Bagian 12 | Warna yang Meluntur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gumpalan-gumpalan duka masih terlihat elok tidak bersuara sedih, bersama aroma dupa yang melekat di baju hitam tanpa kesenduan. Semua terasa berlawanan, bahkan sinar hangat mentari berkebalikan dari tetes air mata yang dingin mengalir.

Tidak, bukan Hyunsik yang menangis, melainkan sang ibu belum berhenti meneteskan cairan kesedihan, tidak pernah peduli berapa kali pun Hyunsik membantu menyeka air mata itu.

Di detik tertentu dalam keadaan demikian, Hyunsik berpikir akan lebih baik jika dirinya yang menangis menggantikan sang ibu. Namun, melihat Lim Geun Suk berwajah biasa, tidak menampilkan emosi apa-apa, amat menyadarkan Hyunsik bahwa dirinya tidak boleh menangis.

Laki-laki mesti menyembunyikan kesedihan mereka, begitu yang Geun Suk selalu terapan.

Guci larung berisi abu terkubur beberapa saat lalu, pohon tinggi yang terdapat kayu ukir berhias nama terpajang kukuh. Hyunsik berdiam di depannya, payung hitam dalam genggaman sebagai landasan terik matahari, seraya menatap ukiran nama di kayu; Lim Junsuk.

Kabar tidak menyenangkan ini datang dari ibunya, bertepatan Hyunsik yang baru menghuni apartemen. Lee Na In menelepon sambil terisak, suara seraknya masih membayang.

Sang kakak telah pergi ke sisi Tuhan, obat terlarang berhasil membunuhnya melalui sensasi nikmat dan mimpi indah. Namun, mengapa rasa bersalah ia tinggalkan sebagai beban yang mesti Hyunsik pikul?

Tidak ada yang bisa Hyunsik lakukan kala pertama berita buruk terdengar, selain jatuh terduduk di depan kamar ditemani benda-benda mati sisa pindahan yang belum ditata.

Bahkan setelah proses pemakaman selesai, Hyunsik masih tidak tahu apa yang mesti diri lakukan untuk mengendalikan perasaan. Haruskah menyusul sang kakak untuk meminta maaf, atau tetap hidup dalam penyesalan?

Pada penghujung hari yang gelap, Hyunsik memilih tetap hidup dalam konsekuensi terburuk. Terlebih, kata; maafkan aku, Hyung terasa tidak dapat tersampaikan kepada sang kakak.

"Aku bersalah, aku meninggalkanmu. Maafkan aku."

Kalimat itu terus membakar relung Hyunsik. Bukannya habis termakan api, tapi justru gelembung perih tumbuh lagi dan lagi tidak kenal habis.

Tidak berada di detik terakhir Junsuk mengembuskan napas terakhir, melangkah keluar rumah meninggalkan Junsuk, walau Hyunsik tahu kalau sang kakak dalam keadaan sekarat, sudah membentuk penyesalan yang tidak bisa diumpamakan besarnya.

Semua masih sama, perasaan di masa itu tetap kesedihan mendalam bersolek legam pekat.

Membuka mata perlahan, sinar lampu tertangkap indra penglihat, membuat Hyunsik segera beranjak duduk. Belum sepenuhnya sadar, Hyunsik sudah dikejutkan oleh kehadiran anak tanpa nama di sisi.

"Kaget!" Hyunsik berteriak spontan. Giliran anak tanpa nama yang sekarang terkejut, merasa Hyunsik membentaknya.

"Ahjussi marah lagi...." Si anak hampir menangis kalau Hyunsik tidak segera menepuk pelan pundak anak tanpa nama.

"Tidak, tidak... maksudku..." Ketika ingatan kemarin malam mampir, maka Hyunsik menyudahi tepukan pundak pada si anak. "Tunggu, kau... di sini? Semalam aku mau mencarimu, bagaimana kau pulang?"

"Pulang? Berarti ini rumahku juga?"

Merasa salah bicara, Hyunsik hendak meralat, tapi urung ketika anak tanpa nama menunjuk arah pintu utama.

"Udara terasa dingin, mengapa Ahjussi tidak menutup pintu? Mengapa Ahjussi tidur di lantai?" Dua pertanyaan sekaligus itu membuat Hyunsik bingung; antara bingung menjawab yang mana lebih dulu, dan bingung... dirinya harus menjawab apa, karena tidak mungkin menceritakan tentang kedatangan tamu tidak terduga.

Masalahnya, Junsuk telah tiada, jadi yang semalam itu, bolehkan Hyunsik hanya menganggapnya mimpi?

"Ahjussi tidak bekerja hari ini?" tanya anak tanpa nama. Itu mampu merangsang gerak Hyunsik, berdiri tanpa bantuan. "Boleh buat susu dulu untukku tidak, sebelum kita berangkat bekerja?"

"Kita apanya, kau tidak bekerja, hanya membuatku repot." Hyunsik berkata sambil berjalan menuju dapur, seingatnya masih punya susu bubuk. "Bisakah kau tidak menghilang-menghilang begitu, hah? Kau serius seperti hantu."

"Aku memang selalu bersama Ahjussi," sahut si anak, dan entah mengapa ada perasaan gelenyar aneh yang memenuhi perasaan Hyunsik.

•••

Hari terakhir riset berjalan lancar, Sangeum berhasil mendapatkan seluruh informasi yang ia butuhkan, meski tidak dapat menyangkal bahwa masih banyak yang Sangeum ingin ketahui.

Sehabis ini, Jimin yakin gadis itu akan menghilang dari penglihatannya. Tiap kali Sangeum memulai proyek, pasti ia bagai termakan batu kutukan lapar.

"Benar, kalian mengikutiku." Hyunsik angkat bicara sesaat dia mengambil selebaran dari Sangeum, yang sekilas dirinya lihat di kaca toko alat musik kemarin.

Kalimat itu memberi efek tegang pada dua orang di depan meja Hyunsik, pikiran mereka serentak bertanya-tanya; bagaimana Dokter Lim bisa tahu?

"Warna suara kalian terlihat olehku." Suasana mencekam—bagi Sangeum dan Jimin perlahan mencair akibat senyum Hyunsik yang mengembang sebentar. Setidaknya, mereka tidak takut akan dimarahi, atau Hyunsik yang marah lantas mengusir mereka; pemikiran berlebihan memang.

"Aku memiliki sinestesia. Kurasa... aku mulai punya alasan mengapa memilih menjadi dokter mata saat itu, aku penasaran akan penglihatanku, tapi ternyata bukan karena mata. Sinestesia... berhubungan dengan neurotik." Hyunsik yang masih mengingat jelas percakapannya bersama Sangeum dan Jimin, kembali melanjutkan. "Alasanku menyembuhkan juga, sekarang aku memiliki alasan untuk diriku sendiri selain ingin menyenangkan seseorang, Aku senang melihat mata sehat orang-orang, karena dari mata biasanya terdapat cerita yang tidak bisa diungkapkan."

Diberi kalimat panjang lebar, dua orang di depannya terasa terdorong keluar dari pembahasan awal. Meski begitu, Jimin dan Sangeum menghargai keterbukaan Hyunsik, terlebih Jimin juga menginginkan itu.

"Terima kasih, atas jawabanmu malam itu, Sangeum-ssi. Lalu kalimat Jimin, terima kasih, ya?" Hyunsik melepas kembali selebaran di tangannya ke posisi semula; di atas meja. "Tapi, aku tidak bisa menerima ini. Sebetulnya, aku tidak pernah pantas mendapatkan hadiah dari kalian, pun orang lain."

"Mengapa?" tanya Jimin, langsung bereaksi. Ia tidak menunggu Hyunsik menjawab, justru kembali berkata. "Kau perlu hadiah. Pencapaianmu butuh diapresiasi, mengapa tidak? Membantu Sangeum riset, itu juga pencapaian besar."

Lantas Jimin menoleh Sangeum. "Apakah kau sudah mengerti semua yang Hyunsik hyung ajarkan?"

Sangeum segera mengangguk sebagai respons, karena entah mengapa air liurnya lebih dulu tercekat dalam tenggorokan.

"Lancar. Selama tiga hari," tambah Jimin. Pandangannya kembali mengarah Hyunsik. "Kau sudah sangat baik bekerja sampai hari ini, kau tidak mau mengapresiasi dirimu sendiri? Ah, bukankah kemarin kita batal makan malam? Setidaknya menghadiri resital piano bersama kami sudah jadi permintaan maafmu secara resmi, dan kami akan menerimanya."

Tidak ada reaksi apa-apa. Hyunsik hanya mematung dengan Jimin sebagai objek, sementara Sangeum agak canggung berada dalam keadaan begini. Maka, sesuatu muncul di otaknya.

"Seseorang bertanya kepadaku dan Jimin, apakah Dokter Lim teman kami, aku ingin menjawab 'iya', tapi apakah kita sudah sedekat itu sehingga aku bisa sesuka hati melabelkanmu sebagai teman?" Pandangan orang di hadapan dan sisinya menancap Sangeum.

Gadis itu mengatakan kalimat sambil mengingat-ingat detail kejadian kemarin, saat bibi pedagang kaki lima mempertanyakan hubungan mereka dengan Hyunsik.

Saat itu, Jimin dan Sangeum tidak bisa menjawab, apalagi ketika pertanyaan kedua terlontar; kalian terlihat dekat. Jika tidak keberatan, bisakah kalian menceritakan sedikit tentangnya?

Memang, apa yang bisa Jimin dan Sangeum ceritakan tentang Hyunsik? Mereka baru dekat, bahkan baru bertukar nomor telepon di hari kedua riset. Mereka hanya kebetulan masuk ke dalam lingkaran pembicaraan Hyunsik yang serius, atau karena pendeteksi berjalan bernama Jimin yang mengatakan Hyunsik sakit, makanya Sangeum dan Jimin mengakrabkan diri kepada Hyunsik. Tetapi, benarkah mereka sudah akrab?

Lagi pula, ini bukan ranah mereka untuk menceritakan tentang Hyunsik yang baru dikenal pada seseorang. Waktu sehari tidak sama dengan setahun.

"Jadi, bisakah... aku selangkah masuk ke dalam hidupmu? Jimin menganggapmu sebagai kakaknya, kau juga tidak keberatan akan hal itu. Maka, apakah aku bisa menganggapmu sebagai teman sekaligus saudara? Bukan hanya sebagai kenalan, sehabis hari ini, esok maupun seterusnya. Bisakah?"

"Kau memang temanku, sudah pernah kubilang bahwa aku punya ikatan kuat bersamamu dan Jimin. Kalian bukan cuma kenalanku." Yah, terlebih Hyunsik juga merasa selangkah lebih maju ketika dapat menemukan alasan mengapa dirinya menjadi spesialis mata. Itu semua berkat mereka berdua, jadi mengapa tidak, saat mereka ingin memasuki hidup Hyunsik lebih jauh?

Lantas, Sangeum dan Jimin memahami sesuatu; bahwa hari dan tahun bukan patokan untuk mengenal akrab seseorang. Dua orang yang sudah mengenal bertahun-tahun, belum tentu bisa akrab, tapi yang baru mengenal sehari dua hari, bisa saja menjadi teman baik. Titik kenyamanan seseorang selalu lebih rumit dari rumus fisika.

"Kalau begitu, tidak ada alasan untuk Dokter Lim menolak hadiah dari kami." Sangeum menjentikkan jari sesudahnya, wajah konyol yang pernah ia tampilkan di hari pertama pertemuan bersama Hyunsik kembali muncul. "Karena risetnya sudah selesai, sebaiknya aku memanggilmu Hyunsik—"

"Kau mau kujambak?"

Sangeum menelan perkataannya yang belum tuntas akibat Jimin. Dasar tukang ganggu, batin Sangeum.

"Oppa. Hyunsik oppa. Ucapanku belum selesai, mengapa kau selalu saja menyebalkan, Jim?"

"Setuju." Dengan satu kata dari Hyunsik, itu dapat menghentikan geraman-geraman yang akan tercipta dari Sangeum—kalau seandainya ia kucing, dan Jimin mangsanya. "Kau boleh memanggilku begitu, dan... resitalnya mulai pukul sembilan malam ini, 'kan? Ayo, kita pergi."

Sangeum hampir ingin menangis saking terharu, tidak menyangka Hyunsik menyetujui tentang penerimaan hadiah dan panggilan itu. Sementara Jimin menanggapi dengan balasan senyum manis untuk Hyunsik.

"Oh iya, tapi aman untuk anak kecil?"

Jimin melihat arah pandang Hyunsik. Sosok anak yang tengah berdiri senyap di samping kiri laki-laki itu, sedikit membungkuk dengan pandangan mengarah dua kaki kecilnya.

Tentu, hanya ada satu orang yang dapat melihat jelas si anak, dan satu orang ini yang tidak pernah sadar, bahwa sejak awal anak tanpa nama tidak menggunakan alas kaki. Menginjak aspal dingin, Hyunsik tidak pernah memerhatikan si anak kendati rasa tanggung jawab tumbuh.

"Aman, aman. Hanya pertunjukan piano. Anak itu... juga pasti suka," tanggap Jimin. "Bukankah, kau ke toko musik kemarin karena permintaannya?"

•••

Resital piano diadakan dalam gedung pertunjukan yang tidak terlalu besar, pengisi acara pun bukan pianis terkenal. Mereka yang terlibat hanya ingin 'menunjukkan' kemampuan. Untuk tidak memakan banyak ruang di panggung, mereka menggunakan piano jenis upright yang akan menjadi sorotan.

Tidak banyak orang datang, bisa terlihat dari banyak kursi penonton kosong di bagian belakang. Kendati begitu, sosok yang akan menjadi bintang dalam acara resital tetap mengucapkan terima kasih sebelum jari-jarinya bermain.

Nada-nada dari tuts itu mulai diperdengarkan, warna indah turut bermunculan tiap bilah-bilah ditekan.

Warna yang pernah membuat Hyunsik candu ketika bermain piano juga menyebar, menghidupkan kenangan berupa bayangan. Terasa begitu menakjubkan bisa melihatnya lagi sekarang.

Di samping Jimin, Hyunsik amat menikmati pertunjukan. Anak tanpa nama juga tampak antusias, berposisi di samping Sangeum yang diapit oleh Hyunsik di sisi lain.

Mereka seperti masuk ke dalam irama. Tidak ada yang bersuara, orang-orang yang duduk berjauhan dari kursi mereka juga menimbulkan kesan tenang.

Pertunjukan berlangsung selama lima puluh empat menit. Baru sang pianis mengakhiri nada indahnya, riuh tepuk tangan nyaring terdengar. Mungkin karena ruangannya yang tidak terlalu besar, suara tangan beradu selayaknya di sini penuh.

Pianis memberi beberapa kata penutup, dan mengakhiri resital malam itu. Lambat laun ruangan dihinggapi sepi ketika penonton mulai pergi. Dua orang pengurus panggung mengerjakan tugas mereka; membereskan alat-alat, dan tiga orang di kursi dua baris dari depan masih belum mau beranjak dari tempat.

Jimin dan Sangeum tentu sengaja belum mau bangkit, dan Hyunsik seperti masih berada di masa yang bukan sekarang.

"Hyung," panggil Jimin, sehingga Hyunsik terpaksa ditarik ke masanya. "Aku ingin jujur, anggap saja sebagai tanda pertemanan kita yang tidak akan berakhir walau hari ini akan usai."

Hyunsik yang tertarik, menoleh Jimin. Pemuda itu berbicara kepada Hyunsik, tapi arah matanya lurus ke depan.

"Kau bilang, kau menemukan anak yang tidak punya nama di depan pintu apartemenmu. Dia terlihat kedinginan, makanya kau kasihan... dan membawa anak itu masuk." Jimin kemudian memberanikan diri menciptakan tatapan lekat mengarah mata Hyunsik, sehingga mereka berada dalam garis pandang yang sama dengan jarak dekat. "Bukan hanya masuk ke dalam apartemen, kau juga membiarkan anak itu masuk ke dalam hidupmu. Apakah, kau pernah berada di tempat... di mana kau sendirian dan kedinginan?"

"Maksudmu?" Hyunsik agak tidak paham, terlebih sepertinya Jimin terlalu hati-hati bicara.

"Pernah atau tidak? Coba kau ingat-ingat. Saat kau kecil... bisa jadi, anak itu adalah dirimu." Sampai ke inti pembahasan, Jimin masih membuat Hyunsik tidak paham. "Aku tidak akan mengatakan bahwa anak yang kau lihat tidak ada. Anak itu memang ada, tapi cuma dirimu yang melihatnya. Karena itu dirimu. Anak kecil itu kau, Hyunsik Hyung."

Dari banyaknya perkataan Jimin, hanya kata 'anak itu kau', yang Hyunsik tangkap sebagai tinjuan keras dalam dada. Segera berpindah pandang pada anak tanpa nama di sisi berlainan, Sangeum sedikit bergerak dari duduknya ketika mendadak tidak nyaman. Hyunsik yang menatap serius bangku kosong, itu terasa janggal.

"Ahjussi...."

Hyunsik mengucek sebelah mata, tidak percaya kalau anak itu memudar, wajahnya melebur.

Tiba-tiba, seluruh tubuh Hyunsik tidak bertenaga. Meski duduk, Hyunsik merasa terjatuh amat dalam, larut pada kata-kata Jimin yang membuatnya tuli akan suara lain—termasuk suara si anak yang terus memanggil, juga warna merah yang meluntur.

Raga anak tanpa nama kian pudar, kemudian lenyap tiada jejak. Menyisakan pedih sekaligus sesak.

"Ba-bagaimana mungkin...." Napas Hyunsik tersengal, kedua mata yang sudah memerah menatap Sangeum menuntut. "Kau tidak melihatnya? Anak itu menghilang, kau tidak lihat?"

"Dokter Lim...." Sangeum tidak tahu harus bagaimana, atau menjawab apa. Jimin sendiri sengaja membiarkan Hyunsik memberi banyak respons atas apa yang terjadi.

"Tidak, mana mungkin anak itu adalah diriku?" Kembali menoleh Jimin, Hyunsik tidak bisa lagi mengendalikan diri.

Lim Hyunsik meminta penjelasan kepada Jimin, sementara dalam benaknya putaran pahit masa lalu terulang bagai video yang baru disimpan. Amat jelas; suara, suasana, intonasi keras, dingin, dan sakit.

Kenangan buruk yang tidak bisa terbunuh, masih terasa segetir itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro