5. Ketenangan di Malam Hari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hal-hal Tidak Terlihat dan Upaya untuk Sembuh © Fukuyama12

.
.

5. Ketenangan di Malam Hari

.
.
.

"Raven, tunggu! Ber–berhenti! Ra–raven, sakit! Lepas!"

Aku tersentak dan dengan cepat melepaskan lengan Sophia yang tanpa sadar kutarik dengan kekuatan penuh. Aku menoleh, dan kembali terkejut dengan ekspresi kesakitan wanita itu yang hanya memberikan rasa nyeri dalam dadaku.

"Ma–maafkan aku, Sophia," lirihku. Aku mengambil tangan Sophia dan memperhatikan pergelangan tangannya yang sedikit memerah. "Maaf, aku benar-benar minta maaf. Aku sudah kehilangan kendaliku."

"Jangan buat wajah seperti itu."

Aku mengernyit mendengar perkataannya. Namun, sebelum membuka mulutku, jari Sophia menempel di antara kedua mataku, ia memijat-mijat ujung hidungku pelan dan semakin membuatku kebingungan.

Memangnya ekspresi apa yang sedang kubuat?

"Tidak perlu merasa bersalah sampai ingin menangis dan menyalahkan diri sendiri." Sophia melepaskan tangannya, meninggalkan rasa hangat yang membekas hingga membuatku tanpa sadar menyentuh bekas telapak tangan itu. "Ngomong-ngomong, apa yang kau beli?"

Aku dan Sophia sama-sama menatap kotak yang  ada dalam genggamanku, yang bergoyang-goyang selama aku menggandeng Sophia. "Ah, ini sosis panggang, tapi ...."

Aku dan Sophia sama-sama terdiam saat menatap dua sosis panggang dalam satu kotak bertutup plastik bening dengan saus yang menempel di mana-mana, mencampur warna merah dan kuning.

"Sepertinya enak, aku mau satu." Anehnya Sophia berkata seperti itu dengan tawa kecilnya. Meski begitu, wajahnya terlihat bersinar, lebih berkilauan dari pada lampu kota di malam hari.

***

"Aku bertemu dengannya saat pergi ke supermarket minggu lalu. Kau ingat cerita tentang orang yang memberikan susu mapel terakhir di toko? Dia orangnya. Kami bertemu karena dia ingin mengganti ponselku yang rusak."

Cerita Sophia itu anehnya tidak membuat hatiku tenang. Terlebih, semakin aku mendengar penjelasannya, itu hanya membuatku semakin sesak.

"PAdahal hanya sekotak susu dan ponsel. Aku bisa membelikan sebanyak yang kau butuhkan. Jangan pernah bertemu dengannya lagi," tegasku.

Sophia menatapku diam, dengan tatapan yang sama sekali tidak kupahami. Apa dia merasa kecewa? Atau merasa terkekang? Namun bagaimana lagi, jika aku tidak mengatakannya, aku hanya akan semakin sakit hati.

"Urusan kami sudah selesai, kok." Kali ini senyum paksa terlihat di wajahnya. "Hey," Sophia terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan ucapannya. Setelah cukup lama terdiam, ia melanjutkan, "saat itu, dia memanggil namamu, kan?"

Sarafku berdenyut saat mendengarnya. AKu membuang muka menahan kekesalan yang kupikir Sophia mengetahuinya. Namun, meski dia tahu, Sophia tetap menatapku, menunggu penjelasan yang keluar dari mulutku.

"Yah, tidak masalah walau kamu tidak bercerita." Perkataan Sophia membuatku terkejut, tak kusangka jika dia akan menyerah secepat ini. "Tapi bercerita bisa mengeluarkan beban pikiran, lho!"

Aku menghela napas panjang dan mengusap wajah kasar. "Dia adikku."

"Oh—Tunggu, apa? Adik?"

Aku mengangguk, tak kusangka jika Sophia akan seterkejut itu hingga bangkit dari kursinya. Tak sampai di situ, Sophia menggeser kurisnya dan mendekatiku. "Pantas saja kalian mirip sekali! Kupikir itu benar-benar doplergange-mu."

"Kau percaya itu?" Padahal aku hanya bercanda, tak kusangka jika dia mudah tertipu. Aku menarik napas panjang sekali lagi. "Dia adikku, umurnya selisih dua tahun denganku. Seperti sekarang dia masih kuliah, atau mungkin saja sudah lulus. Dia anak yang pintar."

"Benarkah? Kau pasti sangat menyayanginya!"

Aku menaikkan salah satu alisku. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

Sophia menatapku lekat-lekat, lalu tersenyum. "Nada bicaramu berbeda saat menceritakannya."

Aku terdiam bertanya-tanya Apakah yang dikatakan oleh Sofi adalah suatu fakta yang tidak diketahui s Aku tidak pernah mencoba mengamati nada bicara aku selama ini jadi aku tidak pernah tahu jika aku jika nada bicara aku akan berubah namun apa benar-benar berubah? Memangnya bagaimana ada bicaraku tadi?

"Aku tidak mengerti."

Bagaimana bisa aku menyayanginya? Lagipula meski kita keluarga kita tidak harus menyayangi anggota keluarga sendiri bukan?

"Padahal terlihat jelas sekali jika kamu menyayangi adikmu itu."

Aku menyerah dan mengulas tersenyum—yang membuat Sophia tertegun saat melihatnya. "Kau benar. Mana mungkin aku tidak menyayangi orang hebat seperti dia? Dia punya kekuatan yang membuat semua orang menyukainya meski tanpa alasan, dan aku juga terperangkap dalam jebakannya."

Benar. Dia orang yang mengagumkan. Sosok yang membuatku jatuh hati dan selalu mencintainya. Berbeda dengan orang lain, aku mencintainya dengan segala alasan dan selalu ada alasan mengapa aku mencintainya.

"Dia adikku. Kami berbagi banyak kenangan. Dia juga pintar dalam berbagai hal, lulus dalam waktu singkat, masuk sekolah paling terkenal, menyelamatkan perusahaan ayah dari kebangkrutan, dan semua hal yang tidak bisa kuceritakan. Saat kau bersama dengannya, pasti kau akan selalu menemukan hal baik yang terjadi kepadanya. Semua yang ada di dunia ini seakan memang diciptakan untuknya."

Aku terdiam, menikmati angin dingin yang membawa memori masa lalu, masa di mana aku belum memutuskan untuk pergi menjauh.

"Dia hanya adikku, dan aku ... sangat bangga padanya."

***

Ah, sial. lagi-lagi seperti ini. Entah sampai kapan aku harus merelakan malamku karena tidak bisa tidur dengan benar, bahkan malam ini pun aku hanya tidur tidak lebih dari dua jam.

"Apa aku harus beli obat tidur lagi?"

"Siapa yang butuh obat tidur?"

Aku menoleh dengan cepat. Dalam kegelapan di ruang tengan ini, sosok wanita berdiri dengan cantik. Aku hampir saja menjatuhkan kopi yang kubawa kemari jika tidak bisa mengendalikan keterkejutanku.

suara derap langkah terdengar mendekatiku. Wajah Sophia semakin terlihat jelas semakin dekatnya jarakku dengannya. Namun, kernyitan tajam di dahinya membuatku tidak nyaman.

"Kau meminum obat tidur?" Suara itu meninggi, memecahkan keheningan malam.

Sudah lama tidak ada orang yang memarahiku seperti ini. "Aku terakhir kali meminumnya tiga hari setelah bertemu denganmu."

"Bukankah itu berarti hampir dua bulan yang lalu?" Suara tinggi itu tidak juga merendah.

"Maafk--"

"Jangan meminta maaf padaku!" Sophia dengan cepat memotong pembicaraanku. Tubuhnya semakin dekat denganku, dan ujungnya adalah saat jari telunjuknya menyentuh dadaku."Minta maaf pada tubuhmu sendiri!"

Ck. Aku mengernyit tak kalah tajam dari Sophia dan menepis tangan gadis itu. Aku memang mengizinkannya tetap berada di dekatku, tetapi semakin lama dia semakin melewati batasnya.

"Berhenti ikut campur!" bentakku.

Sophia menarik tangannya dan mendekapnya dalam dadanya. Entah mengapa, dia jadi terlihat kecil saat meringkuk seperti itu. Terlihat lemah dan tidak berdaya, padahal aku hanya membentaknya dengan tiga kata. Alisnya tetap mengernyit. tetapi kali ini terlihat berbeda dari sebelumnya.

Ekspresinya yang kesakitan itu memunculkan perasaan aneh yang menyakitkan. Penyesalan karena telah membentaknya itu muncul.

"Ma-maaf teah membentakmu."

Sophia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit terkejut. Maaf sudah memarahimu. Sebenarnya aku hanya khawatir. Tidak baik minum obat seperti itu."

"Jika kau takut aku mati karena overdosis, aku pernah mencobanya dan gagal."

Sophia mengangkat wajahnya, mulutnya terbuka dengan sangat lebar. DIa terlihat sangat khawatir pada diriku yang bukan siapa-siapa. Setiap kali melihatnya seperti itu, aku akan terenyuh. Tidak ada yang pernah benar-benar mengkhawatirkanku.

"Aku tidak akan mencobanya lagi," ucapku. "Tetapi akhir-akhir ini aku susah tidur."

"Benarkah?" Kulit telapak tangan Sophia menyentuh pipiku. Menarik wajahku untuk semakin dekat dengan penglihatannya. "Pantas saja kantung matamu jadi setebal ini! Kau benar-benar tidak bisa tidur?"

"Iya. Anu, tolong lepaskan, ini terlalu dekaat." Aku mendorong pelan kedua bahu Sophia hingga mundur beberapa langkah.

"Kenapa? Kau selalu mimpi buruk? Atau merasa sedih tiba-tiba dan terbangun di tengah malam?"

Aku mengernyit, tidak menyangka jika Sophia tahu. "Aku tidak pernah bermimpi, jadi aku pilih alasan satunya."

"Apa yang kau lakukan agar bisa tidur lagi?"

"Tidak ada. Aku akan minum kopi, atau tetap berada di atas kasur sampai tertidur lagi." Aku tidak perlu bercerita jika aku menangis tiba-tiba, kan?

Sophia terdiam menatapku dengan mata besarnya, yang berkilauan memantulkan gemerlap lampu kota dari balik jendela balkon. Tangannya tiba-tiba meraih tanganku yang kosong.

"Manusia yang kurang tidur bisa menderita penyakit jantung, tak hanya itu, suasana hati mereka juga akan selalu buruk. Kau harus tidur, Raven. Berikan kopinya padaku."

Tanpa menunggu persetujuaanku, Sophia mengambil alih kopi yang masih hangat dan meletakkannya di atas meja. Ia menarik tanganku dan mendudukkanku di sofa di ruang tengah, menata bantal-bantal yang terlihat empuk pada satu sisi sofa, dan mengambil selimut berpola semanggi berdaun empat. Ia mendorongku dan menyelimutiku dengan selimutnya, aroma yangs sama dengan rambut Sophia memenuhi indera penciumanku.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku pada Sophia yang kini sedang duduk di atas lantai beralaskan karpet. Jarinya yang lentik sibuk menyentuh layar ponsel, entah apa yang sedang ia lihat.

"Pilih satu!" serunya tiba-tiba, tidak terdengar ingin menjawab pertanyaanku. "Pesawat, mobil, danau, laut, kereta, atau hujan?"

Aku mengernyit. "Em ... Kereta?"

"Pilihan bagus!" Sophia meletakkan ponselnya di atas meja, suara roda kereta yang bergesekan dengan rel besi keluar dari sana bersamaan dengan dentingan tuts piano dan suara biola yang dimainkan. "Suara seperti ini bisa memberikan ketenangan, lho!"

Sophia melipat kedua tangannya di atas sofa, bersebelahan dengan lenganku dan hanya dibatasi oleh kain selimut yang hangat. Pipinya terlihat empuk saat ia menyandarkan kepala pada tangannya.

"Aku akan menunggumu sampai tertidur," ucap Sophia dengan senyum hangatnya.

Memangnya aku anak kecil?

Ingin sekali aku berkata seperti itu, tetapi mulutku tertutup rapat. Meski hanya ada selimut beraroma Sophia dan rekuem dari suara kereta dan dua alat musik klasik, juga keberadaan wanita di sampingku, tetapi semua kesederhanaan ini terasa menenangkan.

"Sophia ...." Entah mengapa aku ingin sekali memanggilnya. Gadis itu bergumam sebagai jawaban, masih dengan posisi menatapku seperti itu. "Maaf, aku hanya ingin memanggilmu saja."

Sophia tidak menjawabnya dengan kalimat, melainkan dengan gerakan tangan teratur di rambut hitamku. Jari-jarinya menyusup masuk, menciptakan rasa aneh yang menggelitik tak hanya di kulit kepala, tetapi juga perutku. Hanya ada suara musik yang memenuhi telingaku, dan belaian lembut Sophia seakan memenuhi semua yang kubutuhkan, puncak dari segalanya.

Sudah lama aku tidak merasakan hal seperti ini. Kupikir aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi, tetapi keberadaan Sophia yang kupikir merepotkan ternyata tidak seburuk yang kubayangkan.

"Tenang saja, aku akan selalu berada di sampingmu," ucap Sophia.

Aku merasakan kantuk di kedua mataku. Rasanya nyaman sekali diperlakukan seperti ini. Aku menutup mataku perlahan. "Aaron meski aku menyayanginya, tetap saja dia orang yang mengambil semua kebahagiaanku."

.
.
.

To be continued

.
.
.

Jumlah kata: 1588
Total kata: 6394
T-FReYa wga_academy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro