31. Selarik Cahaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara-suara jeritan orang-orang mendadak tak terdengar oleh Shizuka begitu dirinya kembali tenggelam ke dalam amukan air kehitaman. Tubuhnya yang gendutan dengan mukenah lajuran yang sudah sobek di beberapa bagian itu terus terbawa arus, baretan benda runcing sempat melukai dahinya sebelum akhirnya dia merasakan kehabisan napas, kemudian memilih meneguk air kotor beberapa tegukan sebagai bentuk pertahanan.

Shizuka mencoba naik ke permukaan, tetapi gagal, kuatnya arus air tak mampu membuatnya melakukan banyak hal, hingga akhirnya terasa terdapat sesuatu yang menarik sebelah tangannya kuat-kuat dan secara cepat bahunya dipegang erat oleh sesuatu itu untuk dibawanya ke atas air.

"Shi."

Suara Almira mengalihkan Shizuka ketika gadis ini sibuk mengambil napas.

"Pegang ini erat-erat, Shi," komando Almira yang usai cekatan sebelah tangannya terulur menarik sebuah papan kayu dengan panjang sekitaran 2 meter.

"Mir." Akhirnya Shizuka mampu membuka suara walau napasnya kentara terasa berat, mengikuti perintah Almira untuk memegang erat-erat papan kayu yang sudah berada di sampingnya.

"Aku takut, Mir," saksinya dengan kedua mata secepat kilat berkaca-kaca, satu-dua detik kemudian mengaliri pipi tembamnya yang basah dari hasil tenggelam barusan.

Bukan menjawab, Almira memilih menenangkan dengan mengelus sebelah tangan Shizuka. Sejujurnya, dia sama takutnya, tetapi di situasi menegangkan demikian dengan memamerkan kecemasan yang ada bukanlah hal tepat, dia harus menyalurkan energi positif pada sahabatnya--yang sedang berhadapan dengannya dengan memegang satu papan yang sama. Berakhir dia juga memberikan kurvaan bibir seraya berujar, "Tetap tenang, Shi. Sekarang kita cuman perlu pegang papan ini erat-erat, ikuti arus aja, nanti pelan-pelan kaki kita yang ngambang di air ini akan terasa menyentuh daratan, dan kita akhirnya selamat."

Kepala Shizuka mengangguk, tangisnya kembali pecah dengan pikirannya yang lambat-lambat mulai menenang. Edaran matanya mengamati situasi. Ditemukannya bahwa sekitar mereka berdua sudah seperti lautan cokelat kehitaman yang porak poranda, banyak barang-barang mengapung, satu dua bahkan tampak kerangka rumah kayu yang pasrah terhanyut. Tidak ada lagi tampak orang yang sedang mengapung seperti dirinya dan Almira sejauh pandangan matanya menjangkau, kecuali dia melihat entah berapa banyak meter di sisi kiri terdapat sebuah gedung grand mall yang lantai tiganya berdinding kaca itu--walau tampak samar tapi dia yakin--di sana penuh oleh orang-orang mengevakuasi diri, menjadikan lantai paling atas tersebut adalah sebuah titik aman.

"Gimana caranya kamu bisa lihat aku, Mir?" selidik Shizuka di sesaat ke depan, mengalihkan atensi Almira yang matanya awas memandang sekitar.

"Aku lihat kamu dari pohon kelapa, Shi," jujur Almira, lolos membuat kedua mata Shizuka melebar dengan kembali bertanya memastikan, "Pohon kelapa?"

"Iya. Aku sempat nyelamatkan diri ke pohon kelapa. Lalu lihat kamu yang sempat ke permukaan dan tenggelam lagi," jelas Almira.

Sejujurnya Almira sempat kehabisan napas, tapi syukurnya dia masih diberi kesempatan naik ke permukaan air dengan kemudian tubuhnya yang terbawa arus berpapasan dengan pohon kelapa kokoh. Dia cekatan mendekati pohon itu dengan susah payah, sedikit naik ke atas, memeluk kuat-kuat batang pohon itu. Tak berselang lama kala mata sipitnya awas mengeja keadaan, dia menemukan Shizuka yang sempat terlihat ke permukaan dan kembali tenggelam. Tanpa pikir panjang, dia kembali ke arus air, berenang dengan susah payah menolong Shizuka, apalagi Shizuka juga tidak bisa berenang, pastilah sahabatnya satu itu amat panik melebihinya saat terbawa arus air sederas yang sedang ada.

"Ya Allah, Mir. Makasih, ya?" ungkap Shizuka dengan kembali berkaca-kaca, dia bahkan lupa mengucapkan terimakasih lebih awal.

Dibalas dengan ulasan senyum Almira dengan setelahnya mereka berdua teringat akan teman-teman yang lain. Shanum, Vivi, Hesti, dan Malik, apakah mereka berhasil menyelamatkan diri?

Hela napas berat, Shizuka kembali menangis dalam diam tanpa melonggarkan pegangannya pada papan kayu. Yang terlintas di pikirannya kini adalah beberapa kata awalan untuk memulai sebuah kalimat; andai, seharusnya, dan bagaimana. Andai Shanum tidak keras kepala mengunjungi rumah keluarganya yang lain di Jogja, mereka tidak akan balik arah dan langsung pulang ke Cilacap. Jikalau mobil mereka tidaklah mogok, apakah mereka akan terhindar dari musibah bencana itu? Bagaimana keadaan mereka berempat? Semoga berhasil menyelamatkan diri.

Pun sama. Bukan hanya Shizuka yang berkemelut dalam pikirannya, Almira juga bergelut dengan pikiran yang dirinya miliki. Seraya hatinya terus mengucap doa, dengan netra mongoloidnya yang kukuh awas menatap situasi di hadapan, pikiran Almira berlari-lari ke hal cemas; bahwa bagaimana jikalau dirinya tidak selamat sampai tujuan hingga kakinya bisa kembali menyentuh daratan dan tak mampu mengevakuasi diri ke tempat yang aman?

Mengembun sudah kedua matanya. Almira mencoba mengalihkan semua pikiran buruk itu. Dia berulang menyakinkan bahwa dirinya akan selamat. Bukan hanya dirinya, melainkan juga calon jabang bayi dalam rahimnya.

"Shi," sebut Almira kemudian yang disusul cepat mata belo itu tertuju sempurna ke arahnya.

"Iya, Mir. Kenapa?" Shizuka kentara sembap.

"Aku titip salam buat suamiku kalo aku nanti barangkali nggak bisa ketemu dia lagi, ya?" kata Almira. Sebenarnya dia tidak mau mengatakan hal ini, tetapi perasaan buruknya mengalahkan segalanya sekalipun menaruh rasa rikuh pada Shizuka karena pastilah membuat cemas, padahal sebelumnya dia susah payah memberikan hal-hal positif di tengah kegentingan yang ada.

"M-maksud kamu apa, Mir?" Raut muka Shizuka bingung bercampur dengan was-was.

Bukan langsung menjelaskan, sebelah tangan Almira yang terdapat baretan luka segar di punggung tangan kanannya terulur, mengelus sejenak sebelah tangan Shizuka yang jari-jari tangannya mulai mengeriput karena kedinginan.

"Salamkan agar suamiku meridhoiku, Shi," ujar Almira yang secara otomatis merubah raut wajah Shizuka menjadi kian kusut.

***

Matahari kian terik. Sesekali angin berembus lirih.

Akhirnya Shizuka menepati janjinya dengan Almira untuk menyampaikan pesan yang ada pada Emil.

Tangis Emil pecah, dadanya sesak begitu tenggelam dalam lautan kata demi kata demikian yang menjadi sebuah pesan Almira. Sebuah pesan yang memiliki maksud sama dengan saat mereka sempat bertelepon di detik-detik akhir pra sambungan telekomunikasi terputus, tentang Almira yang meminta dirinya meridhoi, seolah-olah Almiranya itu tak akan lagi kembali padanya.

Dua pipi Emil kian basah sama halnya dengan Shizuka. Labib menundukkan wajah, menyeka embunan air matanya yang menetes sebab ikut terhanyut akan iba. Suara tangisan seorang bocah lelaki yang bersebelahan dengan keranjang medis Shizuka terdengar memenuhi tenda warna army itu.

"Tapi bagaimana akhirnya kalian terpisah? K-katanya ... kalian kembali terpisah karena tenggelam lagi?" selidik Emil di sela tangis dengan tenggorakannya terasa keras.

"Daya tahan tubuh Almira melemah, Gus. Tiba-tiba dia pingsan, tangannya yang memegang papan lepas sempurna. Aku nggak sempat nolong. Ketika aku hendak meraih sebelah tangannya, tubuhnya hanyut bebas. Secara otomatis, aku ngelepasin papan itu, mencoba nolong Almira, tapi ... aku nggak bisa berenang, Gus. Pada akhirnya aku iku terhanyut, kehilangan kendali sampai akhirnya nggak sadarkan diri saat tubuhku terasa terbentur sesuatu," jelas Shizuka, dia merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk Almira, padahal Almira telah susah payah menolongnya. Seharusnya Almira selamat jika saja kukuh berada di pohon kelapa karena dia pikir, faktor daya tahan tubuh Almira melemah adalah sebab dilukai sesuatu saat mencoba menyelamatkannya.

"Ngapunten, ngapunten, Gus. Aku nggak bisa berbuat apa-apa buat Al," pinta Shizuka, tangisnya tak terkendali.

Tubuh Emil melemas. Porak poranda sudah pikirannya. Dia tak lagi bisa berpikir lebih baik. Yang ada dalam kelebat-kelebat pikirannya adalah; mungkinkah Almira masih bisa diselamatkan setelah hanyut dalam keadaan pingsan dan sudah 19 jam kejadian ini?

Suara ucapan syukur bercampur haru tiba-tiba terdengar melengking memenuhi tenda. Rupanya kedua orangtua Shizuka yang datang. Bergegas berlari ke keranjang medis putrinya dengan di sela waktu itu, Emil mencoba menenangkan Shizuka bahwa tidak apa-apa tidak bisa menolong Almira saat itu, dia justru berterimakasih karena telah menyampaikan salam Almira untuknya dan menceritakan bagaimana momen terakhir kali Shizuka bersama Almira.

Emil melangkah pendek-pendek keluar tenda medis usai menyapa sebentar orangtua Shizuka. Dia seperti orang linglung saja kini memikirkan bagaimana keadaan Almira yang sebenarnya. Antara Almira bisa diselamatkan atau tidak, saling berperang dalam pikiran. Antara mencoba mengikhlaskan dan berpikir kukuh Almira akan selamat, saling beradu tanpa akhir yang pasti.

Runyam sudah isi kepala Emil. Kepalanya pening. Sinar matahari menakali penglihatannya begitu sampai di ujung tenda. Menghentikan langkah, lembaran tangannya dia gerakkan untuk menutupi silau sinar surya. Namun, atas kekhawatiran apa pun itu, dalam hati dia tetap berdoa Almiranya bisa diselamatkan--sekalipun ini seperti sebuah kemustahilan.

Doa Emil sempurna dilambungkan ke langit. Tubuhnya melayu. Ambruk. Labib sigap meraih tubuh Emil yang pingsan.

Angin berhembus lirih. Angka korban selamat dan korban meninggal kian bertambah. Masih ada beberapa tempat yang belum terjamah para Tim SAR dan relawan. Salah satunya di daerah yang masih berlumpur cukup dalam. Terdapat sebuah tumpukan sampah dan ragam material seperti kayu, logam, besi yang menggunung di sana. Dan ... seseorang tengah terjebak oleh itu semua. Setengah tubuhnya tenggelam dalam lumpur, setengah tubuhnya lagi terperangkap dalam gunungan yang ada.

Selarik cahaya menembus dalamnya gunungan. Kedua mata seseorang itu yang terpejam sekitar 19 jam lamanya, mengerjap-ngerjap. Tubuh ringkihnya hendak dirinya gerakkan, tetapi semuanya terasa amat berat, lambat-lambat menjelas bahwasannya terasa remuk di segala detail tubuh.

Seseorang itu terbatuk-batuk, memuntahkan air-air kotor yang bersarang dalam mulut. Napasnya amat terasa berat dan menyakitkan. Dia mencoba mengamati sekitar dengan netra yang memerah, tetapi tak menemukan simpul kepastian bahwasanya sedang berada di mana dirinya ini. Namun, dia pikir, dirinya sedang berada di tumpukan barang-barang yang terhanyut oleh Monster Air Kehitaman.

Lupakanlah sejenak tentang bagaimana sakit tubuh dan keadaannya kini yang menyulitkan untuk bergerak bahkan dengan gerakan minim, seseorang bermata merah itu lega tak terkira bahwa akhirnya ... dia masih diberi kesempatan untuk hidup. Dia percaya, hanya soal waktu, bala bantuan segera datang untuknya.

Kalam-kalam syukur terucap indah oleh hati seseorang itu.

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro