2. Seiryu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Ini tidak mungkin ... Hiro ... meninggal?

Aku menangis sambil memegangi kepala Hiro dalam pangkuanku. Tak ada denyut nadi di lengannya maupun detak jantung di dadanya. Darah membasahi area kepala, mulut, dan perutnya. Kami hanya berpisah beberapa menit, kejadian ini terlalu cepat. Aku tidak mengerti sebab Hiro seperti ini.

Aku berusaha meminta tolong, namun tak ada siapapun di area kuil saat ini. Terkecuali ... mataku menangkap seorang nenek yang berdiri cukup jauh di samping batu pembatas antara tangga dan sungai kecil.

"Tolong!" teriakku lirih padanya, aku hendak berdiri menghampiri, namun seseorang menahan lenganku.

Aku menoleh, menatap seorang pemuda dewasa dengan mata biru kehijauan yang sedang menggenggam tanganku.

"Bersembunyilah dekat bangunan kuil di sana," titahnya tiba-tiba.

Aku tidak tahu siapa dia yang tiba-tiba berada di dekatku. Semua terlampau misterius untuk diproses dalam akalku.

"Kumohon tolong temanku," ujarku padanya, dengan nada bicara dan raut wajah memohon.

Pemuda itu tak menjawab, matanya fokus pada sang nenek yang masih bergeming.

"Bawa dia menjauh ke balik bangunan kuil dan berlindunglah di sana."

Aku sungguhan tidak mengerti. Kenapa tidak dia saja yang membopong tubuh Hiro alih-alih menyuruhku yang berbadan kecil. Namun pemuda itu lantas mendekat pada sang nenek. Sorot mata mereka terlihat tidak bersahabat, seperti siap untuk melakukan pertikaian. Tapi untuk apa? Seorang nenek dan pemuda melakukan pertengkaran di kuil yang sepi? Kepalaku berdenyut-denyut pusing.

Geraman kemudian terdengar, menggelegar di tengah kesunyian area kuil. Angin berembus kencang di tengah udara dingin yang menusuk kulit. Aku segera menjauh, berusaha memapah tubuh Hiro ke balik dinding kuil.

Aku mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Saat itu aku sontak membelalakkan mata tak percaya.

Sang nenek perlahan bertransformasi menjadi sesosok kucing hitam yang besarnya melebihi harimau. Matanya berkilat kuning, memancarkan kekejian serta kemarahan. Ia menggeram menyeramkan. Ekornya memanjang, membelah menjadi dua. Aku tahu, rupa ini seperti ... biju bernama Nekomata--makhluk dalam legenda.

Sang pemuda diam dengan santai tanpa melepaskan pandangan pada Nekomata.

"Kau seharusnya tidak di sini," seru sang pemuda.

Biju itu menggeram. Ia mengibas-ibaskan kedua ekornya, sesaat kemudian bola api melesat bertubi-tubi.

Aku refleks mundur dan berlindung di balik pilar kuil sambil menutup mata. Namun nyatanya bola api itu lenyap, meninggalkan tetes-tetes air di sekitar pemuda.

"Aku peringatkan kau untuk segera pergi. Tempatmu bukan di sini," teriak si pemuda. Aku masih tidak mengerti, dia ini pemuda macam apa yang berani melawan sesosok biju alias Nekomata.

Makhluk itu menggeram, ia berlari menerjang sang pemuda hingga mereka jatuh pada sungai. Sang pemuda berusaha keluar dari air, namun cengkraman Nekomata sangat kuat dan menahan tubuh pemuda itu untuk tetap di dalam air. Jika kondisinya seperti ini, pemuda itu bisa mati kehabisan napas. Aku mengintip mereka di balik pagar beton yang menjadi pembatas antara tangga dan sungai.

Aku merapalkan doa, semoga pemuda itu selamat dari keganasan Nekomata. Tapi aku tak bisa hanya berdoa, kuberanikan diri untuk mencoba menolong. Kupaksa kaki ini menanjak tangga, menemukan batu yang beratnya sekitar tiga setengah kilogram. Aku segera melempar batu tersebut dan telak mengenai kepala Nekomata.

Biju itu sedikit menggeram dan melonggarkan cengkramannya pada sang pemuda, sehingga kini matanya menatapku penuh amarah. Gawat. Aku harus berlari dan mencari perlindungan.

Nekomata melompat, menerjang rintangan apapun yang mengahalanginya hingga ia tiba di depanku. Kakiku gemetar. Tubuh hewannya yang besar dengan taring tajam, mata nyalang, dan geramannya yang menakutkan membuatku bergeming. Ia hendak menerkam, namun semprotan air tiba-tiba menghantamnya membentur dinding tanah.

Aku beringsut, mencari tempat perlindungan untuk menghalangiku dari serangan makhluk itu. Namun pandanganku tetap mengawasi apa yang terjadi.

Untuk kedua kalinya mataku membelalak.

Seekor naga berwarna biru kehijauan melayang di udara. Ukurannya jauh lebih besar dari Nekomata. Itu Seiryu. Tidak salah lagi, dewa penjaga timur. Dia ... nyata.

Aku meringkuk kala menyaksikan Seiryu menerjang Nekomata dengan serangan air bertubi-tubi. Nekomata tak diam, ia berlari mengarah ke tubuh Hiro yang tak bernyawa, meletakkan mulut menganganya pada kepala Hiro. Seketika sinar kuning berpendar di seluruh tubuhnya.

Seiryu memburu. Sosoknya secepat kilat menghalau usaha yang dilakukan Nekomata pada tubuh Hiro. Ia menghantam Nekomata sampai makhluk itu tak berdaya. Seiryu kemudian memotong ekor Nekomata hingga terdengar erangan pilu kesakitan. Nekomata lenyap.

Napasku tersengal-sengal menyaksikan hal tak masuk akal ini.

Seiryu kemudian bertransformasi menjadi pemuda kembali. Ia menghampiriku dan mencoba menenangkanku.

"Sudah tugasku untuk menjaga wilayah ini. Kalian aman sekarang."

Aku masih menganga tak percaya. Aku takut ini hanyalah mimpi. Namun, rasa sakitnya terlampau nyata untuk sebuah mimpi.

Seiryu kemudian menghampiri Hiro yang terbaring kaku dengan pendar kuning yang perlahan hilang.

"Rupanya Nekomata sempat membunuh dan menghidupkan kembali temanmu."

Dahiku mengerut, tak mengerti apa maksud ucapan Seiryu.

"Kau menemukannya mati, itu benar. Tapi Nekomata sempat membuatnya hidup lagi untuk diperdaya pada kepentingannya. Kau beruntung, temanmu masih selamat dan tidak dimakan makhluk itu."

Aku ingin membalas, namun lidahku terasa kelu.

"Nekomata seharusnya tidak berada di wilayah ini, dia pasti kabur dari majikannya dan berbuat onar."

Aku terdiam, tak mampu berucap apa-apa dan hanya bisa menunduk, kemudian memandang Hiro yang bergeming.

Seiryu menghampiri Hiro. Ia kemudian menurunkan hujan untuk membasuh darah pada tubuhnya.

"Dia akan baik-baik saja. Kalian bermalamlah di kuil ini. Besok pagi penjaga pasti datang menolong kalian. Aku permisi."

"T-terima kasih!" ucapku sekuat tenaga untuk bersuara.

Seiryu tersenyum. Ia pun menghilang menembus langit dalam wujud naga. Ia nyata, sang penjaga timur yang diceritakan Hiro tadi. Kejadian ini tak akan pernah kulupakan.[]

-The End-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro