04. Perasaan Rumit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

First love never dies. Ada yang mengatakan begitu perihal cinta pertama. Tapi memang, cinta pertama sulit dilupakan.

Dulu, Almira memang diam-diam mengidolakan Labib saat dirinya bahkan masih kelas 3 MTs. Saat itu, walau masih terbilang muda, Labib sudah menjadi ustadz yang mengajar sekolah diniyah, tapi Almira tidak diberi kesempatan untuk diajar Labib. Namun, kadang Almira tak sengaja berpapasan dengan Labib di sekolah diniyah. Dan bisik-bisik sebagian santriwati, selain pintar, Labib adalah sosok yang begitu tenang dan sulit didekati oleh cewek, tidak ada caper-capernya ke santriwati seperti sebagian santri putra yang suka caper dan sok keren. Itulah yang membuat Almira kagum. Satu lagi, Almira amat terpesona dengan tatapan mata Labib yang teduh, memiliki pesona magis yang sulit dijabarkan karena membuat Almira tenang.

Almira kukuh menyimpan rasa ini dari sebuah kagum, hingga kadang terbesit ingin memiliki, hingga akhirnya Almira mengklaim bahwa Labib adalah cinta pertamanya. Tapi nahas, 2 tahun berlalu, Labib tak pernah lagi tampak di pesantren. Kabarnya, Labib sudah pindah ke pesantren lain untuk menimba ilmu.

Almira pikir itu hanyalah sebatas cinta monyet. Namun, ternyata perasaan yang ada tumbuh kian mekar seiring berjalannya waktu. Dia tak pernah lagi jatuh cinta setelahnya karena memang tak ada sosok lain yang bisa menarik hati. Hingga akhirnya, dia melepaskan perasaan sepihak itu begitu Emil datang.

Lamun Almira buyar tatkala mendapati Emil keluar dari walk in closet. Sudah berganti mengenakan kaos putih oblong.

Almira yang sedang duduk di tepi kasur mengenakan night robe cokelat motif bungapun beringsut melempar senyum ke arah Emil.

"Sayang," panggilnya kemudian yang sebatas mendapatkan timpalan senyuman kaku Emil.

Emil beringsut ke arah kasur dan mencoba langsung tidur.

Hela napas Almira memberat. Dia bingung sikap Emil yang tampak menjaga jarak dengannya. Yang Almira inginkan, sebelum tidur, ada percakapan ringan di antara mereka sebagai wujud saling mengenal lebih dalam. Emil terlalu tertutup, biasanya Almira nyelonong menyomot topik agar bisa mendapatkan obrolan sebelum tidur. Tapi nyatanya, malam ini dirinya tak memiliki kesempatan itu.

Seraya ikut merebahkan diri, Almira mengawang tentang perjalanan mereka ke Ajibarang. Tentang bertemu Labib dan entah kenapa hatinya begitu bahagia bisa melihat lelaki itu lagi. Saat di mobil tadi, satu-dua kali dia mencuri pandang Labib lewat kaca spion dalam, melepaskan kerinduannya pada tatapan mata teduh itu. Dia tahu ini salah. Karena itulah pikiran dan perasaannya mendadak kacau. Membuatnya galau dan kesal pada diri sendiri. Bagaimana bisa, dia yang sudah menjadi istri Emil, lancang sebahagia ini bisa bertemu Labib setelah sekian lama?

"Mas, kenapa kamu milih aku di waktu itu?" tanya Almira begitu saja saat Emil membuka mata, beringsut mengganti posisi.

Pertanyaan demikian spontanitas saja, tetapi Almira sungguh tidak bisa menahan satu pertanyaan ini yang sebenarnya kerap bertebaran di kepala sejak di hari pertama menikah itu. Hari pertama menikah, di mana dia diam-diam tahu bagaimana perasaan Emil yang sesungguhnya akan pernikahan yang ada. Ditambah igauan Emil di glamping yang membuatnya kian yakin bahwa kehadirannya tidaklah diinginkan oleh Emil.

Mimik wajah Emil perlahan berubah, raut terkejut tergurat jelas di garis wajahnya. Bukan langsung menjawab, dia malah bergeming pikir, dia sedang tidak mau membahas hal begituan.

"Waktunya tidur, Al," dalihnya kemudian. Lolos menjadikan Almira menahan kecewa sebab Emil sengaja mengalihkan pertanyaan tadi.

Emil sudah tak acuh. Dia kembali memejamkan mata.

Almira menyusul tidur dengan menanggung patahan hebat di hati. Ikut berposisi tidur miring. Saling membelakangi.

Tak berselang lama, begitu Almira sempurna menarik bed cover yang ada hingga leher, sebelah tangan Emil beringsut mematikan lampu utama kamar dengan remot yang ada di nakas, menyisakan lampu tidur yang remang.

Bukan segera lelap tidur, Almira malah tidak mengantuk sama sekali. Dadanya amat sesak. Dia tahu kalau cinta Emil untuk Asma sebegitu besar, tetapi apakah sungguh tak ada ruang sempitpun untuk dirinya bisa masuk ke hati Emil dengan upaya cinta yang dirinya miliki? Jika Emil begitu kukuh menutup hati, lantas bagaimana kalau pada akhirnya, perasaannya justru singgah ke relung hati lelaki lain? Dan apa sulitnya menjawab pertanyaan tadi? Bukankah mudah saja menjawab jujur, mungkin seperti Aku milih kamu jadi istriku atas kemauan, Ummi. Palingan begitu modelan jawabannya, bukan? Emil menikahinya karena terpaksa. Emil menikah lagi atas dorongan Ummi Wardah, bukan kemauan sendiri.

Air mata Almira melesat jatuh membasahi seprei putih yang ada.

Almira paham benar atas perasaan yang tengah ditanggungnya kurang dari 24 jam ini salah, tapi mendapati sikap Emil yang teguh mempertahankan cintanya hanya untuk Asma, menjadikannya tambah putus asa dan bingung. Bagaimanapun, dia ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh suami sendiri, tetapi kenapa begitu sulit untuk mendapatkan cinta itu? Apakah dia akan sabar menanti Emil bisa jatuh cinta padanya, sekalipun entah harus seberapa lama dan sebanyak apa air mata jatuh dari bendungan kelopak mata?

Pun sama. Kantuk Emil sirna. Pikirannya semrawutan. Dia sadar betul, pernikahan ini hanya membuatnya merasa amat bersalah pada 2 perempuan sekaligus. Kepada Asma maupun Almira. Merasa bersalah pada Asma karena telah menikah lagi dan pada Almira yang seringkali terabaikan. Pada akhirnya, dia hanya bisa menyampaikan ketidakenakan hatinya lewat senyap, Maaf.

***

"Shadaqallaahul 'adziim ...."

Almira selesai mengaji deresan hafalan al-Qurannya ke Ummi Wardah.

Ummi Wardah menutup mushaf al-Quran milik Almira yang berada di atas meja kayu hadapannya.

"Terus semangat, Nduk," kata beliau menyemangati menantunya ini agar tetap semangat ngerumat al-Quran.

Dalam hal ngerumat hafalan al-Quran tidaklah kenal usia karena sifatnya wajib seumur hidup. Banyak sebagian dari penghafal al-Quran yang begitu khatam tidak langsung mutqin, alias belum bisa disemak 30 juz tanpa kesalahan; bisa kesalahan dari segi lupa, tajwid, hingga kekeliruan harokat, susunan kalimat. Itulah kenapa biasanya begitu khatam, mereka ngaji lagi, biasanya di pesantren al-Quran lain sembari tabarukan. Atau kadang kalau sudah menikah seperti Almira, bakalan ngaji lagi ke guru al-Quran lain yang dekat dengan rumahnya.

"Nggih, Ummi. Matur nuwun semangatnya, Um," sahut Almira dengan wajah semringah.

Mertuanya memang selalu mampu membuat semangatnya naik lagi. Pasalnya, seharian setelah tadi malam menangis sebab perasaannya yang rumit, Almira kurang semangat muraja'ah. Biasanya dia muraja'ah dengan suara tegas dan bisa didengar oleh gendang telinganya sendiri secara penuh. Namun, seharian ini sebaliknya, dia malah loyo dengan muroja'ah tanpa bersuara, bukan dalam hati, melainkan mengandalkan pola bibir tanpa bunyi.

Ummi Wardah menimpali senyuman Almira. Dia selalu menyukai senyuman menantunya ini. Senyuman yang terlihat tulus dan wajahnya kerap berbinar ceria. Namun, dia juga tahu bahwa binar ceria wajah itu mempunyai lapisan topeng untuk menutupi sisi kepedihan hatinya.

Bukan kepedihan hati perkara sikap kaku Emil. Bukan. Ummi Wardah tidak tahu tentang sikap Emil pada Almira yang sebenarnya. Jika saja dia tahu, pastilah dia sudah menasehati Emil sebegitu dalam. Terlebih, dia tahu tentang kepedihan Almira perihal keluarga orangtuanya. Kepedihan yang begitu membekas; perkara sosok ayah.

"Ya sudah, Ummi pergi dulu ya, Nduk. Jangan lupa, setelah mengaji ini, dideres lagi ngaji tadi minimal satu kali," ujar Ummi Wardah, memberikan mushaf al-Quran Almira.

"Nggih, Um." Almira mengangguk. Menerima mushaf al-Quran-nya.

Seutas senyum singgah di bibir Ummi Wardah lagi.

"Um, sebelumnya .... boleh Al tanya sesuatu?" tanya Almira sebelum Ummi Wardah beringsut dari duduknya dengan perasaan menanggung rikuh.

"Iya, mau tanya apa, Nduk?"

"Niku, Um ...." Almira menggigit bibir bawahnya. "Dulu, apakah Ummi yang meminta buat Al jadi istrinya Mas Emil? Maksudnya ...."

Kening Ummi Wardah mengerut samar, menerka sembari mengeja gurat wajah rikuh Almira yang hingga pertanyaannya itu dibiarkan mengambang.

"Maksudnya ... apakah Ummi yang jodohin kamu sama Masmu?"

Kepala berhijab hijau toska Almira mengangguk.

Mendapati selidikannya tepat, Ummi Wardah mengurvakan bibir.

"Ummi nggak jodohin kalian berdua, Nduk. Jadi Masmu nggak cerita soal ini ke kamu, ya?" sahutnya.

Almira menggeleng pelan seraya menimpal, "Mas Emil mboten cerios, Um."

(Mas Emil nggak cerita, Um)

Ummi Wardah mengulang kurvaan bibirnya. Sebuah kenangan indah singgah di ingatan. Kenangan indah tentang ... Emil yang akhirnya bersedia move on dari kepergian Asma dengan berkenan menikah lagi.

"Masmu sendiri yang meminta kamu buat jadi istrinya, Nduk," jelas beliau sesaat ke depan.

Mendengar kesaksian Ummi Wardah yang jauh dari atensi, kedua mata kelam Almira melebar, "Hm ... Ngoten, Um?"

(Hm ... seperti itu, Um?)

Penuh semringah, Ummi Wardah mengangguk, menjelaskan, "Iya, Ummi serius. Masmu sendiri yang bilang ke Ummi buat minta ditaarufkan sama kamu, lalu mengkhitbah kamu. Masmu nemuin kamu dalam jawaban istikharahnya, Nduk."

Jantung Almira terasa berhenti berdetak sejenak. Sungguh, dia belumlah percaya dengan apa yang baru saja dirinya dengar. Fakta barusan, sungguh sulit diterima. Membuat pikirannya mengawang, menerka-nerka banyak hal.

Jadi Mas Emil nikahi aku tanpa paksaan Ummi? Dia nikahi aku sesuai kehendaknya sendiri karena menemukanku dalam jawaban istikharahnya? Tapi kenapa Mas Emil amat cuek padaku, seolah-olah menikah karena dipaksa? Ah, aku tahu jawabannya, itu karena Mas Emil masih amat mencinta Mbak Asma, lalu memilih terus hidup bersama bayang-bayang Mbak Asma, terus berjalan di atas kenangan indah bersama Mbak Asma. Lalu, jika Mas Emil egois begini, peranku baginya ini sebagai apa?

Hati Almira mendadak memedih.

"Nduk."

Suara lembut Ummi Wardah membuyarkan lamun Almira.

"Nggih, Ummi," sahut Almira. Sedikit gugup karena malah melamun.

"Ya sudah, Ummi pergi dulu, ya?" pamit Ummi Wardah dengan ramah.

"Nggih, Ummi," jawab Almira, beringsut bersalaman dengan ibu mertuanya ini, mencium punggung tangan beliau dengan takzim.

Ummi Wardah pun meninggalkan Almira sendirian di ruang keluarga yang menjadi tempat mengajinya. Pikirannya kalut. Dia memilih beringsut ke ruang baca untuk nderes. Sebenarnya sudah menjadi kebiasaan begitu selesai mengaji ke Ummi Wardah di ba'da isha, Almira bakalan muroja'ah di ruang baca yang juga menjadi tempat favorit Emil.

Langkah demi langkah, Almira dihabiskan dengan melamun. Sampai di depan pintu ruang baca, menarik kenop pintu, indera penglihatannya menangkap Emil sedang menaruh 2 cangkir teh kurma merah di meja kecil samping bean bag.

Memang, sudah menjadi hal lumrah kalau Emil kerap membuatkan teh kurma merah seusai Almira mengaji malam hari kala ada waktu luang. Emil sudah paham rutinitas Almira, itulah mengapa Emil begitu sebagai bentuk kepedulian dan mendukung Almira dalam usaha ngerumat al-Quran. Emil juga menemani Almira, walau dengan sibuk membaca sesuatu yang ada di ruang baca.

Dengan menghembuskan napas sejenak, Almira melangkah masuk, menutup pintu sebentar untuk kemudian melangkah mendekati Emil yang sebenarnya sudah merasakan kehadiran Almira, tapi dia kukuh sibuk membenahi letak cangkir berisi teh kurma merah mengepulnya yang bahkan sudah tertata rapi.

Almira bergeming di samping Emil sembari erat memeluk mushaf al-Quran. Mengeja gerak tubuh lelaki ini yang masih tak acuh padanya. Hingga sesaat kemudian, Emil menoleh ke arah Almira, menumpukan tatapan mata kelamnya ke mata sipit Almira yang lusuh.

Mas, aku bingung sama kamu. Kamu cuek, tapi kadang perhatian. Kamu yang mau nikah sama aku, tapi seolah-olah kamu dipaksa nikah sama aku. Kamu ini ... maunya apa? keluh Almira yang hanya bisa disampaikannya lewat senyap.

______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro