Bab 22. Satu Atap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍Lampu kamar Gravi menyala. Ily sudah merebahkan diri di kasur sejak sepuluh menit yang lalu. Masih terjaga walau matanya sudah menutup rapat.

Suara pintu di buka, Gravi menyusul masuk ke kamar. Mematikan lampu, lalu dengan santainya tiduran di kasur. Tepat li‍‍‍‍‍‍‍‍ma menit setelahnya, Ily terjaga. Tangan Ily meraba sekitar dan berakhir di wajah Gravi.

"Gra."

Lelaki itu cuma bergumam samar menjawabnya. Menyingkirkan tangan Ily dari wajah lalu menguap sekali. Keliatannya Gravi memang sudah bersiap untuk tidur.

"Nyalain ya, lampunya. Aku gak bisa tidur kalo lampunya mati."

Hening sesaat. Ily memanggil nama Gravi lagi, memastikan kalau laki-laki itu belum terlelap.

"Iya, Ly."

Walau samar, Ily melihat Gravi bangkit dari tidurnya, menekan saklar lampu di dekat pintu. Dalam sepersekian detik, lampu menyala. Ruangan kembali terang.

"Makasih," tukas Ily saat Gravi kembali mengistirahatkan tubuhnya di ranjang.

Baru saja hendak masuk ke alam mimpi. Ily terbangun lagi karena ingin buang air kecil. Dengan segera ia berlari menuju kamar mandi. Dalam hati ia berteriak kesal, ritual bolak-balik ke kamar mandinya akan segera di mulai.

Gravi yang memang tak bisa tidur karena lampu menyala tentu menyadari gelagat Ily. Gadis itu memilih tetap bungkam. Mengabaikan Gravi yang sejak tadi memerhatikan dalam diam.

"Ly, kenapa bolak-balik mulu?" Akhirnya Gravi bertanya juga.

"Pipis, Gra. Semenjak hamil aku jadi beser, apalagi kalo malem gini."

Dari posisi telentang, Ily memiringkan badan ke arah Gravi. Meneliti lekuk wajah lelaki itu dari samping. "Kamu gak bisa tidur gara-gara lampunya nyala, ya."

Memiringkan badannya, Gravi tersenyum lantas menjawab, "Gak masalah, aku temenin kamu begadang."

"No no no."

Ily bangkit dari tidurannya. Menuju ke ransel yang ada di dekat lemari dan mengeluarkan sesuatu dari sana.

"Tadaaa." Ily melambaikan selembar kain di depan wajah Gravi.

"Hmm, buat apa masker kain?"

Ily menggeser duduk mendekat pada kepala Gravi. Meletakkan kainnya pada mata sipit suaminya lalu mengaitkan kedua tali masker ke telinga lelaki itu.

"Gimana, udah gekap kan?"

Gravi bergumam, "Lumayan."

Ily tetap tesenyum walau Gravi tak bisa melihatnya. "Iya dong, Ily gitu loh."

"Iyalah, ya udah cepet tidur. Kamu juga butuh istritahat."

Gadis dengan baju tidur satin bewarna meran maroon tersebut merebahkan diri di samping Gravi. Mungkin mulai malam ini, dirinya akan tidur dengan normal. Tanpa perlu menagis setiap malam lagi.

Pagi harinya di apartment Gravi

Tangan lelaki itu berulang kali mengetuk pintu kamar dengan cemasnya sambil terus menyebutkan nama Ily. "Kenapa lama banget?"

"Buka aja," teriak Ily dari dalam kamar.

"Kenapa lama?" Gravi bertanya lalu mencari sesuatu di dekat meja yang penuh dengan buku-buku tebal.

Bukannya menjawab pertanyaan sederhana Gravi. Ily malah terisak menangis. "Sakit, Gra," keluh Ily.

Dahi lelaki itu mengernyit, "Sakit, apanya?"

Gravi berbalik, meninggalkan meja. Berdiri di depan Ily. Sedikit ragu, ia menyentuh satu bahu bergetar perempuan itu.

"Dada aku sakit," sambung Ily.

"Sesek? Kamu punya asma?"

Ily menggeleng kecil, menunduk dalam. "Nenennya."

Gravi mengembuskan napas pelan lalu duduk di pinggiran kasur, tepat di sisi ily. "Apa yang kamu rasain?"

"Putingnya gatel, tapi kalo digaruk sakit. Terus nyeri juga dua-duanya."

Ily menempelkan punggung ke kasur. Dia menangis dalam kebisuan, menggigit bibirnya pelan. Sedangkan Gravi, hanya diam melihat Ily yang terisak.

"Mending kamu keluar aja, Gra. Gak usah liatin aku gitu. Keluar sana!"

"Aku cuma mau nemenin kamu doang, Ly."

"Keluar Gra, keluar! Aku gak mau diliatin kaya gitu," sahut Ily tersungut-sungut.

Gravi berdiri, beranjak meninggalkan kamar. Ketika terdengar suara pintu ditutup. Ily menangis meloloskan suara yang sejak tadi tertahan. Kedua tangannya memukul-mukul kasur juga meremasnya kuat.

Semalam ia tidak bisa tidur karena terus bolak-balik ke kamar mandi. Ketika sudah mulai tertidur. Ia mslah terbangun, merasakan nyeri di kedua payudaranya.

"Aaargh" teriaknya lalu menangis.

Coba aja aku gak hamil. Semua ini gak akan terjadi. Dan aku gak perlu merasakan semua kemalangan hidup ini.

Menangis terus, tangan kiri Ily meraba, meraih guling untuk menutupi wajahnya. Gravi yang sejak tadi mengetuk meminta izin masuk. Akhirnya membuka pintu juga.

"Ly, aku bawa air dingin. Dikompres bisa ngeredain nyerinya, tadi aku baca artikel di hellosehat gitu."

Karena perempuan itu diam saja. Gravi menarik guling yang menutupi wajah Ily. "Jangan nangis Ly, aku di sini sama kamu. Kamu gak sendirian."

"...."

"Ya, jangan nangis," bujuknya dengan lembut.

Gravi mengulurkan tangan pada Ily. Perempuan dengan rambut panjang itu menyambutnya, bangkit dari posisi telentang.

"Dikompres ya, aku mau keluar cari makanan buat kita sarapan." Ily mengangguk.

"Kamu pengen makan apa?" sambung Gravi.

Ily, sedang tak ingin apa-apa saat ini. "Terserah kamu aja, Gra."

"Yaudah, aku keluar dulu."

Ily melakukan apa yang Gravi sarankan. Mengompres payudaranya dengan air dingin. Suhu rendah air itu ternyata cukup ampuh meredakan nyerinya.

Ting Tong

Bel apertment bunyi. Kalau orang di depan sana Gravi. Lelaki itu tentu tak perlu memencet bel bhkan. Ily mengancingkan kemeja putihnya. Bergegas menuju ruang tamu. Mengintip dari lubang pintu.

Halim.
Begitu pintu terbuk. Halim melempar senyum lebar pada Ily.

"Selamat pagi, penganten baru."

Halim terkekeh kecil lalu menerobos masuk. Kemudian duduk di sofa. Padahal Ily belum mempersilahkan.

"Gravi ke mana? Kenapa bukan dia yang buka pintunya?"

Duduk berhadapan dengan Halim. Ily lantas mejawab, "Gravi keluar beli sarapan."

"Yaah, sayang banget. Padahal gue ke sini pagi-lagi udah bawa makanan."

"Makanan?"

Kepala Halim mengangguk. "Hu'um, buatan mama. Mama juga yang nyuruh gue buat nganterin ini."

"Oiya, gimana hari pertama lo di sini?"

Ily mengernyitkan dahi. Apa maksudnya.

"Lo betah gak? Nyaman gak? Secara ini apartment bukan rumah yang terbuka. Susah buat akses keluar, kudu jalan lama. Naik turun lift dulu."

"Karena daripada mall. Lo lebih suka tempat kaya sawah, kebon bunga gitu 'kan?"

Ily terkekeh, memukul pelan bahu Halim. "Bukan kebon! Padang rumput sama taman tau."

Halim memang benar. Eh, tunggu sebentar. Tau dari mana dia tentang tempat favorit Ily.

"Kok tau?"

Halim mengangkat dagu tinggi dan tersenyum lebar. Kedua tangannya menepuk dada lalu berujar, "Oo, ya iya dong. Abang Halim gitu loh, apa sih yang gak dia tau."

"Betah gak di sini?" serobot Halim lagi.

"Ya, harus betah. Kan satu-satunya tempat tinggal yang Gravi punya di sini."

"Ih, istri idaman." Keduanya terkekeh karena ucapan Halim.

Ily sudah biasa mendengar ucapan manisnya itu. Halim sekilas memenag mirip seperti buaya. Dia suka melempar kalimat manis, tapi bukan untuk merayu, hanya sekadar bergurau.

"Tempat Gravi gak cuma di sisni, kok. Rumah kemarin itu juga rumah Halim. Mama ngajak kamu tinggal di sana."

Ily memang tidak terlau suka tinggal di apartment. Tawaran tinggal di rumah besar itu. Ily tentu mau, sangat malah. Hanya saja Gavi mau atau tidak. Itu yang jadi masalahnya.

"Kalo lo mau, bujuk Gravi, ya. Pintu rumah selalu terbuka buat lo sama Garvi."

Ily mengangguk merespon ucapan Halim. Sepanjang percakapan di sana, hanya Gravi yang aktif bicara ini dan itu. Sejak tadi Ily cuma mengangguk, tesenyum mengiyakan.

"Semoga aja deh, adik ipar suka masakan mama." Halim ini memang sangat cerewet untuk ukuran laki-laki. Dan Ily selalu dibuat tertawa oleh kecerewetanya.

"Oh iya, kelupaan." Gravi menepuk pelan dahinya. "Titipan mama yang dikresek ketinggalan di bagasi. Mau gue ambil tapi mager banget."

"BTW Ly, umur kehamilannya berapa minggu?"

"Sembilan."

Halim mengangguk lalu kembali berkata, "Mama lusa ke sini, ngajak lo uat ngecek kandungan. Gak boleh nolak."

Suara kunci fingerpint menarik perhatian dua orang di sana. Gravi sudah kembali. Ily harap suaminya tidak salah paham dengan kedatangan Halim ke sini.

klik

Pintu terbuka, lelaki berhoodie itu termenung di ambang pintu. menutup pintu perlahan, matanya menatap Ily dan Halim bergantian. Baru hendak melangkah, tapi Halim sudah lebih dulu bangkit dari duduknya.

"Bro, mama nyuruh gue nganterin sarapan. Sama bingkisan cemilan sih sebenernya. Tapi ketinggalan di mobil."

Halim meraiih gagang pintu. "Nanti gue balik lagi, bukain pintunya, ya."

Ruangan senyap, Ily diam begitu juga Gravi. Lelaki itu melangkah, lantas duduk di sofa dan meletakkan kresek belanjaan di meja, tepat di samping rantang plastik yang Halim bawa.

"Dari kapan dia dateng?"

"Baru sepuluh menit yang lalu."

"Lain kali kalo dia yang dateng, jangan dibukain pintu."

Dengan entengnya Gravi berbicara seperti itu. Hei, bukan hal baik memperlakukan orang seperti itu. Lagi pula ini Halim, saudaranya sendiri. Kenapa Gravi begitu anti. Padahal Halim tidak berniat jahat apa pun.

"Gak bisa gitu dong, Gra. Ini Halim, bukan orang asing."

"Buat aku dia bukan siapa-siapa, cuma orang lain," jawab Gravi ketus.

Ily terdiam sejenak, lalu mengangkat wajahnya. "Tapi te-"

"Kenapa?" sela Gravi. "Dia bukan orang lain kan buat kamu. Dia spesial."

"Bukan gitu, Gra. Halim tadi ke sini, karena perintah ibu kamu."

Gravi tersenyum miring. "Aku gak pernah suka ya, kamu deket sama laki-laki itu."

Bel berbunyi lagi. Kali ini Gravi yang membuka pintunya. "Buat calon dede bayi dari calon nenek."

Di depan sana Halim mengangkat tinggi satu kantong kresek putih ke hadapan Gravi. Ily memilih berlalu dari sana. Ia malas berdebat lebih banyak lagi dengan Gravi.

***

Matahari tepat berada di atas kepala. Ily berlari dari trotoar sampi di lobby rumah sakit. Di belakangnya, Gravi menggerutu melihat apa yang baru saja Ily lakukan.

Ketika berdiri di persimpangan lantai satu rumah sakit, barulah Ily menghentikan langkah. Di mana ruangannya. Ily tak tahu. Gravi mencekal kuat pergelangan gadis itu.

"Kamu gak boleh lari, Ily!" bentak Gravi sedikit tertahan.

Namun, Ily nampaknya tidak mendengar. Wajah cemasnya sibuk menengok kesana-kemari. Geram, Gravi menarik Ily ke meja resepsionis.

"Permisi, Mbak."

"Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu."

"Mau tanya ruang rawat pasien atas nama bapak Dipta Waseno."

Resepsionis itu mulai mengetikkan sesuatu di atas keyboard. "Pasien bapak Dipta ada di lantai dua, kamar kenanga kelas dua."

"Terima kasih, Mbak."

Ily menurut dalam tuntunan langkah Gravi, membawanya sampai ke lantai dua. Di ujung sana ada Disti duduk di kursi depan ruang kenanga. Ily hendak berlari, tapi Gravi menahannya.

"Jangan panik Ily, tenang."

"Mbak," ujar Ily mengundang kerutan di dahi Disti.

"Gimana kabar bapak, Mbak?" Manik Ily menatap wajah kakaknya lamat-lamat, menunggu jawaban.

"Ratna mau masuk aja kalo gitu."

Disti menahan Ily. "Mbak gak tau dari mana kamu bisa denger kabar kalo bapak lagi drop. Mbak minta kamu jangan masuk dulu, takutnya bapak malah makin parah kalo liat kamu."

"Bukannya Mbak Disti sendiri yang ngabarin aku kalo hipertensinya bapak kambuh. Aku udah di sini, tapi mbak larang aku masuk."

"Hah?"

Ily menggelengkan kepala tak percaya. Mengeluarkan ponsel, menunjukkan pada Disti. Kalau dari nomernya Disti lah, kabar itu Ily dapat sejam yang lalu.

"Pasti itu ulah, Delia," ujar Disti pelan.

Ia kembali menatap sang adik, "Kamu mending pulang aja, Na."

Melangkah gontai di sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Ia sangat terpukul melihat penolakan itu. Tak ada yang menginginkan keberadaannya.

Di samping Ily, Gravi merangkul bahunya, "Gapapa Ly, Kak Disti cuma gak mau bapak makin drop karena kepikiran kamu. Dan kamu, cuma perlu tetep sehat. Itu aja."

"...."

"Jangan bikin ibu khawatir dengan keadaan kamu."

"Abis ini makan, ya? Tadi pagi kamu udah gak makan, loh."

Bersambung ....

20 Oktober 2020
06.45 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro