17. Tutorial Memikat Hati Almira

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rupanya langit tak disapa oleh guyuran hujan. Acara MHQ Jateng resmi dibuka setelah waktu salat isha. Digelar di salah satu gedung megah yang ada dalam kawasan Asrama Haji Manyaran, Semarang. Disambut hangat oleh bapak Wakil Gubernur Jateng, KH. Taj Yasin Maimoen yang lebih dikenal dengan sapaan Gus Yasin.

Lomba tidak dilakukan secara langsung begitu pembukaan selesai, melainkan mulai besok pagi hingga malam, lantas pengumuman pemenang kompetisi digelar di hari besoknya. Walau begitu, trofi-trofi untuk calon pemenang sudah tertata rapi di atas meja dekat mimbar yang ada di ruang pembukaan acara.

Barusan, kafilah Cilacap sampai ke lokasi Asrama Haji Manyaran tepat kala adzan maghrib berkumandang. Panitia segera melakukan registrasi, lantas mendapatkan nomor kamar menginap, serta nomor kompetisi para peserta dari kafilah tersebut.

"Mbak Ay, mau langsung tidur?" tanya Almira begitu pulang dari acara pembukaan, Ayna langsung mengambrukkan tubuhnya di kasur, sigap memejamkan mata.

"Iya, tidur bentar. Nanti kalo kamu mau nderes, bangungin aku ya, Al?" sahut Ayna, tanpa bergerak sedikitpun. Soalnya, dia sudah ngantuk berat.

Almira tersenyum lebar. "Oh gitu. Iya, nanti aku jelas bangunin."

"Hm," singkat Ayna yang beberapa detik ke depan sudah masuk ke ruang bawah sadar.

Untuk kafilah Cilacap mendapatkan 4 kamar menginap. 2 untuk putra, 2 untuk putri. Almira sendiri sekamar dengan Ayna, satu kamar putri sisanya jelaslah dihuni Bu Wati dan Hanum.

Kamar yang dihuni Almira cukup luas dan nyaman. Dengan tema dinding warna putih, terdapat tiga kasur bermuatan satu orang, lemari nakas dan pakaian, satu kamar mandi, dilengkapi televisi dan AC.

Hijab yang masih dikenakan, dilepas oleh Almira, menaruh lembaran hijabnya ke kasur berseprei putih. Beringsut membawa pantatnya ke pinggiran kasur. Segera memeriksa ponsel begitu diambilnya dari sling bag, mengirimkan pesan teks WhatsApp ke Emil.

Aku udah selesai ngadirin acara pembukaan. Sekarang udah di kamar penginapan, Mas.

Ada apa, Mas? Katanya kamu mau ngomong sesuatu sama aku secara langsung?

Sehabis mengirim pesan itu, kebetulan Emil masih belum online, Almira memilih mencuci muka dahulu.

Saat di rest area Kledung mengirimkan foto dan pesan teks, Almira sempat sebal karena hanya di-read. Baru tadi di sela acara pembukaan, Emil membalas dengan katanya mau ngomong sesuatu padanya secara langsung.

Sesuatu apa? Almira penasaran. Tumbenan ada acara ingin ngomong sesuatu secara langsung, padahal biasanya, sekedar lewat chat saja sudah cukup. Kecuali benar-benar mendadak dan penting, Suami Kaku-nya itu berkenan meneleponnya.

Kalau Almira boleh jujur, Emil itu aslinya perhatian, hanya saja sikap kakunya itu yang membuat Emil tampak acuh tak acuh. Almira merasakan hal tersebut.

Buktinya apa? Contoh kecilnya yang paling sering itu di hampir setiap malam kalau Emil ada waktu kosong, saat Almira selesai mengaji al-Quran ke Ummi Wardah dan langsung ke ruang baca, di situ sudah ada Emil yang duduk di bean bag sembari membaca sesuatu, ditemani 2 cangkir isi teh kurma merah atau teh lemon atau apalah jenisan wedang. Kadang ada camilannya juga. Segala hal itu selalu lolos membuat Almira bahagia. Perhatian kecil yang tidak disampaikan dengan kata-kata, tapi sudah nyata ada, dan itu konsisten.

Bagi Almira, Emil itu manis, walau sering juga menyebalkan dengan sifat cuek yang suka kumat-kumatan.

Kira-kira mau ngomong apa ya Mas Suami? Mau ngomong; Met bobo, Sayaaang?

Almira mencuci muka sambil cengar-cengir sendiri kala hatinya menerka-nerka tujuan Emil. Aduhai, andai momen itu bakalan kejadian, Almira yakin seratus persen bahwa Emil sudah mencintainya. Namun, entahlah itu, jauh-jauhlah dulu prasangka buruk yang ada, biarkan Almira berfantasi bahwa Emil memang sungguh sudah bisa jatuh cinta padanya.

Malam kian matang. Sepertinya hujan beneran absen. Tidur Ayna lelap sekali, bahkan dia bermimpi indah; bisa menjawab semua pertanyaan sambung ayat yang juri berikan. Almira sibuk membasuh mukanya dari busa pencuci wajah, sudah tidak sabar ingin segera dihubungi Emil.

***

Emil tergesa menaruh kitab balaghoh-nya ke rak lemari begitu dia melirik ke arah meja menemukan notifikasi pesan WhatsApp masuk dari Almira. Aslinya dia ragu hendak ngomong apa ke Almira, hanya saja, dia tiba-tiba ingin mendengar suara perempuan yang biasanya gemar meledekinya itu.

Membenahi letak duduknya di bean bag yang ada di ruang baca, sebelah tangan Emil terulur meraih ponselnya. Membaca pesan Almira antusias. Tinggal kehilangan arah hendak membalas menggunakan telepon atau panggilan video. Keningnya berkerut, menimang-nimang 2 opsi tersebut.

Bingung. Satu kata itu sudah mampu menjabarkan situasi Emil. Lelaki yang mengenakan kardigan rajut abu-abu ini menghempas napas. Jempol tangannya bergerak-gerak resah untuk membuat opsi final; memilih opsi video call.

Hawa dingin membungkus area Asrama Haji Manyaran. Almira yang baru keluar dari kamar mandi langsung sedikit berlari begitu mendengar ponselnya berdering nyaring. Tersenyum lebar kala kenyataan membawanya pada Emil menghubunginya via video call.

Bukan langsung menjawab, Almira justru menyempatkan menyisir surai hitamnya sejenak, baru menerima video call Emil.

"Mas mau ngomong apa, hm?" tanya Almira, to the poin saja usai timpal menimpal salam.

Di tempatnya, Emil bingung menjawab. Sembari meneguk ludah, dia berpikir keras untuk menemukan kebendaharaan kata yang tepat.

"Ummi tanya kabar kamu di situ, Al," dalihnya kemudian. Ini memang jujur; Ummi Wardah bertanya kabar tentang menantunya, tapi sejujurnya, niat awal menghubungi Almira lebih dari itu.

"Oh, jadi ini karena Ummi?" sahut Almira, cukup kecewa sebab sempat berharap lebih.

"Alhamdulillah sampai ke sini dalam keadaan selamat tanpa kurang suatu apa pun, Mas," imbuhnya. Menyelipkan poni rambut panjangnya ke sela telinga.

Kepala Emil mengangguk. Tinggal bingung lagi hendak bertanya hal apa.

Almira kukuh diam. Perempuan kekoreaan ini sedang malas bertanya duluan, inginnya lagi menjawab pertanyaan, lagi ngidam ditanya Emil seperti; Sudah makan belum? Pasti kamu capek, jangan tidur terlalu malam, atau barangkali, Aku kangen kamu.

"Apa yang kamu suka dari Kang Labib?" Pertanyaan jenis itu yang terlontar dari mulut Emil. Entah apa yang ada dalam pikirannya, dia juga bingung sendiri saat sadar, bisa-bisanya malah membahas Labib--ngaco banget dia ini.

Sekonyong-konyong, netra kelam Almira melebar. Tidak habis pikir malah membawa topik tentang Labib.

"Apa yang aku suka dari Kang Labib? Mas yakin mau tahu itu?" Kening Almira berkernyit.

Tidak bersuara dengan varian kosa kata, Emil berdehem singkat.

"Ada apa hayo tanya-tanya 'apa yang aku suka dari Kang Labib?' Mas diem-diem lagi cari tahu cara jitu buat menarik hati aku, ya?" Akhirnya, sifat suka meledek Almira keluar. Wajahnya langsung berubah semringah. Dia punya rencana ajaib untuk menjaili Emil.

"N-nggak. Nggak ada apa-apa," tampik Emil dengan gugup. Berdalih menyesap teh lemonnya sejenak.

Di sela bibir Emil menyentuh pinggiran cangkir bening teh lemon, Almira tekikik geli. Hiburan seru. Sepertinya sesi video call malam ini bakalan amat menyenangkan.

"Kalo nggak ada apa-apa beneran, kenapa nampiknya keliatan gugup gitu?" Almira menyipitkan mata mongoloidnya.

"Jujur aja deh, Mas, nanti aku bakalan langsung kasih tahu tutorial memikat hati Almira kalo kamu mau jujur," imbuhnya, menyibak poni rambutnya lagi.

Masih belum menjawab, Emil sengaja memperlambat esapannya pada teh lemon untuk memberinya ruang berpikir jawaban yang tidak menurunkan harga dirinya--seperti misal, menurunkan harga diri dengan berlaku ceroboh, menampakan dirinya sedang dilanda rindu pada Almira.

"N-nggak! Nggak ada apa-apa, Al," alibinya, menaruh cangkir bening yang menampilkan cokelatnya air teh lemon yang tinggal separuh.

"Kalo nggak ada apa-apa beneran ya udah, nggak usah ngegas, biasa aja gitu. Kalo gini 'kan jadinya ketahuan deh kalo Mas Suami memang diem-diem lagi ada apa-apa; diem-diem lagi cari tutorial memikat hatinya aku, tapi jaim buat ngaku."

Almira memang selalu pintar dalam hal meledek, Emil diam daripada berkutik, takut salah langkah.

"Okee deh. Ini aku langsung kasih tahu aja tutorialnya ya, Mas?" bujuk Almira seraya mengenkan untuk jangan tersenyum.

"Nggak u--"

"Tutorial pertama; terang-terangan perhatian ke Almira," potong Almira, mulai memberikan secara suka rela tentang Tutorial Memikat Hati Almira.

"Al, apa-apaan--" Selaan Emil masih saja terpotong.

"Tutorial kedua; kasih Almira senyuman tulus tiap hari."

"Udah, A--"

"Tutorial ketiga; panggil Almira ... Sayaaaaaaaaaaaang."

Tidak bisa mengendalikan Almira, Emil memijat pangkal hidung mancungnya. Lolos menjadikan Almira tersenyum geli, puas mengerjai Suami Kaku-nya satu ini.

"Ya udah, lekas tidur. Udah puas kan ngeledekin aku?" Akhirnya Emil bisa berkata secara utuh setelah tadi dipotong-potong terus oleh istrinya yang memang doyan jail. Sahutan tersebut juga harus menunggu senyuman geli Almira reda.

Masih ada sisa senyuman, Almira mengangguk senang tiada tara.

"Sebenernya masih ada sisa beberapa tutorialnya, tapi ya udahlah besok lagi," jelasnya yang ditimpali hembusan napas halus Emil, menyelesaikan sesi ber-video call. "Ya udah, aku tutup."

"Iya, Sayang. Selamat tidur, ya? Tinggal ketemuan di alam mimpi." Almira memberikan senyum termanis. Tak luput seraya memberikan finger heart.

Emil sebisa mungkin kukuh tidak menyahut. Menguluk salam dengan segera Almira menjawabnya. Padahal, sejujurnya dia ingin menjawab ledekan Almira barusan; Selamat tidur juga, Al. Ayok, kita tinggal ketemuan di alam mimpi, Istriku.

Panggilan video pun selesai.

Suami Almira ini langsung mengelus dada begitu terbebas dari ledekan Almira yang mematikan. Entah kenapa itu membuatnya ketar-ketir, tapi juga membuatnya tenang. Perasaan yang kontras muncul secara bersamaan; ketar-ketir takut ketahuan bahwa dirinya suka diledek seperti tadi, tenang karena rindunya cukup terobati.

Berselimut perasaan campur aduk, Emil meletakkan ponselnya ke meja, meraih cangkir teh lemonnya lagi. Mencoba mengalihkan perhatiannya dari Almira.

Nahas. Teguk demi teguk teh lemon tak kuasa menghilangkan pikiran Emil yang campur aduk; salah satunya campur aduk sebab kepikiran tutorial memikat hati Almira. Istri bermata mongoloidnya itu, kadang benar-benar konyol.

Satu-dua detik berlalu. Kala langit gelap gulita tanpa rembulan, bibir Emil justru disinggahi bulan sabit. Hujan rintik-rintik menyapa sisa malam, di saat bersamaan, sistem saraf pusat dan kelenjar pituitari membanjiri Emil dengan hormon endorfin. Hawa udara di luar sana begitu dinginnya, hati Emil malah sebegitu hangatnya oleh momen singkat bertatap muka dengan Almira secara virtual.

Ah, entahlah, sejujurnya Emil tengah bingung menafsirkan perasaannya pada Almira. Yang sebenarnya membuat dirinya bahagia, ini apa? Apakah dia mulai bisa jatuh cinta pada Almira?

Gigi Emil mengigit bibir bawahnya. Menyandarkan punggungnya secara sempurna pada bean bag. Dia merenung cukup lama. Bertanya dalam pada sudut hati, berulang-ulang. Dan ... lagi-lagi entahlah, nyatanya sosok Asma tetap menjadi pemenang atas perasaannya, tetapi tak memungkiri, dia mulai merasa nyaman dengan Almira.

Sesaat ke depan diiringi ritme jantung yang berdebar rancu, Emil menyampaikan salam rindunya lewat senyap.

Aku kangen kamu, Almira.

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro