Bagian 10 | Perjalanan Peristiwa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mi Eunsoo masih bertelanjang kaki, keluar dari kantor polisi dengan sang suami mengikuti langkah di belakang. Becek jalan sehabis hujan deras tidak lagi terasa dingin bagi Eunsoo, karena sejatinya hati sudah lebih dulu membeku.

Im Ha Jin yang letih mengekor, terlebih ada banyak pertanyaan yang menggumpal dalam pikiran, segera menyamakan langkah Eunsoo.

"Katakan, dari mana kau mendapatkan uang untuk menebusku?"

"Apakah itu penting?" Pandangan Eunsoo tetap lurus ke depan. Rasanya napas yang keluar tidak lagi punya makna, ia ingin mati saja.

Ha Jin menarik lengan Eunsoo, menghentikan gerak si wanita yang masih enggan menatap mukanya. "Eunsoo-ya, sekalipun kau tidak menebusku, tidak akan jadi masalah. Bedebah sialan itu yang sengaja membuatku masuk dalam perkelahian. Dengan aku keluar dari penjara pakai uang tebusan, sama saja aku mengaku salah dan memberikan bedebah itu uang."

"Menyerang membabi buta menggunakan benda tumpul, mencekik hampir merenggut nyawa, kau pikir itu perkelahian biasa?" Eunsoo akhirnya menatap Ha Jin, tapi tidak terdapat sorot kasih sayang di dalamnya, hanya ada kebencian meresap.

"Mengapa kau selalu membuat masalah? Kau hanya tinggal mengasuh Hyunsik di rumah, dan aku bekerja sebagai pramusiwinya Junsuk. Lalu kau bilang, kau mendapatkan pekerjaan. Buktinya? Justru kau hampir membunuh orang! Pengangguran saja sudah cukup bagimu mendapat penilaian tidak patut dariku, sekarang karena kau... karena dirimu Hyunsik tidak bisa kembali!"

Mulut laki-laki itu terbuka, tapi tidak ada satu pun kata yang keluar. Rambut berantakan dan pakaian kusut, Ha Jin semakin terlihat kacau.

"Bukan cuma aku, kau mengenal betul bagaimana ketua Lim Geun Suk, bukan? Betapa tidak mau rugi dan keras kepalanya dia. Ketika aku memutuskan berhenti, dia memiliki syarat untuk aku tidak lagi kembali bekerja di sana. Aku menyetujuinya, karena kupikir kau sungguh-sungguh bekerja, dan aku hanya mengurus Hyunsik. Tapi, aku mesti kembali lagi ke rumah itu untuk menitipkan anak kita." Sedikit terengah akibat isak, dalam dada Eunsoo kian sesak. Gerimis kembali meramaikan bumi dengan suara duka.

"Kau tahu apa yang dikatakan Ketua Lim? 'Jangan mengambilnya lagi'. Aku menitip Hyunsik agar aku bisa bekerja di tempat lain dan menghasilkan uang guna menebusmu, lalu bisa memenuhi kebutuhan hidup yang sudah menipis meski harus perlu waktu, lantas secara mudah aku menukar Hyunsik dengan lima ratus Won ketika mengetahui Ketua Lim menginginkan Hyunsik."

"Me-mengapa...." Suara itu memberat, Ha Jin tidak kuasa untuk menahan segala perih yang menggarang dalam relung.

"Sudah kubilang karenamu, ini semua karenamu!" teriakan Eunsoo mewakili petir yang bergemuruh. Dari tetes gerimis, beralih menderas. Hujan kembali turun. "Kau yang tidak becus mengurus keluarga sendiri, kau yang senang bermabuk-mabukan dan aku selalu menjadi samsak tinjumu kala kau mabuk. Bukankah Hyunsik lebih baik di sana? Dia akan mendapatkan apa yang tidak bisa kita berikan. Pendidikan, baju bagus, mainan, seorang kakak, dan—"

"Kasih sayang?" tukas Ha Jin. Ia ingin mengetahui, ingin melihat keyakinan dari sang istri. "Apakah jika Hyunsik di sana, akan mendapatkan kasih sayang seperti yang kau dan aku berikan?" Sebab sebusuk-busuknya seorang Im Ha Jin sebagai laki-laki, ia tetap sosok ayah, punya tingkat kasih sayang yang tidak bisa tergambar hanya dengan kata 'besar' kepada anaknya.

Bungkam. Mi Eunsoo kian hancur, hujan yang membasahi tubuhnya menjadi pertanda kalau dunia penuh kekejaman dan dendam teramat. Karena ketika dirimu telah memilih keputusan, kau tidak akan bisa menarik ulang waktu, dan dunia tidak pernah mau membantu.

Mungkin, di masa depan Hyunsik akan mendapatkan standar duniawi yang memuaskan. Hanya saja, tidak ada yang bisa menjamin, bahkan Eunsoo sekalipun bahwa kekayaan batin Hyunsik akan terpenuhi juga.

Maka selamat berjuang, di dunia yang tidak pernah bisa manusia kendalikan.

•••

Musim semi kembali datang, kali ini mengunjungi ulang tahunnya yang ke sepuluh. Hyunsik duduk di bangku besi taman, pandangan mengarah anak-anak yang sedang bermain ayunan, perosotan, pun jungkat-jangkit. Hyunsik tidak berniat untuk bergabung, dia cukup memerhatikan saja.

Sepulang sekolah, Hyunsik menyempatkan diri berdiam di taman dekat rumah. Bukan semata-mata untuk melihat anak-anak seusianya, atau yang lebih kecil darinya bermain memang, ada hal lain. Lim Hyunsik ingin melihat wanita itu lagi, mungkin untuk terakhir kali?

Dengan kepercayaan penuh, Hyunsik yakin kalau wanita dewasa yang selalu ada di mana Hyunsik berada pasti akan muncul sebentar lagi. Wanita itu senantiasa memandang Hyunsik menggunakan sorot penuh kerinduan, ketulusan... um, sebetulnya Hyunsik belum pintar menilai perasaan diri sendiri, terlebih orang lain, apalagi sekadar tatapan. Hyunsik hanya menyukai pancaran mata wanita itu.

Ketika matahari sedikit menurun lantas menyebarkan warna oranye pada langit, wanita yang Hyunsik ingin lihat memasuki area taman. Tatapan memaku kepada Hyunsik yang masih memerhatikan anak-anak, seolah-olah dia punya dunia sendiri.

Jangan salah, Hyunsik jelas mengetahui kehadiran wanita yang sekarang duduk di atas kursi sama dengannya. Awal Hyunsik pikir, wanita ini tidak akan mendekat, jadi dia bisa melihat sekilas-sekilas saja.

Perasaan gembira menyeruak dalam hati Eunsoo, kendati ada satu sudut pedih. Mi Eunsoo baru pernah berada di jarak terdekat dari Hyunsik, hari-hari biasa yang berlalu ia selalu menjaga batas. Namun, kali ini ia ingin memberanikan diri. Melihat pertumbuhannya dari jauh saja sudah membuat Eunsoo bersyukur, tapi mana ada manusia yang tidak punya keserakahan?

"Nak...."

Langsung dapat toleh dari Hyunsik, tiba-tiba air mata berkumpul menjadi kaca pelebur pandangan. Sudah lama Eunsoo menantikan momen ini, momen ketika mereka bisa saling memandang tanpa peralihan. Sejak niat awal Eunsoo ingin menghentikan napas, hanya mengingat Hyunsik membuat niat buruk urung. Selamanya, Hyunsik memang penguat bagi Eunsoo, alasan Eunsoo bisa bertahan hidup sampai detik ini.

"Ahjumma, kau mengenalku?"

Pertanyaan Hyunsik boleh jadi terdengar seperti anak lugu, tidak mengetahui emosi apa pun yang terjadi di sekitarnya. Namun, Eunsoo tidak tahu bahwa Hyunsik sudah banyak mengenal dunia, mencecap pahit sebelum benar-benar dewasa, lalu mengetahui lebih cepat, bahwa wanita yang berada di hadapannya, wanita ini...

"Ibu, aku akan pindah ke Seoul. Apa Ibu akan ke sana juga?"

Guru di sekolah pernah mengatakan, seseorang yang baik itu laksana ibu. Wanita ini memang tidak melakukan tindak kebaikan nyata kepada Hyunsik, ia hanya menatap Hyunsik dari kejauhan dengan harapan Hyunsik tidak tahu, tapi sayangnya Hyunsik amat peka terhadap sekitar. Tetap, Hyunsik menganggapnya ibu, dan sering menyebut kata itu sejak pertengkarannya bersama Junsuk dua tahun silam.

"Kau, memang kau pikir siapa ibumu? Ibuku itu bukan ibumu!" Junsuk keliru ketika mengira Hyunsik tidak pernah merekam seluruh kalimatnya.

Masih dengan nada tinggi, Junsuk mengatakan kalimat lain. Ibumu adalah perempuan yang pernah mengasuhku saat aku berusia lima tahun, aku masih ingat jelas ketika kau dibawa olehnya malam itu. Alasan mengapa hari ulang tahun kita sama, karena kau datang tepat di hari ulang tahunku!

Memori Lim Junsuk semestinya tidak sekuat itu, sampai masih mengingat apa yang terjadi dalam putaran masa lampau, apalagi menganggap ingatan yang tidak ada apa-apanya, Junsuk mudah lupa. Namun, pada masa itu, ada perasaan tidak rela ketika Junsuk mesti menerima kehadiran Hyunsik sebagai keluarga baru, membagi perhatian ayah bersama ibu kepada seseorang yang mesti dirinya anggap adik. Perasaan itu, amat membekas sehingga ingatannya pun tidak rela melepas.

Hyunsik tidak menganggap perkataan Junsuk hanya bualan ketika marah, terlebih Junsuk memperlihatkan selembar foto berisi bahan peledak bagi perasaannya—hingga lupa mengapa mereka bisa bertengkar hebat.

Dengan dugaan-dugaan, dan kebiasaan Hyunsik yang gemar mengaitkan segala hal, dia menemukan kenyataan meski belum punya bukti konkret seperti dalam cerita-cerita komik detektif yang sering dia baca; kesamaan darah atau DNA. Dalam hatinya, Hyunsik sangat meyakini apa yang sudah diri duga.

"Tidak, kau hanya mirip putraku yang hilang. Senang bisa melihat dan menyapamu." Hyunsik-ah. Eunsoo membatin setelahnya.

Tidak lama, Hyunsik berdiri lalu membungkuk sopan.

"Senang juga bisa mirip dengan putramu. Aku pamit pulang dulu, sampai jumpa."

Memutar tubuh, ada perasaan layu dalam hati Hyunsik. Berjalan menjauh, Hyunsik belum tahu kalau perasaan itu bernama kecewa.

Sempat Hyunsik bermohon kepada Tuhan, agar wanita ini menjawab bahwa mengenalnya, mengenal sebagai seorang anak. Demikian, Hyunsik bisa memperkuat keyakinan, lalu memanggilnya 'ibu' secara terang-terangan. Namun, meski satu kali seumur hidup, tampaknya itu tidak pernah terealisasi.

Semenjak hari itu, Hyunsik pura-pura tidak tahu apa pun. Tidak ada yang tahu, bahwa Hyunsik mengetahui siapa ibunya—termasuk Lee Na In dan Lim Geun Suk. Hyunsik cukup menutup rapat untuk diri sendiri. Menutupi kebenaran, sudah menjadi kebiasaan. Bukankah Geun Suk selalu menanamkan hal itu secara tidak langsung? Jadi bukan perkara sulit bagi Hyunsik menyembunyikan semuanya.

Lim Hyunsik juga... berpura-pura tidak tahu, kalau Mi Eunsoo masih terus memerhatikan perjalanan pertumbuhannya, bahkan setelah dia berada di Seoul.

Seluruhnya menjadi wajar, ketika Hyunsik tidak pernah mempertanyakan tiap Geun Suk bicara tentang darah daging, atau pohon sebagai metafora—kala marah—yang bermakna bahwa Hyunsik tidak memiliki darah Geun Suk dalam dirinya. Lim Hyunsik tidak pernah tersinggung, toh kenyataan memang selalu menang banyak.

•••

"Kau terlihat seperti pengangguran kalau ikut diriku riset terus," komentar Sangeum. Sebenarnya, niat Sangeum mengajak Jimin pertama kali hanya sebatas 'temani' guna tidak terlalu gugup. Sekarang, Jimin jadi ketagihan ikut Sangeum setiap pagi ke rumah sakit.

"Selama klinikku sedang masa perbaikan, aku tidak masalah dibilang pengangguran. Lagi pula, aku bukan sekadar ikut riset, 'kan? Aku ingin bertemu Hyunsik hyung." Jimin menyahut seraya membuka pesan operator yang masuk, tidak sama sekali terganggu pada guncangan-guncangan bus yang melaju tidak kenal takut.

"Awali pagi dengan senyuman agar bahagia. Apaan, awali pagi itu dengan masuk kamar mandi, buang air seni biar lega! Mengapa operator rajin sekali memberikan pesan, ya? Pakai emotikon senyum pula. Astagaaa, aku tidak suka!"

"Apa kau berencana memberitahu banyak orang kalau kau tidak suka emotikon senyum? Berhenti menggerutu. Berisik." Sangeum berbeda lagi kegiatannya di dalam bus. Sebelah tangan memegang kaca berbentuk bunga. Bercermin sudah dilakukan sejak bertemu Jimin di halte.

Jimin mengembuskan napas kasar, lalu mengetuk-ngetuk layar ponsel menggunakan telunjuk. "Kau tahu sendiri aku tidak suka emotikon itu. Hass, bikin sebal saja pagi-pagi."

Sangeum memang tahu benar soal ketidaksukaan Jimin terhadap emotikon senyum, tapi entah mengapa, Sangeum tidak tertarik menanggapi itu lebih jauh. Ia merasa Jimin terlalu berlebihan, apalagi ketika ia pernah melarang Sangeum untuk tidak menggunakan emotikon senyum.

"Lalu tulisan itu, awali pagi dengan senyuman agar bahagia. Memangnya setiap senyum bikin bahagia apa? Senyum yang katanya bawa bahagia, tapi banyak orang tersenyum untuk menutupi luka." Munafik, batin Jimin, kemudian kembali mengoceh. "Senyum benar-benar akan membawa bahagia kalau sudah sadar maknanya. Bukan cuma mengumbar senyum sana-sini, luka-luka dari dalam."

Daripada meladeni Jimin, Sangeum memilih bertanya untuk sekadar mengalihkan perhatian laki-laki ini.

"Jim, Jim... hei, apa penampilanku sudah baik? Bedakku rata belum?"

Jimin yang tidak ditanggapi 'ocehan'nya pun menjadi kesal. "Apa kau punya gangguan body dysmorphic?"

(Body dysmorphic disorder. Gangguan dismorfik tubuh adalah gangguan mental yang ditandai dengan gejala cemas berlebihan terhadap kelemahan, atau kekurangan dari penampilan fisik diri sendiri).

"Dasar jahat," cibir Sangeum, sambil memasukkan cermin tangan ke dalam ransel yang duduk di pangkuannya. "Penderita gangguan dismorfik bertanya terus tentang penampilannya, dan selalu merasa kurang sempurna. Aku, 'kan tidak."

Paham juga si ratu rumit, pikir Jimin.

Astaga, ia hampir lupa kalau belum lama ini Sangeum menyiksa tokoh fiksinya yang menderita gangguan dismorfik tubuh. Maksud Jimin, Sangeum pernah mengarang cerita demikian, lalu Jimin sebagai narasumber riset—persis seperti sama Dokter Lim. Iya, persis begitu menyebalkan, bertanya tanpa henti sampai kedua telinga Jimin terasa menebal.

"Kau juga tadi berkaca melulu. Sudah jelek, jelek saja. Mukamu tidak perlu dilihat terus."

Sangeum menekuk wajah sehabis itu. Memang tidak meladeni Jimin lagi, tapi hatinya gondok bukan main. Dengan tingkah luar Park Jimin seperti ini, orang-orang pasti tidak akan ada yang mengira ia ahli jiwa. Lebih cocok jadi preman, Sangeum menjelekkan Jimin dalam hati.

Kendaraan segi panjang itu berhenti, Sangeum dan Jimin turun dari bus. Keduanya masih sibuk pada diri masing-masing seolah tidak saling mengenal walau berjalan berdampingan. Sampai mereka melihat Hyunsik, baru Park Jimin merespons keadaan.

"Hyung...." Panggilan Jimin tertelan angin musim dingin yang lewat, ia membelok tubuh guna mengetahui ke mana langkah Hyunsik yang keluar dari area rumah sakit.

"Ikuti?" tanya Sangeum kepada Jimin. Ia juga melakukan hal serupa yang Jimin lakukan barusan.

"Jadi mata-mata." Jimin melangkah berlawanan dari gedung rumah sakit, mengikuti Hyunsik. Tanpa diperintah, Sangeum menyamai jalan Jimin.

Pelan. Jalan Hyunsik begitu pelan, sampai Jimin mesti hati-hati menjaga jarak karena takut disalahpahami orang-orang sekitar bahwa dirinya dan Sangeum menguntit Hyunsik. Padahal, orang yang berlalu lalang tidak punya waktu lebih untuk memerhatikan satu objek.

Matahari perlahan meninggi, Sangeum merasa bedaknya luntur karena berkeringat. Persetan tentang musim dingin, nyatanya Sangeum tetap merasa gerah. Masalahnya, Hyunsik belum juga berhenti berjalan, berbelok-belok dari menyusuri trotoar, hingga bahu jalan.

"Sebetulnya... Dokter Lim mau ke mana, sih?" Pertanyaan yang sia-sia, karena Jimin yang ditanya juga tidak tahu. "Bukankah ini terlalu jauh? Semestinya Dokter Lim pakai kendaraan."

"Bagus juga tidak pakai kendaraan, menghemat uang. Lalu kau, sekalian membakar lemak," tanggap Jimin yang terasa begitu menyebalkan bagi Sangeum.

"Apakah kau terbiasa berkata—"

Jimin menarik kedua bahu Sangeum agar berhenti berjalan sekaligus menghentikan kalimatnya, sebab Hyunsik di jarak beberapa langkah pun sudah berhenti.

Menghadap kaca bagian depan bangunan sederhana, Hyunsik menatap tanpa berkedip sesuatu di dalamnya. Langsung saja dua orang yang sejak tadi mengikuti melipir ke samping dekat tiang listrik untuk mengetahui apa yang Hyunsik lihat.

Toko alat musik.

Terdapat gitar, drum dan alat musik lain terpajang di sana, tapi hanya satu yang Hyunsik tatap.

"Kau penasaran bagaimana bermain piano?" Hyunsik berbicara kepada si kecil di sisinya. "Tapi aku sudah lupa cara memainkannya, jadi tidak bisa mengajarimu."

Memakan waktu sepuluh menit, Hyunsik kembali ke arah jalan semula yang dia lalui untuk sampai ke sini. Sangeum dan Jimin otomatis menyembunyikan diri agar tidak tertangkap mata Hyunsik.

Sebelum mengikuti Hyunsik kembali, Jimin meluangkan waktu sebentar—dari dekat, untuk sekali lagi memerhatikan toko alat musik. Terdapat selebaran yang tertempel di kaca bagian samping.

Resital piano.

Mencopot satu dari tiga selebaran di kaca, Jimin mengejar Sangeum yang lebih dulu berjalan di belakang Hyunsik.

"Apa hadiah untuk Hyunsik hyung hari ini?"

"Makan." Sangeum langsung menjawab tanpa berpikir panjang. "Aku akan mentraktirnya makan."

"Karena dalam pikiranmu hanya makanan?"

Sangeum berdecak lidah sebelum menyahut. "Makanan kesukaan Dokter Lim saja, siapa tahu dia tidak pernah makan di luar dengan menu kesukaannya, 'kan? Tapi kau yang pertama mengajak Dokter Lim, supaya tidak canggung."

"Oke, setuju. Jadi kau juga harus menyetujui kalau hadiah di hari ketiga riset, aku yang menentukan."

Sangeum mulai melirik Jimin. Menampilkan gaya pecicilan, Jimin memperlihatkan selebaran di tangannya.

Mereka sibuk berdiskusi sepanjang jalan, tidak takut kehilangan Hyunsik, karena mereka yakin Hyunsik akan kembali ke rumah sakit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro