Chapter 62

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Finally, Found You]
=========

Dan sekarang di sini lah mereka, memulai segalanya dari awal. Menata perasaan masing-masing--- mencoba untuk saling memahami walau menerima itu justru lebih banyak menyita rasa.

***


Author's POV

Hari ini cafe milik Hani sepi dari pengunjung. Sengaja memang, karena sekarang lagi ada jadwal reservasi dari salah satu instansi.

Sejak pagi mereka sudah sibuk mempersiapkan ini dan itu. Karena kemaren mendadak orang yang melakukan reservasi itu mengubah tema lagi untuk yang ke empat kalinya sejak kemaren.

Hani benar-benar dibuat geram, namum sekuat tenaga dia mengendalikan dirinya untuk tidak meledak. Karena orang tersebut sudah melakukan pembayaran di muka sebesar tiga kali lipat dari jumlah sebenarnya.

"Kumpul semuanya!", Hani berteriak nyaring memanggil semua karyawan kecuali orang-orang kitchen.

Saat semua berkumpul, mata mereka tertuju ke arah Hani. Wajah kaum adam di hadapannya menatap dia terpesona.

Kali ini Hani memang sengaja tampil rapi dan cantik dengan dress selutut berwana peach serta rambut yang digulung rapi ke belakang. Karena memang dia saat ini harus merangkap tugas menjadi kepala pelayan. Setidaknya dia akan menjembatani antara kepala Chef dan pengunjung. Bukannya dia tidak menolak sejak awal, namun mengingat kepala chefnya itu tipe orang yang kurang ramah, akhirnya di memutuskan untuk mengadakan peran kepala pelayan tersebut.

"Fokus! Ini pertama kalinya kita menerima reservasi. Mereka sudah bayar mahal untuk pertemuan nonformal mereka di sini. Ingat tema kali ini, makan malam di kantin ka-n-tor", Hani menekankan kata terakhir membuat sebagian karyawannya tertawa terang-terangan.

Salah satu karyawan pria langsung nyeletuk, "Kalau tema-nya makan di kantin kantor, terus ngapain dia makan di sini. Noona, Lo yakin tuh tema ngak salah?"

Perempuan itu mengangguk pasti. Sekalipun para karyawannya bicara sesantai itu, Hani tetap menjaga sikap di depan pegawainya untuk tidak ikut bicara sesantai mereka.

"Fix sudah dia pakai tema itu. Kenapa kantor? Karena dia mau suasana tertib dan tenang di kantornya itu kebawa sampai di sini. Sepertinya dia jenis atasan yang kaku. Jadi saya ingatkan, khusus buat atasannya ini--- biar saya yang handel. Well, bubar sekarang. Hwaiting!", Hani mengakhiri rapat singkat itu dan segera bersiap di posisinya.

Suara bell bergemerincing saat pintu caffe itu terbuka satu sosok wanita berkacamata tebal menghampiri Hani dengan wajah sedikit kaku.

"Anyeonghaseyo!", Sapa Hani yang dihadiahi tatapan heran oleh wanita tersebut. "Selamat datang!", barulah dia menganggukan kepala paham.

"Dengan mbak Hani?", wanita tersebut memicingkan matanya memastikan.

"Iya benar mari saya antar ke meja anda."

"Oh tunggu! Itu atasan saya tolong disambut dulu", wanita itu masuk makin ke dalam seperti memastikan semuanya dalam keadaan siap.

Mata Hani berpaling ke satu sosok saat sosok tersebut berhenti di hadapannya. Pria itu memandang Hani dari atas bawah hingga atas. Matanya sendu namun berbinar.

"Chanyeol?", Hani hampir merebahkan tubuhnya jatuh hingga satu tangan pria itu sigap menahan tubuhnya.

Pria itu menatap datar mata Hani hingga wanita yang tadi menghilang datang kembali.

"Oh! Pak sebaiknya kita duduk di tengah. Biar anak-anak di meja sisa", pandangannya turun ke tangan Chanyeol yang masih terdiam menahan tubuh Hani.

Mereka tersadar lalu memperbaiki posisi masing-masing. Hani tersenyum canggung ke wanita itu sedangkan Chanyeol memilih diam dan beranjak menuju meja yang sudah ditunjuk.

"Mbak Hani, itu pimpinan saya yang rekomendasi tempat ini buat acara kami. Namanya Chandra Yoliwantara. Orang Korea mbak cuma made in Indonesia", dia terkekeh sendiri menyadari candaannya yang agak tiba-tiba.

Hampir lima belas menit lamanya hingga tiap orang sudah bisa duduk tenang membuka buku list menu di tiap meja.

Chanyeol melambaikan tangannya ke salah satu pelayan. Namun Hani yang melihat itu justru menghampirinya lebih dulu.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?", Chanyeol menatap lawan bicara datar.

"Kenapa cuma ada lima menu? Segini aja?"

"Itu menu yang sudah di email ke saya, pak. Jadi kami menyiapkan menu yang sudah dipesankan sebelumnya"

Chanyeol hanya menggangguk pelan. Dan tolong dicatat, wajahnya masih tidak berekspresi--- dingin dan datar.

"Saya lagi ngak pengen makan beginian"

Hani mulai ketar-ketir berharap pria itu tidak memesan makanan di luar menu.

Namun harapan itu kandas saat mata Chanyeol menemukan ketakutan yang tersirat di wajah Hani. Kedua sudut bibirnya terangkat persepekian detik.

"Catat! Saya pesan nasi goreng hijau tanpa chili dengan campuran daging ayam yang sudah di potong kecil tidak lebih dari 1x1 cm. Saya alergi seledri jadi, skip.  Saya juga pesan brokoli asam manis tanpa saus tomat lalu dipanggang sepuluh menit dengan derajat panas cukup delapan puluh derajat jangan lupa saya alergi tiram. Jadi saus tiram, skip. Minuman--- saya mau jus orange, jangan manis jangan asem dan jangan hambar. Campurkan sedikit daun mint yang sudah dirajang kasar dan jangan sampai mempengaruhi esensi rasa dari jeruk itu sendiri.
Saya alergi gula sintetis. Dan terakhir--- siapkan semua dalam waktu 25 menit dari sekarang. Go!", semua mata menatap kagum rentetan panjang pesanan yang Chanyeol ucapkan tanpa jeda sedikitpun.

Hani tercengangang karena memang dia tidak sempat mencatat semua itu. Wajahnya memerah, selain malu dia sedikit takut kredibelitas cafenya bakal dipertanyakan karena pelayanannya yang mungkin berakhir buruk. Seperti sekarang.

"Mbak Hani! Saya sudah catat", wanita yang berstatus sekertaris Chanyeol itu membawa angin segar ke Hani.

Rasanya dia ingin memeluk wanita tersebut karena merasa terbantu di saat seperti ini. Hinga deheman yang berasal dari Chanyeol menghentikan senyum tulus Hani ke wanita tersebut.

"Lain kali fokus. Terpesona boleh aja. Jangan sampai ganggu konsentrasi", ucapan Chanyeol yang membuat semua mata orang di ruangan itu menatap ke arahnya.

"Kenapa?", Chanyeol balik menatap horor ke semua orang hingga semua pasang mata itu kembali teralihkan.

.
.
.

Hampir tengah malam, caffe kembali hening dari riuh pikuk acara yang mereka adakan di sana setelah acara tersebut berakhir menyenangkan dengan cara mereka.

Sebagian karyawanku masih menempati meja kosong menikmati makan malam mereka bersama anak-anak kitchen sebelum pulang.

Sedang Hani, dia lebih memilih mendekam di ruang kerjanya yang memang sengaja dia buat untuk menyimpan seluruh berkas dan barang inventaris terkait bisnis cafe miliknya.

Suara ketokan pintu menyadarkan lamunan Hani. Sesosok pria berdiri di hadapannya dengan wajah datar.

"Marah? Harusnya kamu ngak kaget dong, ngadepin aku yang kayak tadi? Kan sudah terbiasa dengan bos yang dulu."

Hani mendengus kesal di belakang meja kerjanya, "Sengaja mau bikin susah, ya. Ganti tema sampai empat kali sampai kepala Chef kami ngamuk dan anak-anak kitchen yang kena imbasnya. And the worst is you had made me down. Sikap kamu tadi buat bawahanku mikir aku atasan yang enggak kompeten."

"Did you blame me?", Chanyeol tertawa tak percaya, "Saya pelanggan loh, Han. Pelanggan adalah raja. Harusnya kamu ngak ngeluh dengan pesanan saya tadi."

"Pesanan apa yang secerewet itu. Kurang kerjaan!"

"Well, well! Just leave it. Jadi--- kekasih saya apa kabar?"

Hani terhenyak tak percaya ucaoan itu akan terlontar dari mulut Chanyeol.

"Jadi nama kamu Chandra Yoliwantara?", Hani mencairkan suasana canggung di antara mereka.

Chanyeol mengangguk pelan, "Chanyeol adalah singkatan nama dari Chandra Yoliwantara yang ayah buat saat kami di Korea. Dan Park itu marga ayah. Jadi saat di Korea namaku menjadi Park Chanyeol. Sedang di Indonesia menjadi Chandra Yoliwantara, atau singkatnya Chanyeol karena memang nama itu sendiri yang dibesar-besarkan oleh Minho. Dan akhirnya semua karywan manggil aku kayak yang Minho lakukan", Hani terperangah saat rentetan panjang ucapan Chanyeol itu terurai untuk dia.

Secercah senyum menyungging di bibir pria tersebut. Dia menatap rindu satu sosok wanita yang berdiri melihat dengan tatapan yang sama. Satu langkah dari wanita tersebut mengantarnya dalam pelukan Chanyeol.

Tangisnya pecah tak terbendung. Dekapan itu makin erat. Terasa berat rindu menguasai masing-masing dari mereka. Satu sama lain saling melepas rasa pahit yang mereka alami selama enam bulan.

Dan sekarang di sini lah mereka, memulai segalanya dari awal. Menata perasaan masing-masing--- mencoba untuk saling memahami walau menerima itu justru lebih banyak menyita rasa.

***

-tbc-
C.U 1:57

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro