12. Gendeng

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sama halnya dengan Almira yang sulit percaya atas kesaksian Emil yang katanya ke walk in closet hanya kerena ingin bertemu dengannya. Emil pun tak percaya atas alibinya yang keluar dari mulut, bisa-bisanya dirinya mengeluarkan kata-kata jenis barusan.

"Iya. Aku pengin ketemu kamu, Al. Aku pengin curhat ke kamu," koreksi Emil.

"Curhat? Curhat apa, Mas?" sahut Almira dengan penuh penasaran. Dia belum yakin lagi atas pendengarannya.

Sosok Emil ingin curhat pada Almira? Nyaris mustahil karena selama menikah, Emil tidak pernah sekalipun curhat pada Almira. Boro-boro curhat, bercerita ringan pada Almira saja jarang.

"Masalah pesantren putra, Al. Sebenarnya akhir-akhir ini aku punya beberapa kendala. Tapi besok aja setelah kamu diklat," jujur Emil. Dia memang ingin curhat masalah pesantren putra di pagi ini, tapi ternyata waktunya tidaklah tepat, jadi dia urungkan.

"Tapi barangkali serius, Mas. Nggak apa-apa curhat sekarang aja. Ya ... waktunya nggak banyak sih," sahut Almira dengan cengiran rikuh perkara memang waktu untuk curhat hanya sedikit, sebentar lagi harus berangkat diklat yang dimulai sekitar  setengah 9 pagi, belum lagi perjalanan dari ndalem juga lumayan jauh.

"Nggak usah, Al. Nggak serius banget juga kok. Besok aja setelah kamu pulang diklat," putus Emil, meyakinkan Almira bahwa sungguh tidak apa-apa sesi curhatnya tidak sekarang.

Seutas senyum singgah di bibir Almira. Sebelah tangannya mengusap  lengan Emil seraya berkata, "Ya udah kalo gitu. Yang penting Mas Suami semangat terus, ya? Pasti seputar kenakalan anak-anak santri kan? Nanti kita coba cari solusinya bareng-bareng."

Ibarat seorang anak yang sedang diberi semangat oleh ibunya, Emil mengangguk. Entah kenapa beban di pundak yang sebelumnya terasa berat, sedikit lebih ringan begitu mendengar kata semangat dari Almira. Apalagi di kata nanti kita coba cari solusinya bareng-bareng, lolos menjadikan Emil merasa amat dipahami dan diperhatikan.

"Makasih ya, Al," timpal Emil dengan hantinya yang menghangat.

"Sama-sama, Mas." Bibir Almira mengurva dengan mengelus lengan Emil lagi. "Aku lanjutin kemas-kemasnya dulu ya, Mas?"

Kepala Emil mengangguk. Sekon ke depan, Almira beringsut meneruskan memasukkan bekal pakaiannya ke tas dengan Emil sibuk diam menonton.

Hati Emil kian menghangat. Entah kenapa, dia tiba-tiba menjadi sedemikian bahagia. Tatapan matanya seperti mendapat ketertarikan magis, ingin terus-terusan menatap gerak-gerik Almira, tanpa melewatkan satu hal kecilpun.

Menutup resleting tas, kaki Almira beranjak ke rak aksesoris. Memilih koleksi jam tangannya. Menimang-nimang jenis dan warna apa yang hendak dipakainya nanti.

"Al, kamu pernah pacaran nggak?" Entah apa yang merasuki Emil, tiba-tiba lelaki 30 tahun itu ingin tahu hal begituan. Ah, barangkali istrinya juga dulu pernah ada masa-masa nakal dengan pernah berpacaran diam-diam di pesantren, Emil penasaran.

Di sela menimang-nimang jam tangan antara warna hitam atau putih, Almira menengok ke arah Emil, menyahut dengan kening melipat samar, "Pernah pacaran nggak?"

"Hm ...."

"Aku belum pernah pacaran sebelum menikah sama kamu, Mas," jujur Almira, "Memangnya kenapa, Mas?"

"Nggak kenapa-kenapa, Al." Emil menggaruk tengkuknya yang tidaklah gatal.

Mengangguk sejenak, Almira jadi terpikirkan sesuatu dengan adanya topik yang baru saja dibawa Emil.

"Tapi kalo lelaki yang aku kagumi ... ya ada," kata Almira, dia mulai merencanakan sesuatu.

Mendengar kesaksian Almira yang jauh dari atensinya, gestur tubuh Emil berubah menjadi sedikit panik, menenggelamkan kepanikan yang ada dengan berdehem, lantas menyelidik, "Lelaki yang kamu kagumi?"

"Iya. Ada satu sih lelaki yang pernah aku kagumi sebelum menikah. Cinta pertama aku, tapi jelaslah itu hanya tinggal masa lalu," jawab Almira dengan enteng seraya menyeka anak rambutnya di pelipis.

"Cinta pertama?" Sebelah alis tebal Emil terangkat.

"He-em ...."

"Siapa?" gali Emil dengan mendadak hatinya memanas.

"Ada 'lah, Mas. Tapi lebih baik Mas Emil nggak usah tahu, nanti cemburu. Lagian sekarang mah sampun biasa mawon. Cintaku hanya untuk kamu, Mas." Almira malah menjawab dengan ledekan yang diekori dengan hehe ringan.

(Ada 'lah, Mas. Tapi lebih baik Mas Emil nggak usah tahu, nanti cemburu. Lagian sekarang mah udah biasa aja. Cintaku hanya untuk kamu, Mas)

Hawa panas di hati Emil kian membara. Dia penasaran siapa sosok itu. Kira-kira lelaki seperti apa yang Almira suka di masa lalu? Sungguh penasaran, tapi sudahlah, itu juga tidaklah penting, toh, sekarang Almira adalah istrinya, tidak akan ada lelaki manampun yang mampu merebut Almira darinya.

Aduh, pikiran Emil jadi aneh. Kenapa tiba-tiba dia jadi memikirkan Almira sedemikian dalam? Emil segera menggelengkan kepala, mencoba membuyarkan pikiran aneh yang ada.

Masih bergeming di tempat, Almira menyaksikan keanehan sikap Emil yang malah jadi seperti diam-diam memikirkan sesuatu dan mendadak stres. Dia jadi berpikir akan rencana yang bercokol, hendak dilanjutkan atau tidak. Jika dilanjutkan, apakah Emil akan marah? Padahal kan mereka berdua baru saja berdamai.

Menghembuskan napas sejenak, Almira meletakkan kembali dua jam tangan yang ditimang-timangnya ke rak aksesoris. Dia memilih membawa langkahnya mendekati Emil yang bergeming sibuk dengan pikiran sendiri.

"Mas," sebut Almira begitu duduk di samping Emil. Berhasil membuat Emil menoleh ke arahnya.

"Oke deh, aku kasih tahu. Cinta pertama aku itu ... Kang Labib," bisik Almira, akhirnya menuntaskan rencananya untuk membuat Emil cemburu--sekalipun dia tidak bisa memastikan bahwa Emil sungguh benar akan cemburu atau tidak, barangkali nanti malah dirinya hendak mendapat amarah dari Suami Kakunya setelah ini.

Sekonyong-konyong, kedua mata Emil melebar.

***

Mentari kian menghangat. Embun-embun pagi sudah tak lagi bergelanyut manja di pucuk dedaunan.

Fakta terhot tentang Labib yang ternyata adalah sosok yang berhasil menarik hati Almira, masih mengawang di pikiran Emil.

"Matur nuwun nggih, Kang," ucap Emil pada Labib karena telah memanaskan mesin Pajero-nya di pelataran rumah.

"Nggih, sami-sami, Gus," jawab Labib dengan takdzim.

Emil menepuk bahu Labib.

"Kang, njenengan dulunya sepesantren sama istriku, ya?" Tiba-tiba Emil kepo masalah beginian. Ah ya, pastilah sebab pikirannya masih terjerat kesaksian Almira perkara cinta pertama.

"Maksudnya Ning Almira, Gus?"

"Nggih, Kang."

Labib bergeming sejenak. Lelaki hitam manis ini menerka-nerka tentang apakah dia pernah melihat sosok Almira di pesantrennya dulu. Wajah Almira memang tidak asing baginya, tetapi dia pikir perasaan tak asing karena wajah Almira yang kekoreaan, mirip-mirip duta skincare yang kadang mampang di iklan televisi atau medsos, baliho, billboard, atau bahkan videotron.

"Ngapunten. Kulo mboten paham, Gus," jawabnya kemudian.

(Maaf. Saya nggak paham, Gus)

"Oh, ya sudah." Ada rasa lega masuk ke dada Emil mendengar kesaksian Labib. Itu artinya Almira dan Labib tidak saling kenal 'kan? Pastilah cinta pertama Almira bertepuk sebelah tangan--ah, kasihannya.

"Nggih sampun, Gus. Kulo permisi pergi."

"Nggih, Kang," sahut Emil, menepuk bahu Labib untuk kali terakhir.

Labib pun kembali ke pondok putra.

Setengah jalan Labib meninggalkan pelataran ndalem, Emil membalik tubuhnya, langsung mendapati penampakan Almira keluar dari pintu ndalem.

Di sana, Almira yang mengenakan gamis warna nude, terkesan amat anggun, melontarkan senyum ke arah Emil.

Tidak menanggapi senyuman Almira memang, tetapi Emil berdecak kagum pada senyap atas kecantikan Almira yang dia lihat.

Jujur, Emil sangat kagum dengan kecantikan Almira yang dilihat dari sisi manapun, Almira tetap cantik memesona. Entah memakai atau tanpa make up, Almira tetap cantik. Entah saat terjaga, saat tertidur, atau baru saja bangun tidur, Almira tetap cantik. Almira cantik di setiap saat. Kecantikan Almira konsisten.

Secantik itu Almira. Namun, apakah cantik saja cukup membuatnya jatuh cinta? Entahlah. Apakah dirinya ini sudah jatuh cinta ke Almira? Emil pikir, dirinya belum berhasil jatuh cinta pada Almira.

Emil menghela napas. Almira kian mendekat, menebar senyum manis lagi. Senyum manis ... yang pastilah banyak dari lelaki di luaran sana akan berdecak kagum jika melihatnya.

"Ayo, langsung otw, Mas," ajak Almira begitu sampai ke arah Emil, segera membuka pintu mobil, duduk di kursi sebelah pengemudi.

"Udah siap semuanya? Nggak ada yang ketinggalan?" Emil memastikan kesiapan Almira sebelum berangkat ke tempat diklat yang mana harus ke rumah mertua dahulu. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam.

"Nggak ada. Udah siap semua." Almira menepuk tas pundak berisi pakaian yang dia pangku.

Kepala Emil mengangguk. Dia segera menutup pintu mobil yang barusan dibuka Almira. Beringsut membuka pintu mobil di sisi sana.

Beberapa saat ke depan, mobil Pajero yang dikendarai mereka berdua melaju, keluar dari kawasan pesantren Al-Anwar, menuju jalan raya.

Mobil terus membelah jalanan, Almira tidak bicara sepatah katapun, dia khidmat mendengarkan murotalan surah Yusuf lewat earphone yang menyumpali telinga seraya kedua matanya menatap pemandangan hijau hutan pinus di sisi jalan. Namun, perlahan-lahan, dia justru mengantuk, dan akhirnya tertidur.

Ekor mata Emil melirik ke arah Almira. Mengamati sejenak sikap tenang Almira dalam tidurnya. Lagi, perasaan bahagia yang sepadan saat bersama Almira di walk in closet beberapa saat lalu, memenuhi dada Emil, menjadikan bibirnya mengurva. Hingga kembali menarik pandangan, fokus pada jalanan di hadapan dengan bibirnya kembali menggurat senyum.

Jalanan dengan pinggiran hutan pinus sudah terlewat sempurna. Roda empat kendaraan mereka terus melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya yang cukup ramai.

Dan ... Emil baru menyadari sesuatu yang ganjil. Bibirnya. Kenapa dari tadi bibirnya senyum-senyum tidak jelas? Ah, Ya Allah, apakah dia sudah gendeng, alias gila?

"Astaghfirullah," gumam Emil sembari sebelah tangan yang tersemat arloji hitam metalik, membenahi letak bibirnya agar tidak lagi mengembang.

Emil menghela napas. Mencoba fokus pada jalanan. Namun, lagi dan lagi, seperti ada ketertarikan magis, atensinya kembali ke arah Almira, melirik Almira yang belum kunjung terjaga. Dan ... bibirnya kembali mengembang, mengulas senyum sabit yang di sekon kemudian baru disadari lelaki beralis tebal ini. Kemudian berdecak, "Astaghfirullah. Kamu udah gendeng beneran ya, Mil!"

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro