3. Oh Ternyata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pikiranku sudah dipenuhi oleh wajah dan perkataan manismu. Akankah kau dapat mewujudkannya atau hanya tetap menjadi khayalan semu.

~Karla~

⏰⏰⏰

Karla menceritakan semua kepada Elyna saat kelas mereka sedang kosong. Bercerita dengan senyum tidak jelasnya. Sesaat dirinya merasa malu menjadi seperti ini, tapi ia mengesampingkan rasa itu. Dia terlanjur sangat bahagia saat ini.

“Gue bener-bener baper banget sama Babang. Lo mau liat nggak?”

“Hati-hati jangan sampai sakit hati, nanti nangis-nangis nggak jelas!”

Karla mengerucutkan bibir, semoga saja perkataan Elyna tidak benar. Sudah cukup ia pernah menjadi pelampiasan seseorang. Bahkan saat ini ia masih ada sedikit rasa untuk orang itu. Walaupun sudah ada Cahyo tapi perlakukan lelaki itu masih membekas di ingatan Karla. Semoga saja ia bisa melupakannya. Melupakan semuanya.

Elyna kembali memakan mi ayam goreng yang tadi ia pesan. Karla mencampur mi dan suiran ayam sebelum memakannya. Mereka memanfaatkan jam kosong ini untuk sekedar jajan dan curhat. Tidak ada acara bolos. Karla heran, kenapa kelas sering kosong sedangkan ia dan teman-temannya sudah kelas tiga yang mana membutuhkan bimbingan ekstra untuk menghadapi ujian nasional.

“Emang lo ngapain aja sama Babang C?”

Karla menelan mi dengan susah saat mendengar pertanyaan dari Elyna yang ambigu. “Lo kira kita ngapain aja? Aneh banget lo, kita aja nggak pernah ketemu.”

“Maksud gue, lo ngomongin apa aja gitu. Pikiran lo kotor banget, deh. Gue juga tahu kalik kalau lo nggak ketemu sama dia, kalau ketemu paling di bayangan lo atau malah di mimpi lo, haha.”

“Ye, sialan lo!” Karla memukul lengan Elyna dengan keras. Bisa-bisanya Elyna berbicara seperti itu, membuat mood menjadi tidak baik. Siapa tahu ia dan Cahyo dalam waktu dekat dapat bertemu, tidak ada yang tahu juga.

“Cerita dong, La! Gue juga kepo, nih.”

Tanpa menghiraukan Elyna yang merengek, Karla dengan santai kembali melanjutkan acara makannya. Sudah lama ia tidak makan mi ayam goreng kantin, rasanya sangat enak. Apalagi kalau ada kuahnya sedikit, hanya sedikit tidak banyak. Kalau banyak nanti namanya tidak mi ayam goreng tapi mi ayam kuah. Selain Ibu kantin yang ramah dan humoris, beliau juga kadang dengan senang hati mau mengantarkan pesanan sampai ke kelas.

“Ayo cepet cerita!”

“Nanti kalau gue cerita lo malah ngejek gue. Ogah!”

Elyna menggoyangkan lengan Karla yang sedang makan, “Enggak, beneran, deh. Gue nggak bakal ejek lo lagi, tadi kan cuma bercanda. Sensi banget lo.”

Karla mengangguk, ia terlebih dulu menghabiskan mi ayam goreng dan meminum air putih dari botol merah jambu miliknya. Mengelap mulut dengan tangan, Karla tersenyum lebar hingga memperlihatkan giginya.

“Dia bikin gue melting banget, El. Gue nggak tahu harus gimana, nggak ada kejelasan gitu tapi gue nyaman. Harus gimana coba?”

Elyna tampak sedang berpikir, “Maksud lo gimana, sih? Gue kan nggak tahu sikap dia gimana, makanya gue suruh lo cerita dodong!”

Karla berdehem sebentar, “Dia perhatian sama gue, ya gue terima-terima aja. Kayaknya dia juga orangnya baik nggak neko-neko kayak cowok lainnya. Emang gue belum kenal dia lebih dalem tapi waktu gue sempat tanya, dia ngerokok nggak dan dia jawab katanya enggak. Lo tahu kan kalau gue suka cowok yang anti rokok dan pastinya tertib salat.”

“Dia juga udah kenalin keluarga dia, lebih tepatnya anggota keluarga dia. Kayak dia berapa bersaudara terus anak ke berapa, kota asalnya. Dia anak rantau asal lo tahu, yang dia kasih tahu cuma sekedar itu, tapi udah lumayan juga.”

“Dia juga bales pesan gue cepet, kalau lagi mau pergi atau ngapain juga bilang. Ya, nggak sering, sih. Tapi ya gimana gue bingung mau jelasin sama lo.”

Elyna menumpuk piring bekas mi ayam goreng miliknya dan Karla. Dia mengangguk mengerti. “Perhatian gimana dia sama lo? Dia suka sama lo?”

“Apaan, sih lo? Kok jadi sampe tanya suka segala?!” Karla tampak malu-malu dan tersenyum. Mudah sekali terbawa perasaan.

“Dia selalu ucap good night, pernah dia bilang Yang,” ucap Karla dengan lirih.

What?! Yang?! Seriously?! Gila! Heh, status lo apa bege?! Pantes lo langsung fly to the sky, dia aja sampe bilang kayak gitu. Siapa, sih cewek yang nggak baper kalau digituin? Apalagi lo anaknya gampang banget baper!”

Karla mulai senyum-senyum tidak jelas, membayangkan wajah Cahyo yang sedang tersenyum padanya. Isi-isi pesan mereka semalam dan percakapan di telepon. Ah, rasanya sungguh bahagia. Sepertinya ia sudah jatuh pada pesona Cahyo. Ingatkan ia untuk tetap berhati-hati dan tidak terbuai kata-kata lelaki. Tapi sepertinya itu tidak berguna.

“Sadar lo!”

“Apaan, sih? Gue lagi seneng ini, gue harus gimana, El?”

“Mana gue tahu! Ayo balikin piringnya, keburu dicari yang punya.”

Mereka berjalan keluar kelas menuju kantin untuk mengembalikan piring bekas pesanan mereka. Kantin saat itu masih ramai dipenuhi siswa, banyak yang sudah tidak sabar menunggu pesanan. Untung saja tadi mereka pesan dengan cara mengirim pesan dari ponsel Karla jadi mereka tinggal mengambil pesanan tanpa harus berdesak dan menunggu antrean.

Setiap Karla memasuki kantin ia pasti akan bersin karena bau bumbu bercampur dengan cabai. Memang banyak siswa memesan makanan menggunakan cabai lebih dari lima, membuat hidung menjadi gatal. Mereka juga lebih senang meracik bumbunya sendiri. Hal itu tidak membuat Ibu kantin marah, justru beliau senang. Setidaknya pekerjaan menjadi lebih ringan, dan beliau dapat melayani yang lain.

Sudah tiga kali Karla bersin, ia menutup hidung menggunakan kerudung depan. Dengan cepat ia menarik tangan Elyna untuk segera keluar.

“Tunggu bentar, itu ada Lia. Gue mau tanya sama dia, udah nggak tahan gue.”

“Eh, jangan nekat lo! Udah ayo ke kelas aja, ngapain tanya segala?! Yang ada nanti dia mandang lo rendah!”

Elyna tetap berjalan ke arah Lia yang baru saja masuk ke kantin, ia tidak memperdulikan ucapan pengingat dari Karla. Tepat di depan Lia, Elyna berhenti.

“Li?”

“Eh, El.” Via tidak berhenti melangkah hingga pertanyaan itu keluar dari mulut Elyna.

“Li, lo suka sama Dimas?”

Lia seketika berhenti dan menoleh ke belakang menghadap Elyna yang sudah keringat dingin. Terlihat dari tautan kedua tangannya seperti … gemetar.

“Enggak.” Jawaban singkat itu keluar dari mulut Lia. Dia kembali melanjutkan jalannya tidak memperdulikan Elyna lagi.

Karla yang sedari tadi menyaksikan segera mendekati Elyna dan merangkul temannya itu. Mereka keluar dari kantin, di pojok luar kelas Elyna menghentikan langkah diikuti Karla yang masih setia merangkul bahunya.

“Liat, La. Gue sampe keringat dingin gini, parah! Dan, lo denger jawaban dia? Cuek, singkat, padat, jelas. Rasanya pengen gue acak-acak mukanya!” kata Elyna penuh emosi.

“Gue udah bilang sama lo. Lo aja yang nekat, yang ada lo malah mempermalukan diri lo sendiri!”

“Tadi apa katanya? Enggak suka?! Kenapa bikin story yang seakan pengen banget biar dikomen sama Dimas? Dulu kenapa nolak, baru sadar setelah Dimas udah punya gue?! Nggak mutu banget jadi cewek!”

Karla menepuk pundak Elyna dan mengajaknya untuk duduk di kursi depan kelas. Sepertinya masih jam kosong tidak ada pelajaran. Buktinya suara konser dadakan bercampur teriakan dan tawa temannya masih terdengar jelas dari luar. Karla membiarkan Elyna menenangkan diri terlebih dahulu, setelahnya ia mengajak temannya itu untuk masuk.

⏰⏰⏰

Karla menanti kedatangan seseorang dengan gusar. Berulang kali ia mengecek ponselnya berharap ada pesan masuk dari orang itu. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih delapan menit. Katanya ia akan menjemput jam sembilan, tapi ini sudah lebih delapan menit. Ayolah, Karla memang benar-benar berlebihan. Baru lebih delapan menit bukan lebih delapan jam.

Suara motor berhenti di halaman rumah membuat Karla segera membuka pintu dan menatap lelaki yang sedang membuka helm sambil menahan senyum. Tampak lelaki itu sedang menyugar rambutnya. Bisa meleleh kalau seperti ini. Melting me softly, sudah seperti judul drama Korea yang pernah Karla tonton.

“Gue kira lo kesasar.”

“Enggak, tadi macet. Gue kira Jogja beda sama Tangerang, ternyata nggak beda jauh. Ini aja masih jam sembilan udah macet aja,” jelas Cahyo sabil berjalan ke arah Karla.

Karla bersalaman dengan Cahyo setelahnya ia mempersilahkan lelaki itu untuk masuk ke rumah. Mereka memang sudah jauh-jauh hari membuat janji akan bertemu. Kebetulan Cahyo saat ini sedang pulang kampung untuk itu ia menyempatkan diri bertemu Karla sebelum kembali lagi ke Tangerang.

“Gue buatin minum dulu.” Karla berjalan masuk untuk membuatkan minum meninggalkan Cahyo yang sedang memainkan ponsel.

Di dalam Karla tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Ia bahkan sudah loncat-loncat dan menari-nari tidak jelas. Sambil mengaduk gelas yang berisi minuman ia bernyanyi tidak jelas sesekali memperlihatkan ekspresi aneh. Sepertinya dia sudah mulai gila.

“Cahyo dateng ke rumah, dia lagi di depan! OMG! Gue seneng banget, aduh gue nanti harus gimana ya? Kok gue jadi grogi gini. Aduh kendalikan dirimu Karla!”

Dengan menarik napas dan menghembuskan lewat mulut, Karla keluar dari balik tirai membawa nampan berisi minuman serta cemilan yang sudah ia beli kemarin sore. Untung saja adiknya tidak memakan cemilan itu, kalau dia makan dapat dipastikan rumah akan penuh dengan suara Karla yang memarahi adiknya.

“Ini minum dulu.”

Cahyo mengalihkan tatapan dari ponsel ke Karla yang baru saja datang. Menyimpan ponselnya di atas meja, ia mengambil gelas di depannya dan menyeruput sedikit minuman itu. Tidak ada yang memulai obrolan. Mereka saling diam dengan pikiran masing-masing.

“Gue udah di sini lo malah diem. Kalau di telepon aja banyak ngomongnya.” Cahyo mencoba untuk membuka obrolan.

Karla tersenyum tidak enak, “Beda suasananya. Gue juga bingung mau ngomong apa.”

“Gue tebak lo pasti seneng banget, gimana menurut lo?”

Karla membenarkan letak kacamata yang melorot, “Gimana apanya? Lo kecewa udah ketemu gue?”

Terdengar hembusan napas, Cahyo memiringkan tubuhnya menghadap Karla. Ia mengambil tangan Karla dan menggenggamnya. Sesaat ia memainkan tangan itu setelahnya dia menatap wajah Karla yang memakai kerudung berwarna abu-abu.

“Gue udah bilang di chat kalau gue nggak bakal kecewa sama lo. Jadi lo nggak perlu mikir yang aneh-aneh tentang gue. Katanya nggak mikir negatif tentang gue.”

“Bukan gitu, gue cuma tanya aja. Siapa tahu, laki-laki kebanyakan gitu suka mandang fisik dulu kalau nggak cantik ya tinggalin kalau dirasa cantik langsung deketin,” jelas Karla sambil tersenyum kecil.

“Gue enggak, tuh.” Cahyo terkekeh pelan.

Karla menghembuskan napas mencoba untuk memercayai perkataan Cahyo. Laki-laki itu kembali tersenyum, tangannya terulur untuk mengelus kepala Karla yang tertutup kerudung. Sesaat kembali mereka terdiam, Cahyo mengambil cemilan yang Karla suguhkan sebelum ia kembali bicara.

“Coba lo tutup mata sebentar,” pinta Cahyo dengan menatap Karla. Dengan patuh perempuan itu menuruti permintaan Cahyo. Pikirnya mungkin saja lelaki di sampingnya akan memberi sebuah kejutan atau semacamnya. Biarlah Karla terlalu percaya diri akan hal itu.

Karla membuka mata saat suara nyaring dari ponsel mengagetkannya. Dia terkejut mendapati dirinya ternyata hanya bermimpi, ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Kakinya menendang kesegala arah merasa kesal. Dia pikir tadi nyata tapi ternyata hanya bunga tidur saja. Pikirannya selalu membayangkan hal yang sama, yaitu bertemu dengan Cahyo. Tapi tadi benar-benar seperti nyata.

Tangannya menghidupkan ponsel mengecek jam berapa saat ini. Matanya membulat sempurna mengetahui bahwa sekarang sudah pukul setengah enam. Dengan cepat ia bangun untuk salat subuh dan menyetrika seragam. Dia lebih suka menyetrika seragam saat pagi hari sebelum mandi, istilahnya ‘dadakan setrika seragam’. Memang Karla akui kalau ia malas.

Terlihat tergesa-gesa. Di rasa sudah cukup rapi, Karla mematikan setrika dan berlari masuk ke kamar menyambar handuk. Saat mandi pikirannya jatuh pada mimpinya beberapa jam lalu. Bisa-bisanya ia bermimpi seperti itu, wajah Cahyo sampai terbawa mimpi. Segera sadar ia langsung mempercepat acara mandinya. Cukup lima menit saja tentunya.

“Sepertinya kepala gue isinya cuma Cahyo semua. Sadar, La! Sadar!”

Cepat-cepat dia mengenakan seragam. “Aduh gue belum jadwal pelajaran, bikin emosi aja pagi ini!”

Semua serba cepat dan tegesa-gesa. Makan saja Karla hanya mengunyah beberapa kali setelahnya langsung ia telan. Untung tidak tersedak. “Mamak, ayo berangkat! Udah telat ini!”

“Suruh siapa tidur malam, udah pasang alarm saja telinga tidak dengar!”

Dalam perjalanan menuju sekolah Karla mengecek pesan masuk. Sudah ia duga kalau Cahyo pasti mengirim pesan. Seperti biasa pagi-pagi sudah mendapat sapaan dan semangat, tidak pernah absen barang sekali. Karla segera membalas pesan itu.

C

Bangun, La

Karla

Udah, ini lagi mau berangkat sekolah
Lo mau kerja?

C

Iya, udah siap tinggal berangkat

Karla

Semangat kerjanya

C

Lo juga, semangat sekolahnya. Nanti gue pulang jam empat 😍😍

Sekuat tenaga Karla mengontrol senyumannya. Ingin sekali ia meloncat-loncat saking senangnya, sungguh dirinya benar-benar terbawa suasana. Dapat ia rasakan kalau motor yang ia naiki berhenti. Kepalanya mendongak, ternyata mereka sudah sampai. Segera Karla turun dan mengambil tangan Mamak.

“Pulang jam empat lima belas, Mak,” beritahu Karla.

“Empat, lho. Bukan jam setengah empat.” Karla menekankan kata ‘empat’ dalam kalimatnya.

“Iya, jam empat.” Mamak membelokkan motor dan pergi menjauh.

Karla tertawa sendiri mengingat mamaknya pernah menjemput dirinya jam setengah empat padahal ia pulang jam empat lebih lima belas menit, bahkan ia keluar terlambat sampai jam setengah lima. Alhasil mamaknya mengunggu hingga satu jam lamanya. Ketika Karla datang Mamak sempat marah-marah karena terlalu lama menunggu. Ternyata mamaknya salah dengar. Beliau tidak dengar kalau Karla memberi tahu pulang jam empat dan Mamak mendengarnya jam setengah empat. Ada-ada saja, kalau ingat itu, Mamak dan dirinya tertawa kencang.

Tbc

Jogja, 9 Mei 2020 | 12.24 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro