihat adegan begini saja aku sudah sakit hati sekali. Aku ingin berkata pada cewek itu kalau mata sialannya tidak boleh melihat Androku.

Androku?

Dia milikku? Bukankah aku milik Mas Roni? Pantaskah aku memilikinya?

Ah, aku juga begitu menginginkannya. Kenapa aku harus mengkhianati perasaan ini?

"Gimana kalau kita berteman?" usulku penuh dengan tipu muslihat untuk diriku sendiri. Orang tolol mana yang percaya kalau kami bisa berteman?

Andro menatapku lekat. "Caranya?"

"Caranya, kita tetap seperti ini, menjaga jarak setiap bertemu, tanpa sentuhan yang nggak perlu, tanpa seks, tanpa hal-hal yang bikin Patih nggak hormat lagi sama aku. Kita jelaskan pada Patih kalau kita memang hanya berteman. Setelah itu--"

"Kalau kamu memang benar-benar bercerai, aku akan melamarmu."

"Eh? Melamar?"

"Kalau hanya dengan nikah aku bisa dekat sama kamu tanpa kamu harus khawatir banyak hal, aku bakal menikahimu." Dia menggaruk kepala. "Sudah kubilang, kan, aku bakal melakukan apa aja buat kamu. Aku mau jadi apa aja buat kamu."

Apa aku sudah pantas merasa beruntung? 

"Kita bisa pikirkan nanti," kataku mendorong lagi troli melewatinya. "Aku mau ke kasir. Aku mau pulang. Aku stres kalau begini terus." Aku terus mengomel sambil berjalan ke kasir. 

Ini bukan aku. Siapa pun yang mengenalku tahu kalau aku tidak suka mengomel, tapi kali ini aku merasa ingin mengomel. Saat ini aku hanya ingin didengarkan. Aku begitu senang saat Andro yang berjalan di sebelahku tersenyum-senyum dengan tangan di dalam saku jaket. Dia membantuku menyusun belanjaan di meja kasir. Saat kasir dan ibu-ibu yang sedang menata belanjaan dalam kerdus di sebelahku tersenyum melihatnya, dengan santai dia berkata, "Aku pacarnya dia, soon to be." Dia berkedip saat aku melihatnya dengan kesal.

Petugas Kasir itu beberapa kali mencuri pandang pada Andro. "Nggak ada tambahan lagi, Bu?"

"Mbak," koreksi Andro dengan isengnya.

Kasir itu mengangkat alis, lalu tersenyum dengan bibir dikulum. "Semuanya tiga ratus empat puluh delapan ribu, Mbak," ucapnya lagi.

Aku mengeluarkan dompet dari tas. Andro mendorong kartu di meja kasir. Kuambil kartunya dan kukembalikan padanya. "Nggak usah. Aku bisa bayar sendiri."

"Aku mau traktir temanku memangnya kenapa?" Dia mendorong kartunya lagi di meja kasir.

Kuambil kartunya dan kubuka dompetku sendiri. Dia mendorong kartu yang lain. "Ini kartu debit, kok. Aku nggak ngutang buat traktir kamu, Mbak."

"Aku nggak mau ditraktir," jawabku sambil melotot.

Dia mengambil dompet dari tanganku, lalu memasukkan dompet itu ke celananya. Dompetku kecil, seperti dompet lelaki dengan kancing magnet, tentu saja bisa menyusup ke dalam celana jinsnya, berdesakan dengan miliknya.

"Ambil kalau mau," tantangnya sambil merentangkan tangan, membuat penjaga kasir itu juga melotot, sama dengan ibu-ibu di dekatku berdiri.

"Kamu nggak waras!"

"Udah, Mbak, proses aja kartu itu. Dia nggak akan berani ambil dompetnya," katanya dengan senyum penuh kemenangan.

Kasir memproses pembayaran dengan menggunakan kartu debetnya. Saat kasir mengembalikan kartunya, dia mengedipkan mata. "Terima kasih," katanya sambil mengangkat dua tas belanjaku dari meja kasir. Dia mengangkat dua tas belanja itu dengan satu tangan, sementara tangan kanannya merogoh ke dalam celana tanpa malu. Dia mengeluarkan dompetku.

"Kayaknya dompet Mbak senang di dalam sana," katanya dengan tatapan nakal. "Kalau Mbak mau menggantikan dompet itu juga boleh."

"Kamu tahu kan aturannya?" Aku benar-benar kesal padanya. Kesal bercampur malu pastinya.

Bagaimana tidak, orang-orang jelas melihatnya merogoh celana begitu. Apa dia tidak memikirkan yang mungkin dipikirkan orang lain?

Aku mengambil dompet dari tangannya dan buru-buru memasukkan dompet ke tas. Namun, saat aku mengambil tas belanjaan dari tangannya, dia menarik tas itu. "Aku yang bawa. Cewek nggak boleh bawa barang berat," katanya dengan ekspresi biasa.

Dia berjalan lebih dulu, tidak menggandeng atau merangkulku, sedang aku mengikuti langkah di belakangnya, agak merasa kesepian karena harus berjalan sendirian. Jika boleh, aku sangat ingin menggandeng tangannya. Dulu, Mas Roni selalu menolak saat aku meminta digandeng. Katanya, "Kayak anak TK mau nyebrang aja gandengan." Padahal, aku sangat ingin merasakan jalan di tempat umum dengan tangan bergandengan dengan orang yang kucintai.

Apa akan ada kesempatan untukku?

Di tempat parkir, Andro membawa belanjaanku berbelok ke deretan motor yang berbeda dengan deretan motorku.

"Andro, motorku di situ," kataku sambil menarik jaketnya.

"Pulang sama aku aja. Nanti aku suruh orang ambil motor mbak." Dia menunjuk motor besar warna hitam dengan garis merah yang biasa dipakainya.

"Jangan," ucapku dengan tangan terulur, meminta belanjaanku darinya. "Hubunganku sama suamiku sudah berantakan, Andro. Tolong jangan bikin hubunganku sama anakku berantakan juga. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain anak yang kulahirkan itu."

Dia diam saja, seperti memikirkan ucapanku. Kami berpandangan. Dia terlihat seperti orang yang memiliki banyak hal untuk dikatakan, tapi tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Aku juga ingin mendengar dia mengungkapkan perasaannya. Aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Kalau dia ingin aku menunggu, aku mau kok menunggunya sampai bisa mengungkapkan perasaannya.

"Andro?"

Dia terlihat lebih sedih dari sebelumnya. "Maaf," katanya sambil melepaskan tas belanjaku dan mengembalikannya ke troli. Dia menunduk seperti Patih saat melakukan kesalahan. 

Aku meninggalkannya. Aku berjalan dengan berat ke motorku sendiri. Sumpah, seandainya boleh dan aku tidak ingat bagaimana sedihnya Patih, aku sangat ingin mengajaknya ke rumah, bercinta dengannya, memuaskan hasrat yang menggebu di dalam hatiku. Setelah itu, aku ingin kami berpelukan, mengungkapkan semua sisi gelap yang kami simpan dalam-dalam.

Sayangnya, aku tidak boleh. Aku tidak boleh melakukannya.

***

Wah, kontrolnya May bagus banget, ya. Kalau cewek lain mah belum tentu bisa sekuat may bisa pulang dengan selamat walau sudah dibikin basah kuyup sama Andro begitu.

Kemarin banyak yang nanya, apa bisa hanya sekadar melihat saja bisa bikin basah kuyup?

Tentu saja bisa, Sayang.

Seks itu sensasi. Sensasi ini yang merangsang fantasi. Setelah May tahu bagaimana kemampuan seks Andro, dia jadi memikirkannya terus, kan?

Imajinasi inilah yang bikin May jadi langsung turn on saat melihat Andro, apalagi May sadsr kalau dia membutuhkan Andro, bukan hanya sebagai teman tidur, tapi teman yang sebenarnya.

Ingat catatannya Drey yang bilang kalau Savanna itu luar biasa, nggak diapa-apain lho udah basah, udah siap tanpa harus foreplay.

Ada tipe cewek yang begini. Baru lihat suami langsung siap tempur. Ada juga cewek yang harus dipanasi lebih dulu baru bisa diajak tempur. Wkwkwkwk...

Hal ini nggak berarti apa-apa, lho, ya. Nggak berhubungan sama kesuburan atau hal lainnya. Ini mah masuknya ke libido. Kalau emang si cewek tegangan tinggi, nggak diapa-apain juga gaspol aja. Hihihi...

Saya juga gitu. Pas lihat Kane langsung basah aja saya. Basahnya karena disiram sama Marly pake aer kobokan soalnya gangguin menantunya. Huhuhu...

Nah, kalau sudah tahu begini, kalau bisa buat cewek-cewek yang belum menikah, sebisa mungkin batasilah bacaan dan tontonan kalian, yak. Kalau bisa, jangan membaca yang vulgar dulu. Awalnya memang nggak terasa apa-apa. Nanti lama kelamaan bakal terasa ada dorongan untuk menyentuh kemaluan yang terangsang.

Gimana sih terangsang itu?

Kalau kalian merasa vagina kalian berkedut, basah, ada sensasi dingin yang membuat kalian ingin memegang agar vagina jadi lebih hangat. Kedutan ini bikin kalian jadi makin ingin merasakan seks. Kalau belum nikah kan bahaya. Ama siapa entar lawannya?

Cewek itu diciptakan dengan nafsu yang lebih banyak dari cowok. Tapi, nafsu cewek ini dibatasi sama rasa malu. Kalau cewek sudah kehikangan rasa malu, noh, kalian lihat yang di bokepan, dengan mengatasnamakan profesionalitas, mereka membuka vaginanya selebar mungkin di depan kamera.

Hey, Sayang! Orang yang punya malu tentu tidak akan mencari pekerjaan dengan cara seperti itu. Mending jadi pedagang onlineshop, timbang jadi bintang bokep. Iya, kan? Biar kata sehari untung 10rebu perak doang, tapi nggak perlu buka vagina begitu. Huhuhu...

"Mak, kok gitu, sih? Mereka kan manusia juga."

Jubaedah, yang bikin anak-anak banyak hancur tuh karena tingginya budaya permisif di antara kita. Karena kemanusiaan, kita jadi memaklumi pekerjaan yang bisa membawa keluarga kita pada kehancuran juga. Justru karena saya menghormati mereka dan menganggap mereka manusialah saya menulis ini. Siapa tahu ada bintang porn yang membaca ini, terus tobat, kan seneng banget jadinya.

Banyak lho bintang porn yang tobat. Masa kalian nggak seneng?

Bagaimana juga, hidup kalian cuma sekali. Sekali saja kalian hancurkan hidup kalian, selamanya kalian akan melihat kehancuran.

Alhamdulillah... sejak menulis Lee Bexter, cerita pertama saya, hingga hari ini, lumayan banyak teman-teman yang bertobat dari seks bebas yang sedang dijalani. Bukan hal yang mudah, memang, tapi merupakan suatu hal yang membanggakan untuk dilakukan.

Nggak usah merasa terlanjur, deh. Nanti kalau saatnya tiba, akan ada kok lelaki yang menerima kalian apa adanya. Asal ingat, yaaaa ... kalian juga harus bertaubat. Kalian juga harus jadi manusia yang lebih baik kalau mau punya cowok macam Galih.

Galih?

Iya. Dia menerima cewek yang nggak jelas punya anak dari siapa. Baik banget, yak. Cowok kek gini ada, kok. Ada banyak. Tinggal sekarang, kalian mau memperbaiki diri seperti yang dilakukan ceweknya Galih apa nggak. Cuma orang baik yang bisa menarik orang baik dalam hidupnya.

Udah. Segini dulu gibahnya. Saya mau pindah posisi rebahan. Capek tau telentang mulu. Mau nyoba ngetik pake posisi doggy style siapa tahu enak. Wkwkwkwk...

See you next part, Bees.

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro