Gundah Amarilis (Oneshot)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah pakta perjanjian ditandatangani, Orkanius secara resmi melebur dengan Floralys.

Ini adalah kemenangan pertama bagi Floralys dalam Pertarungan Takhta yang dilaksanakan oleh COUNCIL. Orkanius yang terkenal dengan hasil lautnya itu kerap diisukan memiliki pemerintahan yang korup, tapi hingga saat ini rumor tersebut tidak terbukti. Beberapa petinggi Floralys mengira akan ada perubahan radikal setelah Orkanius dan Floralys bersatu, namun selama beberapa bulan ini, tidak ada keanehan yang berarti. Malah, penduduk dan para perangkat Orkanius menambah warna bagi kehidupan Floralys.

Kini, dengan ekspansi Floralys dan dampak dari Pertarungan Takhta, Elena beranggapan bahwa kehidupan tenang di kliniknya akan terusik dalam beberapa jenak...

"Nona Elena?" panggil seseorang dari sisi lain konter. Ia pun terperanjat. Elena mengedarkan pandangnya untuk melihat salah satu penyembuh memanggil. "Shift anda sudah berakhir, bukan? Kenapa anda masih di sini?"

Ah, rupanya ia termangu cukup lama. Elena Crescent baru saja menyelesaikan laporan selepas menangani pasien-pasiennya untuk hari ini. Klinik Bulan Sabit itu memang klinik miliknya, tapi ia sudah terlalu senang bekerja sebagai salah satu staf dibandingkan menjadi sosok kepala klinik yang tampaknya terlalu berat di titel.

Elena adalah salah satu dari banyak tim penyihir penyembuh elit yang diterjunkan pada Pertarungan Takhta antara Floralys dan Orkanius. Orang-orang mengenalnya sebagai pemimpin tim medis, tapi Elena selalu mengenyampingkan soal itu. Ia hanya ingin hidup biasa-biasa saja dengan pangkat biasa-biasa saja. Keinginan utamanya adalah membantu orang yang membutuhkan. Kekuatan sihirnya sebagai penyihir putih merupakan anugerah tambahan.

"Apa Liane sudah datang?" tanya Elena sembari melepas kartu identitasnya dan menaruhnya di atas meja kerja. Ia menarik rambut merahnya yang semula diikat poni, membiarkannya tergerai.

"Nona Liane ... ah, sepertinya dia masih di depan gang, ada penduduk kota yang berkerumun memberinya sesuatu sebagai tanda terima kasih."

"Begitukah?" senyum Elena terkembang. "Biar saya saja yang memanggilnya."

"Ah, Nona Elena, tidak perlu, itu tugas saya-"

Elena melenggang pergi. Ia mengedip. "Shift saya sudah selesai, jadi saya bisa melakukan apa pun kemauan saya, bukan?"

Staf medis itu menyerah dan kembali ke arah konter. Elena segera mencari keberadaan Liane.

Dalam tim medis yang diterjunkan saat Pertarungan Takhta, Elena mempercayakan Liane Grandis sebagai ajudannya. Liane juga merupakan salah satu pekerja di Klinik Bulan Sabit, Elena dan Liane sudah mengenal pribadi masing-masing cukup lama. Elena hanya bisa tertawa kecil menanggapi Liane dan para fans yang kerap menggandrunginya.

Penampilan Liane memang tidak terlihat seperti seorang cleric atau penyihir penyembuh. Ia berpakaian zirah selayaknya kesatria. Belum lagi rambut hitamnya yang selalu diikat satu di belakang dan tubuhnya yang cenderung tinggi. Kalau ditambah panah, mungkin dia tidak ada bedanya dengan para pemanah yang berjaga di kastil utama Floralys.

Samar-samar, Elena mendengar sayup suara mengelu-elukan Liane semakin dekat. Elena pun berulas senyum melihat Liane yang tengah digandrungi ... gadis-gadis Orkanius yang bergantian memberikan hadiah, entah dalam bentuk kotak kecil hingga buket bunga.

"Ayo, ayo, jangan menghalangi Nona Liane yang tengah berangkat kerja~" Elena bertepuk tangan untuk mengalihkan fokus keramaian.

Mendengar itu, kerumunan segera bubar jalan. Sementara, Liane kewalahan memegangi seluruh hadiah di pelukannya sampai-sampai terhambur di sisi jalan. Senyumnya segera merekah melihat Elena, ia membungkuk dan membuat makin banyak kotak berhamburan jatuh.

"Ah, Komandan! Terima kasih sudah menyelamatkan saya!"

Elena mengambil beberapa barang yang ada di dekat kakinya dan membawanya. "Saya bukan komandan lagi, lho? Tapi ya, iya sih saya masih bos kamu." Elena menunjuk keranjang yang segera Liane jauhkan dari tangan Elena. "Itu tampak berat, boleh saya bantu bawakan?"

"Tidak usah repot-repot, Komandan!"

"Sudah dibilang, saya bukan komandan lagi." Elena tertawa ringan.

Mereka mulai berjalan kembali ke arah klinik seperti orang yang baru saja belanja keperluan bulanan. Tidak terhitung berapa kotak kecil di genggaman Elena, gemerisik isi hadiah-hadiah itu teratur berirama dengan alur langkah mereka. Liane tampak berseri-seri, turut membuat Elena senang. Usaha mereka sebagai penyembuh tampak dihargai oleh warga kota, sebuah penghargaan yang tidak ternilai.

"Omong-omong, Komandan sudah dengar soal Herbalis dari Orkanius?" tukas Liane yang mulai menyamakan langkah dengan kepala klinik.

"Ah, maksudmu, dia yang menjadi penyembuh tunggal dari pasukan Orkanius?" Elena mengerling. "Ada apa?"

'Herbalis Orkanius' telah menjadi topik pembicaraan di kalangan para penyihir penyembuh pasca Pertarungan Takhta. Selain para prajurit yang lihai dalam menggunakan seni sihir perang, ternyata di balik pasukan itu hanya ada satu penyembuh, dan bahkan penyembuh itu bukanlah pengguna sihir. Semua menyebutnya sebagai 'Herbalis Orkanius'. Rumor itu turut sampai ke telinga Elena, dan membekas seiring waktu karena intensitas rekan sejawatnya yang membicarakan tentang sosok itu.

Menurut cerita-cerita mereka, Elena membayangkan sosok Herbalis itu seperti seorang yang dituakan dan cekatan. Sosok ini juga sepertinya ahli dan memiliki pengalaman bertahun-tahun seputar tanaman obat. Ilmu pengobatan berjalan berbeda dengan ilmu penggunaan sihir secara umum, walaupun mereka adalah penyihir penyembuh, wajar saja sang Herbalis sangat disegani.

"Saya dengar ia pindah ke ibu kota Floralys karena separuh wilayah Orkanius masih dalam perbaikan," ucap Liane dengan mata berbinar-binar. "Saya penasaran dengan Herbalis itu."

"Oh ya?" Elena menaikkan alis.

"Hebat sekali sepertinya menjadi penyembuh tunggal dan tidak menggunakan sihir! Dia pasti seorang yang sangat sakti, mungkin aku harus belajar padanya!"

Elena terkekeh. "Idemu bagus, Liane. Coba saja misal dia mau menerima murid dari Floralys."

"Ah ... iya juga." bibir Liane mengerucut sejurus dengan bahunya turun, kontras dengan semangatnya yang menggebu barusan. "Masih ada kesenjangan antara Floralys dan Orkanius, ya ..."

"Saya rasa tidak separah yang dipikirkan, tapi ..." Elena turut berpikir. "Kamu pasti paham, walau pihak Floralys tidak menindas Orkanius atau merebut paksa lahan mereka."

Pertarungan Takhta adalah keharusan yang direncanakan oleh COUNCIL, petinggi dari para petinggi negara-negara yang ada di kontinen ini. Pemilihan negara yang berduel dilakukan dengan saksama dan tidak ada kecurangan. Kata-kata COUNCIL adalah mutlak. COUNCIL juga-lah yang memilih wilayah pertarungan hingga detail khusus mengenai bagaimana prosesi duel berjalan, sehingga tidak ada perbedaan pendapat antara kedua belah negara. Tapi, Elena tahu betul rasanya kehilangan 'tempat' yang dahulu merupakan identitas diri dan tanah kelahiran seseorang.

Yah, walau demikian, pemikiran sentimental itu adalah sesuatu yang Elena simpan rapat. Liane bahkan tidak tahu kalau Elena bukan berasal dari Floralys.

"Shift anda sudah berakhir, ya, Komandan? Maaf saya merepotkan anda untuk membawa ini semua!"

"Sudah kubilang tidak masalah. Ah, apa mau gajimu kupotong sebagai ungkapan simbolis?"

Liane pun pucat pasi, dan Elena tergelak. "Saya bercanda, Liane."

Sore itu, Elena memutuskan untuk berjalan di sekitaran ibu kota hingga matahari terbenam.

Hari itu, kerjaan di klinik cukup lowong setelah mereka kebanjiran pasien dari pihak Orkanius dan Floralys, jadi Elena merasa tidak terlalu lelah untuk melangkah di selusur kota.

Cukup mudah membedakan antara penduduk Orkanius dan Floralys dari cara mereka berpakaian. Orkanius dekat dengan tundra yang merupakan daerah netral di kontinen, mereka umumnya berpakaian lengan panjang dengan aksen biru dan hitam. Penduduk Floralys cenderung berpakaian lebih tipis dengan warna-warna cerah seperti putih, merah, atau kuning. Elena menemukan perbedaan itu menarik untuk diamati

Dari kawasan komersial yang padat berjejal tempat kliniknya berada, langkah membawa Elena ke lapisan pertama permukiman. Biasanya, ia akan menunggu bus air yang melintas sungai utama menembus belantara Floralys dan kembali ke rumahnya yang ada di lapisan ketiga pemukiman. Namun, Elena memutuskan untuk terus berjalan, mengamati bangunan bata berganti menjadi bangunan-bangunan kayu besi yang berundak-undak menjadi kubikel-kubikel huni.

Elena mengerjap melihat salah satu dari kubikel monoton itu diramaikan oleh tanaman rambat, menjadikan kubikel itu yang hijau sendiri dibandingkan yang lain.

Ada sebuah pelat besi terpampang di depan kubikel satu lantai yang tampak mengisi petak secara horizontal, seperti gang-gang sempit ibu kota: Rumah Hijau Orkanius, dengan penanda tambahan di sana bertuliskan 'BUKA'.

Elena membatin, ah, di sini sang Herbalis yang menjadi buah bibir tinggal.

Elena berhenti untuk sekedar melirik. Beberapa kesatria dengan pelindung dada lapis perunggu dan ban lengan biru keluar dari dalam gang. Masing-masing mereka membawa sebuah kantong kertas coklat dengan label warna-warni. Elena mengangguk-angguk, mungkin mereka datang ke sana untuk berobat.

Selepas para kesatria pergi, muncul seorang wanita muda dengan rambut seputih salju. Jaket biru kombinasi hitam yang dikenakannya menyentuh lutut, tampak tebal dan formal menunjukkan dirinya memang berasal dari Orkanius. Senyumnya tipis dan tidak tampak menyentuh sisi matanya. Ia menggeser penanda di papan dari BUKA menjadi TUTUP.

"Maaf, untuk hari ini sudah tutup." ucapnya pada Elena seraya membungkuk.

Elena mengerjap. Sosok ini tidak sesuai pikirannya dan apa yang orang katakan mengenai dirinya. Namun, Elena tidak dapat menyimpulkan wanita muda ini sebagai asisten dari 'si Herbalis' karena semua orang berkata kalau sang Herbalis bekerja seorang diri.

"Anda pemilik tempat ini?"

"Oh ... anda orang Floralys?" ia menyipitkan mata. "Ya, saya pemilik tempat ini."

"Saya Elena Crescent." ucapnya mendadak, tanpa berpikir panjang.

Tidak biasanya ia segera memperkenalkan diri sebelum mengenal seseorang lebih jauh.

Pemilik rambut seputih salju itu membelalakkan mata. Senyumnya sedikit memudar. Elena mengulum bibir, sejenak enggan. Mungkin namanya terdengar sangat ... intimidatif? Apa mungkin dia tahu kalau dia adalah mantan komandan pasukan penyembuh? Padahal Elena tidak mengenakan tanda apa pun yang mengisyaratkan kalau dia berpangkat. Ia hanya mengenakan blazer kerja panjang berbahan tipis yang berwarna putih dengan aksentuasi merah. Tidak ada juga lambang kliniknya di sana.

Tapi raut wajah sang Herbalis segera kembali ke senyum tipisnya. "Ah, saya ... nama saya Kairi, Kairi Physeter."

Itulah saat-saat di mana Elena Crescent bertemu dengan sang Herbalis Orkanius.

Akhir-akhir ini, rumahnya banyak disambangi oleh orang-orang dari Floralys, Kairi mengamati dari pojok rumah hijaunya.

Orang-orang Floralys itu tidak berkunjung lama-lama. Mereka hanya sekedar datang melihat rumah hijau, melihat tanaman-tanaman obat seakan mereka tidak pernah melihatnya sebelumnya, dan pergi secepat mereka datang.

Akan tetapi, ada satu orang yang selalu datang dan berlama-lama di sana.

"Nona Physeter, selamat pagi."

"Panggil saja saya Kairi, Nona Elena."

"Kalau begitu, panggil saya Elena juga, ya?"

Bibir Kairi kelu. "... Baik?"

Elena Crescent, seorang Floralys yang Kairi identifikasi karena ia tidak familier terhadap Kairi. Bukan berarti Kairi orang terkenal, tapi penduduk Orkanius sudah terbiasa dengan keberadaanya sebagai herbalis.

"Anda ... di sini lagi sampai sore?"

"Ah tidak, saya kerja hari ini." Elena terkekeh. "Ada apa, kamu ingin saya lama-lama di sini?"

Kairi ingin berkata 'ya', tapi rasanya tidak sopan. Ia tertegun lama, sebelum akhirnya ia berujar, "Tidak, tidak juga."

Elena hanya tertawa ringan menanggapi jawaban jujurnya itu. Apa orang ini tidak pernah marah, ya? Ekspresinya selalu tenang bersahabat.

Siapa gerangan sebenarnya orang Floralys ini? Apa dia petugas sensus Floralys yang dikirim untuk inspeksi? Akan tetapi dari pakaiannya dia tidak seperti pegawai sipil negara. Dari tutur katanya yang cenderung sopan, Kairi berpikiran bahwa Elena berasal dari keluarga ningrat atau minimal konglomerat lokal. Lagi, Elena bilang kalau dia tinggal di pemukiman lapis ketiga, rumah yang harga sewanya murah menurut orang-orang sekitar ibu kota.

Melihat Elena yang selembut itu, Kairi percaya bahwa dia tidak berbohong.

Kurang lebih sudah dua bulan Kairi melihat Elena sebagai orang Floralys terlama yang akan menghabiskan waktunya di rumah hijau untuk melihat dan mencatat berbagai macam tanaman yang ditemuinya. Elena juga seringkali bertanya tentang apa pun soal tanaman. Tentu, Kairi akan menjawab. Pembicaraan mereka mengalir secara otomatis begitu saja.

Ada anggapan timbul pada Kairi, mengira setelah Elena 'cukup' mengenalnya, Elena akan membawa kerumunan orang Floralys berbondong-bondong kesana, menganggap tempat ini adalah tempat wisata. Kenyataannya, Elena selalu datang seorang diri, dan ia benar-benar tertarik dengan herba juga tanaman hias lainnya. Selain sebagai pemerhati yang cakap, Elena juga pendengar yang baik. Kairi tidak pernah melihat ada orang yang bisa diam lama ketika ia sudah mulai meracau soal tanaman. Elena, di lain sisi, tidak akan menginterupsi sampai Kairi selesai menjelaskan salah satu herba.

"Bunga-bunga di sini indah sekali, apakah bibitnya langsung dari Orkanius?"

Elena mengamati rak yang baru Kairi isi dengan pot-pot kecil dari plastik yang berisi bunga dalam pelbagai macam warna yang didapat dari toko bunga Orkanius. Bunga itu Kairi beri label bagi yang berkhasiat obat, yang tidak memiliki khasiat obat hanya ia bubuhkan nama.

"Tidak semua," jawab Kairi, tidak menoleh ke arah Elena karena tangannya sibuk memangkas dedaunan yang mulai rimbun di kelompok tanam sebelah barat. "Orkanius wilayah yang cukup dingin. Ada herba yang tidak cocok dengan iklim kami, jadi setelah bibitnya kudapat dari negara luar, segera kutanam di dalam rumah kaca khusus."

"Wow, anda sangat berpengetahuan ya, saya takjub."

Rasanya aneh dipuji demikian, apalagi oleh orang Floralys. Kairi menggaruk pipi. "Ini belum seberapa."

Dalam anggapan Kairi, penduduk Floralys sama dengan iklimnya sesaat ia mendengar penjelasan para pedagang yang datang dan pergi di pasar bebas Orkanius: panas dan keras, juga mereka cepat sekali bosan. Lagi, apa yang ditemukan Kairi sangat berbeda dengan ucapan para pedagang itu. Floralys adalah negara dengan penduduk sehangat matahari pagi. Ada beberapa yang sesuai dengan anggapan pedagang, terutama keluarga dengan nama keluarga turunan, tapi penduduk Floralys menerima Orkanius menjadi bagian mereka dengan tangan terbuka setelah Pertarungan Takhta.

Saat pertarungan berlangsung, Kairi melihat piawai sihir dari kubu lawan dan bagaimana mereka memenangkan pergulatan antara dua negara dengan taktis. Mungkin kalau kelompok yang memiliki kepentingan di Orkanius tidak egois, mereka bisa memenangkan pertarungan itu.

Ah, tapi apa boleh buat. Segalanya sudah terjadi. Hidup di Floralys sementara waktu saat bagian selatan Orkanius dibangun kembali setelah perang juga tidak terlalu buruk.

Kairi diperbolehkan memilih huniannya sendiri sebagai kompensasi perang pada para anggota pasukan. Ia memilih lahan berupa gang buntu yang ada di pemukiman lapis pertama dan menyulapnya menjadi rumah hijau, yang kurang lebih merupakan tujuh puluh persen kebun yang sudah dikondisikan dengan sihir dan tiga puluh persen ruangan serba guna untuknya makan, mandi dan tidur.

"Apa anda menerima murid?"

Kairi segera memutar badan, terkesiap. Pertanyaan macam apa itu? Belum sempat Kairi berucap penolakan tegas, Elena menggenggam tangannya di depan wajah mereka, senyumnya lembut dan tulus.

"Saya terus terang tertarik dengan dunia pengobatan herba," ujarnya antusias. dan setelah melihat dedikasi anda merawat seluruh tanaman di sini sambil membuka toko membuat saya semakin tergugah."

Elena sedikit lebih tinggi darinya, namun aura yang dipancarkannya seperti wanita dengan paras keibuan. Ia juga tampak tidak lebih tua dari Kairi. Rambut merahnya yang digerai tampak berpendar ditimpa sayup sinar matahari dari atap transparan rumah hijau.

"Bagaimana, bolehkah?"

Ah, sampai Kairi lupa soal pertanyaan Elena, saking intensnya tatapan mata hitam itu.

"Saya tidak menerima murid." balasnya singkat, memutar bola matanya menjauh.

Elena mengerutkan dahi, ekspresinya tampak sedikit kecewa. "Baiklah kalau begitu."

Elena melepas genggaman tangan mereka dan kembali fokus mencatat bunga-bunga yang barusan ia tanyakan. Kairi menatap punggung itu dengan sedikit rasa bersalah.

Mereka berdua kembali sibuk dalam kegiatan masing-masing dalam hening. Tidak banyak penduduk Orkanius yang datang pagi itu selain beberapa yang meminta obat flu musiman. Kairi segera memberikan kantong-kantong berisi bubuk cepat larut dan membiarkan mereka yang datang meninggalkan sedikit uang di kotak yang sudah disediakan selayaknya biasa.

Tapi, di pagi hari itu, Kairi terus merasa ada yang mengganjal.

Bukan berarti ia menolak karena mereka berbeda negara. Bukan juga ia tidak keberatan bila Elena terus bertanya.

Matahari mulai bergerak tepat di atas kepala, Elena akan segera pergi dari sana.

"Elena," Kairi memutuskan untuk bicara. Elena menanggapinya dengan senyum. "Apa ... anda ingin ikut dengan saya berburu herba akhir minggu ini?"

'Berburu' tapi 'tanaman', sebuah kata-kata yang menurut Elena unik dan menarik.

Musim panas belum berakhir di bumi ini, namun beberapa pohon sudah menunjukkan perubahan warna daun dari hijau terang menjadi hijau yang lebih pudar, atau kuning meranggas menyambut musim gugur. Cuaca juga lebih bersahabat dibanding panas sepanjang tahun yang menyambangi Floralys dengan intensitas hujan yang semakin bertambah. Untungnya, hari itu cerah dengan kelembapan sedang, suasana yang sangat tepat.

Kairi mengajak Elena ke hutan belantara yang ada di daerah netral sebelah timur Orkanius. Mereka berangkat pagi-pagi sekali menumpang karavan milik pedagang yang hendak menuju ke utara. Hutan bukanlah hal baru bagi Elena, tapi bukan berarti ia mengurangi kewaspadaan.

Dalam hidupnya sebagai seorang bagian dari pasukan tentara, berburu selalu dikaitkan dengan mencari hewan liar untuk makanan sementara agar mereka tidak menghabiskan perbekalan terlalu cepat. Floralys memang mengalami perang dapat dihitung dengan jari, tapi Floralys rutin mengadakan latihan militer bagi mereka yang diwajibkan ikut.

Hingga saat ini, sepanjang Elena sering datang ke rumah hijau untuk mengamati tanaman di sela-sela kesibukannya, Kairi tampak tidak tahu siapa sebenarnya dia.

"Hutan yang lebat sekali." ucap Elena saat mereka baru saja sampai.

"Apa anda belum pernah ke hutan sebelumnya?"

"Sudah kok, cuma mungkin aku kurang paham dengan daerah-daerah dekat Orkanius."

"Saya paham. Saya juga tidak tahu arah kalau anda mengajak saya ke sekitaran Floralys."

"Jangan-jangan kamu tiap hari berdiam di ibu kota Floralys saja, Kairi?"

Ia terdiam, ekspresinya mendatar. Bagaimana Kairi selalu mengambil waktu untuk berpikir sebuah jawaban yang sudah tergambar jelas di wajahnya yang minim ekspresi itu kadang membuat Elena sulit menahan tawa. "Saya ... sibuk."

"Kapan-kapan, akan kuajak kamu ke sekitaran Floralys." seru Elena. "Anggap saja sebagai balasan dari kegiatan ini."

Kairi menarik tas punggungnya untuk mengeluarkan segulung perkamen peta. Ia mendekati Elena dan menunjukkan potongan peta Orkanius itu padanya. "Kita ada di sekitar sini," jarinya menunjuk bagian peta yang ditandai 'hutan' tidak jauh dari jalan utama. "Tujuan kita adalah sekitar sini." ia melingkari daerah di peta, dekat dengan sebuah danau yang ditulis sebagai 'Danau Bintang'.

"Berapa banyak macam herba yang hendak kamu ambil?"

Kairi tersenyum, lebih lebar dari biasanya. "Tidak sebanyak yang anda pikirkan, mungkin?"

"Sepenuh tasmu?"

Ia mengedikkan bahu. "Itu namanya merampok alam, Elena."

"Oh? Ada ya, istilah merampok alam?" Elena tertawa.

"Alam memang memberi, tapi kita tidak boleh mengambil lebih dari apa yang bisa kita terima."

Ungkapan itu membuat Elena sontak terdiam. Sesuatu yang hangat menjalar dalam hatinya. Sebuah kalimat sederhana yang maknanya membekas. Kairi, selama Elena mengenalnya, adalah orang yang demikian. Sederhana, berbicara singkat selain soal tanaman, dan selalu fokus pada bidang keahliannya. Ia juga jujur dan berani mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya tanpa takut akan dihakimi.

Atau, mungkin ia melakukan hal itu karena ia tidak mengenali siapa Elena sebenarnya?

Ah, usah saja berpikir miris seperti itu - Kairi sudah baik hati mengajaknya berburu herba, Elena juga harus fokus.

Mereka menyusuri jalur setapak tanah yang lalu hilang saat mereka menemui pohon-pohon yang lebih rimbun dan semak-semak belukar. Sesekali Kairi berhenti untuk mengamati kompas, tujuan mereka adalah barat laut dekat dengan Danau Bintang.

Sepanjang perjalanan, Kairi bercerita tentang bunga dan akar-akaran yang menjadi khas di hutan tersebut. Ilmu-ilmu itu ingin sekali Elena catat, tapi ia terlalu asyik sesekali bercanda dengan Kairi.

Sudah lama Elena tidak memiliki seseorang yang bisa diajak mengobrol selayaknya mereka setara dan sebaya. Tidak ada panggilan 'komandan', tidak ada bubuh penanda sopan bersama dengan namanya, tidak ada sapaan 'penyihir putih elit'. Ia hanyalah 'Elena'. Dan pada hari Sabtu itu pun, tidak ada tanda-tanda panggilan 'Kepala Klinik Crescent pemilik Klinik Bulan Sabit'.

Mereka berhenti untuk beristirahat setelah Kairi menemukan pucuk-pucuk kekuningan yang disebutnya berfungsi untuk mengobati nyeri. Mereka duduk di bawah salah satu pohon rimbun dan berbagi bekal.

"Kamu juga pandai memasak, ya. Herbalis Orkanius hebat sekali."

Kairi menarik kotak bekalnya yang berisi roti dengan berbagai isian dan buah-buahan. Pipi Kairi memerah seperti ceri yang ada di pinggiran kotak. "A-Apa sih. Kotak bekalmu juga terlihat hebat tuh."

"Cuma nasi kepal." ucap Elena. "Boleh aku minta rotimu?"

"Silakan."

Rencananya, mereka akan mencari ranting yang kata Kairi menyala sebelum bertolak kembali ke arah jalan utama. Mereka akan tiba di Floralys sebelum petang.

Di sebuah percabangan yang dikelilingi pohon ramping berdaun runcing, Elena menangkap suara lain mendekat. Kairi, tampak menyadari sikap Elena, turut berhenti melangkah.

"Ada apa, Elena?"

"Apa sering ada binatang buas atau makhluk magis di sekitar sini?"

Kairi menggeleng, "Daerah ini cukup aman."

"Tapi suara apa i-"

Auman geram terdengar tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Sesosok makhluk berkepala singa dengan tanduk rusa dan ekor yang tidak tampak seperti karnivora bertaring pada umumnya melesat dari semak-semak. Mereka berdua bertolak, menghindari makhluk yang menghantam keras pohon dan berguling. Pohon yang ditabrak tanduk keras itu sekejap tumbang.

"Chimera!?" pekik Kairi.

Elena menghela napas panjang. Chimera adalah salah satu dari rentetan makhluk magis yang umum ada di alam. Chimera biasanya terbentuk dari gabungan tiga jenis hewan, tapi Elena tidak melihat keberadaan sayap di punggung makhluk itu.

"Lihat, Kairi. Sayapnya patah. Kemungkinan ia menyerang membabi buta karena kesakitan."

Makhluk itu berdiri kembali, lolongan keras penuh ancaman menggema di antero hutan. Kairi menarik tangannya.

"Sebaiknya kita lari sekarang."

Chimera itu mengejar mereka, dan mereka berdua berlari menghindar. Sayapnya memang patah, tapi mereka bisa tamat bila Chimera itu menyeruduk atau menangkap mereka dengan cakar tajamnya.

Alih-alih terus berlari dan mengaburkan konsentrasi makhluk itu, mereka tidak ada apa-apanya dibanding kecepatan monster berkaki empat.

KRASH

Mereka berdua terlempar sesaat Chimera menyusul dan menggunakan kepalanya untuk menghempaskan mereka ke arah tanah berpasir landai. Elena terbatuk, rasa pasir dan batu di bibirnya bercampur dengan darah. Sesegera mungkin ia berdiri dan mencari Kairi yang tangannya terlepas dari genggamannya.

Kairi terpojok dengan sebuah pisau di tangan, menatap Chimera tanpa gentar walaupun tubuhnya lecet akibat lemparan barusan. Mata Chimera itu berkilat-kilat, kemungkinan terdistraksi oleh pantulan sinar dari pisau, membuatnya mundur beberapa langkah.

Ini adalah kesempatan. Satu tembakan, atau mungkin mereka tidak akan bisa kabur.

Elena tidak punya pilihan selain menunjukkan sihirnya.

Elena memusatkan energi untuk merapal panah cahaya di tangannya. Ilmu sihir tingkat sedang yang biasa digunakan para prajurit untuk bertahan, walau juga berpotensi untuk merusak. Elena menarik napas dalam-dalam, tangan kirinya bergetar menjadi pengarah anak panah yang ia manifestasi di tangan kanannya.

"Sagittae." bisiknya, menyempurnakan sihir cahaya itu.

Panah itu melaju, mengenai Chimera tepat di kepalanya, menembus melewati kepala itu dengan utuh. Seharusnya, Chimera itu tewas seketika. Namun, Elena tidak mengantisipasi tubuh besarnya yang terjerembab akibat reaksi sihir.

Ekor itu menusuk sisi tubuh Elena, sementara bagian dari sisa sihir dan tanduknya mengenai Kairi. Tubuh besar itu pun berasap setelah sempurna menyentuh tanah, seakan-akan seperti terbakar oleh api.

"Elen-"

Elena merasa tubuhnya seperti ditusuk oleh seribu jarum. Ia masih dapat melihat Kairi yang dahinya tergores dan mengeluarkan darah segar, lagi ia mendekati Elena seraya menyeret kakinya sendiri untuk berjalan. Elena tidak dapat mendengar suara apa-apa setelahnya, netranya sekedar menangkap Kairi yang untuk pertama kali menunjukkan ekspresi selain senyum hambar dan datar. Kairi meremas bahunya, ia tampak mengucap sesuatu yang Elena tidak bisa baca dari bibirnya.

Apa yang terjadi? Ia cuma sedikit tergores oleh ekor Chimera-

Elena mengangkat kepala, kesadarannya mengawang. Penglihatannya memburam. Di sisa kesadarannya, ia menyentuh luka di kepala Kairi dan mengeluarkan sihir penyembuhnya, mengamati lamat-lamat luka itu menutup.

Biasanya, ia tidak sepayah ini. Ia masih bisa menyembuhkan lebih cepat, lebih benar.

"Pergilah, Kairi."

Elena merasa mengucap kata-kata itu, walau ia tidak bisa mendengar dirinya sendiri.

Hitam pun menguasai penglihatannya dan segalanya menjadi buyar, larut dalam kegelapan.

Kairi memapah tubuh yang limpung di sisinya sambil terus menuju arah barat laut, mencari tempat yang lebih lapang dan jauh dari kungkungan hutan yang sangat berbahaya saat malam menjelang.

Perjalanan panjangnya akhirnya membuahkan hasil. Arahnya bermuara di sebuah danau besar yang memantulkan bintang-bintang yang mulai berkelip di angkasa. Di saat itulah, Kairi membaringkan tubuh yang tidak sadarkan diri itu di rerumputan lapang tepat di samping muka air.

Matahari kini telah tenggelam, meninggalkan jejak jingga yang perlahan dilumat oleh biru gelap malam.

Di satu sisi, Kairi lega bisa keluar dari ganasnya hutan, namun di satu sisi ia merasa sempurna kalut.

"Elena? Elena!"

Kairi mencoba memanggil nama itu berulang-ulang sejak tadi. Sosok yang kini terbujur itu masih bernapas, tapi denyut nadinya lemah. Kairi menelan rasa cemas dan ribuan kalimat negatif di benaknya untuk berkonsentrasi memeriksa keadaan Elena.

Kulit tubuh yang semakin memucat itu mendadak panas setelah beberapa saat setelah ia tidak sadarkan diri. Lengannya yang terkena bagian tubuh Chimera tidak mengeluarkan darah lagi, namun ada bekas kebiruan muncul di sana.

"Ekor itu jangan-jangan ... ini racun ...?"

Kairi terus memutar otak. Dari beberapa tanaman yang ia dapat hari ini, ada penghilang nyeri. Ia juga berhasil memetik ranting nyala yang berkhasiat sebagai penurun panas. Lalu, di kotak perlengkapan yang ia bawa pasti ia sudah menyiapkan beberapa jenis penawar racun. Kalau ia bisa dengan cepat membuat campuran eliksir dengan semua bahan-bahan itu ia bisa-

Pemilik rambut seputih salju itu menepuk pipinya dengan kasar. "Ini bukan waktunya untuk panik. Ada pasien menunggu. Anggap saja ini sedang perang."

Kairi mengeluarkan seluruh isi tasnya dengan terburu, memisahkan mortar dan stamper dan kotak herba dari yang lain. Ia menggunakan botol minumnya untuk mengambil air dari danau.

Refleksi wajahnya di danau memperlihatkan sosoknya yang kacau dan gusar, jejak darah yang sudah kering dan pelipis yang sama sekali tidak terluka.

Kepalanya yang semula tergores karena tanduk Chimera sembuh tanpa bekas karena sihir penyembuh yang sangat hebat. Elena menyembuhkannya lebih dulu tanpa memperdulikan dirinya sendiri. Energi sihir itu sangat kuat sampai lukanya tertutup dengan cepat dan menyisakan kehangatan yang nyaman dan membekas.

Selayaknya penyihir penyembuh.

Kairi menggelengkan kepala. Ia mempercepat tangannya untuk bekerja, mengenyampingkan tanya yang timbul. Ia mencampur anti racun, ranting nyala dan daun hingga menjadi bubuk homogen, lalu melarutkannya dengan air danau. Air dalam botol itu menjelma menjadi terang berpendar seperti yang Kairi harapkan, ia hanya perlu berharap obat ini bekerja.

Karena tidak mungkin meminumkan obat ini pada orang yang tidak sadarkan diri, pilihan yang hanya Kairi punya adalah memasukkan obat itu dari jalur luka menggunakan sedikit energi sihir. Kairi bukanlah penyihir ulung, tapi ia kurang lebih biasa melakukan itu.

Setelah obat itu masuk, Kairi menunggu respon positif dari anti racun.

Sesaat ia menangkap warna kebiruan di sekitar luka memudar, Kairi menghela napas penuh kelegaan. Anti racunnya berhasil. Ia bisa sedikit lebih santai. Reaksi tubuh karena racun itu nantinya akan mereda satu-persatu.

"Elena ..." panggilnya lirih.

Ia seharusnya menyembuhkan dirinya sendiri dulu ketimbang dirinya, kenapa-

Kairi merasakan pipinya sendiri basah dan tepi matanya panas. Ia ... ia menangis?

"Ayolah, Kairi. Kamu tidak selemah ini. Di medan perang kamu juga tidak merasakan apa-apa." bisiknya pada dirinya sendiri.

Kairi kembali bangkit, mencari sesuatu untuk dilakukan. Mungkin ia harus membuat api unggun. Mungkin ia harus mengambil air lagi untuk Elena jika nanti ia terjaga dan merasa haus. Mungkin ia harus membersihkan lecet-lecet kecil di tubuhnya. Mungkin ia harus merapikan tempat itu.

Akan tetapi, ia merasa tidak ingin meninggalkan Elena sendirian.

Kairi kembali duduk, mengusap air matanya yang terus menerus mengalir.

Kenapa dia menangis? Elena bukan siapa-siapa-

Kairi menelan ludah. Ditatapnya kembali sosok yang selalu tersenyum lembut ke arahnya. Kini, sosok itu masih bertarung antara hidup dan mati dengan bibir yang hampir seluruhnya membiru.

Ia menarik kedua kakinya naik, melingkarkan kedua tangannya seraya ia memeluk dirinya sendiri.

Untuk pertama kalinya, Kairi membiarkan dirinya terjaga pada sisi terlemahnya, dan ia menutup mata seraya sejenak berdoa.

.

Selayaknya orang biasa, Kairi benci perpisahan.

Lahir tanpa keberadaan orang tua dekat dengan daerah dingin berlapis tundra Orkanius, hidupnya lama di jalanan bersama anak-anak lain yang diambil oleh negara untuk dijadikan berguna.

Satu-persatu teman seumurnya datang dan pergi; ada yang tidak kuat dingin dan meninggal begitu saja, ada yang dipindahkan entah kemana, ada juga yang katanya diadopsi oleh keluarga kaya.

Sampai suatu hari ada seorang wanita paruh baya dengan topi kerucutnya mengajarkan anak-anak polos itu tentang tanaman obat. Beberapa anak mulai menganggap wanita itu aneh, terkecuali Kairi yang - menurut sang 'Master' - dengan mata bulatnya berbinar, meminta wanita itu mengulang kembali pelajarannya.

Wanita paruh baya itu kemudian mengadopsinya sebagai seorang murid. Hidup Kairi pun dipenuhi hijau dan sedikit banyak warna, hingga wabah menyapu penduduk Orkanius dan dirinya yang belum 'siap'.

Sepeninggalan sang Master yang begitu mendadak, Kairi mewarisi nama Physeter dan herbarium milik sang Master, ia lalu memusatkan segalanya untuk mendalami ilmu pengobatan, bahkan hingga ia mampu belajar ke jenjang yang lebih tinggi secara legal di Orkanius.

Pertarungan Tahta yang mendera Orkanius menjadikannya kebal melihat prajurit yang hilir dan mudik. Kairi tidak terlalu mengingat nama-nama mereka yang sekedar datang, minta diobati dan pergi, tapi Kairi mengingat mereka yang menghabiskan waktu mereka meregang nyawa sampai maut menjemput.

Lagi, sejak hari itu berlalu, Kairi tidak pernah mengeluarkan banyak ekspresi selain sedikit senyum. Master selalu bilang, pasien akan tenang bila para penyembuh tersenyum. Ia merasa ekspresi lain tidak diperlukan, itu semua adalah sebuah kelemahan.

Sementara, di saat ini, saat ia sudah tidak lagi menjadi bagian 'Orkanius' atau membayar hutang budi kepada 'negara', ia berada di Floralys, kembali mengunci dirinya dalam dunia herba, dan-

"Selamat sore, Kairi."

"Hari ini sudah tutup."

"Saya tahu," Elena Crescent tersenyum. Senyum yang ringan dan tulus. "Saya cuma sekedar lewat untuk menyapa."

"Anda bukannya tinggal di lapis ketiga?"

"Kebetulan saya mau ke kedai kopi di pojokan," Elena menunjuk ke arah jalan utama. Belokan pertama ke kanan, dan mereka akan menemukan kedai kopi itu.

Kairi selalu menolak dan Elena akan tersenyum seperti biasa dan pergi. Itu juga tidak akan mengurungkan niatnya datang saat sore dan mengajak Kairi. Kairi menganggap Elena sangat, sangat aneh.

Andai, andai Kairi bisa berekspresi lebih menanggapi kebaikan hati wanita Floralys itu; wanita yang tidak banyak bertanya mengenai asal-usulnya dan selalu menjadi pendengar baiknya berceloteh soal bidang keahliannya.

Ah.

Ekspresi apa yang ia rasakan saat ini, sebenarnya?

Yang Elena rasakan pertama kali adalah hangat setelah jeda yang terasa sangat, sangat panjang. Ia merasakan puas sudah dapat mengobati Kairi sebelum kesadarannya pupus. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah terkena ekor monster itu, tapi ia tidak merasa kehilangan banyak darah.

Kemungkinan besar ekor itu mengandung racun sehingga ia kolaps dengan cepat. Belum lagi energi sihirnya terkuras dengan tembakan panah sihir.

Sebagai penyihir penyembuh, tugas utamanya adalah menyembuhkan, tidak untuk membela diri. Olah sihirnya mungkin kurang terlatih karena kekhususan itu - ah, sejenak ia merasa tidak berguna.

Apa yang akan Liane atau yang lain bilang kalau komandan mereka kurang siaga?

Selain itu, Elena juga sudah membuat sesama penyembuh khawatir. Kairi pasti sangat marah padanya sekarang.

Kairi. Benaknya mengulang nama itu lagi.

Saat Elena kehilangan kesadaran, apa luka di kepalanya itu sudah tertutup tuntas? Bagaimana dengan luka-luka kecil lain? Kalau tidak salah, Kairi juga tersungkur bersamanya di tanah itu, apa dia baik-baik saja?

Nalurinya sebagai penyembuh mulai bergolak. Namun, Elena merasa bukan itu saja yang membuatnya memikirkan Kairi.

Wanita itu sudah sepantasnya pergi menyelamatkan dirinya sendiri, akan sulit menyelamatkannya di tengah hutan yang begitu lebat. Ia tidak seharusnya menampilkan air muka yang begitu gusar. Ia lebih pantas tersenyum.

Elena sudah bersalah membuat Kairi cemas.

Ia tidak pantas untuk-

Suara kayu dimakan api berkerik menyapa telinganya, sebelum dibarengi wangi segar rerumputan dan ... sebuah bunga yang perlahan menarik dirinya dalam kabut di dalam kepalanya.

Elena membuka matanya dalam sebuah tenda norman yang terbuka menghadap api unggun. Berlatarkan danau yang membentang sejauh mata memandang, ia sepertinya terbaring tenang di atas sebuah alas tipis yang kurang lebih nyaman dibandingkan undakan tanah. Separuh bagian tubuhnya masih terasa kebas sehingga ia tidak memaksa untuk duduk atau beralih posisi. Jaket berwarna biru hitam khas Orkanius membungkus dirinya selayaknya selimut.

Tepat di samping kepalanya, bunga kering dengan kelopak yang mirip dengan terompet berada, mengeluarkan wangi yang menenangkan. Elena merasa senyumnya terkembang dengan sendirinya.

Kairi...

Sejurus kemudian, suara langkah menyeret tanah mendekat ke arah tenda. Kairi menyingsingkan lengan kemeja putihnya. Ada bekas cakar di selusur tangannya yang sudah mengering namun meninggalkan bekas. Ia membawa kotak yang diisi air, juga sebuah kain lusuh yang digunakannya sebagai kompres.

Pandangan mereka bertemu. Kairi pun segera bersimpuh, hampir isi kotak itu tumpah.

"Elena?"

"Kairi." panggilnya lemah. Ingin rasanya ia mulai meracau untuk mencairkan suasana, tapi tenggorokannya terasa kering. "Maaf, aku-"

"Jangan banyak bergerak dulu, anda masih demam," pungkasnya tegas. "Apa anda butuh minum?"

Elena mengangguk pelan, menghormati usaha Kairi sebagai seorang penyembuh.

Kairi, sama seperti penyembuh lainnya, memperlakukan pasiennya dengan lembut. Ia mengambil botol air dari tasnya, kemudian memapah punggung Elena naik untuk membantunya meminum sedikit air secara perlahan. Elena menarik lengannya saat merasa minumnya cukup, dan Kairi kembali membaringkannya di atas alas.

Kairi mengambil kain dari kotak yang tadi ia bawa. Ia memerasnya sekali sebelum menaruhnya di dahi Elena. Air kompres itu hangat tapi Elena merasakan nuansa sejuk.

"Tenda ini ... ah, kamu mencari di tasku ya?"

"Ah, bukan maksud saya-"

"Tidak, tidak apa-apa." sergah Elena. Ia tidak ada pemikiran sebelumnya akan menginap di alam liar, tas itu adalah perlengkapan yang selalu ia bawa selama aktif menjadi anggota pasukan. "Cuma kebetulan saja di perbekalanku ada tenda. Naluri saat berpergian jauh, mungkin?"

"Jadi anda adalah bagian dari pasukan utama Floralys?"

Kairi menatapnya gamang, Elena hanya bisa menundukkan pandangan. Wanita itu kemungkinan tahu dari sihir yang digunakannya, atau mungkin dari melihat isi tasnya yang kental dengan logo pasukan Floralys.

"Aku tidak bermaksud menyembunyikan itu darimu, Kairi."

"Tidak masalah, saya juga yang tidak pernah bertanya." jawab wanita itu. Elena berpikir dia akan kesal. "Penyihir putih penyembuh ... anda seorang elit?"

Elena mengangguk pelan, "Komandan batalyon penyembuh," ia merasa lidahnya getir, ia segera mengimbuh. "... Mantan komandan. Aku sedang tidak ditugaskan."

Mata abu Kairi berkilat. Senyum muncul di parasnya. "Pantas saja."

Elena menaikkan alis tanda tanya. Ekspresi Kairi melembut saat ia menyentuh dahinya. "Sihir anda dengan cepat menutup luka saya. Saya ..." sejenak ia mengulum bibir. "Saya tidak tahu bagaimana saya harus berterima kasih."

"Kairi," panggil Elena. "Kamu menyelamatkanku dari racun, 'kan? Anggap itu lebih dari cukup."

"Tapi Elena, kondisi anda belum-"

"Saya yakin saya akan baik-baik saja," ucapnya. "Kamu adalah Herbalis yang semua orang bilang sangat terampil."

Sunyi kembali menjelang melengkapi malam yang semakin dalam. Suara kerik api dan jangkrik mengisi sepi.

"Ah saya ... saya akan mengambil air lagi."

"Kairi."

Elena menahan lengan itu sebelum ia pergi.

"Kamu juga terluka, kamu sebaiknya istirahat."

Bibir Kairi membuka. Ekspresinya enggan. Elena menggenggam tangannya lembut, sebelum menepuk sisi kosong di sampingnya. "Tidurlah bersamaku."

"Tapi, Elena, harus ada yang berjaga malam ..." matanya mengedar cemas ke arah luar. Bisa saja ada binatang yang datang.

"Kecilkan apinya dan tutup tendanya," imbuh Elena. "Di daerah terbuka seperti ini, tidak akan ada yang akan mengganggu."

Kairi terdiam dalam jenak, sebelum akhirnya ia keluar sebentar mengecilkan api. Ia mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya, mengambil sedikit cahaya api dengan sihir sederhana dan menyimpannya dalam kotak. Elena memerhatikan, seperti prinsip sihir cahaya lumen untuk penerangan, dirinya membatin.

Kairi lalu menutup tenda dan menaruh kotak terang itu di sisi pojok tenda. Elena kembali menepuk sisi kosong di sampingnya menanggapi keengganan Kairi.

Elena kembali memikirkan penolakan, tapi Kairi saat itu mengangguk dan berbaring di sampingnya. Kairi memutar badannya ke samping, menatap Elena dengan pandangan lurus. Ia membiarkan bunga kering itu tetap di antara mereka. Kairi kembali menyentuh wajahnya, memeriksa suhu tubuhnya sambil bergumam pada dirinya sendiri.

Tangan itu lebih kecil darinya, dingin dan nyaman lagi kasar karena menangani tanaman demi tanaman dari waktu ke waktu. Elena menahannya tanpa sadar, membiarkannya untuk tetap merambah pipinya.

"Jaketmu kugunakan, kamu tidak kedinginan?"

Kairi menggeleng. "Anda ... terlalu memikirkan saya. Pikirkanlah soal anda sendiri."

Elena terkekeh pelan, "Begitu, ya. Baik, Nona Herbalis."

"Tolong jangan bercanda di saat seperti ini." Kairi merajuk.

Tak Elena sangka, mata abu yang minim ekspresi itu perlahan basah. Kairi yang biasanya tegar menitikkan air mata. Ia tampak menyadari hal itu dan segera menyeka air matanya yang tak kunjung berhenti. Wanita itu terisak, sementara Elena tergemap, napasnya tercekat di tenggorokan.

"... Kairi." tangannya naik dengan sendirinya mencari wajah itu. Ibu jarinya bergerak menghapus jejak tangis yang tak kunjung usai. "Kairi. Sudah kubilang, aku akan baik-baik saja."

Kairi tampak tidak mendengarkan. Elena tidak mengerti apa yang menggerakkannya di saat itu. Tubuhnya memang masih lemah, tapi ia ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan tangis itu. Kairi tidak sepantasnya menangis, tidak untuk dirinya. Tidak untuk keadaan yang sudah terjadi. Tidak untuk keadaan yang sepintas terlihat tanpa harap.

Elena mendorong wajahnya mendekat, ia menopang dagu Kairi saat bibir mereka bertemu dalam hening yang singkat. Wangi bunga kering melingkupi mereka pada jeda yang terasa lambat. Elena membuka mata dan menarik diri, menghela napas yang entah sejak kapan ia tahan, menatap Kairi dengan mata merahnya tenang.

Tangis itu berhenti. Kairi menatapnya dengan mata membulat dan mulut terbuka. Semburat merah merekah di pipinya menyentuh matanya yang sembap.

"Elena ..."

Ingin rasanya ia memutar waktu dan mengucapkan beribu maaf untuk perilakunya yang impulsif. Akan tetapi, Kairi tidak pergi. Ia melingkarkan lengannya mendekati Elena dan merengkuhnya. Tubuh yang dingin itu bertemu dengan kulitnya yang meradang demam, membuatnya merasa ada dalam damai.

"... bodoh."

Elena mendengar gumam itu sangat, sangat pelan di antara debar jantung yang Elena tidak tahu jelasnya milik siapa. Ia tidak sempat bertanya sesaat lelah mendera tubuhnya lagi. Matanya perlahan terpejam, mengantarnya kembali ke gelap yang kini tentram.

.

COUNCIL menentukan negara yang seharusnya melebur dan 'mati' dengan adanya Pertarungan Tahkta, semua itu sudah ditentukan bahkan sebelum ia lahir di dunia.

Ia tidak ingat dari negara mana keluarganya berasal, mereka pergi sebelum negara asal mereka habis oleh negara lain yang terkenal barbar. Mereka terus berjalan hingga menemukan suaka di Floralys.

Orangtuanya selalu mewanti-wanti agar ia mempelajari sihir lebih baik karena kesempatan mempelajari sihir tidak datang dua kali, apalagi terhadap imigran seperti mereka. Sihir di mana saja dianggap seperti barang mahal, tidak semua orang berhak mempelajarinya kecuali kaum tertentu.

Saat itu, Floralys tengah dihadapkan dengan Pertarungan Takhta berikutnya. Floralys menang, namun kerusakan dan korban yang ditimbulkan terlampau besar sehingga mereka memilih tidak melebur dengan negara lawan yang sama hancurnya. Belum lagi dikabarkan bahwa ahli waris Floralys gugur dalam pertarungan tersebut.

Reformasi dan masa labil mendera negara itu, menjadikannya negara yang lebih peduli dengan rakyatnya, walau masih ada beberapa sistem kasta yang sulit dihilangkan.

Elena Crescent lulus dari akademi sihir Floralys dengan predikat sangat memuaskan, kemudian ia dimasukkan ke dalam pasukan perang dan lambat laun berkembang menjadi seorang komandan batalyon penyembuh.

Cerita yang sangat membosankan, bukan? Elena selalu menganggap dirinya tidak berharga.

"Ah."

Duri menggores jari telunjuknya saat ia melihat lebih dekat tanaman yang Kairi bilang sebagai kaktus yang tumbuh di padang pasir. Kaktus memiliki duri yang merupakan jelmaan dari daun. Mereka menggunakan duri itu untuk pertahanan diri terhadap pemakan tumbuhan dan menyimpan air.

Elena melihat tetes darahnya turun, hendak menyembuhkan sendiri dengan sihir tapi ada tangan lain yang segera menarik memeriksa.

"Anda tertusuk?"

"Tergores saja kok." jawab Elena pada Kairi yang menatapnya dengan alis tertekuk.

"Naikkan tangan anda dan tahan, saya akan mengobatinya."

Kairi menarik sebuah kotak dari salah satu lemari kayu yang penuh dengan peralatan berkebun. Ia mengeluarkan sebuah botol berisi cairan bening, kasa kering, dan plester.

"Itu?"

"Antiseptik buatan saya dari - ah, itu tidak penting sekarang," Kairi menatapnya. "Kemarikan tangan anda."

Elena duduk di bangku panjang yang ada di tepi rumah hijau, mengamati Kairi yang membersihkan lukanya dengan cairan bening itu dan menutupnya dengan plester.

"Oke, sudah."

Kairi tersenyum penuh kepuasan seusai mengobatinya. Luka yang sejenak remeh dan menutup dengan beberapa detik sihir ditangani Kairi seakan luka itu berbahaya.

Elena menyadari saat itu bahwa masih ada banyak hal yang perlu dipelajari dari Kairi. Dan juga-

"Terima kasih, Kairi."

"Sama-sama."

-perasaan ringan yang dialaminya saat melihat senyum itu, perasaan apa itu sebenarnya?

Kairi terbangun pada tenda yang menghangat karena matahari pagi. Separuh dari dirinya masih merasa apa yang terjadi kemarin adalah mimpi belaka, sebelum ia menyadari bahwa wanita berambut merah itu masih ada dalam peluknya.

Ia bergerak pelan untuk menekan punggung tangannya pada dahi Elena, demamnya tampak sudah turun dan ia sudah tidak lagi pucat. Denyut nadinya juga sudah normal. Semua tanda menandakan anti racunnya berhasil.

Kairi kemudian terdiam menatap bibir itu.

Segalanya terjadi begitu cepat; ia yang mendadak menangis karena pikiran negatif merundung dan berputar di dalam kepalanya yang menyuarakan hal terburuk, dan Elena yang tidak menghakiminya karena terlihat lemah dan malah-

"... Kairi?"

Kairi terperanjat, ia refleks melepas diri dari Elena dan memunggunginya sementara ia menatap ke arah pintu keluar tenda. Wajahnya sejenak panas. Elena bangkit untuk duduk, mengusap kantuk dari matanya.

"Ah, sepertinya kekuatan sihirku sudah kembali." ucapnya. "Terima kasih atas pengobatannya, Nona Herbalis."

Kairi masih tidak sanggup menatap Elena, ia berkata cepat. "Bukan masalah," pikirannya mulai bercabang mencari bahan pembicaraan. "Ki-kita sebaiknya segera berkemas dan kembali ke Floralys."

"Mhm. Ayo."

Kairi keluar lebih dahulu menuju danau untuk mencuci muka dan meredakan pipinya yang panas.

Ah, benar-benar.

Ia tidak seharusnya menyimpan rasa pada seorang penyihir elit Floralys, bukan?

Klinik Bulan Sabit di awal musim gugur selalu melayani banyak pasien di kala musim berganti dan penyakit-penyakit musiman mulai timbul.

Kala itu, Elena meminta Liane untuk memindai apakah masih ada sisa racun di tubuhnya. Karena bekas luka yang meninggalkan jejak kebiruan di lengannya belum hilang sempurna, ia tidak bisa berbohong pada Liane kalau ia terluka di suatu tempat.

Di saat perjalanan pulang menuju Floralys, mereka berdua berjalan lebih pelan sembari bertukar cerita tentang diri mereka masing-masing. Bagaimana Orkanius dengan dinginnya yang menantang dan pendidikan informalnya bersama seorang 'Master' sampai Kairi belajar sendiri tentang ilmu pengobatan, dibalasnya dengan kisah monoton mengenai seorang imigran yang mempelajari sihir dan membiarkan segalanya mengalir. Ketika mereka menumpangi karavan, mereka berdua larut dalam diam, bahkan hingga kembali dengan selamat dan berpisah jalan.

Beberapa minggu terlewati dengan kehidupan yang cenderung stagnan, walau Elena sadar perubahan sikap Kairi padanya sangat tajam. Elena masih kerap bertandang ke rumah hijau, tapi mereka lebih banyak berdiam diri. Karena pekerjaan Elena yang menumpuk saat ia absen beberapa hari, ia cuma bisa menyempatkan waktu sedikit untuk datang. Elena juga tidak bisa berkunjung saat sore karena laporan klinik yang harus dirampungkannya.

Elena hanya bisa menyimpulkan bahwa itu adalah akibat perilaku impulsifnya saat malam itu. Ia tidak seharusnya melakukan itu. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghentikan tangisnya.

Sebagai seorang yang kerap memerhatikan orang lain dan memenuhi kebutuhan mereka sebagai seorang penyembuh, kelakuannya sangat disayangkan. Sudah pantas Kairi menyebutnya 'bodoh' saat itu.

"Tidak ada bekas racun, Komandan." Liane berucap setelah cahaya sihirnya lenyap. "Anda habis dari mana sampai bertemu Chimera dengan ekor beracun?"

"Hutan?" jawabnya samar. Liane tertawa kering.

"Kalau anda perlu mencari sesuatu ke hutan, bawa saja batalyon kami. Kami siap membantu anda!"

"Sudah saya bilang, saya bukan komandan-ah sudahlah," Elena tertawa kecil menanggapi antusiasme Liane. "Bagaimana hari ini di shift pagi? Ada keluhan dari pasien tertentu?"

Liane mendengung berpikir, "Tidak banyak, sih. Tuan Briggs datang karena patah tulang dan sekarang masih dirawat di ruang inap sebelum rekonstruksi tulang. Lalu ada Nyonya Mayer yang mengeluhkan masuk anginnya tidak kunjung sembuh ..."

Elena mendengarkan Liane seraya memikirkan kembali soal Kairi. Ia harus mencantumkan apa yang terjadi hari ini pada laporan khusus sebelum petugas pemerintah datang untuk inspeksi.

Lalu soal Kairi, apa yang bisa ia lakukan? Mengabaikan ini semua?

"Komandan, anda serius baik-baik saja? Anda tampak murung."

Elena tersenyum, "Saya tidak bisa membohongimu, ya, Liane?" Liane mendengar itu dan tersipu. "Kalau boleh jujur saya ... saya sedang jatuh cinta."

Liane terbatuk keras, padahal Elena rasa ia tidak meminum apa pun di saat itu. Elena menepuk-nepuk punggung ajudannya itu hingga ia kembali meluruskan diri di kursi.

"A-A-Anda? Jatuh c-cin-?"

Elena menahan kepalanya di atas meja dengan kepalan tangannya. Ekspresinya gamang. "Seaneh itukah?"

"Anda tidak bercanda?"

"Mengapa saya harus bercanda?"

Liane terkesiap, "Ba, baik," pemilik rambut hitam itu menarik napas panjang dan membuang napas yang sama panjangnya. "Saya, saya tidak menyangka anda akan berbicara dengan saya soal percintaan."

"Maaf, Liane, saya akan mengingatkan kalau saya juga wanita." Elena tertawa puas, sadar bahwa mungkin topik ini sangat tidak biasa karena Elena jarang berbicara ringan dengan ajudannya. Untungnya, Liane jujur soal ekspresinya.

"Apa ini ksatria konglomerat di batalyon utara? Atau kepala penyembuh kelompok selatan Pak Barton? Anda tampak dekat dengan mereka saat Pertarungan Takhta."

Elena memutar bola matanya, berusaha mengingat dua nama itu. Ia tidak mengingat wajah mereka dengan jelas, tapi ia tidak akan mengecewakan Liane dengan berterus terang. "Bukan mereka."

"Ehhh? Saya kira-"

Suara ketukan pelan di pintu menyudahi pembicaraan mereka. Staf klinik membawa bundel laporan, namun ia tampak bukan di sana untuk menyerahkannya pada Elena.

"Nona Elena, ada yang mencari anda di lobi," staf itu menghampiri ruangan. "Dari pakaiannya sepertinya dia bukan orang Floralys."

Elena mengerjap. Ia hanya mengenal satu orang yang 'bukan dari Floralys', tapi ia bisa saja salah. Bisa saja itu pedagang dari luar kota yang hendak membuka stok dagangannya untuk klinik.

"Oh?" Liane memekik kegirangan. Ia dengan gegap gempita menggenggam tangan sang komandan dan mengayunnya naik turun. Staf klinik sampai menatapnya konyol. "Oh!? Apakah ini ...!?"

"Liane, bisa tolong kamu ... tenang?"

Kairi ingin menyalahkan wawasannya yang sempit, entah kenapa.

Tidak hanya Elena Crescent adalah komandan batalyon penyembuh, ia juga adalah pemilik Klinik Bulan Sabit, klinik terbaik di ibu kota Floralys. Artinya, Elena adalah penyihir putih elit dari segala elit yang sangat disegani di Floralys.

Kairi bukan hanya melampaui bukit, ia merasa sudah melampaui langit.

Kursi yang ia duduki di ruang tunggu klinik terasa telah menempel pada bokongnya saat ia menunggu. Keringat dingin serasa mengalir deras dari pelipisnya. Ruang tunggu klinik terasa panas padahal sedang tidak ada orang di sana terkecuali beberapa staf kebersihan yang lalu-lalang mengangkut sampah.

Kairi pasti tampak sudah berlaku sangat aneh beberapa saat belakangan, belum lagi ia telah mengganggu Elena yang ternyata super sibuk namun masih menyempatkan diri untuk menemuinya di rumah hijau seperti biasa.

Menyadari perasaannya sendiri membuat segalanya menjadi rumit, lagi terlanjur sederhana. Kairi hanya punya dua pilihan: mengakui terus terang atau menyimpannya dalam-dalam.

Akan aneh bila Elena terlihat bersama dengan dirinya yang merupakan orang Orkanius, mengingat statusnya yang tinggi, tapi kakinya membawanya segera ke klinik itu setelah mengetahui kebenarannya. Ini bukan rumah hijau yang membuat Kairi merasa ia ada di Orkanius, ini adalah klinik Elena di Floralys, tempat sekian pasang mata penduduk Floralys bisa melihat Elena bertemu dengan seorang Orkanius yang sangat tidak berharga.

Perasaannya tumbuh jauh sebelum malam itu, di masa ketika mereka berdua terbiasa dengan keberadaan satu sama lain, bercengkrama soal herba dan khasiat obat dengan antusiasme tinggi.

Mungkin, mungkin Kairi sudah lama berada pada 'sihir'-nya - tapi Elena memang pribadi yang tulus dan baik hati. Kejujuran dan perilaku lembutnya membuatnya luluh tanpa disadarinya.

Setelah beberapa jenak, Kairi melihat sosok familier dengan rambut merahnya mendekat ke arah kursi tunggu dengan anggun. Kartu identitas yang tersemat di seragamnya terpampang jelas: Elena Crescent, Kepala Klinik.

"Kairi," panggilnya lembut seperti biasa, membuat hati Kairi mencelos. Kairi segera berdiri dan membungkuk. "Ada apa kamu datang kemari, apa kamu kangen padaku?"

Kairi menjawab cepat. "Tidak juga," tapi ia tidak membiarkan ekspresi kecewa ada di wajah wanita itu terlalu lama. "A-Apa anda bisa menyempatkan waktu hari ini untuk ..." sisa suaranya mengecil seiring adrenalinnya mengendur. Kairi menelan ludah.

"Maaf, tapi saat ini aku sibuk," Elena menolaknya halus. Ada rasa hampa mendera dada Kairi sekarang. Ia menurunkan bahu.

"Ah, iya. Ma, maaf sudah mengganggu waktu anda."

"Kairi."

Seperti biasa, selalu Elena yang membuatnya terhenti; entah menahan tangannya atau menaikkan suara agar Kairi tidak sekonyong-konyong melarikan diri.

"Akhir minggu ini," Elena berujar, mukanya bersemu merah. "Maukah kamu ikut denganku ke suatu tempat?"

Kairi mengangguk. Senyum Elena kemudian merekah.

"Elena, saya punya satu pertanyaan."

"Hmm?"

"Di pojokan itu ada banyak sekali orang, apa itu ... staf-staf klinik?"

Elena menoleh ke belakangnya, wajahnya sejenak merona lebih gelap dan ia menepuk dahi. "Oh."

Akhir minggu datang selayaknya kura-kura yang berjalan dari hulu ke hilir, terutama karena pekerjaannya di klinik yang tiada akhir, ditambah lagi Liane yang sangat ... proaktif bertanya soal siapa wanita misterius berpakaian Orkanius yang menemui Elena di lobi ruang tunggu beberapa hari yang lalu.

"Jadi, gebetan anda orang Orkanius?"

Tulisannya meleset dari kotak laporan.

"Liane," Elena memijit pelipisnya. "Apa ini saatnya saya menggunakan hak prerogatif untuk memotong gajimu?"

Ia membungkuk dalam-dalam. "Ma, Maafkan saya! Saya tidak bermaksud ikut campur! Ta, tapi kalian berdua terlihat sangat lucu!"

Elena mendesis pelan. Ia menyelesaikan laporan harian sebelum angkat bicara lebih lanjut.

"Kami ... kami bukan pasangan."

"Hah!? Sa, saya kira kalian berdua sudah ..."

"Sejujurnya saya ... tidak tahu harus melakukan apa."

Elena menopang dagu. Memorinya memutar balik malam yang mereka lalui di dalam tenda itu, bagaimana penyihir elit sepertinya kelabakan dihadapkan oleh orang yang menangis karena dirinya.

Ia sudah terbiasa dengan penolakan terus terang dari seorang Kairi, akan tetapi malam itu membuatnya menepis ragu dan menyiratkan harap. Kairi tidak pergi dari sana, Kairi tidak menatapnya aneh, Kairi malah memeluknya, dan untuk pertama kalinya, Elena merasa sangat, sangat aman.

Ciuman itu mungkin adalah kesalahan terbesarnya, tapi ia masih punya waktu untuk memperbaikinya.

Mungkin ia lebih pantas untuk tidak-

"Komandan!" Liane lagi-lagi menggenggam tangannya erat dengan mata berbinar. Sisi positif Liane bak matahari siang yang menyengat menembus tulang. Matanya sampai menyipit kesilauan. "Saya yakin kalian akan menjadi pasangan yang bahagia!"

"Liane ...?"

"Saya tidak tahu siapa gerangan wanita Orkanius misterius itu, tapi melihat bagaimana kalian berdua bertemu di lobi sangat membuat kami tersentuh!"

"Tunggu, kami?"

"Komandan tanyakan saja pada seluruh staf klinik, mereka semua mendukung anda!"

Oh, hampir saja ia lupa kalau pertemuannya dengan Kairi itu jadi tontonan seantero klinik. Mereka kini melihat Elena dengan senyum mesem dan beberapa bahkan mengutarakan ucapan selamat.

Apa - apa tidak salah untuk berharap perasaannya akan terbalas?

"Semoga kencan anda malam ini berjalan mulus, Komandan!"

"Liane, sudah saya bilang saya-" Elena menggeleng-gelengkan kepala tanda menyerah. Kepalanya mulai pening sendiri. "--baik, saya akan berusaha."

"Itu namanya Komandan!"


Elena mengajak Kairi ke salah satu taman kota yang berhadapan langsung dengan sungai yang mengalir menembus Floralys. Taman itu sepi, mungkin karena mereka datang ke sana sebelum jam pulang kerja habis.

Sepanjang jalan santai menuju taman, Elena menggenggam tangannya erat. Berbeda dari Elena yang tampak tenang, malam ini Elena tampak ... lain. Ia sedikit tergesa-gesa, namun bukan suatu hal yang cenderung buruk.

Taman itu dikelilingi vegetasi yang tampak dibiakkan dengan sihir pemercepat tumbuh. Varian pohon yang ada lebih pendek dibandingkan biasa, seakan seperti bonsai yang ada di miniatur hijau. Taman ini memiliki bangku yang menghadap ke arah sungai, alih-alih menunjukkan sungai utama Floralys sebagai atraksinya. Mereka duduk di salah satu kursi panjang yang berada di tengah-tengah taman. Di kejauhan, terlihat halte bus air yang berjejal dipenuhi penumpang, mereka menjadi pengamat jauh meratap riuh rendah kedamaian dalam keramaian.

"Aku sering melihat pemandangan ini saat aku merasa lelah." Elena menghela napas panjang.

"Anda kelelahan?"

"Lebih tepatnya aku ... bimbang."

Elena menatapnya dengan nanar. Sesekali ia membuang pandang ke arah sungai, sebelum ia kembali menautkan tangan mereka di bangku taman. Nuansa di sekeliling mereka cenderung canggung, Kairi pun bingung bagaimana caranya mencairkan suasana.

"Sebelumnya, aku minta maaf soal ..." ia menjeda. Pandangannya menghambur ke segala arah. Kairi berulas senyum. "Malam itu. Aku, aku tidak berpikir panjang. Aku ... tidak seharusnya aku melakukan hal itu. Aku tidak tahu apa yang ada di benakku tapi aku ingin melihatmu berhenti menangis."

Ah, ternyata mereka memiliki kekhawatiran yang sama. Kekhawatiran yang hanya bisa disuarakan untuk menjadi nyata dan tampak.

"-Elena."

Rentetan kalimat itu terhenti saat Kairi balas menyilangkan jemarinya pada Elena. Kairi menaikkan tangan mereka berdua yang terjalin dan Kairi mengecup bagian tangan Elena.

"Seharusnya saya ... aku yang bilang kalau aku tidak pantas," ungkap Kairi lirih. "Aku bukanlah seorang yang pantas untukmu, tapi aku tidak bisa berhenti untuk mencintaimu."

Sesaat, yang mengisi dirinya adalah kelegaan. Ia telah melepas perasaannya dengan jujur, menyisakan relung hatinya bebas dan kosong.

Sementara, Elena terbelalak.

"Mengapa kamu bilang tidak pantas?"

"Bukannya kamu seorang elit Floralys?"

"Apa itu ... menghalangimu?" suara Elena bergetar. "Aku tidak keberatan dipandang sebagai hanya Elena olehmu, Kairi. Kamu yang membuatku merasa lebih menghargai diriku sebagai 'Elena'."

Relung yang kosong itu kini meledak dalam hampa, terisi selasar rasa yang membuatnya melambung.

"Kairi," Elena mengucap namanya pelan, berbisik di antara mereka seraya mendekatkan diri hingga dahi mereka bersentuhan. "Kairi."

Di saat itu, Kairi hanya bisa melihat Elena dan hanya Elena.

"Elena," balasnya dengan nada pasti. "Bolehkah aku ...?"

"Kamu tidak perlu bertanya."

Ciuman itu berlangsung singkat, sesingkat apa yang pernah mereka bagi diantara masa sempit dan sulit, namun ciuman itu menghapus segala gundah dan tanya, layaknya sebuah ikrar yang tak bisa sekedar dirangkai kata.

Kali ini Elena yang merengkuhnya erat, dan mereka menghabiskan malam yang panjang berdua, berbagi dalam ucap kasih yang tak terhingga dan meleburkan jurang perbedaan.

.

"Itu bukannya bus air terakhir yang menuju pemukiman lapis ketiga?"

Elena masih belum melepas peluknya. "Oh, iya juga." ia lalu melirik ke arah Kairi dengan senyum simpul. "Bagaimana kalau aku menumpang nginap di rumah hijau?"

Mereka berdua sontak terdiam, sebelum muka mereka memerah nyaris dalam waktu bersamaan.

"Ka, kalau kamu keberatan aku bisa tidur di klinik. Tenang saja, Kairi!"

"Jangan," Kairi menarik kerahnya, menyandarkan kepalanya di lekuk leher Elena. "Datanglah ke rumah hijau."

Elena mengelus-elus rambut seputih salju itu dengan penuh sayang. "Aww. Kamu ingin terus bersamaku, ya?"

Kairi membenamkan wajahnya agar Elena tidak bisa melihat wajahnya yang memerah sampai ke cuping telinga. "Tidak juga."

"Kairi."

Mereka tertawa lepas bersama, dan memutuskan menuju rumah hijau sebelum malam terlanjur larut.

Lembar kisah tentang 'mereka' baru saja akan dimulai.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro