Chapter 9🍭

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Masuk jam pelajaran ke lima yang merupakan Matematika membuat seluruh siswa Mipa 3 merengut, pasalnya yang mengajar adalah salah satu guru terbeda—kata mereka—di sekolah ini.

"Ah, males gue!" keluh Aurel, ia mengatupkan tangan dan berucap dengan sungguh-sungguh. "Semoga Bu Tia gak masuk."

"Lu kalo doanya kek gitu Bu Tia malah masuk ogeb!" ucap Dion setelah toyoran di kening Aurel.

"Gak usah pake noyor-noyor juga, sih!" kata Aurel memukul bahu pria itu. "Ya Tuhan, semoga hari ini Bu Tia masuk dan bisa mengajari kami dengan baik. Amin," doa Aurel lagi, dengan tetap berharap di dalam hati guru yang tidak disukainya itu tidak masuk sekolah. Dion yang melihat itu hanya terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Lewat beberapa menit, Kania—si ketua kelas—masuk dengan bersemangat. "Guys, Bu Tia gak masuk!"

Sontak seisi kelas langsung berteriak heboh dengan wajah yang berseri, menyambut jam kosong selama dua jam ke depan.

"Yes!" seruan Aurel tak kalah heboh. Ia tampak begitu sumringah karena merasa bangga doanya terkabulkan.

"Nah, kan! Apa gue bilang."

"Minggu depan gue gitu lagi ah," senandung gadis itu.

Dion dan Aurel lantas memutuskan untuk pergi ke kantin membeli beberapa snack. Saat kembali, dilihatnya teman-teman yang lain tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Bergosip, bermain game, ngedrakor bersama, tidak ada satu pun yang terlihat membuka atau bahkan menyentuh buku.

Aurel berdecak sambil menggelengkan kepala, dasar kelas acu! katanya dalam hati.

"Di, Di, gue mau cerita," ucap Aurel, duduk di bangkunya.

"Apaan, dah?" Dion yang juga sudah duduk di bangku—samping Aurel—berucap.

"Soal Kak Alfi," cengir Aurel.

"Lo beneran suka ya sama Kak Alfi?" tanya Dion tiba-tiba.

"Ya, menurut lo aja gimana," tukas Aurel, merasa sangsi dengan pertanyaan Dion sembari memutar mata.

"Ya elah, santai aja keles. Udah, buru cerita."

"Jadi, ya, kan kemaren gue lagi belajar, tuh."

"Cie belajar," potong Dion.

"Iyalah, gue kan rajin, ga kayak lo!"

"Rajin ndasmu!"

"Diem dulu, ah!" Setelah Dion diam, Aurel kembali melanjutkan. "Nah, gue lagi belajar, tuh kan, trus pas waktu break-"

"Wah, ada breaknya juga, ya?"

"Iyalah, biar pala lo ga mumet."

"Baru tau gue."

"Ya udah sih, dengerin gue cerita dulu, jan dipotong-potong terus!" Aurel diam sebentar, menunggu kalau-kalau Dion akan kembali membuka suara. "Trus gue buka-buka ig kan, nah ketemu lah storynya Kak Alfi. Dia kayak lagi ngecover gitu. Trus gue reply dong masa, ga sampe dua menitan eh dibales."

"Ah, dua menit, berarti lo bukan prioritas," ucap Dion asal.

"Ya iyalah geblek, orang deket aja kaga. Eh, tapi ga tau sih kalo nanti," kata Aurel diakhiri senyuman.

"Amin."

"Duh, baik banget sih temen gue. Udah-udah, gue lanjut. Gue reply kan bilang 'Keren kak, wkwk. Boleh ngerequest nggak?' Trus dia bilang 'Wkwk, makasi dek. Boleh kok boleh, mau ngerequest lagu apa?' gitu," cerita Aurel sembari membaca ulang percakapannya dengan Alfi dari ponsel.

"Ih, dengerin Dion!"

"Iya gue dengerin."

"Ngadep sini, ah!"

"Yang denger telinga bukan mata," ujar Dion, matanya masih fokus pada layar ponselnya.

"Dua-duanya."

Aurel menarik paksa ponsel Dion, sedikit menahan tawa melihat ekspresi cowok itu yang tampak kesal namun hanya bisa pasrah.

"Dengerin."

"Iya."

Aurel kembali melihat ponsel, dengan Dion yang menatapnya jengah.

"Gue minta dicoverin, trus katanya iya. Seneng banget gue anjir. Moodbooster bat pagi-pagi buka hp langsung dapet notif dari Kak Alfi yang isinya dia ngecover lagu requestan gue dong. Makin semangat aku tuh ke sekolah," jelas Aurel panjang lebar, ia berucap sambil menerawang. Dion yang setia mendengarnya, hanya merespon dengan helaan napas panjang. Ia terlalu sibuk mengunyah kripik yang ada di tangannya.

"Sweet, kan?"

"Iya-iya, serah lo dah."

"Dion mah ga asik mulu, ah. Tapi ga papa, gue tetep seneng. Harusnya lo seneng dong gue membagi kabar gembira kek gini."

"Iya, Aurel."

Aurel lalu kembali menyantap snack yang tadi sempat ia tunda karena menceritakan kaka kelas favoritnya.

"Eh, trus lo gimana sama sih kakel itu?" tanya Aurel.

Dion mengerutkan keningnya. "Kakel yang mana?"

"Yang waktu itu lo nunjukin fotonya."

"Oh."

"Gimana?"

"Ya, gitu. Masih dengan zona nyaman gue, menyukai dalam diam." Jawab Dion pelan.

"Halah, sok-sok-an lo!" Aurel mendorong bahu lelaki itu. "Kapan nembak?"

"Boro-boro, Rel, nembak. Gue di sekolah sehari liat dia sekali aja udah syukur," ucap Dion sambil tertawa. Aurel malah menatapnya dengan lain. Dion yang sadar langsung membuka suara. "Gak usah natep iba gitu juga, kali!"

Aurel terbahak mendengar nada kesal dari ucapan temannya itu. Mereka berdua terdiam. Aurel sibuk menscroll timeline Instagram. Dion masih dengan keripiknya yang sedari tadi belum juga habis.

Selang beberapa detik, Aurel mungkin merasa postingan-postingan di beranda Instagramnya sudah tidak lagi menarik sehingga ia memutuskan untuk mematikan ponsel dan menaruhnya di meja.

Aurel menidurkan kepala di atas meja. Matanya mengarah ke luar kelas. Menatap samar pohon-pohon yang bergerak mengikuti arah angin.

Anginnya kencang. Menyebabkan pintu kelas yang sudah tidak lagi baru itu beberapa kali terbuka dan tertutup sendiri dengan suara nyaring. Sesekali menyelinap masuk ke dalam, menerbangkan taplak meja guru di bagian bawah atau pun menjatuhkan tiang bendera kecil yang terbuat dari plastik.

Bukan hanya dari arah pintu, semilir angin juga masuk lewat jendela dari samping Aurel. Ikut pula menerbangkan anak-anak rambut gadis itu.

Dion menatap Aurel. Dengan sigap ia memindahkan buku—ia merasa benda tebal itu membuat Aurel tidak nyaman dengan posisinya—yang ditindih tangan perempuan itu.

"Di, kira-kira Kak Alfi suka gak ya sama gue?" Aurel tetap dengan posisinya, tanpa membuka mata.

Dion awalnya terkejut karena mengira Aurel sudah tidur, tapi ia tetap memabalas ucapannya.

"Ganti pertanyaannya coba," kata Dion."

Aurel tersenyum sinis dalam hati. Harusnya ia sadar diri. "Eh, iya juga. Oke, gue ganti. Kira-kira gue bisa deket gak sama Kak Alfi?"

"Bisalah, semua orang juga bisa kali deket sama dia."

"Tapi saingan gue banyak, Dion."

"Rel, jangan jadiin niat awal lo mau deket sama dia biar dia bisa bales perasaan lo, jangan. Deketin aja karena emang lo mau kenal dia dan bisa jadi deket sama dia. Kalo semisal udah deket, yaudah bagus, mau gimana-gimananya nanti biarin aja dia ngalir sendiri."

Aurel terdiam, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Dion. "Kalo gue berharap gak papa kan,tapi?" tanyanya pelan, Dion hampir-hampir tidak bisa mendengarnya.

"Berharap? Boleh, kok. Tapi harus dibagi. 1%nya sama manusia. 99%nya sama Tuhan."

Aurel tersenyum mendengarnya. "Makasih."

"Makasihnya ditrakitiran aja gak papa kok," balas Dion jahil.

"Yeu, tai!"

🐛🐛🐛

Konbanwa😋
Selamat membaca😁
Terima kasih~❤

14 Oktkber 2019
~zypherdust💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro