Bab 36. Secercah Cahaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍“Mama, Almarhum Mama Mila, dan ayah Rajendra. Kami bertiga adalah sahabat. ” Sementara Gravi memeriksa dan membaca seluruh kertas yang ada di map. Nura mulai menceritakan semua kisahnya.

‍‍‍“Mama, memiliki nasib yang sama seperti Ily. Hamil di luar nikah. Ketika itu, mama berusia dua puluh tujuh tahun. Ayah dari janin yang ada di rahim mama pergi begitu saja, dia melanjutkan studinya di luar negeri. Tak ada yang tahu kalau dia sudah mengamili seorang gadis.

Mama salah telah mencintai seorang pria dari keluarga kaya. Sedangkan Mama tidak punya siapa-siapa, karena sejak kecil mama hidup dan besar di panti asuhan. Mama tidak berani mendatangi orang tuanya.”

Ily tak bisa membayangkan bagaimana perasaan ibu Nura mengetahui Gravi kembali mengulang kesalahan yang pernah dilakukan ayah kandungnya.

“Sementara mama hamil tua. Ayah Rajendra dan Ibu Mila yang sudah menikah selama lima tahun tak kunjung diberi karunia seorang anak. Mama dulu sempat syok karena hamil anak kembar. Mama tak sanggup jika harus mengurus sendiri dua anak sekaligus. Mama tak yakin bisa memenuhi segala kebutuhan dua bayi sekaligus.

Kemudian, mama Mila dan ayah Rajendra dengan senang hati menawarkan diri untuk menjadi orang tua dari salah satu bayi kembar mama.”

Nura mengusap air mata yang meleleh di pipinya. “Mama memberikanmu pada ayah Rajendra dan Ibu Mila.”

Suasana hening, Ily juga sudah ikut masuk ke dalam suasana haru yang Nura ciptakan.

“Gravi anak kedua mama. Dan Halim, dia itu kakakmu yang lahir sepuluh menit lebih dulu dari kamu, Nak.”

Ily jadi mengerti alasan dari setiap kesabar dan ucapan lembut ibu Nura menghadapi Gravi. Semua sikap baik yang dilakukan ibu Nura pada Gravi, terasa lebih masuk akal sekarang. Bukan hanya karena wanita itu baik, melainkan karena memang dia adalah ibunya.

Disebrang Ily, Gravi menunduk sedalam-dalamnya. Merasa bersalahkah dia. Gravi memang selalu mengatakan kalimat kasar juga sinis pada ibu Nura.

“Hari itu papa keluar rumah memang untuk menjemput Mama Nura ke rumah, karena mama Mila ingin bertemu denganya. Papa menikah dengan mama Mila juga bukan karena keinginan papa sendiri. Itu keinginan almarhum Mama Mila. Mama Mila ingin, ada yang mengurus Gravi kecilnya,” ungkap Rajendra

“Kenapa papa enggak cerita?” Gravi ikut angkat bicara.

“Mamamu selalu mencegah papa mengatakannya. Tapi semalam, papa sudah tak tahan melihat sikap kurang ajar kamu itu.”

Gravi hanya terdiam, menunduk lagi. “Pa, Ma, Gravi minta maaf untuk semua sikap buruk Gravi. Gravi udah salah sangka selama ini.”

Di depan mata Ily, Gravi menghampiri ibunya bersujud di kaki ibu Nura.

“Peluk Mama, Gra. Peluk mama aja,” ujar Nura seraya berusaha untuk membangunkan putranya dari posisi bersimpuh.

Ketiganya saling berpelukan hangat. Ily tersenyum melihat itu, dia jadi teringat ayah dan ibunya sendiri di rumah. Air mata merembes, apakah ibu dan ayahnya sudah memaafkan Ily.

“Ily sini, kamu juga anak mama sama papa.”

Ily bangkit, menyambut ajakan ibu mertuanya. Kedua tangan Ily diletakkan pada bahu Gravi dan ibu Nura. Saling memeluk satu sama lain. Sepertinya secercah cahaya mulai tampak dalam perjalanan hubungannya dengan Gravi. Masa kelam mereka, sepertinya akan segera berakhir.

***

Dua minggu berlalu sejak rahasia terbongkar. Sekarang ini usia kehamilan Ily memasuki minggu ke 28. Sudah tujuh bulan. Tak banyak hal yang terjadi, semuanya berjalan dengan semestinya. Normal dan tanpa ada banyak masalah, juga tanpa kesedihan.

Ily sudah bisa menikmati kehamilannya, sudah terbiasa menghabiskan waktu di dalam apartment. Ily juga sudah memutuskan untuk fokus dulu menjaga kehamilannya. Tentang cita-cita, Ily tetap akan menggantungkannya setinggi langit. Dia akan mencari kesempatan itu jika waktunya sudah tepat.

“Gra, udah sana kamu berangkat kuliah, udha jam tujuh tuh.”

“Enggak.”

Telapak tangan Gravi masih aktif memijati kaki Ily. Akhir-akhir ini memang keluhan hamil semakin tua semakin banyak saja. Keluhan pusing, sesak itu terkadang masih sering singgah. Ditambah sekarang ini Ily sering sakit punggung dan kaki pegal-pegal.

“Kelas aku jam delapan, setengah jam lagi deh berangkatnya. Aku tau, kamu juga belum puas kan aku pijitin.”

Gravi tak penah lagi berangkat kuliah pagi sekali atau pun pulang tengah malam. Dia sudah tidak lagi bekerja malam di bar atau pun mengantar koran di pagi harinya. Bukan dia berhenti karena kemauannya sendiri, tetapi karena itu adalah perintah dari Rajendra. Sebagai gantinya, Rajendra kembali mengirimi uang setiap bulannya untuk biaya hidup mereka berdua.

Ily memandang wajah Gravi dari samping. Walau terkadang lelaki itu masih selalu mengutamakan kuliah diatas segalanya, Ily mencoba memahami itu. Gravi memang tetap tidak pernah berubah sejak dulu. Pendidikan adalah hal nomor satu bagi Gravi.

Pukul 16.37 WIB
Ily menekan-nekan, menggeser layar ponsel. Ibu jarinya berulang kali mendekat lalu menjauh dari layar ponsel. Maniknya menatap lama nama kontak yang tertera.

‘Ibu’

Menggigit bibir ragu, haruskah Ily menelpon ibunya. Seminggu lalu, ia diberitahu Kak Disti nomor dan ponsel baru ibunya. Itu pun karena Delia terus saja merengek meminta dibelikan ponsel.

Ily tersenyum samar, sejak pindah ke apartment Gravi. Ponselnya jarang sekali Ily gunakan. Jika dulu harus menunggu Delia selesai main game baru Ily bisa memakai ponselnya. Sekarang, benda ini malah menganggur sepanjang hari. Baiklah, tidak ada salahnya bagi Ily untuk mencoba menelpon ibunya.

Nada sambung terdengar. Tak perlu menunggu lama, panggilan Ily diangkat.

“Halo, ini siapa?”

Delia yang mengangkat telponnya. Adiknya itu, bagaimana keadaan dia sekarang. Ily ingin sekali bertemu.

Halooo

Ily menarik napas. “Halo, Delia. Coba tebak ini suara siapa?”

“Mbak Ratna ....”

“Yeaay betuul, seratus buat Delia. Besok kalo Mbak Na bisa ke rumah. Mbak Na bawain Ratna coklat.”

“Mbak kapan ke sini? Delia kangen.”

“Siapa itu Delia?”

Suara lain terdengar menyahut, menginterupsi percakapan keduanya.

“Mbak Ratna, Bu.”

Ibunya, Ily rindu sekali dengan wanita itu.

“Ratna, Nak. Gimana kabar kamu? Ibu kangen, nduk. Kenapa gak pernah main ke rumah ibu?”

Ily diam, dia menangis menahan sekuat tenaga suaranya agar tidak terdengar. Apakah ini berarti ibunya sudah bisa memaafkan Ily.

“Ratna ... kenapa diem, nduk?”

“Ibu ... ibu udah maafin Ratna.”

“Ibu memang marah sama Ratna, tapi ibu gak pernah bisa enggak memaafkan kamu. Sampai saat ini bagi ibu, Ratna masih tetap jadi Ratna yang dulu. Anak kebanggaan ibu. Apa pun keadaan Ratna sekarang.”

Ily tak kuasa menahan isak tangis. Lega rasanya mengetahui bahwa ibunya sudah memaafkan dia.

“Ibu pengen ketemu kamu, Na. Kapan bisa ke sini lagi?”

Dengan tagi Ilu berkata, “Bapak gimana, Bu?”

“Biarin aja, Na. Ibu gak akan biarin bapak kamu ngusir kamu lagi. Main ke rumah, ya Ratna, ibu pengen ketemu.”

“Iya, bu besok sore Ratna ke rumah.”

Iya, Na. Ibu tungguin kamu. Ibu tutup dulu, ya, ada orang beli.”

Ily bersyukur dalam hati, semua perlahan akan kembali. Ily yakin itu. Ibunya bahkan sudah mulai memaafkan Ily.

***

“Ly, istirahat yang cukup. Nanti malem kita jadi beli perlengkapan bayi. Mama juga mau ikut.”

Ily mengangguk sambil mengunyah makanannya. Gravi pamit berangkat kuliah, kemudian berlalu dari meja makan.  Sepeninggal Gravi, Ily menyudahi sarapan. Rasa sakit di kepala bercampur pusing membuat selera makan Ily lenyap seketika.

Membereskan semua peralatan makan, ia bergegas kembali ke kamar. Hari ini, entah udara yang memang dingin atau Ily yang kurang enak badan. Ia hanya ingin menghangatkan diri di balik selimut  sekarang juga.

.

Tidak tahu sekarang jam berapa, mata Ily mengerjap, kelopaknya perlahan terbuka. Sakit kepala yang tadi masih ada begitu pun rasa pusingnya. Bibir tipis itu meringis pelan, perut Ily terasa nyeri dan kram. Ada apa dengan dirinya.

Tangan Ily menaikkan selimut tinggi-tinggi. Dingin, tubuh Ily sangat menggigil. Turun dari ranjang, Ily berjalan perlahan ke kamar mandi. Satu tangan perempuan itu meremas kain yang menutupi perut. Nyeri sekali.

Terkena basuhan air, Ily malah semakin merasa kedinginan saja. Bibir Ily meringis, perutnya sakit sekali. Ia berbalik badan, mengambil satu langkah untuk beranjak dari kamar mandi. Namun sesuatu yang licin di bawah sana, membuat Ily kehilangan keseimbangan. Tubuh Ily terjungkal. Punggungnya membentur lantai kencang. Detik itu juga rasa sakit yang semakin hebat menjalar di seluruh bagian perutnya.

“Aaargh, sakiiit!!”

Di tengah rintihan, Ily berusaha untuk bangkit berdiri. Betapa kagetnya ia melihat lantai kamar mandi penuh dengan cairan merah. Darah. Ily berdarah. Tangan bergetar Ily menaikkan baju terusan yang dipakai hingga setinggi paha.

Benar. Ada cairan merah yang meleleh turun dari pangkal paha. Warna merah pekat yang sangat kontras dengan kulit putihnya.

“Enggak!” kepala Ily menggeleng, “enggak mungkin.”

Darah itu terus mengucur, merambat di sepanjang kulit kakinya. Ily menangis tersedu, menghiraukan leleh darah yang mungkin mengotori lantai apartment. Kakinya terus melangkah pelan, masuk ke kamar. Ia harus segera ke rumah sakit.

Jemarin Ily menekan-nekan layar ponsel lalu mendekatkan ponsel ke telinganya.

“Angkat, Gra. Angkat,” ujar Ily di sela-sela isakannya.

Gravi tak bisa di hubungi. Dengan sesenggukan, Ily menekan nomor yang lain.

“Halo, Ly.”

Ily menangis bersyukur dalam hati.

“Heh! Lo kenapa nangis.”

“Tolongin aku, Kak. Aku harus ke rumah sakit. Aku kepeleset, berdarah.”

Ya Allah, oke tunggu, Ly. Bertahan. Gue langsung ke sana.”

“Aaargh.” Menangis menumpahkan segalanya.

Kamu harus baik-baik saja, sayang. Maafkan ibu.

Ily hampir kehilangan kesadaran saat Halim datang. Ia samar-samar bisa mendengar ada suara lain. Halim tidak datang sendirian ke sini.

“Ya Allah, Ily. Nak, kamu kenapa bisa begini.”

Sebuah pekikkan menyentuh gendang telinga Ily. Itu suara ibu Nura. Ily sudah terlampau lemas hanya sekedar untuk mengucapkan sepatah kata.

“Halim, cepet bawa Ily. Gendong. Kamu kuat kan gendong dia?”

“Iya, ma. Halim coba.”

Sepasang tangan menelusup siantara lekukan kaki Ily dan tenguknya. Halim mengangkat tubuh Ily, membawanya dalam gendongan. Harusnya bukan Halim yang saat ini menggendong Ily.

Ily menginginkan Gravi. Namun, Tuhan selalu saja mengirimkan Halim sebagai malaikat Ily. Wajah cemas Halim adalah hal yang Ily lihat sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri.

Bersambung ....

29 Oktober 2020
17.58 WIB

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro