[ 2 ] Exercise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berbeda dengan siang tadi, kini senyum cerah tengah menghiasi wajah Aaron. Alasan di balik senyum itu tentu saja tak jauh dari bantuan Hansa yang berhasil mengeringkan kaus volinya sebelum waktu latihan dimulai.

"Lain kali, kalo Arjun bikin salah, jangan lo marahin. Kasih tau baik-baik, supaya dia juga bisa nerima nasehat lo. Bukan malah dimarahin dan lo sendiri ngambek. Kalo gitu caranya, Arjun bisa niru sifat itu, Ron," celetuk Hansa sembari menyibak poninya ke belakang.

Kini, dua remaja itu sedang bersantai di kantin sembari menunggu waktu latihan dimulai. Karena menanti di lapangan juga cukup menyiksa karena sinar matahari masih cukup terik ketika jam pelajaran usai. Kebanyakan anak yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler akan pulang terlebih dahulu, atau nongkrong di kantin seperti mereka berdua.

Mendengar wejangan yang terlontar dari bibir Hansa membuat Aaron merotasikan bola matanya. Cowok itu selalu menceramahinya ketika dirasa tindakan Aaron tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.

"Tapi tadi pagi Njun yang salah. Boleh, dong, gue marah," ucap Aaron membela diri. Tadi pagi jelas salah Arjuna, bocah itu meletakkan gelas berisi susu tepat di samping kaus volinya. Mengapa orang-orang masih membelanya?

Terdengar debas pelan dari mulut Hansa. "Iya, gue tahu. Gue nggak belain Arjun juga, kok. Cuman ... kayak yang gue bilang tadi. Kalo Arjun berbuat salah, jangan dimarahin. Anak kecil kayak dia belum tahu, mana salah dan mana yang bener. Makanya, kita sebagai orang yang lebih gede, harus kasih contoh ke dia. Dengan baik-baik, bukan marah kayak gitu."

"Takutnya, nanti pas dia tumbuh besar, dia bakal tiru perlakuan yang dulu pernah kita tunjukin ke dia," lanjutnya kemudian.

Dia tahu, ucapannya mungkin sedikit sulit dipahami oleh Aaron. Namun, dia tetap harus mengatakannya agar bocah itu sedikit demi sedikit mengubah sisi buruknya.

Setelah beberapa saat terdiam dan berusaha mencerna maksud ucapan Hansa, Aaron lantas berujar, "Berarti gue gini karena tiru mereka, dong?"

Kepala Hansa terangkat dan menatap si lawan bicara dengan raut terkejut. "B-bukan itu maksud gue, Ron. Tapi ...," ia mendengkus kesal karena tak menemukan kalimat yang pas untuk diucapkan.

"Ah, udahlah, lupain omongan gue barusan. Anggap aja tadi gue salah ngomong, oke?" pungkasnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dalam hati, Hansa mengutuk dirinya sendiri. Niat untuk menasehati Aaron justru menjadi bumerang untuknya.

Melihat gerak-gerik Hansa yang tampak canggung membuat Aaron semakin tak paham. Bocah itu ikut menggaruk kepalanya, bingung. Namun, akhirnya ia pun memberi anggukkan sebagai jawaban. Dan setelahnya, Aaron mengulas tersenyum cerah, itu berarti kali ini Hansa berada di pihaknya, bukan Arjuna.

🍄🍄🍄

Semenjak dari kantin hingga sekarang, Hansa menjadi lebih pendiam. Meski sebenarnya bocah itu memang tidak banyak bicara, tapi menurut Aaron, kali ini Hansa menjadi terlalu diam.

"Han marah, ya?" Pertanyaan itu refleks Aaron ucapkan karena ia merasa aneh jika berdiri berdampingan, tapi saling diam.

Saat ini mereka sudah berkumpul di lapangan utama yang digunakan klub voli untuk berlatih. Dan latihan dimulai setelah salat ashar dilaksanakan, mengingat mayoritas siswa di SMA Nusa Pelita adalah muslim, waktu memulai semua ekstrakurikuler disamakan.

"Marah apanya? Lo mabuk apa gimana? Aneh banget pertanyaannya," sahut Hansa tak acuh, sembari tetap fokus pemanasan.

"Habisnya dari tadi diem aja, 'kan gue takut kalo lo marah." Aaron mengangkat satu kakinya dan menariknya ke belakang. Bocah itu menghitung dua kali delapan, lantas bergantian dengan kaki lainnya.

Hansa pun menyadari bahwa dirinya menjadi sangat diam setelah percakapan di kantin tadi. Namun, hal itu bukan karena ia marah, melainkan rasa bersalah akibat membuat Aaron teringat masa itu membuatnya enggan berbicara. Yah, dia hanya takut jika sampai salah bicara lagi.

"Enggak, Ron. Gue nggak marah, cuman emang lagi fokus pemanasan aja. Lo juga pemanasan yang serius, jangan sampai nanti cedera pas mulai latihan," ujar Hansa dengan mata yang kini sepenuhnya menatap Aaron.

Bibir Aaron membentuk huruf o, kemudian mengangguk. "Kirain marah, kalo marah gue minta maaf, ya. Gue nggak suka kalo lo marah. Temen gue 'kan cuma lo, yang lain suka bilang kalo gue aneh," ucapnya kemudian.

Ucapan itu membuat Hansa diam-diam menelan ludah. Diliriknya sosok Aaron yang kini kembali fokus melakukan pemanasan. Dari raut wajahnya, seolah bocah itu tidak menyadari jika kalimat yang ia ucapkan menyimpan makna yang menyakitkan. Dia bahkan tidak tahu harus menjawab apa, dan akhirnya memilih untuk diam.

Sesi pemanasan berjalan seperti biasa, dan di antara Hansa maupun Aaron tak lagi ada percakapan yang berarti. Hingga suatu kejadian menarik atensi seluruh anggota klub yang hadir.

"Eh, sorry, sorry. Nggak sengaja," celetuk sosok berperawakan tinggi yang kini berdiri di depan Aaron. Bocah itu sendiri sudah terjatuh dengan tangan bertumpu pada tanah.

"Astaga, bangun dulu, Ron." Hansa mengulurkan tangannya dan membantu sang kawan berdirinya. Ia tidak tahu sejak kapan Aaron terjatuh, tapi yang jelas Hansa tahu jika ada orang yang sedang mencari masalah.

"Lo sengaja, 'kan? Orang tadi berdirinya jauhan, kok. Masa bisa senggolan?!" geram Aaron setelah kembali berdiri.

"Ya, 'kan gue udah bilang sorry. Dimaafin, dong," balas si pelaku tampak santai.

"Nggak bisa, lah! Orang-"

"Ron, udah, Ron. Dilihatin orang, tuh." Hansa memotong ucapan sahabatnya. "Lagian Bang Rei udah minta maaf, nggak usah diperpanjang. Nanti ganggu latihan," lanjutnya menengahi.

Memang benar, suara Aaron yang cukup keras membuat sebagian dari anggota klub yang melakukan pemanasan secara terpencar lantas memandang mereka. Sementara itu, Hansa tahu betul, jika sosok yang tadi menyenggol Aaron adalah senior mereka di kelas sebelas yang bernama Rei.

"Dia duluan yang mulai, Han. Orang dia tadi berdiri jauh dari kita, kenapa tiba-tiba jadi deket?" protes Aaron tak terima, seolah dia adalah yang bersalah di sini.

"Kalian kalo udah selesai pemanasan langsung ke sini dan mulai latihan, jangan bikin ribut," seru sang kapten yang berdiri tak jauh dari keributan kecil itu.

"Tuh, 'kan. Bang Adit udah panggil. Ayo, kita ke lapangan. Jangan bikin dia marah." Hansa berusaha mengalihkan perhatian Aaron dan mencegah pertengkaran.

"Iya, tuh. Jangan jadi pendendam, dong. Gue bercanda doang tadi," celetuk Rei yang masih berada di tempatnya.

"Ayo, mulai latihan, jangan males. Kayak udah pinter servis aja," lanjutnya kemudian mengacak rambut Aaron dan berlari ke tengah lapangan sebelum bocah itu sempat bereaksi.

"Apaan, sih, elus-elus dikira gue anjing apa?!" teriak Aaron dengan wajah merah padam. Orang yang diizinkan menyentuh kepalanya hanya kakaknya.

Hansa meringis ketika melihat Aaron mengacak rambutnya karena kesal dan seolah bekas tangan Rei menempel di kepala. Dia yang sudah termasuk dekat dengan Aaron bahkan tidak berani menyentuh helai rambutnya. Karena dia tahu, bocah itu sangat sensitif jika kepalanya disentuh jika bukan atas kemauannya sendiri.

"Sabar, Ron, sabar." Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan untuk menenangkan sang kawan. Namun, dia justru dihadiahi dengan tatapan tajam dari Aaron.

"Pulang nanti gue beliin pancake cokelat, deh. Janji, Ron," ucapnya yang lagi-lagi menelan ludah. Jika suasana hatinya yang buruk terbawa sampai rumah, Hansa mungkin akan diinterogasi oleh Ardan.

Mendengar penawaran itu, Aaron justru berdecak. "Gue bukan anak kecil, apa-apa disogok. Dikira dengan itu gue bisa luluh gitu?"

"Menurut lo, bisa apa enggak?" Hansa balik bertanya.

"Ditambah martabak manis, ya?"

Hansa menjentikkan jarinya dan mengangguk puas. "Deal!"

Salah satu cara ampuh untuk mengubah suasana hati Aaron adalah memberinya makanan yang mengandung cokelat. Dan Hansa sudah sangat mahir dalam perkara ini. Oleh karena itu, ia selalu menyediakan minimal dua biji permen cokelat di sakunya. Namun, karena hari ini suasana hatinya sedang baik, sepertinya tidak masalah jika mampir membeli jajanan manis itu. Adik gadisnya juga maniak cokelat seperti Aaron.

🍄🍄🍄

Ini sebenernya aku mau bikin komedi, tapi kok kesannya malah jadi agak tragedi ya🥲

Anu lah, yang penting enjoy aja yak. Alurnya ringan kok, yang berat itu dosa 🙂

Salam

Vha
(10-03-2022)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro