Bab 39. Gravihati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍Tujuh Tahun Kemudian ....

Ily mengerti hikmah dibalik ia kehilangan Zahra. Tuhan ingin Ily mendapatkan semua ini. Semua yang Ily miliki sekarang ini. Sekarang mimpinya sudah tercapai. Ada banyak hal yang harus Ily korbankan, termasuk hubungannya dengan Gravi.

Ily menghembuskan napas panjang. “Semuanya udah berlalu.”

Manik hitam Ily memandang keluar jendela. Dari lantai dua kamarnya, Ily bisa tahu ada tamu yang bertandang ke rumah. Ily tak bisa memastikan mereka siapa. Sebab ia hanya melihat sekelebatan saja.

Ily menunduk, mengamati lagi gambar-gambar yang ada di foto album. Iya, foto kebersamaan Ily dengan Gravi tersimpan rapi di sini. Entah kenapa, sejak Ily tau kalau Gravi selalu mencari tahu tentang setiap kabar tebaru kehidupannya, ia jadi lebih sering kepikiran pria itu.

Kira-kira sepeti apa Gravi saat ini. Pria dua puluh tujuh tahun itu, apakah memiliki brewok di rahangnya. Atau dia masih sama seperti dulu, rambut rapi dengan wajah bebas kumis ataupun jambang. Apakah dia bertambah tampan sekarang. Namun, bukan semua pertanyaan itu yang penting, melainkan ... apa dia sudah jatuh cinta lagi dengan perempuan lain?

Haaah ... ya, ampun.

Mengglengkan kuat kepala. Kenapa dia jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Ketukan kuat di pintu membuat Ily kontan menoleh.

“Mbak Naaa, ada tamu yang nyari Mbak.”

Brak brak braak

“Mbak Na ....”

Suara melengking remaja perempuan itu membuat Ily sesegera mungkin menyimpan album fotonya di laci meja. Ketukan di pintu juga semakin brutal. Ily hanya berharap, semoga suara adiknya tidak sampai ke lantai dasar. Malu kan kalau didengar tamu, anak gadis sikapnya pecicilan kaya gitu. Ah, remaja satu itu adik kecil Ily, Delia, yang tidak lagi kecil karena kini sudah kelas satu SMA.

Cklek

Remaja itu mendongak dari layar ponselnya. “Mbak, ada tamu di bawah.”

“Tau, denger kok.” Delia terkekeh, berlalu dari sana dan masuk ke kamar yang ada di sebrang kamar Ily.

Sedangkan, Ily bergegas melangkahkan kaki turun dari lantai dua. Ia berpapasan dengan ibunya yang kembali dari ruang tamu dengan sebuah nampan.

“Ratna, ada Mega tuh sama suaminya.”

Membelalakkan mata, ia senang sekali rasanya. “Yaudah Bu, Ratna ke sana dulu.” Ily bergegas mengayunkan kaki menemui sahabatnya.

“Ily ..,” seru Mega sambil bangkit dari duduknya dan merentangkan tangan.

Ily menyambut rentangan tangan itu dengan senang hati. Sedikit kesusahan karena terganjal perut Mega yang membuncit. “Gue kangen sama lo, Mega.”

“Gue juga.” Keduanya melerai pelukan. Ily mempersilahkan Mega kembali duduk di tempatnya.

“Ih, ya ampun. Pasti enam bulan lebih kan usia kandungannya?” tanya Ily dengam nada gembira.

Mega mengangguk senang. “Empat hari lagi tujuh bulan.” Ily mengangguk tersenyum lebar.

“Tujuan gue ke sini sama Mas El, mau ngasih ini ke lo.”

Sebuah undangan, Ily menerimanya. Acara tujuh bulanan. “Gue pasti dateng, Ga.”

“Lo wajib dateng jam delapan. Gita juga gitu, dia datengnya jam delapan. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Pokoknya gue maksa,” imbuh Mega lalu tertawa.

“Iya-iya nurut ama tuan rumah.”

Ily menoleh pada suami Mega yang menginterupsi obrolan keduanya. “Ya udah ya, Ly. Gue pamit dulu. Masih ada undangan yang harus dianter.”

Ily mengangguk mengantarkan sepasang suami istri itu keluar dari rumah. Ketika di teras, Mega berbalik badan.

“Ly, lo tau gak. Gue tadi liat ada Gravi di sekitar rumah lo. Ternyata Gita emang beneran gak ngada-ngada.”

Alis Ily nyaris menyatu. Kenapa dua sahabatnya bisa memergoki Gravi di sekitar rumah Ily, sedangkan Ily sendiri tidak pernah sekali pun melihat batang hidung lelaki itu.

“Gravi tuh emang deh, aneh. Di—”

“Sayang, ayo.”

Mega berbalik, terkekeh kecil pada suaminya. Ia kembali menghadap Ily, “Dilanjut nanti di rumah gue. Hubungan lo ama Gravi kudu banget dibahas. See you, Ly.”

Tangan Ily melambai. Mobil sedan silver milik suami Mega meninggalkan pelataran rumah dan masuk ke lintasan jalan raya. Ily melangkah melewati teras rumah, mengok ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa pun yang berdiri di pinggir jalan. Apalagi tanda-tanda kehadiran Gravi.

Gravi, sebenarnya kamu mau apa, sih, batin Ily kemudian masuk ke dalam rumahnya.

***

Seperti biasa, Ily hanya akan berada di galeri seni sampai pukul tiga sore. Sisa jam bukanya, Richard yang akan mengawasi. Yup, galeri seni ini adalah usaha Ily dengan dua orang rekannya yang lain. Sudah empat tahun sejak awal dirintis, galeri ini sudah mengembalikan modal dan memberikan banyak keuntungan untuk Ily.

Salah satu hasilnya adalah sebuah rumah bertingkat dua tepat di samping rumah lama ayahnya. Ily sangat bersyukur bisa mempunyai rekan bisnis yang bisa dibilang memiliki self branding yang cukup baik. Memiliki banyak massa adalah salah satu keuntungan dalam berbisnis.

Akan Ily kenalkan, yang baru masuk ke ruangan, nama panggilannya Richard.

“Udah Ly, lo pulang aja. Sori ya, gue telat. Sialan banget emang tuh perusahaan. Semaunya aja maksa gue buat jadi endorse produk skincare. Mana tiba-tiba gitu. Awas aja, kalo kontrak udah selesai, gue tinggal.”

Pria berumur dua puluh sembilan tahun yang berprofesi sebagai seorang model itu, nampaknya sudah mulai lelah dengan pekerjaannya di depan lensa kamera. Dia selalu mengeluh, dan curhat ingin hengkang saja dari dunia permodelan. Padahal, karier-nya sedang berada di puncak. Entah apa yang terjadi pada dia. Ily tak tahu.

Pertama kali mengenal Richard dari Kak Disti. Dulu sekitar lima tahun yang lalu, sebelum Kak Disti menikah. Richard ini lelaki yang selalu mengejar-ngejar kakaknya. Mereka bekerja di naungan perusahaan yang sama, tapi jelas berbeda bagian. Kak Disti di kantornya, sedangkan Richard ini di panggung karpet merahnya.

Iya ironi, Richard ditinggal menikah begitu saja oleh Kak Disti. Alasan Kak Disti sederhana.

“Kakak gak suka punya suami yang lebih muda. Nanti bukannya diemong, malah ngemong.” Akhirnya, Richard mulai menjadi teman Ily sejak hari itu.

“Ya udah, gue pulang ya Kak. Jangan ngenes-ngenes amat. Cari cewe sana biar bahagia.”

“Anjir, durhaka lo ama abang.” Ily tertawa kencang seraya berlalu dari ruangan.

Ketika hendak melangkah melewati pintu utama, langkahnya terhenti melihat sesosok itu di sana. Duduk di kursi tunggu. Dia Gravi, dengan balutan jas hitam dan kemeja biru.

Dada Ily bertalu kencang seiring langkah Gravi yang semakin mendekat. Rasanya Gravi semakin tinggi dan berbadan gagah. Atau itu efek dari jas yang dikenakan dia.

“Ly, apa kabar?”

Dan senyumnya masih saja sukses membuat Ily terpesona. “Eum, aku ... baik, kok.” Ily tergagap menjawabnya. Astaga lidahnya kenapa jadi melilit begini.

“Aku pengen ngajak kamu ngobrol. Ada waktu?”

Ily tak bisa melepaskan matanya dari wajah Gravi. Ngobrol. Apakah ini sudah waktunya.

“Bisa, Ly?” tanya Gravi lagi memecah lamunan Ily.

“Bisa. Bisa, kok.”

Keduanya lalu melangkah keluar dari galeri. Ily menarik tangan lelaki itu. “Aku bawa motor, Gra.”

“Oh, ya udah mana kuncinya. Sini aku bonceng.”

“Bonceng?” pekik Ily tertahan. Dahinya terlipat heran. Bukannya Gravi tak bisa naik motor.

“Aku bisa, Ly.”

Gravi menarik tangan Ily ke parkiran motor, tapi gadis itu tetap pada posisinya. “Alergi kamu gimana?”

“Udah ilang.”

“Yuk, ah.”

Gravi  menarik pergelangan Ily lagi ke parkiran. Kali ini Gadis itu menurut, pikirannya sedang sibuk sekarang. Ada banyak sekali hal yang berubah dari Gravi selama tujuh tahun tak berjumpa.

Di sinilah mereka berdua. Duduk di meja cafe dekat jendela. Ily tak tau harus bicara apa, ia menyibukkan diri dengan segelas susu rasa choco banana-nya.

“Aku denger, kamu lagi deket sama model pria, ya?”

‍Ily melihat ke arah Gravi. Ternyata dia tahu hal ini. “Dia partner bisnis aja.”

Ah, Ily masih penasaran dengan kejadian yang tadi. “Kamu gimana ceritanya bisa naik motor, terus alergi dinginnya?”

“Aku berobat, terapi ke psikiater. Alergi dinginnya hilang begitu aja setelah aku beranjak dewasa. Empat tahun yang lalu, terakhir kali aku pakai hoodie kemana-mana.”

“Bagaimana dengan kehidupanmu selama tujuh tahun terakhir?” Gravi balik bertanya pada Ily.

Ily terdiam sejenak, memandang ke arah jalanan di balik jendela kaca. “Aku melanjutkan kuliah S1 jurusan seni. Lalu bersama dengan partner lain, aku membangun galeri seni. Hanya itu.”

Gravi tersenyum. “Rumah di sebelah rumah ayah dan ibu itu rumah kamu?” Ily mengangguk sekali.

“Aku bangga sama kamu, Ly. Kamu banyak berubah jadi lebih baik.”

Kamu juga, Gra, batin Ily.

“Kamu sendiri gimana?” kali ini Ily yang bertanya.

“Seperti yang kamu lihat, Ly. Aku masih sama seperti yang dulu. Cuma sekarang kerja di tempatnya papa.”

“Aku denger kamu juga sempet lanjut S2 ke Amerika?”

Gravi mengangguk saja menjawab pertanyaan Ily. “Kok kamu tau?”

Ily sempat tergugup, matanya bergerak ke sana-kemari. Kenapa dia pake keceplosan segala. “Euu, ada banyak temen seangkatan SMA yang ngomongin kamu.”

Gravi tertawa renyah. “Ternyata aku se-famous itu, ya.”

Hening menyergap meja dua manusia itu. Gravi berdehem, lalu berbicara, “Gimana kabar perasaan kamu ke aku?”

Kabar perasaan. Pertanyaan macam apa yang Gravi lontarkan. Baru bertemu dan dia sudah mengejar Ily dengan pertanyaan semacam itu. Ily jelas tak bisa mengatakan apa pun. Dia belum memikirkan tentang itu.

“Apa kamu jatuh cinta sama laki-laki lain?”

Ily tak mengerti dengan pertanyaan Gravi. Pertanyaan lain malah muncul di kepala Ily. Apa dia juga sudah jatuh cinta dengan wanita lain?

Ily tak mengerti.

***

Sore itu Ily baru saja selesai mandi saat Delia lagi-lagi menggedor pintu kamarnya.

“Apa Del?”

“Ada cowo ganteng nyariin Mbak Na.”

Ganteng?

“Eh, tunggu.” Ily mencekal tangan Delia ketika gadis itu hendak beranjak. “Siapa namanya?”

Delia mengangkat bahu. “Delia lupa nanya.”

Ketika Ily sampai di ruang tamu. Sudah ada ibunya, bersama dengan Gravi. Ternyata dia. “Ibu ke belakang dulu.”

“Ada apa?”

Ily masih berdiri menjulang. Bahkan jauh dari tempat Gravi duduk. Lelaki itu berdiri.

“Aku pengen ngajak kamu jalan-jalan. Ibu udah bolehin. Mau?”

Gravi mengajak Ily mendatangi tempat-tempat bersejarah bagi cerita cinta mereka. Rumah bakso jumbo, cafe tempat Ily kerja, apartment, halte di dekat cafe itu, dan terakhir. Alun-alun kota, di kedai mie ayam keduanya duduk berhadapan.

“Aku kenyang, tadi udah makan bakso, terus kudapan, sekarang diakasih mie ayam.”

Ily mengeluh sambil memandangi mangkuknya. Sedangkan Gravi, dia lahap sekali menguyah karbohidrat panjang dan kenyal itu.

“Cicipin sedikit, aja.”

Ily melakukan apa yang lelaki itu bilang. Enak, tapi Ily tidak berselera. Pada akhirnya ia hanya melihat Gravi yang sedang makan.

“Aku ingin kita membangun keluarga dari awal lagi.”

Tiba-tiba saja, Gravi mengatakan sesuatu hal yang membuat Ily tersedak es tehnya.

Bersambung ....

30 Oktober 2020
15.54 WIB

‍[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro