Up to Eleven

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gimana rasanya sudah tidur sama aku?"

Fillany terkekeh mendengar suara serak Sven di sampingnya. Perempuan itu bergerak, memiringkan tubuh. Menatap Sven dari samping sambil tersenyum. "Memang harus seperti apa rasanya? Ya, tidur kayak biasanya aja."

Sven ikut memiringkan tubuh, lalu menatap Fillany dengan setengah mengantuk. "Iya juga. Lagian ini bukan kali pertama kita tidur berdua."

Pemuda blasteran Austria-Semarang itu mengulurkan tangan. Mengacak sejenak rambut Fillany lalu bangkit dari ranjang berseprai putih itu. Baik Sven mau pun Fillany, keduanya masih mengenakan piyama lengkap.

Bahkan semalam pun mereka sama sekali tidak bersentuhan meski harus tidur dalam satu ranjang. Sven menghela napas sambil menyibak tirai di sepanjang sisi ruangan. Semerbak wangi pantai lantas menerpa paras tampan Sven. Rambut pirangnya serempak berayun saat angin laut menyambut. "Fillany, berapa harga sewa vila ini?"

Fillany menoleh, menatap tubuh Sven dari belakang lalu bangkit dan duduk sambil mengaktifkan ponsel. "Empat juta semalam. Lupa nominal pastinya. Tapi sekitar segitu lah."

Sven terkekeh keras, lalu balik ke kasur dan memeluk Fillany dengan gemas. "Kamu memang profesional banget kalau soal cara menghabiskan uangku."

"Sebenarnya aku bisa juga bayar sendiri. Tapi please lah, kamu kan baik dan kaya. Daripada aku minta dibayarin kamar dan liburan sama cowok lain, kan?" Fillany menatap Sven dengan tegas. Mengintimidasi pemuda itu dengan tepat sasaran.

Nyatanya, Sven memang sebaik dan sekaya yang Fillany bilang. Kehilangan empat juta per malam demi villa di pesisir pantai Labuan Bajo ini tidak akan membuatnya turun kasta.

"Actually, I don't celebrate halloween. Jadi, kita mau ngapain hari ini? Kamu menyebalkan, bayarnya pakai uangku. Tapi aku bahkan nggak tahu aku keluar uang untuk bayar apa saja." Sven tersenyum sambil beranjak ke arah coffee maker di sisi ruangan.

Tapi, baru saja tangannya terjulur untuk mengambil sesendok kopi khas Waerebo dari wadah, Fillany datang menahan. "Lemme do it for you. Kamu duduk aja. Biar aku yang buat kopinya."

"Okay, then." Sven berjalan ke arah sofa, duduk mengangkat kaki ke meja sambil menyalakan TV. Sementara itu Fillany tersenyum kecut sambil menuang kopi dan gula serta menunggu air di dalam teko listrik mendidih.

"Siang ini aku mau ajak kamu keliling Labuan Bajo. Barangkali ketemu yang lucu-lucu. Malamnya, kita gala dinner di restoran. Besok, kita naik phinisi. Sailing keliling Taman Nasional Komodo." Fillany berkata dengan tenang. Suaranya anggun meski terdengar tegas. Namun begitu, ekspresinya seolah tak terbaca. "Dan jangan harap kamu bisa tebar pesona. Malam ini, kamu harus mau aku dandanin jadi vampire. Besok selama sailing, all the passangers on the boat harus pakai topeng. You know, it's halloween. If you were scary, you're good. If you were good looking, you're the worst."

Sven terbahak mendengarnya. "Kamu tahu, Filla. Aku handsome-nya paten. Nggak peduli kamu dandanin aku jadi apa, jangan pernah larang aku kalau aku tetap kelihatan ganteng."

Fillany berbalik. Dua cangkir kopi ia bawa mendekat ke arah Sven. "Whatsoever, Sir."

"By the way, cincin kamu ke mana? Kok nggak dipakai, Filla?" Sven memang terkadang begitu teliti. Pekerjaannya sebagai dokter bedah terkadang membuat dia menjadi lebih detil kepada hal-hal kecil. Seperti memerhatikan cincin emas putih yang seharusnya ada di jari manis Fillany.

Fillany menyesap kopi perlahan. Dengan tenang menjawab pertanyaan Sven. "Kusimpan. Mana ada La Llorona pakai cincin tunangan."

"Oh, God. Di antara banyak hantu yang eksis di dunia ini kenapa harus jadi La Llorona? Apa kerennya jadi setan yang nangis karena menyesal sudah bunuh anak-anaknya?" Sven tertawa sengit. Masih untung dia akan jadi vampir. Lihat saja nanti, Edward Cullen pasti kalah saing.

Tapi Fillany? Jadi La Llorona?

"Kenapa nggak dandan jadi Valak saja, Fil?"

"Kostumnya jelek. Body shape-ku yang bagus ini nggak akan kelihatan. Aku bakalan jadi setan seram, Sven. Tapi aku nggak mau jadi setan yang nggak seksi."

"Aduh, whatsoever, Fillany!"

***

Sejak lahir hingga usia 17, Sven tinggal di Salzburg. Tidak pernah ada satu hari pun di hidupnya untuk ia habiskan dalam perayaan halloween. Di saat teman-temannya keliling kompleks untuk memalak permen dari satu rumah ke rumah yang lain, Sven lebih senang berada di dalam rumah. Baca buku sambil makan pizza. Atau ketika remaja, di saat teman-temannya bersuka cita di pesta besar-besaran, lagi-lagi Sven lebih memilih di dalam rumah. Belajar dan meraba-raba alur bisnis ayahnya yang berprofesi sebagai pemasok dinamit.

Tapi mana tahu, dia kini bekerja sebagai dokter ahli bedah. Setelah menyelesaikan study di Jerman dan pada akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di tanah air sang ibu, sama sekali tak pernah Sven tahu seperti apa rasanya merayakan halloween.

Sven mendengkus. Menatap Fillany yang berjalan di depannya dengan santai. Gadis itu jalan-jalan di Labuan Bajo bak artis. Gayanya sungguh tiada banding. Tingkat kepercayaan dirinya seolah berada di atas awan. "Kamu nggak kayak biasanya, Fillany," kata Sven saat mereka berhenti tepat di sebuah toko kue.

"Nggak kayak biasanya gimana?" Fillany tak menoleh, fokus menatap warna-warni maccaroon yang terpampang di display toko.

Sven berdeham. Memindai tubuh Fillany dari atas ke bawah. Dari samping kanan ke samping kiri. "Kayak bukan Fillany yang aku kenal. Biasanya kamu nggak seheboh ini loh."

Fillany tertawa pelan sambil melepas kacamata hitamnya. "Pengen tampil beda apa salahnya. Sekarang, aku hanya ganti penampilan. Bukan gonta-ganti pasangan. Nggak dosa, kan?"

"Ya deh. Terserah kamu." Sven tidak habis pikir. Tapi tetap berpikir, kalau ada sesuatu yang berbeda di diri Fillany.

"Beliin kue itu ya, Sven. Kayaknya enak," ujar Fillany sambil menunjuk sepotong red velvet di dalam display.

"Jadi ini ya rasanya liburan halloween. Seram banget. Uangku habis buat bayarin kamu ini itu." Sven mencibir. Pemuda berusia 31 tahun itu melenggang masuk ke dalam toko. Tanpa sadar bahwa fokus Fillany sebenarnya bukan ke arah sepotong red velvet.

Gadis itu tersenyum lirih. Pandangannya melesat jauh ke dalam toko kue di hadapannya. Tepat di meja tengah, ada sepasang kasih yang sedang duduk bersama. Tersenyum bersama. Tangan yang saling menggenggam dan mata yang tak lepas memandang.

Fillany memakai kembali kacamatanya. Menyembunyikan sorot yang ia rahasiakan dari Sven.

"Gotcha! Halloween, who's gonna be the winner, hm?" Fillany membisik kepada hatinya sendiri.

***

"Sumpah demi Tuhan, ini nggak ada seram-seramnya." Sven terbahak saat Fillany selesai memakaikan riasan horor di wajahnya. "I still gorgeous."

Fillany yang masih memakai piyamanya hanya berdecak kesal. Gadis berusia 29 itu menahan kepala Sven di depan cermin. "Ini belum selesai, Sven. Butuh 2 lapis foundation lagi sampai kulitmu benar-benar seputih tembok kamar ini."

"Parah banget. Tahun depan tolong, kalau mau minta dibayarin liburan jangan ikut paket wisata pesta halloween. Honestly, it was not my cup of tea. Kamu sadar nggak sih, liburan kayak gini uangnya bisa kita pakai buat hal lain yang lebih berguna." Sven mengomel. Kesal. Sudah bayar mahal-mahal tapi apa artinya jika dia harus berbaur menikmati fasilitas di antara orang-orang yang punya cita-cita jadi mirip setan?

"Sekali-sekali. Hidupmu kebanyakan lihat organ dalam manusia. Sekali-kali kamu harus kenal dunia luar. Biar tahu rupa-rupa manusia dalam keadaan sehat." Fillany menjawab, sambil memulai membuat kulit Sven yang sudah putih jadi tambah lebih putih.

"Kamu pikir aku nggak pernah ketemu sama orang-orang yang sehat? Dokter dan perawat di rumah sakitku, memang mereka nggak sehat?"

Fillany berdecak pelan. "Terlalu sering menangani orang sakit, hanya bikin kamu percaya semua orang di dunia ini patut dikasihani dan ditolong. Kali ini, aku bakalan kasih lihat kamu tipe-tipe manusia yang pantas buat dibikin sakit, Sven."

"Asli deh! Are you the real Fillany?" Sven melotot menatap Fillany. "Something wrong with you. Kamu terdengar dan terlihat beda. Kayak bukan Dokter Fillany biasanya yang aku kenal."

"It's halloween, Dr. Sven!" Tangan Fillany bergerak terampil menyapu bibir Sven dengan lipstik berwarna gelap. "By the way, kamu bisa kan pakai gigi palsu ini sendiri?"

Oh, gosh! Sven memutar bola matanya malas, ada-ada saja Fillany ini. Setelah warna kulitnya yang sehat dibuat serupa tembok, kini dia juga harus pakai gigi taring palsu. "Aku akan pakai gigi ini sampai liburan kita di Labuan Bajo berakhir. Jaga-jaga kalau kamu nakal, aku gigit kamu detik itu juga."

Decakan malas terdengar dari bibir Fillany. Gadis itu memindai sekali lagi penampakan Sven setelah ia dandani seperti vampir. Sungguh, selain jadi dokter kandungan, gadis berusia 29 tahun itu juga yakin bakalan pro kalau disuruh jadi make up artist.

"Omong-omong, if you were really a vampire, dan kamu nggak cuma haus darah, kamu akan pilih organ tubuh manusia yang mana buat kamu makan, Sven?"

"Brain, maybe!"

"So basic." Senyum meremehkan terbit dari bibir Fillany.

"Eh, aku ini vampir baik. Jadi kalau aku harus bunuh, aku bakalan bunuh langsung pusatnya kehidupan manusia. Begitu otaknya aku makan, nggak akan ada alasan buat jantungnya berdetak lagi. So, manusia yang kubunuh nggak perlu tersiksa lama-lama."

Fillany terdiam. Gadis itu segera berbalik menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Menurutnya, Sven sudah cukup maksimal untuk terlihat seperti vampir betulan.

Sekarang gilirannya. Dia harus berubah menjadi La Llorona. Dengan gaun pengantin warna putih yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, lengkap dengan veil yang menutupi kepala, serta wedding gloves berenda putih yang membalut kedua tangan, Fillany menghilangkan senyum.

Dia mematut diri di depan cermin. Mengambil polesan ekstrem yang membuat wajahnya bak mayat yang baru saja kembali dari alam kematian. Lipstik berwarna hitam ia pilih. Gurat-gurat otot busuk ia gambar di sekitar pipi.

Totalitas.

Bagi Fillany, malam ini bukan sekedar pesta halloween biasa. Bukan sekedar mengapa ia ingin berlagak terlihat menyeramkan. Bukan tanpa alasan mengapa ia yang biasanya sangat mencintai budaya Indonesia, tiba-tiba larut dalam acara kebarat-baratan.

Menjadi La Llorona, bukan sekedar pemilihan hantu mana yang ingin ia perankan. Fillany hanya merasa, La Llorona dengan dirinya punya satu kesamaan.

Jika La Llorona berdosa karena membunuh anak-anaknya, maka malam ini Fillany juga akan membunuh ... bukan anak, tapi perasaannya.

***

Atlantis On The Rock, restoran mewah di sudut utara Labuan Bajo. Bangunan yang berada di atas bebatuan pantai itu memiliki panorama yang sangat indah. Balkon terbuka langsung menghadap lautan. Serta pencahayaan yang malam ini dibuat sedemikian misteriusnya. Tetap saja, ada sepenggal aroma romansa yang masih tersisa di sana.

Sepasang La Llorona dan vampir tampan tampak duduk di sudut ruangan. Dekorasi labu ada di mana-mana. Sosok-sosok mengerikan lalu lalang sambil membawa wine di tangan. Musik yang mengalun, adalah instrumen dengan nada yang mencekam.

Sven senyam-senyum sendiri. Tidak ia sangka, fenomena pesta halloween ini ternyata cukup menghibur. Bagaimana orang-orang itu begitu niat menjadi setan. Bahkan rela merogoh kocek puluhan juta hanya demi serangkaian acara itu.

Di beberapa sudut, hantu-hantu palsu itu terlihat sedang bercumbu dengan pasangannya. Di sudut yang lain ada yang ramai bercengkerama dengan sajian gourmet mahal. Bahkan ada sepasang sosok Jack dan Rose dalam film Titanic yang sedang berdansa di ujung balkon.

Dokter cantik yang kini berubah jadi La Llorona hanya bisa berdecak malas. Terlebih kepada sosok Jack dan Rose itu. Mata tajamnya tak lekang ke lain arah. Terpaku kepada mereka.

"Llorona, mau kupesankan makanan itu?" Sven bertanya sambil menunjuk meja di sebelahnya. Ada Anabelle dan Joker yang sedang menikmati aglio olio yang di-platting seolah keluar dari mulut monster labu utuh di atas piring.

Fillany menoleh ke samping, menatap malas pada sajian tersebut. Tapi demi hobinya yang suka menghabiskan uang Sven, ia mengangguk saja. "Aku lihat tadi ada Henri Jayer Cros Parantoux, Sven. Sekalian itu, ya!"

Mata Sven membola. Dia geram bukan main mendengarnya. "Sorry, kalau yang itu lebih baik kamu bayar sendiri, Rona hantuku yang paling cantik! Aku nggak mau menghabiskan uang 70 juta hanya buat beli sebotol minuman. Lebih baik uangnya kupakai buat mudik ke Austria."

Fillany terbahak pelan. Sven, si Dokter Bedah itu memang sangat royal, tapi masih bisa perhitungan untuk beberapa hal. "Baiklah. Pesan Nutrisari aja kalau ada. Biar kamu nggak jatuh melarat."

"Ok. Nutrisari noted."

***

Dengan alasan ingin melebur bersama para tamu di restoran itu, La Llorona dan vampir berpisah pada pukul 10 malam. La Llorona bergerak ke pinggir balkon. Sementara vampir mendekati sekumpulan pria-pria berkostum band The Beatles versi menyeramkan.

Fillany menyesap segelas wine yang ada di tangan sambil melepas pandang ke arah lautan. Tidak jauh darinya, Jack dan Rose masih bersama. Bercakap dengan intens. Diselingi skinship-skinship ringan. Menyentuh tangan, memeluk lengan.

"Aku tahu aku yang salah, Var," ucap Rose dengan sendu. Tanpa sadar bahwa Fillany ada di dekat mereka untuk menguping semua kata yang terlontar di udara.

"Ngomong apa sih, Res." Kali ini Jack yang bersuara. Mereka berdua berdiri bersampingan, bersandar kepada pembatas balkon. Sementara Fillany berdiri tak jauh dari mereka. Wajahnya yang serupa La Llorona sungguhan, membuat ekspresinya tak teraba.

"Kita udah pacaran sejak masih SMP. Punya mimpi dan cita-cita yang banyak termasuk mau menikah dan menu sama-sama. Tapi aku sendiri yang bikin semua itu hancur. Aku ninggalin kamu demi karir modelku yang bahkan sama sekali nggak bikin aku bahagia." Resara menundukkan kepala. Sedangkan pria di sampingnya yang bernama Alvary justru tersenyum lirih.

"Kamu nggak salah. Mengorbankan sesuatu demi mengejar keinginan yang lain itu wajar kok. Tapi kalau kamu nggak bahagia, itu salahku." Alvary menoleh sambil mengusap kepala Resara. "Seandainya saat itu aku udah bisa jadi sosok yang bisa kamu andalkan, sosok yang bisa memenuhi semua keinginan kamu, aku yakin kamu nggak bakalan ninggalin aku."

Fillany terbahak dalam hati. Perasaan, pasangan itu picisan sekali!

"Sekarang kita nikmati aja dulu liburan ini. Jangan mikirin apa-apa lagi, Res. Aku minta maaf karena situasinya jadi rumit gini. Sehabis ini, kamu harus janji sama aku. Jangan pernah menyesal sama apa yang udah kamu pilih. Aku bakalan tetap ada buat kamu sampai kapan pun kalau kamu kesulitan dan butuh bantuan."

Resara tersenyum kecil. Di benaknya, mekarlah sekuntum mawar penyesalan. Durinya menancap kuat di hati. Seandainya waktu bisa diputar kembali, ia akan menggenggam tangan lelaki di sampingnya. Meyakinkan diri bahwa genggaman tangan itulah definisi mimpi dan cita-cita yang paling hakiki di hidupnya.

"Aku juga minta maaf karena udah balik lagi. Kesannya, jadi kayak murahan banget kan aku. Dulu aja kamu aku tinggalin. Giliran aku lagi sedih, aku datang lagi ke kamu. Bahkan sampai kita backstreet kayak gini selama beberapa bulan ke belakang. Itu pasti bikin kamu serba salah dan susah."

Alvary berdeham lalu matanya tajam menatap lautan. "Aku memang masih ada rasa sama kamu, Res. Susah banget buat move on. Kita pacaran lama banget. Nggak mudah buat lupa."

"Kamu bilang mau ke mana sama dia pas pamit kemarin, Var?"

"Ada kerjaan ke Kalimantan. Ada site batu bara yang harus aku kunjungi. Hufh," desah Alvary. Raut tampannya akhirnya bergelombang, senada dengan resah dan bimbang yang menyerang. "Aku nggak suka jadi aku yang kayak gini, Res. Jujur aja. Makanya aku rasa kita perlu liburan kayak gini. Untuk ter ...."

"Sorry." Sosok La Llorona di samping mereka menyela ucapan Alvary. Sejoli yang sama-sama berusia 30 tahun itu menoleh bersamaan.

"Ya?" Resara menyahut. Sementara itu Alvary mengernyit heran saat telinganya menangkap suara dari sosok perempuan itu.

"Kamu punya micellar water dan tisu?" Fillany terkekeh dalam hati mendengar pertanyaannya sendiri. Hai, siapa orangnya yang bawa micellar water ke mana-mana?

"Maaf, kalau tisu aku ada. Tapi micellar water ...."

"Oh, it's okay. Aku ada kok." Fillany berbicara santai. Sekarang ada jawabannya, siapa orangnya yang membawa micellar water ke mana-mana? Dirinya sendiri. Khusus hanya malam ini saja. "Minta tisunya saja boleh?"

Resara mengangguk. Perempuan itu segera mengambil tisu dari tas tangan, lalu menyerahkannya kepada si La Llorona. "Ini."

Fillany menyeringai pelan. Lalu dia dengan santainya mengeluarkan cairan pembersih make up dari tasnya sendiri. Menyibak wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya dan tersenyum ke arah Alvary.

Suasana menjadi canggung seketika.

Apalagi saat Fillany mulai menghapus riasan di wajah tanpa melepas pandang dari arah Alvary dan Resara.

Tangan Alvary mengepal. Ia memindai sosok La Llorona itu dari ujung kaki hingga kepala. Entah kenapa, hatinya terasa sakit dan takut. Hingga akhirnya, ketakutan yang ia rasa mendapat jawabannya.

Beberapa menit setelah La Llorona menghapus riasan di hadapannya, sosok itu mengangkat wajah dengan tenang. Lalu tersenyum dengan penuh luka.

"Jadi ... lagi ke Kalimantan, ya?" Fillany menatap tepat ke arah mata Alvary yang terpaku di tempat. "Jadi pesta halloween ini site batu bara yang kamu maksud, Var?"

"Filla ...." Alvary tercekat. "Filla ... aku ...."

"Jadi ini hal urgent yang bikin sering kamu ke luar kota selama beberapa bulan ke belakang? Proyek tambang? Atau .... proyek backstreet?"

Fillany berdecih muak menatap wajah Resara. "Selingkuh sama mantan. Apalagi mantan yang dulu ninggalin kamu karena kamu dianggap nggak punya apa-apa." Kalimat pedas Fillany terlontar untuk Alvary. Namun wajahnya sengit menatap Resara. "Perselingkuhanmu sama sekali nggak berkualitas, Var."

Alvary menghela napas. Dia sadar dia memang salah. Sudah terjebak dalam nostalgia bersama mantan yang datang kembali ke kehidupan setelah ia bertunangan. Dia mencintai Fillany, tentu saja. Fillany adalah sosok yang menemani suka dukanya, yang membuatnya bangkit, hingga bisa meraih semua apa yang ia damba.

Jika ditanya cintanya sebesar apa, semesta barangkali menjadi bukan apa-apa.

Hingga akhirnya tepat setahun yang lalu, dia memutuskan untuk melamar dokter cantik itu. Menjanjikan rumah tangga yang utuh dalam cinta.

"Aku minta maaf, Fil." Alvary menghela napas. Menyamarkan nada suaranya yang bergetar. "Aku tahu kamu pasti nggak butuh penjelasan. Tapi, aku mau jangan putuskan apa-apa dulu sebelum aku cerita."

Fillany bergerak mundur sambil menggelengkan kepala. "Udah jelas kok memang. Kamu selingkuh sama mantanmu. Pamit ke sana pamit ke sini, semuanya fiktif. Kamu pikir aku bodoh ya, Var? Kamu pikir aku cuma bisa sibuk mikirin ibu-ibu hamil dan masalah kandungannya, hah? Aku juga bisa mikirin kamu yang makin hari makin aneh, Var."

"Mbak, jangan salah sangka dulu. Iya memang kami salah karena berhubungan di belakang Mbak. Tapi kita nggak akan lanjut, Mbak." Resara memberanikan diri bersuara, ingin menyelamatkan Alvary dari runtuhnya asmara bersama Fillany. "Ini trip dan pertemuan terakhir aku sama Alvary. Setelah kembali ke Jakarta, kami memutuskan akan kembali ke kehidupan kami masing-masing, Mbak."

Fillany berdecak meremehkan. "Dulu, kamu memang pacarnya Alvary. Lalu jadi mantan terus selingkuhan. Sekarang, kamu jadi perusak hubungan orang yang kalau ngomong sama sekali nggak ngotak!"

"Filla ...." Alvary maju, meraih tangan Fillany. "Iya kami memang salah. Aku tahu ini sangat fatal dan mungkin susah buat kamu maafkan. Tapi aku nggak main-main sama kamu, Fil. Aku hanya berusaha ada untuk Resara sebagai teman. Nggak lebih. Dulu memang iya, aku cinta sama dia. Tapi sekarang ...."

"Teman yang bikin kamu bohong sama tunangan kamu sendiri itu bukan teman, Var. Tapi setan!"

Resara menundukkan kepala. Nyaris pergi dari tempat itu karena mereka mulai menjadi tontonan. Namun dengan gesit Fillany mencekal. Menahan kepergian Resara sambil menyeringai pelan. "Nggak usah ke mana-mana. Kamu nggak perlu pergi."

"Mbak ...." Resara menitikkan air mata. Ketakutan, merasa bersalah, dan malu menjadi satu.

"Aku memang merencanakan perjalanan ini, Fil." Alvary membuka suara dengan tegas. "Untuk melanjutkan pertunangan kita dan membunuh masa laluku dengan Resara."

Fillany berdecak. Tangis kecewanya tertahan di rongga dada. Hanya wajah kusutnya yang memerah. Menahan gelegar kecewa, patah, dan lara.

"Bertahun-tahun aku nemenin kamu buat bangkit, Var. Tapi kamu menilai hubungan kita seremeh itu sampai bisa kamu cederai dengan bermain sama pacarmu yang dulu. Tampaknya kamu merasa ini adalah persoalan remeh yang akan lewat hanya karena aku udah membongkar semuanya." Fillany menghela napas. Lalu merogoh tas tangannya. Mengambil sebuah cincin emas putih dari sana.

Perempuan itu mengukuhkan diri. Persetan dengan diskusi bersama keluarga. Persetan dengan semuanya. Ia tidak ingin lagi melanjutkan hubungan dengan orang yang menganggapnya tidak bisa sakit dan kecewa.

"Kamu nggak perlu susah-susah membunuh perasaan kamu buat dia. Cukup ingat aja, bahwa mulai detik ini kita bukan siapa-siapa." Fillany menyerahkan cincin itu ke tangan Alvary yang bergetar.

Laki-laki itu menggelengkan kepala. Ketakutan setengah mati. Ia mencintai Fillany dengan sangat dan dia tidak ingin lagi melalui hari-hari terpuruk karena kehilangan cinta. "Fillany ... Sayang ... nggak, jangan kayak gini. Aku janji ini yang terakhir aku ketemu sama Resara. Tapi tolong, jangan kayak gini."

Fillany menghela napas. Lalu menoleh ke arah Sven yang menatapnya dari kejauhan. Tangannya terangkat, melambai memanggil Sven dengan santai hingga sosok itu mendekat.

Resara dan Alvary menoleh heran. Lalu kebingungan saat sosok vampir itu berdiri di samping Fillany dan merangkulnya dengan erat.

"Var, aku tahu kamu jalan lagi sama Resara sejak 2 bulan yang lalu. Aku kecewa dan sedih. Tapi aku bukan tipe yang sudi meratapi nasib dan sedih sendirian. So, jangan terlalu merasa bersalah. Kalian nggak perlu berpisah karena aku juga akan memutuskan buat resmi menjalin hubungan sama Sven."

Perkataan Fillany bagai tombak yang menancap di jantung Alvary. Sementara itu Sven terkekeh. Sekarang ia paham mengapa Fillany memilih liburan di Labuan Bajo dan menghadiri serangkaian acara perayaan halloween. Ternyata gadis itu sudah memiliki rencana untuk membuntuti tunangan yang sedang jalan dengan sang mantan.

Sungguh gadis picik!

Sven terbahak dalam hati.

Tapi gadis picik itu adalah gadis yang ia cintai.

Sven mengakui.

"Halo, Alvary. Saya Sven. Dokter ahli bedah, rekan kerja di rumah sakit yang sama dengan Fillany. Sekaligus, orang yang sudah beberapa kali nemenin Fillany menghibur diri saat hatinya kamu sakiti." Sven tersenyum lalu maju dan merangkul pelan tubuh Alvary yang tidak memberikan respon. Perlahan ia mencondongkan wajah, berbisik pelan tepat di telinga Alvary. "Terima kasih karena sudah selingkuh. Akhirnya, Fillany jadi buka mata untuk nggak memilih kamu."

Fillany tersenyum. Lantas menarik kembali tubuh Sven ke sisinya.

"Up to eleven. Aku udah klimaks menghadapi nostalgiamu yang nggak kelar-kelar, Var. Jadi sekarang, kita jalanin masing-masing."

"Filla ...."

"Ah dan satu lagi, kalau kamu mau selingkuh lagi suatu saat, make sure selingkuhanmu punya hal yang banyak lebihnya dibanding pasanganmu."

Fillany terkekeh. Lalu berjalan meninggalkan sudut itu bersama Sven di sisi setelah sebelumnya menggumam dengan agak keras. Sengaja, agar Resara dengar. "Jangan kayak sekarang. Dokter hebat kayak aku diselingkuhin demi model gagal."

Sven lagi-lagi terbahak dalam hati.

Paham benar sekarang. Rela-rela saja dia membayar banyak uang demi malam ini. Jika dari awal dia tahu niat Fillany adalah untuk menguak kebohongan dan berlari ke arahnya, dari awal dia tidak akan menggerutu.

Seram sekali pasti perayaan halloween tahun ini di kehidupan Alvary dan Resara.

"I love you, Fillany."

Fillany terkekeh pelan. Sedih bercampur lega.

"Sudah official boleh ngomong itu kan, ya."


FIN

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro