Bab 14. Gravi Playboy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Disti mengalihkan pandangan dari televisi. Maniknya memerhatikan Ily yang baru kembali dari belakang. Di ruang tengah hanya ada mereka berdua, Delia sudah tidur begitupun ayah dan ibu mereka.

“Dari tadi bolak-balik ke belakang mulu, ngapain, sih?”

Ily menengok lantas terkekeh. “Pipis, Mbak.”

“Beser banget.”

Komentar asal dari Disti sukses membuat dada Ily bertalu kencang. Ily merasa kakak satu-satunya itu menyadari perubahan sikap Ily. Mungkin juga menaruh curiga. Entahlah, Ily hanya menduga saja.

Disti menguap lebar. Kakaknya menggeleng kecil lalu kembali melihat layar televisi. “Mbak tidur duluan, nanti lampunya jangan lupa dimatiin, ya.”

“Siaap.”

Tak berselang lama, Ily juga masuk ke kamarnya sendiri. Menyalakan lampu kamar lalu merebahkan diri di kasur. Ily meraba perutnya. Akan sesakit apa rasanya ketika keguguran dan akan sebanyak apa darah yang keluar. Ily berharap, es tebu dan nanas yang dimakannya berhasil.

Esok harinya, ketika semua orang di rumah sudah pergi beraktivitas. Ily tengah berada di dalam kamar mandi. Bukan kram ataupun perdarahan karena keguguran, melainkan mulas. Sepertinya Ily mengalami diare. Sesaat setelah sarapan dua jam lalu, ia selalu bolak-balik duduk di kloset.

Dengan langkah lunglai, Ily menghampiri ibunya di teras. Menumpahkan segala  keluhannya pada Shinta. “Bu, perut Ily mules banget. Ily mau ke klinik ya, Bu.”

“Loh emang kenapa, kok bisa mules?”

“Ily gak tau Bu, cuma kemarin abis makan nanas. Masa gara-gara itu?”

Shinta mengangguk cemas, ia memegang bahu putrinya. “Yaudah, ayok, ibu anterin ke klinik. Biar warungnya dijagain ama tetangga sebelah.”

Ily menggeleng, “Gausah bu, Ily bisa berangkat sendiri. Ibu jagain warung aja.”

“Beneran kuat?”

“Iya Bu.”

Saat Shinta mengangguk setuju. Ily bergegas mengganti pakaian lalu mengambil tas. Ily bersyukur, semudah itu membujuk ibunya. Sekali lagi Ily beruntung. Kalau saja diare itu datang kemarin malam, pasti kakak atau ayahnya akan mengantr Ily ke klinik. Kabar buruknya, mereka pasti akan mendengar berita kehamilan Ily dari dokter yang memeriksanya.

Disinilah Ily, di Klinik yang tidak bisa dibilang begitu dekat dari rumah. Setelah diperiksa mengenai diarenya di dokter poli umum. Sekarang ini Ily sedang berada di depan ruangan dokter kandungan. Dokter yang di poli umum tadi, terus saja bertanya mengenai masalah Ily makan nanas. Akhirnya Ily berakhir di sini setelah mengakuinya.

“Antrian nomor 12, Nona Ratna.”

Ily masuk ke dalam ruangan. Dokter kandungannya laki-laki, masih muda pula. Astaga, Ily malu sekali.

“Nonka Ily 18 tahun masih lajang.” Ily balas tersenyum ketika dokter di depan Ily melempar senyum padanya.

It's okay, gapapa. Wanita hamil itu wajar, terlepas ada atau tidaknya seorang suami.”

Ily mendongak meihat ke arah wajah dokter yang Ily taksir umurnya 30 tahun. Ily bersyukur, setidaknya ia tidak mendapat tatapan sinis yang seperti dokter di poli umum tadi.

“Saya mengerti, pasti sulit menerima kehamilannya, tapi janin itu anugrah Tuhan. Percobaan menggugurkan kandungan, tanpa ada pengawasan dari dokter akan sangat membahayakan. Bukan janinnya saja, tapi keselamatan si ibu juga.

Dan Mbak Ratna beruntung, percobaan makan nanas kemarin hanya berdampak diare. Makan nanas terlalu banyak itu juga tidak baik.”

Ily menunduk, dirinya kapok makan nanas. Diare yang dirasakannya nyaris membuat Ily tidak kuat jalan karena terlalu lemas.  Menurut dokter poli umum tadi, banyak cairan yang terkuras karena diare itu.

“Kalau boleh tau, kapan terakhir haid?”

Ily mencoba mengingat, dua bulan lalu mungkin. Entahlah Ily tak tau pastinya.

“Perkiraan saya, kehamilan ini berumur enam minggu. Dijaga baik-baik kandungannya.”

“Ah, ya, saya juga minta maaf atas nama dokter Lila, jika sikapnya tadi membuat tersinggung. Istri saya, salah satu wanita yang belum dianugrahi seorang anak. Mohon dimaklumi.” Bola mata itu membulat sempurna, tersentak mendengar kalimat terakhir dokter ini.

Ily keluar dari klinik itu setelah menebus obat. Ia sedikit menjadi bimbang karena ucapan dokter Kiel tadi. Membahayakan keselamatan. Tidak semua perempuan dianugrahi anak. Namun dalam kasusnya, Ily sama sekali tak menginginkan anugrah itu saat ini. Anugrah itu tetap membawa aib bagi keluarganya. Benar. Dan Ily tetap tak akan membiarkan perutnya semakin membesar.

Ponsel Ily bergetar, satu pesan WA masuk. Ditariknya gawai hitam dari saku jaket. Dari temannya, tumben-tumben sekali mengirim pesan.

Gita: Ly, gw ama si purba lg di rmh lo nih
Gercep pulang kek, gw tunggu

Hah, Mega sama Gita ada di rumah. Mau ngapain? tanya Ily dalam hati.

“Assalamualaikum, Bu.” Shinta menjawab salam, Ily mencium tangannya.

“Gimana berobatnya tadi?”

Gadis itu tersenyum simpul. “Ratna gapapa bu, kata dokternya diare ringan aja.”

Shinta mengangguk, tersenyum sambil meremas lengan atas anaknya. “Langsung makan, abis itu minum obatnya. Oh iya, ada Gita sama Mega di dalem.”

Ily tersenyum, mengangguk lagi. “Iya Bu, tadi Gita chat Ratna. Kalo gitu Ily masuk dulu, Bu.”

Sesampainya di ruang tamu, Ily di sambut dengan gerutuan heboh Gita.

“Jarang-jarang lo sakit, Ly. Tumben.”

“Heh, dia juga manusia kaliii.”

Mega menyahut dengan nada ketusnya seperti biasa. Ily tertawa kecil. Sedangkan Gita mengangguk tak peduli.

“Lo parah banget Ly, ga pernah buka grup MIG ya? Chat gue ama purba gak pernah lo respon.”

Eh, iya juga. Sudah lama sekali Ily tak menyimak grup itu. Lebih tepatnya, Ily tak pernah ingat dan tidak sempat. Selama ini, ia kepala sudah penuh hanya dengan memikirkan masalahnya saja.

“Maaf ya, gue ... ya gitulah,” sesal Ily. Ia mengambil duduk di sofa single.

“Yaudah, entar sore lo gue jemput. Kita bobo bareng di rumah Mega. Ibu lo udah setuju, kok. Jadi gak ada alasan buat lo ngomong ga bisa.”

Jadi Gita dan Mega ke sini hanya untuk hal itu. Oh, Ya Tuhan. Sore, biasanya itu jam mual-mual Ily. Tidak, Ily tidak boleh ke rumah Mega sore-sore atau sahabatnya akan tahu keadaan dia.

“Gue berangkat sendiri aja, jangan dijemput.” Ily harap Gita mengiyakan tanpa bertanya.

“Lah kenapa?”

Ily melirik ke arah Mega, “Gue ada janji.”

“Yaudah deh,” Gita berdiri dari duduknya. “Gue ama Mega pulang dulu ya, mo nyiapin semuanya buat begadang kita nanti malem.”

Ily mengangguk. Sepeninggalnya dua gadis itu, Ily langsung masuk ke kamar. Duduk di pinggiran kasur, Ily memikirkan ulang ucapan-ucapan dokter kandungan di klinik tadi. Tangan Ily kontan memegang perutnya dari balik jaket. Enam minggu, itu berarti janinnya sudah bernyawa.

Dada Ily menyempit, seperti ada hawa panas yang menjalar saking sesaknya. Jika tetap ingin mengugurkan kandungan. Ily akan menjadi seorang pembunuh. Pembunuh darah dagingnya sendiri. Kelopak Ily terpejam, tapi dipertahankan pun tak ada untungnya.

Ily meniti lagi wajahnya yang disapu bedak dan sedikit blush on di pipi lalu mengulum bibir. Sekarang, wajahnya sudah tampak lebih segar. Dengan langkah pelan, Ily keluar dari kamar mandi masjid. Alun-alun kota saat malam pun masih tetap ramai. Keluar dari pelataran masjid, Ily hanya perlu berjalan setengah kilo untuk sampai ke rumah Mega.

“Ini malem neng bukan sore,” seloroh Gita saat membuka gerbang pintu rumah Mega.

Ily hanya memasang senyum lebar. “Maap.” Keduanya melangkah, melewati ruang tamu lalu naik ke lantai dua.

“Eh, bentar.” Gita membalik arah badan Ily, mata coklat sahabatnya lantas melebar. “Astaga! Lo pake make up. Sumpah demi apa? Ini mata gue gak lagi siwer gegara kebanyakan pake filter ig kan?”

Mega yang tadi sibuk dengan donat dan drakor, kini beralih mendekati Ily. “Lo diajarain siapa?”

“Gak ada.”

“Tapi bagus deh, tambah cakep. Nanti gebet cowo baru ya di kampus. Gravi tinggalin aja.” Mega tertawa begitu pula Gita.

Sedangkan Ily, mood baiknya malah terkikis habis setelah mendengar nama laki-laki itu. Ily jadi teringat alasan ia memakai make up hanya demi menutupi wajah lesunya. Ily mengambil duduk lebih awal di karpet depan tv.

“Kayanya ini bakalan jadi waktu kumpul yang terakhir buat kita,” Mega berceletuk menyusul Ily.

“Cuma Mega doang yang bakal keluar kota.” Mendengar selorohan Gita, Mega berseru kencang memeluk Ily juga Gita bergantian.

“Dan gue gak bakal bisa berantem ama lo lagi, Ta.” Keadaan hening. Mega kembali berujar, “Tapi it's okay. Kita bakal keluar dari kampus, kerja, dan jadi orang sukses di kemudian hari. Setuju.”

Mega menyodorkan jari kelingking dan telunjuknya ke arah Ily dan Gita. Ily menyambut uluran Mega dengan kelingkingnya, sedangkan Gita menautkan jari telunjuknya dengan mega. Terakhir, jari kelingking Ily dan Gita saling bertaut. Itu mereka sebut sebagai lingkaran persahabatan.

Di balik senyuman, dalam hati Ily bergejolak. Tak seperti Gita dan Mega, kini Ily tengah menghadapi masalah serius yang menyangkut masa depannya. Masa depan Ily benar-benar terancam saat ini.

Aku harus benar-benar menghentikan pertumbuhan janin itu, batin Ily.

***

Ily sudah mencari obat cytotec itu ke tiga apotek. Satu pun tak ada yang menjual. Ia sudah berpikir ulang untuk membeli obat dari situs online. Namun, lagi-lagi Ily ragu. Ily takut kalau obat itu tidak aman bagi penggunanya. Kalau di apotek, setidaknya ada orang yang berpengalaman di bidangnya.

Apotek terakhir yang Ily tau, dekat dengan alun-alun kota. Dia berjalan di sepanjang area pertokoan. Bangunan di kiri Ily, tertulis jelas. Apotek Genatama. Kakinya lantas menaiki anak tangga, lalu Ily masuk membuka pintu kaca. Mendekat pada kaca etalase, menunggu untuk dilayani.

Awalnya Ily tak peduli, pada sepasang pembeli di sana. Namun, perhatian Ily langsung tersedot saat telinganya mendengar dengan jelas suara familier milik Gravi.

Sesosok pria berhoodie yang ada di sana pun menoleh ke arahnya. Manik Ily memandang tak percaya, Gravi di sini bersama seorang perempuan. Yang entah siapa itu, Ily tak bisa lihat karena tertutupi oleh tubuh Gravi.

Dada Ily terasa semakin sesak saat tau bahwa perempuan tersebut membeli testpack. Apakah ini alasan Gravi tidak membalas pesannya. Dia tengah bersama perempuan yang mungkin juga bernasib sama seperti Ily. Hamil benih Gravi.

“Ily, aku bisa jelasin.” Gravi mendekat memcoba meraih pergelangannya.

Ily menggeleng, maniknya melihat ke arah wanita bermasker yang baru saja menoleh. Entah siapa dia. “Brengsek!”

Ily melupakan niatnya mencari obat itu. Dia berlari keluar. Mengambil langkah cepat di sepanjang jejeran pertokoan. Benar kata Gita, Gravi memang playboy, cowok brengsek. Harus berapa kali lagi Ily dibohongi Gravi.

“Ily tunggu! Cewe tadi Bianca, bukan siapa-siapa,” teriak Gravi dari kejauhan.

Bianca, kali ini apa lagi alasannya.

Bersambung ....

13 Oktober 2020
03.08 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro