Bab 26. Permintaan Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍"Semangat! Selagi masih bernapas dan punya jiwa raga yang sehat. Apa pun bisa berpeluang terjadi di hidup lo."

~~•~~

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Nah, selesai deh."

Ily memandang puas pada sup jagung ekstra telur yang baru saja matang. Mematikan nyala kompor kemudian memindahkannya ke mangkuk. Berkacak pinggang, ia hanya harus membereskan semua peralatan dan wadah-wadah yang berserakan ini.

Piring sudah ditata, sup jagung, tahu, dan tempe gorengnya sudah di meja. Sip, tinggal memanggil Gravi saja. Semoga saja dia cocok dengan rasanya.

"Gra, sarapannya udah mateng."

Tak ada respon. Tangan Ily mengetuk pintu yang berada tepat di sebelah kamar Gravi. "Gra, ayo sarapan dulu. Keburu dingin nanti."

Diketuk dan dipanggilnya lagi nama Gravi. Karena tetap tak ada respon, Ily putuskan untuk membuka pintunya. Dan wah ... banyak sekali alat olahraga milik Gravi

Ini memang kali pertama Ily mengintip salah satu kamar yang Gravi sulap sebagai tempat untuk berolahraga. Dari sekaian banyak alat itu, yang Ily tahu hanya barbel, sepeda statis, dan treadmill yang kini sedang laki-laki itu pakai.

Dengan hanya menggunakan singlet dan celana hitam selututnya. Dia berlari di tempat dengan cepat. Keringat membanjiri punggung, pandangan Ily bergeser pada dua lengan Gravi. Ily baru tahu kalau di balik kaos tangan panjang yang selalu dipakainya, ada lengan berotot bersemunyi.

Seingat Ily dulu semasa SMA, otot Gravi tidak sekentara seperti sekarang. Apa yang sudah dia lakukan dengan tubuhnya itu. Astaga kemana saja Ily selama tiga minggu tinggal satu atap dengan Gravi.

"Gra!" Lagi-lagi Gravi tidak menoleh.

Ily baru menyadari ada sepasang earphone yang saat ini tengah bertengger di telinga lelaki itu. Pantas jika sejak tadi Gravi tidak menjawab seruanya. Orang yang seperti ini tak akan bisa merespon jika dipanggil.

Ily mendekat, berdiri di hadapan Gravi dengan tangan pada pinggang. Lihat itu, pelipis, leher, dada, dan perut Gravi sudah bermandikan keringat. Namun tetap dia tak mau berhenti.

Kira-kira sampai kapan Gravi akan di sini. Apa sampai siang dan sampai dia pingsan. Ya ampun Ily, yang benar saja.

Dengan wajah bingung, Gravi mematikan treadmil. Melepas earphone sembari turun dari benda tersebut. Satu tangannya mengelap keringar di pelipis.

"Ada apa, Ly?" Gadis itu menggeser langkah menjauh dari Gravi.

Jujur saja, Ily agak jijik melihatnya. Bermandikan keringat, bukan bau yang menyenangkan. Sekali pun ini Gravi, orang yang dicintainya, tapi tetap saja. Siapa yang tahan dengan bau keringat. Lagipula hidungnya tak kenal cinta.

"Mau sampe kapan di sini? Udah jam delapan, emang kamu gak laper?"

"Udah mateng makanannya?"

Kebiasaan Gravi, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain. Namun, Ily memilih tak peduli dan mengangguk kecil. "Kamu mandi dulu, bau."

Pada akhirnya, Gravi baru duduk makan di meja sesaat setelah Ily menyelesaikan suapan terakhirnya. "Gra, maaf ya kalo semisal masakan aku gak enak buat kamu."

Tangan Gravi yang tengah menyendok sup terhenti di udara. "Enak dong, kamu aja habis tuh nasinya."

Ily mengamati Gravi. Lelaki itu tak protes dengan apa yang Ily sajikan di piring. Sudah terlampau penasaran, seraya bediri Ily bertanya sesuatu pada suaminya.

"Gra, gapapa makan cuma pake itu doang?"

"Itu apa?"

Ily mengambil sebotol susu rasa choco banana yang kemarin di belinya. "Makannya cuma pake tempe sama tahu."

Lalu duduk lagi di dekat Gravi. "Aku bisanya cuma itu, kalo kaya daging-dagingan, ayam, ikan, belum belajar cara masak yang bener dan enak."

Tangan Ily mulai membuka tutup dan langsung meneguk isinya perlahan. Namun, entah kenapa kali ini terasa begitu bebeda. Ily malah merasakan gejolak aneh di perut. Ia tau persis apa artinya ini. Seperti ada sesuatu yang hendak keluar. Astaga Ily butuh kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya.

Hoeeek

Kembung. Mual. Ah, aneh. Ily suka susu coklat pisang. Kenapa dia malah muntah-muntah sekarang.

"Sini, aku pijitin lehernya."

"Enggak," Ily menunjuk tangan ke belakang seolah ingin menahan langkah Gravi. "Kamu lanjutin aja makannya."

"Mana bisa sih, Ly. Aku makan, tapi kamunya lagi mual-mual."

Berdiri tegak, ia mendekat pada wastafel, berkumur, dan mencuci mulutnya. Ily tak mengerti, makanan seperti apa lagi yang bisa memicu mual-mual. Jadi, sekarang aroma pisang juga bisa membuat Ily muntah.

"Gra, pusing."

Pemuda itu mendekat, menarik perempuan itu keluar kamar mandi. Mengajak Ily ke sofa yang ada di ruang tengah, "Duduk sini. Aku ambilin minyak kayu putih dulu."

Dia mendudukkan diri di samping Ily. "Nih, dihirup baunya, biar gak eneg lagi."

Ily melakukan apa yang laki-laki itu suruh. Akan tetapi, sepertinya tidak banyak membantu. "Masih eneg, Gra."

Gravi memyahut botol minyak itu, duduk di karpet lantas menyuruh Ily untuk berbaring di sofa. Gravi sudah bersiap untuk memijiti kening Ily.

"Enggak, Gra." Ily menggeleng, menahan telapak Gravi yang berlumur minyak. Dahi lelaki itu mengerut.

"Aku alergi minyak kayu putih."

"Hah, kok bisa?"

Ily juga tidak mengerti jika ditanya seperti ini. Ily tak tahu darimana, dan kenapa alergi itu bisa muncul. Yang Ily tau adalah ketika itu dia masih SMP, masuk UKS karena tidak kuat mengikuti upacara MOS yang dilaksanakan dengan durasi jauh lebih lama jika dibandingkan upacara setiap senin semasa di SD. Ily masih ingat sekali, perutnya yang diolesi minyak itu keesokan harinya menjadi gatal dan merintis. Awalnya ia tak menyadari sampai di lain waktu, ketika ia menggunakan minyak angin itu lagi, bekas olesannya selalu berakhir merintis.

"Aku gak tau, tapi kalo abis pake minyak itu pasti gatel, merintis gitu."

"Pake minyak angin yang lain gapapa?" Ily mengangguk sebagai jawabannya.

"Yaudah sini, aku pijitin gausah pake minyak angin dulu."

"Gak usah dipijit." Ily bangkit dari tidurannya, ikut duduk di karpet. Menyenderkan kepala pada bahu Gravi.

"Gra, kamu mau beliin aku sesuatu gak?"

Gravi terdiam, memandang wajah Ily. Perempuan itu bertanya lagi, "Mau gak, Gra."

"Beli apa?"

"Jawab dulu, mau gak beliin aku?"

Gravi terdengar menghela napas. "Iya, mau."

Senyum manis terbit di wajah Ily. "Aku pengen yang asem-asem, pengen makan rujak bebek."

"Hah! sepagi ini? Rujak bebek mana ada di deket sini?"

"Aku tau, makanya aku tadi nanya dulu. Sama beliin minyak angin yang lain, ya." Ily mesam-mesem, wajah lemas lesunya telah pergi.

"Tapi bakalan lama, soalnya harus muter-muter dulu nyari amang yang jualan. Gapapa?"

"Gapapa dong. Semangat ya sayang."

Ily mencium sekilas pipi Gravi tapi lelaki itu menahannya dan malah mencium bibir Ily, melumat kecil lalu tersenyum lebar setelahnya.

"Genit ya sekarang, tapi gapapa. Aku suka." Gravi terkekeh kecil.

Sedangkan Ily membalas dengan tersenyum, "Kamu modus."

"Enggak dong, anggep aja bayaran buat beliin rujaknya."

"Yaudah sana." Ily mendorong Gravi menjauh darinya.

"Oke-oke aku berangkat," Gravi bediri, "tapi nanti pas aku udah dapet. Harus kamu makan loh, ya. Awas aja kalo gak dimakan."

"Siap, kapten."
.


Ternyata apa yang diperkirakan Ily meleset jauh. Sudah hampir satu jam setengah, tapi Gravi belum kembali juga. Ily kira Gravi akan kembali hanya dengan waktu kurang dari satu jam.

Ponsel di meja nakas berdering, Ily mengambilnya dan duduk di kursi belajar Gravi. Ternyata bukan ikon dua hati yang memanggilnya, Nikya si penelepon.

"Sori banget Ly, gue baru nelpon lo setelah dua minggu."

"Iya, Nik. Gapapa." Ily tahu kalau Nikya memang sibuk saat ini.

"Oiya, pas itu lo mau ngomong apa?"

"Gue pengen bangkit dari keterpurukan gue saat ini, Nik. Lo kan udah berhasil bangkit. Lo bisa keluar dari masa kelam itu, bahkan cuma sendirian. "

Ily memang selalu memikirkan ini diam-diam. "Gimana caranya, Nik? Dan apa gue bisa ngejar cita-cita lagi dengan keadaan punya anak dan suami."

Ily selalu ingin punya kehidupan sesuai dengan impian. Tapi pertanyaannya, apa Ily mampu mengejar impian sembari mengurus keluarga.

"Lo tetep bisa Ly, ngejar impian lo itu. Masih ada ibu mertua yang bakal jagain anak lo atau pake jasa baby sitter juga bisa kan? Lagian suami lo juga tajir. Pagi kuliah, terus langsung pulang buat ngurus rumah."

"Gapapa lah jadi masasiswa kupu-kupu. Yang penting dari kuliah itu lo bisa dapet jalan buat bangun mimpi, lo."

Nikya benar. Ily yakin ibu mertuanya pasti tak akan keberatan jika menjaga cucunya sendiri sementara Ily pergi kuliah.

"Semangat! Selagi masih bernapas dan punya jiwa raga yang sehat. Apa pun bisa berpeluang terjadi di hidup lo."

Ternyata benar, masalah bisa mendewasakan individu manusia. Nikya, jauh lebih dewasa pemikirannya ketimbang dirinya sendiri. Ily akui itu.

"Lo butuh support dari suami juga. Pastiin dia tahu hal ini. Yang penting, ada niat kuat dari diri lo, Ly." Nikya benar lagi, Ily harus membicarakan hal ini dengan Gravi

Pukul 11.21 WIB
Ily memegang mangkuk dan menyuap lagi makanan yang tadi pagi diidam-idamkannya. Sambil terus mamatut televisi, Ily berceletuk.

"Gra, gak ngerjain tugas? Katanya lagi banyak tugas "

"Gak ada sih, tugas aku udah selesai semua. Kemarin cuma alesan aja."

Ily menaruh mangkuk, melirik sekilas ke arah Gravi yang masih fokus melihat acara berita.

"Gra, kalo anak ini udah lahir. Aku boleh lanjut kuliah gak?" Gravi tak menanggapi topik itu, dia diam saja. Hanya melirik sekilas ke arah Ily.

"Anak kita nanti dititipin ke mama Nura. Pas pulang kuliah baru aku ajak pulang lagi ke sini. Gimana?"

"..."

Ily sedikit kesal, namun ia tak akan menyerah begitu saja. "Aku bakal langsung pulang, gak pake ikut oraganisasi atau kegiatan apa-apa."

"Gapapa kan, Gra?" desak Ily, kali ini dia mengguncang lengan Gravi.

"Graaa."

"Kita liat aja nanti, Ily."

"Loh, kok gitu?"

"Lah, terus mau gimana lagi? Kamu sekarang lagi hamil, mending fokus aja menjaga kehamilan kamu." Gravi menjelaskan dengan nada biasa saja, tapi cukup ampuh membuat Ily kesal.

"Yaudah, oke kalo gitu. Aku bakal tetep belajar sendiri di rumah sambil menjaga calon anak kamu."

Ily berlalu dari ruang tengah, masuk ke kamar. Dan membanting kuat-kuat pintunya. Gravi tak pernah bisa mengerti perasaannya. Selalu saja bersikap tak acuh.

Bersambung ....

24 Oktober 2020
10.01 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro