2. Terlalu Lelah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hal-hal Tidak Terlihat dan Upaya Untuk Sembuh (2021) © Fukuyama12

.
.

"Hidup ini terlalu melelahkan dan penuh dengan ketidakadilan. Kebahagiaan seolah-olah tidak pernah berpihak padaku."

Ramainya bunyi mesin kendaraan dan klakson yang saling bertautan di bawah sana terdengar dari balkon kamarku yang berada di lantai enam. Bahkan di siang hari ini pun hawa masih terasa dingin dan akan terus mendingin sampai musim dingin datang nanti.

"Jika Tuhan terus bertindak adil kepadaku, lebih baik aku pergi saja dari sini. Tidak ada yang bisa kuharapkan lagi."

Aku melirik Sophia yang memainkan ujung hoodie-nya yang kebesaran. "Kau tahu? Tuhan selalu punya alasan di balik takdir yang sedang terjadi. Selalu ada kejutan baik bagi orang-orang yang sabar."

"Sampai kapan?" Senyum Sophia masih terpampang di wajahnya, tetapi tidak lagi menghiasi matanya. Dia terlihat seperti orang bodoh dengan tatapan kosong itu. "Sampai kapan aku harus bersabar? Tahun depan? Lima tahun lagi? Sepuluh tahun lagi? Aku sudah lelah menunggu seumur hidupku, tetapi tidak pernah ada hal baik yang datang padaku."

Badanku tertarik. Aku melihat Sophia menggenggam erat tanganku dengan kedua tangannya, menempelkan dahinya yang lebar pada jari jemariku. 

"Pasti berat menjalankan ini semua sendirian. meski ada hal kecil yang patut disyukuri, kau pasti tidak dapat merasakannya. Tapi tidak apa-apa, aku di sini untuk membantumu."

Kalimat yang diucapkan oleh Sophia terdengar seperti sebuah ejekan, tetapi aku memilih untuk mengabaikannya, menatap datar pada wajah Sophia yang tersenyum.

Aku menarik tanganku. "Terserah kamu saja."

"Kau pasti berpikir jika hidup orang lain terasa lebih menyenangkan, bukan? Kamu seharusnya menanamkan fakta jika semua orang memiliki masalahnya sendiri-sendiri, sesuai dengan jalan kehidupannya. Tuhan itu adil dengan cara yang terkadang tidak bisa dimengerti oleh manusia."

Salah satu alisku terangkat. "Contohnya?" 

"Apa saja. Mungkin orang terdekatmu yang biasa tersenyum punya masalahnya yang rumit dan memilih untuk tidak menceritakannya, maka dari itu kita tidak tahu, kan? Lagipula banyak yang harus kita syukuri. Misalnya pagi hari di mana kita masih bernapas--"

"Aku lebih bersyukur jika napasku berhenti."

Napas Sophia tercekat. Ia mengalihkan pandangannya diam-diam. "Atau rumah besar yang bisa kamu tinggali, banyak orang diluar sana yang membutuhkannya."

"Aku bisa memberikannya saat aku tidak ada nanti. JIka kau berkata, banyak orang diluar sana yang berjuang dengan penyakitnya, sementara u di sini berusaha untuk berhenti. Aku tidak peduli pada mereka. Biar saja mereka menghadapi masalahnya sendiri. Atau kau mungkin bisa pergi ke sana dan memberi mereka semangat."

Alis Sophia mengernyit mendengarku yang terus memotong pembicaraannya. Matanya kini menatapku nyalang. Rahangnya pasti mengeras saat mendengar orang yang berusaha ia selamatkan malah menolaknya dengan kasar. Namun, Sophia menghela napas panjang tak lama kemudian.

Ia menaikkan kakinya, kedua tangannya memeluk lutut yang terlipat di depan dada. Kepala Sophia bersandar pada lututnya dan matanya yang berkaca-kaca menatapku. "Aku hanya ingin menolong orang yang pertama kali kutemui. Lagipula aku juga tidak bisa membiarkan ada orang mati di hadapanku lagi." 

"Bisakah kau ingat ini, Raven? Jika Tuhan belum mengizinkanmu untuk mati, Tuhan tidak sedang menertawakan kesengsaraanmu. Dia sudah mempersiapkan kehidupan yang indah di ujung masalah yang kamu hadapi. Sabar memang bukan hal yang mudah, dan aku juga menyadarinya. Aku di sini untuk menemanimu dalam jalan 'kesabaran' itu. Jadi, mari kita cari hal-hal yang membuatmu melupakan masalahmu."

***

Setelah percakapan yang menyebalkan namun ada benarnya juga kemarin, Sophia dan aku membuat daftar-daftar yang akan kami lakukan bersama. Sebuah judul 'Hal-hal yang Akan Dilakukan Untuk Menghibur Raven' tertulis di tengah dengan tulisan tangan latin yang Sophia-sekali. 

Dari puluhan banyak jenis kegiatan yang diajukan oleh Sophia, aku hanya menyetujui setengahnya karena beberapa di antaranya terlihat seperti Sophia yang ingin melakukannya. Aku sendiri hanya memberikan lima jenis kegiatan yang sebenarnya terbesit tiba-tiba dalam pikiranku, tetapi Sophia terlihat senang sekali dilihat dari matanya yang berkilauan saat mendengar dan memberikan hiasan  bintang menggunakan spidol ungu di sebelah keinginanku. Sepertinya itu akan jadi prioritas kami selanjutnya.

Jam menunjukkan pukul dua belas lebih empat puluh menit saat aku membuka mata. Malam ini terasa tenang, mungkin karena ada Sophia yang berisik di pagi hari. Suasana seperti ini memberikan nostalgia tersendiri. Mengingatkanku pada masa lalu saat aku masih hidup bersama diriku sendiri.

Aku mencoba untuk memejamkan mataku lagi, tetapi cahaya samar-samar dari kota yang terlihat dari jendela kamar membuatku bangkit dari tempat tidur. Sepertinya tidak masalah memanfaatkan waktu untuk menenangkan diri.

Aku menarik pintu kulkas. Kini cahaya kuning menjadi satu-satunya cahaya paling terang di ruangan ini. Rasanya cukup aneh melihat ada beberapa bahan makanan di dalam sini. Biasanya hanya ada beberapa telur yang mendekam selama beberapa bulan di dalam kulkas, atau makanan basi yang sudah aku lupakan keberadaannya. Aku bukan pemasak yang handal, jangankan handal, aku sering kali menghanguskan masakan yang sedang aku hangatkan. Maka dari itu aku lebih suka memesan sesuatu sebelum jika. tentu saja hal itu akan terjadi jika aku ingat akan perutku sedang meronta.

Namun saat ini, meski tidak sampai penuh, ada beberapa bahan masakan yang mengisi kulkas. Bahan masakan yang tidak pernah aku beli sebelumnya pun ada di sini, mengisi seperempat isi kulkas.

Aku mengambil satu kotak kopi cappucino dingin dan roti lapis sisa makan malam. Berjalan menuju balkon di ruang tengah dengan kegelapan tidak membuatku kesusahan. Tinggal di sini selama dua tahun membuatku hafal seluruh letak furnitur dan barang-barang yang ada di apartemen ini. Sejujurnya, aku juga lebih suka membiarkan tempat ini dalam gelap.

Udara dingin yang menusuk menerobos masuk saat aku membuka pintu balkon. Aku mengambil selimut yang tergeletak di atas sofa dan memakainya asal-asalan. Kursi kayu yang aku beli dari seorang nenek tua menjadi teman setiaku di sini.

Kepulan asap keluar dari mulut saat aku mengembuskan napas panjang sembari menutup mataku. Aku mendongak menatap langit yang gelap gulita. Hanya ada bulan dan satu planet terang yang bisa kulihat, ribuan bintang yang digambarkan oleh orang-orang dalam buku pelajaran seperti sebuah dongeng yang tidak nyata karena banyaknya polusi udara yang ada di kota ini.

Malam ini akan jadi saat yang baik untuk mengisi kembali energi kehidupanku. Besok aku harus pergi menjalankan rencana yang sudah aku dan Sophia buat, yang saat ini tertempel dengan cantik di pintu kulkas. Pergi berbelanja bersama akan jadi kegiatan pertama yang akan kami lakukan.

.
.
.

To be continued

.
.
.

Jumkat: 1003 kata
Total Jumkat: 2122 kata
wga_academy T-FReYa

(19.10.2021)
Tertanda,

Fukuyama12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro