14. Es Lemon Kiwi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selalu ada anak yang nakal di setiap pesantren, melanggar peraturan yang ada, tak peduli mau seketat apa pun peraturan pesantrennya. Selalu ada trik bagi golongan mereka untuk menyembunyikan kenakalannya, bahkan terkadang melakukannya dengan berkomplot. Iya, berkomplot untuk memperkuat jangkauan kerahasiaan mereka, saling menutupi kesalahan, seolah-olah tidak ada apa-apa, melakukan simbiosis mutualisme.

Dulu, saat Almira mesantren, yang paling banyak berkomplot adalah dalam hal pacaran dan diam-diam membawa ponsel. Gaya berpacarannya karena di pesantren terhalang akses membawa ponsel, mereka menggunakan alternatif surat. Saling berkirim surat cinta secara sembunyi-sembunyi, kadang memberikannya lewat perantara teman yang juga memiliki rahasia memiliki pacar, atau barangkali teman yang tidak mau banyak urus dengan acuh tak acuh atas hubungan mereka.

Dalam hal membawa ponsel, Almira pernah menciduk seseorang dengan kedua matanya sendiri. Suatu dini hari, dia terbangun sebab kebelet pipis, tetapi saat hendak keluar kamar justru menemukan gerak-gerik mencurigakan. Yaitu seorang santriwati yang tidur dengan selimut terbalut seluruh tubuh, kebetulan dia memakai warna selimut gelap, pancaran sinar ponselnya sedikit menembus selimut tersebut, dan saat Almira menerka dia sedang apa, membuka selimutnya diam-diam, sosok itu langsung kaget karena akhirnya ketahuan kalau sedang diam-diam bermain ponsel.

"Iya, Al. Memang sebenarnya kasus pacaran atau membawa ponsel seperti itu sulit banget diberantas. Bener kata kamu, selalu ada trik buat nyembunyikan kenakalan mereka. Parahnya, peraturan dan jenis tazir yang ada udah nggak mempan," timpal Emil di sesi curhatnya begitu Almira pulang diklat.

Almira pulang diklat kemarin sore. Dan sekarang pagi hari saat bentala menghangat sempurna, Emil semangat menuangkan curahan hatinya pada Almira seraya Almira telaten mencukur kumis dan janggut tipisnya. Biasanya Emil mencukurnya sendiri, kalaupun Almira menawari dengan segera dirinya tampik, tapi untuk kali pertamanya setelah beberapa hari ditinggal Almira, akhirnya menerima tawaran Almira untuk dibantu dalam mencukur hal tersebut.

"Karena itu, kita perlu cari solusi lain, misal ganti tazirannya, Mas. Cari taziran lain yang kira-kira bener-bener buat mereka jera," ujar Almira seraya sebelah tangannya masih dengan hati-hati mencukur bagian janggut Emil searah dengan arah pertumbuhan.

Bukan menjawab dengan kata-kata sebab dapat mengganggu kinerja Almira, Emil memilih tetap bergeming sembari mata kelamnya tenggelam dalam bola mata jernih Almira dengan jarak sekitar satu telapakan tangan. Lelaki yang sedang duduk condong ke arah perempuan berambut cepol ini pun menjadi melamunkan tentang betapa kesepiannya saat ditinggal pergi beberapa hari. Hingga dia dengan begitu putus asa mengirim pesan WhatsApp berisi pemberitahuan bahwa dirinya kangen. Untung saja Almira sedang tidak online-online, dia sempat menghapusnya kembali, entah apa jadinya kalau Almira tahu perihal pesan tersebut, barangkali sekarang tengah meledekinya habis-habisan.

Emil menenggak saliva-nya. Mencoba kembali fokus ke topik awal. Beberapa hari ini dia juga tengah memikirkan solusi taziran lain bersama ketua dan keamanan pesantren putra, tetapi sejauh yang ada belum menemukan jenis hukuman yang pas. Sebelumnya, taziran bagi mereka yang berpacaran bagi santri putra adalah kepalanya dibotaki, tetapi semakin ke sini, taziran jenis tersebut kurang efektif sebab mulai lebih banyak yang ketahuan berani berpacaran diam-diam. Masalah membawa ponsel, dulu awalnya sekedar disita, lantas orangtuanya dihubungi untuk mengambil dan diberi hukuman bersih-bersih kloset satu bulan, tetapi rupanya cara demikian mulai tak lagi ditakuti.

"Kamu ada masukan nggak? Kira-kira jenis takziran apa yang bisa bikin mereka jera, Al?" tanya Emil kemudian begitu Almira selesai mencukur kumis dan janggutnya. Mengelap lembut krim cukur yang menempel di sebagian wajahnya dengan handuk kecil.

"Kalo cowok, takzirannya kan dibotakin, lalu bisa ditambahin dengan diarak, nanti yang nonton santri putra-putri, nanti dikasih kalung tulisan semisal 'Aku nggak bakalan pacaran lagi', begitu mungkin, Mas," ide Almira yang langsung mendapatkan respon binar cerah mata Emil.

"Bagus juga, Al. Malu banget itu. Nanti coba aku bicarakan lagi sama keamanan putra, sambil bahas kasus pelanggaran lain dan tentang efektivitas taziran yang sudah ada," ujar Emil. Sebagian wajahnya sudah bersih dari krim cukur warna putih.

Mendapati respon baik dari Emil, bibir kenyal Almira mengulum senyum. Tadi dia juga baru saja diberi tahu Emil tentang siapa saja santri putri yang terkena kasus pacaran dari hasil para pelaku pacaran santri putra yang mengaku berpacaran dengan siapa. Itu menjadi PR tersendiri untuknya yang nanti bakalan dibahas bersama ketua dan keamanan pesanan putri, serta jelaslah dengan sepengetahuan Ummi Wardah.

"Aku juga lagi sering kesal sama kelas ulya putra, Al. Bisa-bisanya mereka nunggu ngaji kok di kamar. Masa aku dateng ke majelis, kosong melompong, katanya kendala hujan deres, takutnya berangkat ke majelis tapi libur, su'ul adab banget, ya?" keluh Emil, momen di sore hari saat hujan deras hendak mengkaji kajian fathul mu'in itu terputar.

"Anak-anak memang kadang begitu, Mas. Nggak santri putra aja, santri putri juga iya, entah junior atau senior, kadang apa-apa memang harus dioprak-oprak. Makanya kita perlu coba gerakan baru, Mas," timpal Almira yang sebelah tangannya terulur untuk meraih cermin pegang, memberikannya kepada Emil untuk melihat hasil kerja keras cukurannya.

"Gerakan baru apa, Al?" Emil menerima uluran cermin pegang.

"Gerakan baru buat ngoprak-ngoprak ngaji. Misal; ketua kamar diberi tanggung jawab buat ngoprak-ngoprak anak kamarnya berangkat ngaji tepat waktu, memastikan nggak ada yang telat atau nggak ngaji kecuali ada izin yang jelas seperti sakit. Ini efektif kok, Mas, soalnya pesantren putri baru aja jalanin gerakan baru itu sebulan terakhir ini." Kedua mata sipit Almira mengamati Emil yang fokus melihat hasil cukuran.

"Oh, iya, Al. Bagus itu. Nanti aku coba bahas ini sama pengurus putra," sahut Emil seraya masih bercermin. Sebelah tangannya mengelus janggutnya yang bersih halus. Puas dengan hasil cukuran Almira.

"Makasih ya, Al," imbuhnya, menurunkan cermin pegang, mengalihkan fokusnya secara penuh ke arah Almira yang tengah melipat handuk kotor bekas mengelap krim cukur.

"Makasih untuk apa, Mas?" Sebenarnya Almira sudah tahu perkara terima kasih untuk apa, tetapi dia memilih meledek.

"Makasih untuk bantuan cukur sama solusinya, serta saran-saran tadi," jelas Emil. Bibirnya mengurva semringah.

"Nggih, sami-sami, Suamiku Tercinta," jawab Almira dengan penuh gairah. Langsung mendapat respon sebelah tangan Emil membenahi sebagian poni Almira yang berantakan ke arah mata seraya memberikan penawaran menggiurkan, "Mau belanja-belanja buat persiapan lomba, Al?"

***

3 tahun terakhir setelah kematian Asma dan Abah Rosyid, Emil baru kali ini merasakan sesuatu yang amat melegakan. Sesi curhat bersama Almira membuat ruang sesak dadanya sungguh plong. Dia baru tahu, tenyata Almira cukup pandai membuat solusi dan ide-ide brilian untuk kemajuan pesantren, pantas saja Ummi Wardah juga berkali-kali memuji Almira tentang cara perempuan kekoreaan itu mengayomi santriwati yang sabar dan telaten, serta gerakan barunya dalam hal mengkondusifkan kegiatan mengaji.

Sebelumnya, tahun-tahun pasca kematian 2 orang tersayangnya itu, Emil nyaris tak pernah curhat masalah pesantren putra ke Ummi Wardah karena takut membuat beban pikiran orangtunya itu yang usianya kian senja bertambah berat. Dulu juga belum ada Labib yang sering dijadikannya tempatnya sharing seperti sekarang. Masalah yang ada hanya sebatas dipecahkan bersama ketua dan pengurus putra.

Karakter Emil adalah cukup ceroboh jikalau emosinya membara, bisa bertindak gegabah yang nanti pada akhirnya membuatnya menyesal sendiri dan merugi dalam suatu hal. Pernah, saking emosinya atas kasus pencurian dalam jumlah uang besar di pesantren putra, Emil yang emosional memutuskan hendak memulangkan santri tersangka itu secara tidak terhormat. Untung saja kehendak itu diketahui oleh Ummi Wardah, wanita paruh baya itu menenangkan Emil, hingga akhirnya memberikan kesempatan baru untuk santri tersangka itu memperbaiki diri di pesantren dengan pengawasan lebih.

Saat itu, Emil mencoba lupa atas pesan Abah Rosyid bahwa di Al-Anwar, sebisa mungkin tidak ada tindakan memulangkan santri secara tidak terhormat atas kenakalan mereka yang barangkali sudah melampaui batas. Abah Rosyid selalu teguh untuk mempertahankan mereka karena selalu melihat dari sisi niat baik orangtua mereka yang memasukkan mereka ke pesantren adalah untuk mengaji dan menjadi pribadi lebih baik--sekalipun seperti hal agar mereka menjadi giat mengaji, pintar dalam agama, atau menjadi pribadi lebih baik kadang di luar kendali para pengasuh pesantren, tapi tak apa, yang terpenting sudah ikhtiar semaksimal mungkin.

"Ini ternyata rasanya nggak pedes," komentar Emil dengan Si Tepung Lonjong yang tengah disantapnya.

Begitu mereka berdua puas berbelanja di Heba, Emil mengajak Almira makan siang di restoran makanan khas korea yang berada di dekat departement store miliknya itu. Emil dan Almira memesan aneka makanan khas Negeri Gingseng dengan menu paling utama adalah Si Tepung Lonjong kesukaan Emil.

Saat berbelanja, aslinya Almira bingung hendak membeli apa, pasalnya dia tidak ada niatan membeli apa pun untuk persiapan lomba. Namun, begitu sampai Heba yang menjadi salah satu surganya berbelanja di kota Cilacap, naluri perempuannya yang kerap ingin membeli apa-apa di luar rencananyapun muncul ke permukaan. Membeli beberapa barang seperti tas, pakaian, dompet, hingga aneka cemilan, serta oleh-oleh untuk Ummi Wardah.

"Nggak selamanya yang merah-merah itu pedas, Mas," sahut Almira yang sedang menyumpit irisan tipis daging panggang khas Korea, beef bulgogi di atas piring warna hitam.

Emil melirik ke arah Almira, melontarkan senyum seraya menyuap Si Tepung Lonjong lagi--toh, sejujurnya dia juga tak begitu suka pedas.

"Mas tahu nggak, perbedaannya sushi dan kimbap?" tanya Almira setelah selesai menelan unyahan beef bulgogi yang fruity dan manis, melirik ke arah piring berisi kimbap yang bentuknya mirip sekali sushi.

"Nggak, memang apa bedanya?" Kening Emil melipat samar, ikut-ikutan melirik ke piring kimbap.

Bukan langsung menjawab, Almira beralih menyumpit satu kimbap yang ada, memamerkannya pada Emil seraya mulai menjelaskan, "Bedanya ada di letak bahan-bahan pembuatannya, Mas. Kalo sushi, umumnya dibuat dari nasi dengan ikan. Tapi kalo kimbap itu dari nasi dan bahan yang lebih beragam; ada daging, telor, dan aneka sayuran."

Sesi menyantap tteokbokki Emil terjeda. Malah jadi mendikte sejenak isi dari kimbap yang ada di sumpitan Almira, menemukan detail aneka sayuran di tengah gulungan nasi seperti adanya wortel, bayam, sampai mentimun.

"Tapi Mas tahu nggak, perbedaannya aku sama kimbap?"

Atensi Emil beralih ke pertanyaan Almira yang cukup aneh dengan membandingkan diri sendiri dengan nasi yang digulung menggunakan lembaran rumput laut itu. Berpikir sejenak hingga menjawab logis, "Kalo kamu manusia, kimbap itu makanan."

"Hm, salah," tampik Almira, menggigit sebagian kimbap yang disumpitnya.

"Lalu apa?" Ternyata Emil masih kepo, hingga melepas sumpit di tangan, menyandarkan kedua tangannya di meja untuk khidmat mendengarkan jawaban benar dari Almira.

"Kalo kimbap itu dibuat sebagai makanan, tapi kalo aku diciptakan sebagai pendamping hidup kamu, Mas," jelas Almira setelah sempurna menelan kimpab-nya. Membuat gombalan ringan.

Gombalan ringan yang bagi Emil justru garing, tapi anehnya berhasil membuat dia tersenyum dengan hatinya menghangat.

Almira ber-hehe atas gombalannya barusan. Respon senyum Emil menjadikannya baper sendiri. Entah, apakah mulai dari sekarang dirinya boleh berharap lebih kalau Emil sungguh sudah bisa move on dari Asma dan jatuh cinta padanya?

Lihatlah, mereka berdua sekarang memakai pakaian couple dengan Almira mengenakan overall dress warna dark goldenrod, Emil mengenakan kemeja dengan warna senada. Sikap Emil kian hangat, bahkan beberapa kali Emil juga menggandeng tangan Almira secara suka rela saat di Heba. Serta senyuman dan tatapan tadi, lolos menembus dada Almira hingga disesaki rasa bahagia. Sungguh, pantaskah Almira berasumsi Emil sudah jatuh cinta padanya?

Ah, entahlah. Almira mendadak menjadi panas dingin. Dia buru-buru menyesap es lemon kiwi, alih-alih menyamarkan dirinya dari rasa  mendadak gugup.

Sedangkan, Emil masih bergeming mengamati polah Almira, bertumpu pada gelas bening es lemon kiwi yang sedang disesap Almira, memamerkan balokan es batu yang bercampur dengan air perasan lemon beserta potongan kiwi. Hingga sepersekian detik menjadikannya mengingat sesuatu, mengalihkan segala perhatiannya dari istri jelitanya ini.

Sesuatu tentang fakta es lemon kiwi.

Fakta bahwa es lemon kiwi adalah salah satu es favorit Asma.

Bibir bawah Emil digigitnya dengan sepasang matanya masih tertuju penuh pada es lemon kiwi milik Almira. Hatinya berdesir. Aduhai, tiba-tiba dia didera kerinduan mendalam pada Asma, istri berkulit eksotisnya itu.

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro