09. Si Tepung Lonjong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Acara JMQH, alias Jami'iyah Mudarasatil Qur'an Lil Hafizdat, kabupaten Cilacap akan digelar kamis besok.

H-1, kompleks PP Al-Anwar sedang memasang sound system untuk persiapan JMQH yang mana adalah sebuah organisasi yang mewadahi para perempuan penghafal al-Quran. Organisasi tersebut mempunyai misi mulia; membuat gerakan membaca al-Quran secara tartil, memahami tafsir al-Quran, membina keluarga sakinah, serta mencetak generasi penghafal al-Quran.

JMQH mempunyai beberapa program seperti grup tadarus daring one day one juz, deresan estafet dengan tartil, hingga acara rutinan semakan Al-Quran 4 bulanan sekabupaten seperti yang digelar di PP Al-Anwar besok pagi.

Almira berjalan beriringan bersama Ummi Wardah ke halaman Masjid Al-Anwar untuk mengecek beberapa tempat di dalam masjid untuk besok dijadikan acara semakan Al-Quran. Almira mendadak menahan napas sesaat kala mendapati Labib dengan takdzim mendekati Ummi Wardah untuk mengaturkan sesuatu.

Paling malas adalah ketika terjebak situasi seperti demikian, bertemu Labib, Almira menjadi canggung sendirian.

Beberapa hari pasca bertemu Labib di kali pertama setelah sekian lama, Almira mencoba memahami perasaannya pada Labib yang bisa terbawa rasa bahagia dan canggung sendirian kala bersua.

Akhirnya Almira mendapatkan sebuah jawaban; nyatanya rasa canggung yang ada bukan sebab jatuh cinta lagi pada pemilik mata teduh itu, melainkan sebatas sebagai idola, dia tetaplah mendambakan cintanya Emil.

Kedua mata mongoloid Almira memilih mengedar ke arah lain, malah menemukan suaminya yang tengah tergesa keluar dari masjid sembari mengangkat telepon.

Sebelah alis Almira terangkat begitu  fokus Emil tertuju padanya dan membelaikan sebelah tangan.

Segera, Almira mendekati Emil. Suaminya itu menjeda telepon, membisikinya, memberitahu sesuatu.

"Telepon buat kamu dari pesantren," bisik Emil itu.

Almira melirik sekilas. Menerima ponsel Emil. Menyambungkan panggilan.

Tanpa menunggu istrinya, Emil membawa langkah kakinya ke ndalem untuk mandi, tubuhnya terasa begitu lengket karena dari pagi hingga menjelang siang belum sempat mandi.

Telepon dari pengurus pesantren Manbaul Hikmah Cilacap. Sebuah pesantren yang dulu Almira mengenyam ilmu agama di sana, tempat Almira menempuh takhasus al-Quran. Salah seorang pengurus putri, tadi memberitahu Almira jika dia mendapat surat panggilan diklat untuk persiapan lomba MHQ--Musabaqah Hifdzil Qur'an--tingkat provinsi.

Almira pun beringsut memberi tahu Emil tentang kabar baik ini, sekaligus meminta izin untuk mengikuti diklat selama 4 hari di Cilacap kota.

"Perasaan ... tahun ini kamu nggak ikut lombanya, Al. Kok bisa dapet surat diklat buat persiapan maju tingkat provinsi?" tanya Emil, dia baru selesai mandi dan masih mengenakan handuk kimono, sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk biasa.

"Lomba tingkat kabupatennya digelar tahun lalu, Mas," sahut Almira yang duduk di pinggiran kasur.

Gerakan Emil mengeringkan rambut basahnya tertahan, menaikkan sebelah alis.

"Jadi Kemenag Cilacap sengaja ngadain MHQ tingkat kabupatennya setahun lebih awal gitu, katanya biar punya persiapan lombanya lama dan nderesnya maksimal, bisa setahun sendiri buat persiapan maju ke provinsi." Almira tersenyum kecil, mengingat ajang lomba tahun itu, justru dia malah jadi lupa pernah ikut lomba MHQ cabang 20 juz di tahun kemarin sebelum menikah.

Tidak menyahuti dengan kata-kata, Emil mengangguk paham.

"Syaratnya, apakah bagi mereka yang udah nikah boleh ikut?" tanya Emil, beralih mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.

"Boleh, Mas. Yang penting kayaknya nggak ngelebihi usia 23 tahun sih," jelas Almira, keningnya mengerut, mencoba mengingat sesuatu, "Tapi nggak tahu juga. Intinya kalo udah nikah boleh aja, asalkan nggak ngelebihi usia maksimal."

"Memangnya usia kamu sekarang berapa, Al?"

Kedua mata Almira melebar, heran dengan Emil yang tidak paham dirinya ini usianya berapa.

"Usiaku 20 tahun, 3 bulan lagi 21 tahun, Mas. Masa nggak paham umur istri sendiri sih. Jangan-jangan kamu nggak ingat berapa tanggal lahirku, Mas?" sahutnya dengan nada ngambek. Tambah ngambek dengan Emil yang tetap sibuk mengeringkan rambut dengan hair dryer yang menyuara nyaring itu dengan akhirnya menjawab, "Maaf. Aku lupa, Al."

Menghempas napas, Almira pun mengelus dada.

***

Usia Almira 20 tahun, selisih 10 tahun sendiri dengan Emil yang usianya 30 tahun.

Almira belum pernah merasakan bangku kuliah, niat awalnya dia mau mendaftar kuliah, nanti sehabis hafalan al-Qurannya khatam. Tapi rencananya justru berbelok karena begitu khatam, dia keburu menikah dengan Emil, belum memikirkan lagi hendak berkuliah atau tidak.

Almira menghafalkan al-Quran sehabis lulus SMA. Perguruan tinggi dari pesantren yang disambangi Almira juga jauh, maka dari itulah, kebanyakan yang menghafalkan al-Quran setelah lulus SMA akan memilih fokus ke program takhasus al-Quran yang ada saja.

Niat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi masih ada dalam diri Almira, tapi sejauh ini, dia belum membicarakannya pada Emil. Dulu, rencananya setelah khatam, dia hendak mengambil beasiswa tahfidzul Qur'an sembari tabarukan di pesantren lain, mengambil program studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir.

"Enak nggak rabokki buatanku, Sayang?" tanya Almira pada Emil yang tengah melahap rabokki--alias ramyeon tteokbokki--buatannya.

Gerakan melahap rabokki-nya Emil tertahan. Melirik Almira. Menyahut, "Enak kok."

Almira nyengir lebar mendapati sahutan singkat demikian. Entah jujur atau tidak, setidaknya Emil sudah memiliki perkembangan dalam hal menjawab sesuatu pada pertanyaannya, biasanya malah sebatas hm.

Sejujurnya, setelah kedatangan Tuan Bahran dan Emil berjanji pada Almira hendak mendukung Almira bisa memaafkan ayah kandungnya secara penuh, sikap Emil menjadi sedikit lebih hangat, walau kehangatan yang ada belum sesuai dengan kehangatan yang diidamkan Almira.

Emil mulai bisa sedikit lebih lama mengobrol dengan Almira. Mendengarkan cerita-cerita Almira dan menjawab atau menimpali sesuatu yang Almira bicarakan dengan lebih panjang, tidak sesingkat-singkat dulu. Lolos membuat Almira amat bahagia, walau dia belum tahu pasti; bahwa kemajuan tersebut atas dasar belas kasihan, upaya mencintai, atau justru sudah mulai jatuh cinta.

Ah, tapi Almira enggan memikirkan banyak hal yang lebih untuk sekarang, mendapati kemajuan sikap Emil demikian saja sudah membuat hatinya bermekaran, walau dengan lagi dan lagi, dia kadang suka sebal dengan sikap cuek Emil yang kumat-kumatan, berakhir cemburu pada sosok Asma yang bisa mengikat emosional Emil sedemikian dalam.

Pernah Almira merenung. Dia mencoba memahami titik emosional Emil atas kematian Asma dan atas kehadirannya. Dia mendapatkan sesuatu. Bahwa sangat wajar Emil sulit merelakan kepergian Asma secara penuh sebab cintanya tumbuh sejak awal remaja, cinta itu terus melekat hingga bertahun-tahun kemudian dipertemukan dalam mahligai rumah tangga, saat lagi sayang-sayangnya dengan usia pernikahan yang masih dini, justru ditinggal pergi tanpa aba-aba.

Dan lagi, Almira baru tahu belum lama ini jika Asma juga keguguran saat tragedi nahas yang merenggangkan nyawa Asma. Ternyata Emil bukan hanya ditinggal istri tercinta, melainkan bekal bayi dalam kandungan Asma, gagal hendak menjadi sosok ayah.

Atas fakta tersebut, Almira menjadi lebih memaklumi kegamonan Emil. Namun, dia tetap egois mengadu pada senyap, Tapi apa itu cukup buat jadi alasan Mas Emil bersikap kaku sama aku?

"Ngapunten nggih, Mas, aku cuman bisa masakin kamu makanan instan atau palingan telor dadar. Kapan-kapan aku belajar masak deh biar kamu makin cinta ke aku, Mas," ledek Almira, menjeda meminum air putihnya, membuyarkan pikirannya yang sekelebat saja bisa kemana-mana.

"Iya nggak apa-apa. Kalo mau belajar masak juga nggak usah dipaksain, pas bener-bener lagi ada waktu luang aja," timpal Emil, melanjutkan melahap tepung lonjong-lonjong yang Almira sebut tteokbokki ini dengan lahap, langsung mendapatkan sahutan, "Nggih, Mas."

Kalau boleh jujur dari hati yang terdalam, soal masakan yang paling enak versi lidahnya Emil, tetaplah masakan Asma yang menjadi juara. Belum ada yang bisa mengalahkan, apalagi sambal petis buatan istri imutnya itu--sungguh lezat, Emil jadi kangen sambal petis ala Asma. Lalu, tentang kesaksian Almira soal belajar memasak agar nanti dirinya kian jatuh cinta, entahlah apa bisa berhasil, sejauh ini Emil masih gagal belajar mencintai Almira.

"Kapan-kapan kita berkunjung ke rumah Mama ya, Mas? Aku pengin minta diajarin buat korean spicy chicken. Biar nanti aku bisa masak buat suamiku tercinta," ledek Almira lagi. Dia meneruskan sesi memakan rabokki.

Emil meneguk saliva. Pikirannya mendadak mengawang ke hal lain, terpancing dengan kata-kata Almira tentang suami tercinta.

Suami tercinta? Sungguhkah? Emil kadang ingin sekali bertanya pada perempuan bermata mongoloid itu. Sejujurnya, apakah Almira mencintainya? Atau sesungguhnya, perhatian yang ada hanya sekedar sikap bakti pada suami? Atau barangkali, kata-kata sejenis suami tercinta tadi, hanya ledekan semata?

"Palingan pekan depan, Al. Sehabis kamu diklat," sahutnya, melahap si tepung lonjong terakhir di mangkuk, "Tapi lebih baik cari waktu luang sehabis kamu lomba. Sekarang fokusnya kamu ke persiapan lomba aja dulu."

Mendengar tanggapan itu, wajah Almira bertambah semringah. Dia juga inginnya berkunjung di hari-hari setelah lomba MHQ seperti saran Emil. Ah, jadi tak sabar buat cepat-cepat ke hari berkunjung, meminta diajari membuat korean spicy chicken ala Mama Lestari yang enake pol. Tak heran jika restoran korean spicy chicken Mama Lestari sangatlah hits begitu dibuka di 4 tahun lalu.

"Nggih, Mas. Nanti setelah lomba aja," sahutnya kemudian.

Rabokki Emil habis sudah, bersih tak tersisa. Aduh, padahal dia belum puas memakan rabokki sekalipun perutnya sudah kenyang. Dia melirik ke arah mangkok Almira, punya istrinya masih banyak--dia jadi ngiler, tapi sungkan meminta.

"Ada apa, Mas? Kamu mau lagi?" selidik Almira melihat gerak-gerik mencurigakan Emil yang meliriki mangkuk rabokki-nya seperti tanpa berkedip.

"Nggak kok," jawab Emil, tergesa meminum air putih.

Sebelah alis Almira naik melihat dalih suaminya yang duduk berhadapan dengannya itu.

"Saestu, Mas?"

"Hm ..." Emil meneguk air putihnya sampai habis segelas.

Almira menyipitkan mata, membatin dengan perasaan terhibur, Mau nambah, tapi gengsi, ih gemes!

"Aduh, kenyang banget, tapi masih banyak," bohong Almira, memasang muka kusut menatap mangkuk rabokki-nya yang masih isi separuh. Dia menyumpit mienya dengan malas.

Mata Emil mengedar mengamati polah Almira. Melirik mangkuk Almira yang masih ada sekitaran 5 atau 6 si tepung lonjong. Tanpa sadar, dia membasahi bibir dengan lidahnya, ngiler.

Almira ingin sekali tertawa melihat gerik-gerik lelaki 30 tahun di hadapannya ini yang mendadak seperti bocil, tetapi sebisa mungkin dirinya engkan.

"Sini, berikan si tepung lonjong itu padaku kalo kamu memang kekenyangan, Al," omong Emil, takut-takut juga jika modusnya ketahuan.

Gerakan tangan Almira yang hendak menyumpit tteokbokki tertahan, melirik Emil yang menggeser mangkuk kosongnya ke sebelah mangkuk miliknya.

"Baguslah. Kalo kayak gini 'kan jadi nggak mubadzir, soalnya aku udah kenyang banget, Yang," sahut Almira, sengaja menjaili pendengaran Emil dengan sebutan Yang, asluhu Sayang.

Emil tetap bergeming kaku, enggan peduli dengan panggilan mesra Yang, si tepung lonjong itu lebih menarik perhatiannya untuk saat ini.

Hati Almira tertawa renyah melihat kelakuan suaminya. Dengan baik hati dia memberikan semua si tepung lonjong miliknya itu.

Segera, Emil memakan si tepung lonjong dengan lahap, lupa jika sebelumnya dia jaimnya minta ampun.

Seutas senyum singgah di bibir Almira. Dia dengan anggun menghabiskan sisa rabokki-nya sendiri.

Beberapa saat ke depan, di sela titik penghabisan Almira memakan rabokki, sebelah tangannya meraih ponsel miliknya di meja, ada pesan masuk dari Appa.

Masih mengunyah rabokki terakhir, Almira membuka pesan tersebut.

Tuan Bahran mengirimkan sebuah foto lelaki seumuran Almira memakai hoodie putih dengan suasana malam hari. Lelaki ini berwajah oriental dan tampak asing di indera penglihatan Almira.

Kening Almira mengerut. Menerka siapa itu dan apa maksudnya ayah kandungnya ini mengirim begituan.

Hingga, di sela Almira masih kebingungan, satu pesan teks dari Tuan Bahran muncul.

Kamu masih ingat Junho nggak, Hyejin?

Lagi. Kening Almira mengerut samar.

Junho? tanyanya dalam benak, masih bingung Junho ini siapa.

________________


MHQ (Musabaqah Hifdzil Qur'an): perlombaan membaca dengan tartil atau murottal hafalan Al Qur'an. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro