01. Bulan Madu di Subang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam menggantikan siang. Kabut dingin di lereng Gunung Tangkuban Perahu kian tebal. Di salah satu balkon glamping dengan tenda berbentuk seperti rumah siput, tampak seorang lelaki mengenakan hoodie putih sedang duduk di kursi kayu seraya menyesap kuah bajigur yang hangat. Tatapannya mengarah ke panorama remang lereng gunung --yang kala matahari bersinar akan tampak hijaunya barisan pohon yang tumbuh di lereng dengan satu-dua monyet bergelantungan di dahan. Namun, pikirannya mengawang ke hal lain.

Lelaki ini, Emil, dia memikirkan Asma, wanita pemalu yang sampai kini masih menjadi ratu di kerajaan hatinya. Asma yang berperawakan kecil, tapi sangat cekatan dalam melakukan banyak hal. Asma yang memiliki suara lembut, sabar, dan hampir tidak bisa marah pada orang lain. Asma yang pandai sekali ilmu falak dan suka sekali membahas ilmu filsafat. Asma dengan penampilan bersahajanya. Asma yang sangat suka membuatkannya teh kurma merah. Asma yang tidak suka mangga, tetapi amat menyukai permen rasa mangga. Asma yang--

"Mas."

Suara seorang perempuan membuyarkan lamun Emil. Dia meneguk kuah manis bajigur yang sudah berada di ruang mulutnya. Lantas meletakkan cangkir bajigur itu ke tatakan keramik di atas meja kayu di hadapan, bersebelahan dengan piring keramik berisi rebusan kacang, jagung, dan ubi.

"Makan malamnya sampun siap, Mas," lanjut perempuan itu seraya kedua tangannya menyentuh bahu Emil dengan lembut.

"Iya. Nanti aku menyusul," sahut Emil begitu cangkirnya menempel sempurna pada tatakan keramik yang ada.

"Nggih," sahut perempuan itu. Kembali ke dalam glamping dan menata ulang menu makan malamnya yang sudah tersaji rapi di atas meja.

Perempuan ini, Almira, dia harus memiliki kesabaran ekstra menghadapi sikap dingin Emil. Dari selama perjalanan Cilacap ke Subang hingga sore berdestinasi wisata sebentar ke Kebun Teh Ciater dan akhirnya staycation di Astro Highland, suaminya kerap berlaku dingin padanya, tidak pernah bercerita sesuatu hal yang menarik, apalagi bergurau, tidak pernah. Katanya berbulan madu, tapi dia tidak sedang merasakan berbulan madu karena merasa banyak dicueki.

Almira mencoba mengalihkan rasa kecewa yang ada. Dia membuka tutup ketel nasi liwet, begitu dibuka, aroma sereh dan daun salam berhasil membuat dia tersenyum sampai-sampai sudah membayangkan akan begitu lezat disantap dengan ikan peda beserta aneka sambal yang sudah tersaji.

Sekon ke depan, dia kembali menutup ketel nasi liwet. Menoleh ke belakang dan menemukan Emil tengah berjalan masuk ke glamping.

Suasana hati Emil sungguh buruk. Memikirkan Asma selalu berhasil membuatnya merasa amat bersalah. Dulu, katanya dia hendak setia, tapi nyatanya begitu Asma meninggal di bulan ke 3 pernikahan mereka, setelah 3 tahun kejadian itu berlalu, akhirnya dia menikah lagi sesuai keinginan Ummi-nya.

Seketika, kenangan di masa lalu itu kembali hadir. Kenangan menyedihkan saat Asma bernapas lemah dalam pangkuannya dengan keadaan tubuh kecil itu bersimbah darah, menatapnya pilu dan menahan sakit, sebelum akhirnya menutup mata selamanya.

Dada Emil menyesak. Rasa bersalahnya mengalir di setiap sel-sel tubuhnya. Kepalanya pening. Tiba-tiba saja pandangannya menjadi berkunang-kunang. Langkahnya memelan. Kedua matanya menyipit, alih-alih memperjelas penglihatan.

Di tempatnya, Almira beringsut berdiri dan berjalan cepat ke arah Emil mendapati gerak tubuh Emil yang hampir limbung.

"Mas, kamu kenapa?" khawatirnya seraya meraih lengan Emil.

Emil tetap membisu. Menyipitkan kembali kedua matanya, tetapi tetap berkunang-kunang, malah secara samar menghadirkan sosok Asma di hadapan--yang mana itu adalah Almira.

"Mas." Almira kian khawatir. Dia hendak menyentuh kening Emil, tetapi suaminya justru memeluknya.

"Maafin aku, ya?" mohon Emil dengan nada serak.

Mendengar itu, kedua mata Almira melebar. Dia terharu mendengar permohonan maaf Emil. Permohonan maaf barusan pastilah perihal Emil yang kaku di seharian.

Rasa bahagia memenuhi rongga dada Almira. Dia membalas pelukan Emil dengan erat. Saking bahagianya sampai-sampai dia lupa menjawab permintaan maaf yang ada.

Dek Asma, imbuh Emil dalam benak, menyinggahkan ceruk lehernya ke sebelah bahu Almira.

***

Emil meriang. Suhu tubuhnya naik hingga 39 derajat celcius dan kepalanya amat pening. Untung saja Almira selalu sedia obat-obatan seperti paracetamol, obat masuk angin, hingga obat mabuk kala bepergian jauh. Usai makan malam, Emil langsung tidur begitu meminum paracetamol. Sedangkan, Almira menyempatkan muraja'ah hafalan al-Qurannnya satu juz.

Almira hafal al-Quran. Salah satu kewajiban orang yang hafal Al-Quran adalah setia; yaitu dengan terus muraja'ah agar hafalannya terjaga, semakin kuat, tidak lupa. Menjadi penghafal al-Quran, salah satu rintangan terbesarnya memanglah setia. Setia dalam arti seperti tadi, menjaga hafalannya seumur hidup, setiap harinya harus menyempatkan muraja'ah, tak peduli sesibuk apa.

Juz 16 adalah salah satu juz favoritnya. Almira ingat betul, dulu saat masa-masa membuat hafalan di juz yang memiliki surah Maryam di dalamnya ini, dia kesulitan menghafalkan, susunan kalimat Arabnya rumit, dia harus lebih ekstra muraja'ah saat itu, hingga pada akhirnya sekarang justru menjadi juz favorit sebab hafalannya kuat di juz ini, menjadi ringan saat di-muraja'ah.

Sempurna selesai muraja'ah, Almira melepas hijab cokelatnya. Menyempatkan sejenak menyisir rambut hitam lurusnya yang panjang sedada. Seraya mengeratkan kerah sweater cowl neck cokelat tebalnya ke ujung dagu, dia berjalan ke petiduran, duduk di pinggiran kasur. Dia membenahi letak bed cover putih yang membalut tubuh Emil hingga ujung leher usai menyentuh leher dan kening suaminya itu yang berkeringat, suhu tubuhnya mulai menormal.

Bergeming, mata sipit Almira khidmat mengeja furnitur wajah Emil. Kuning langsat kulitnya, rambut hitamnya yang berantakan, wajah ovalnya, rahangnya yang kokoh, bentuk bibir atasnya yang philtrum tajam, hidung mancungnya, hingga tebal alisnya. Emil amat mempesona. Apalagi kala tertidur lelap seperti ini, sosok Emil tampak menjadi begitu tenang. Ah, sosok Emil memang begitu tenang, saking tenangnya, bahkan irit bicara kepadanya.

Saking begitu tenangnya, Emil tidak pernah sekalipun membuat gurauan ringan saat bersamanya, berbanding balik dengan saat bersama orang lain; seperti saat duduk santai bersama Papa Kinan-nya di rumah, Emil amat pandai membawa suasana dengan kelakar ringan yang tanpa mengurangi rasa hormat dan harga dirinya sedikitpun.

Saking amat tenangnya, hingga bahkan amat tertutup padanya, tak pernah sekalipun curhat kepadanya tentang sesuatu perihal diri lelaki ini. Ah, tapi barangkali belum, pernikahan mereka barulah kurang dari 2 minggu, bukankah masih perlu banyak beradaptasi satu sama lain?

Almira meneguk ludah. Dia kembali membenahi letak bed cover sampai ujung dagu. Lantas menyeka keringat di kening Emil, hingga perlahan, sebelah tangan Emil bergerak meraih pergelangan tangannya itu, menghentikan gerakan Almira yang baru setengah jalan menyeka keringat.

"Nggak usah kemana-mana," ujar Emil. Dia mengingau sembari kian erat memegang pergelangan tangan Almira.

Seutas senyum singgah di bibir tipis Almira. Suaminya ini saat tertidur lelap, kenapa begitu manis? Pipinya jadi merona. Dengan semangat, dia pun mengikuti interuksi Emil, tetap bergeming duduk di sisi petiduran.

"Dek Asma," imbuh Emil dengan kedua matanya yang masih terpejam sempurna.

Igauan ini lolos membuat kedua mata Almira melebar. Dadanya sesak oleh rasa kecewa. Baru saja dia merasa bahagia sebab Emil tampak begitu manis memohon agar dirinya tetap di sisinya, tetapi sekarang apa? Di malam berbulan madu, justru Emil menyebut nama wanita lain. Pengungkapan tadi itu, nyatanya bukanlah untuknya. Yang Emil harapkan menemaninya di malam dingin ini, ternyata bukanlah dirinya.

Ah, Ya Allah, semenyakitkan inikah menikah dengan seorang pria yang ternyata belum kelar dengan masa lalunya? Dada Almira bergemuruh. Nama wanita itu disebut lagi oleh Emil dengan genggaman tangannya kian erat. Bulir air mata Almira melesat jatuh membasahi pipi.

_________________

Nggih: iya (Bhs. Jawa krama)
Sampun: sudah (Bhs. Jawa krama)
Muraja'ah: mengulang hafalan untuk menjaga hafalan yang dimiliki.
Glamping: berkemah mewah.

Follow my IG: @diannhaura

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro