33. Oppa Korea Dadakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ngapunten, Mas. Aku nggak bisa jaga calon debay kita," maaf Almira kala siuman dari anestesi, pasca mendapatkan pertolongan medis begitu ditemukan di gunungan sampah.

Almira mengalami retak tulang kering di kaki kirinya, lengan tangan kiri bawahnya patah, mendapatkan perawatan intensif dengan digips. Serta mangalami keguguran di kehamilannya yang berada di trimester pertama. Selebihnya, Almira mengalami luka cukup ringan seperti beberapa baretan di tubuh, ada juga luka lebam di beberapa titik.

"Nggak apa-apa. Ini bukan salah kamu. Kamu nggak perlu minta maaf, Dek. Jangan dipikir terlalu dalam, ya? Sekarang kita fokus ke pemulihan kesehatan kamu," jawab Emil dengan pemilihan kata penuh kehati-hatian agar Almira tidak lagi menyalahkan diri.

"Tapi, Mas. Ini kali keduanya kamu kehilangan calon ...." Kata demi kata Almira terhenti, dia tak sanggup meneruskan untuk lebih memperjelas perihal bahwa demikian adalah kali keduanya Emil kehilangan calon debay.

Emil amat paham akan maksud Almira. Memang, bagaimanapun, hal tersebut amatlah menyesakkan. Kedua matanya sudah berkaca-kaca, tetapi dia masih mampu menahannya untuk jangan sampai tumpah. Lain halnya dengan Almira yang tengah duduk setengah berbaring di ranjang medis, begitu siuman dan mendapati kenyataan perihal keguguran, dia syok dan menyalahkan diri usai mendapatkan kabar pahit tentang Hesti dan Vivi yang telah ditemukan dalam kondisi sudah tak lagi bernyawa.

"Sungguh nggak apa-apa. Sudah jadi takdirnya, Dek," sahut Emil dengan mengusap lembut kening Almira.

Almira tak menyahut apa pun. Air matanya kian menganak liar. Bagaimana pun, itu juga adalah kehamilan pertamanya. Keguguran yang ada amatlah membuat hatinya terguncang. Dan Emil paham benar akan hal tersebut, dia mengangkat pantatnya dari kursi plastik, menenangkan dengan cara memeluk Almira penuh kehati-hatian. Membiarkan Almira menumpahkan semua air matanya, menangis tanpa suara.

Mentari kian menerik. Sesekali angin berembus cukup keras di sekitar tenda-tenda medis Rumah Sakit Darurat Lapangan milik TNI.

Di dalam tenda warna army yang Almira tempati, di sela tangis tanpa suaranya yang tak kunjung reda, tampak keranjang medis berderet-deret tanpa sekat yang dihuni para korban bencana dengan dominan pasien luka-luka baret dan patah tulang. Hawa panas semakin menyusupi tenda, beberapa terlihat mengipas-ngipasi dirinya atau mengipasi seseorang yang tengah ditunggunya dalam masa perawatan.

Di luar sana dengan banyak jarak dari area Rumah Sakit Darurat Lapangan yang ditempati Almira, di mana tenda itu bersebelahan dengan tenda medis yang ditempati Shizuka, Tuan Bahran sedang dalam perjalanan menuju lokasi bencana. Sebelumnya dia sudah mendapat kabar dari Emil bahwa Almira selamat, tetapi di tengah perjalanan menggunakan kereta api ekspres yang melaju cepat melalui hamparan persawahan hijau, dia kembali menangis begitu membaca berita di salah satu situs internet yang membawa kabar Almira dengan bervariasi tajuk.

Cerita Eber, Si Anjing Pelacak yang Menemukan Korban Selamat di Gunungan Sampah.

Sumarno, Salah Satu Tim Evakuasi yang Mendengar Suara Perempuan Mengaji di Tumpukan Sampah.

Tuan Bahran mengusap basahan air mata di pipi setelah membaca habis berita tentang Eber dan Sumarno yang di dalamnya diceritakan perihal bagaimana Almira ditemukan. Hatinya tak henti mengucap syukur. Lambat-lambat, kedua mata sipitnya yang mengedar ke luar jendela kaca kereta, pandangannya perlahan mengelam sebab memasuki jalur terowongan.

Ayah kandung Almira itu menghembuskan napas lega. Dirinya kini sudah benar-benar tenang mendengar banyak kabar baik tentang Almira--sekalipun keguguran Almira tetap membuatnya sedih. Beralih dia mengingat orang lain yang jika diberi kabar tersebut, pastilah akan begitu bahagia. Sesaat ke depan, dia mengirim sebuah pesan kepada seseorang itu lewat KakaoTalk.

Mianhae, Paman telat mengabarimu. Hyejin selamat, Junho.

***

Jaringan telekomunikasi di sekitaran Rumah Sakit Darurat Lapangan yang Almira tempati cukup baik. Karena itulah Emil menyambungkan sesi video call di saat Mama Mertuanya menelepon, membiarkan Almira mengobrol sebentar dengan Mama Lestari dan Asraf. Setelah itu, Almira beralih ber-video call dengan Ummi Wardah sebelum akhirnya Emil meminta Almira beristirahat usai meminum obat.

Namun, sesi beristirahat itu gagal dilakukan dengan kedatangan Shizuka dan Shanum yang menjenguk Almira. Menangis kembali bersama-sama sebab pada akhirnya mereka selamat, serta menangisi kepergian dan mencoba mengikhlaskan Hesti dan Vivi.

Dengan masing-masing pipi yang masih basah, mereka bertiga membahas perihal sebuah keajaiban yang datang pada Shizuka dan Almira. Sebuah keajaiban karena jika dinalar lewat kaca mata medis, mereka berdua tidaklah akan selamat. Berakhir mereka bertiga menjadi teringat salah satu karomah Syekh Muhammad Hariri yang bahkan bisa tetap hidup tanpa jantung dan suatu ketika kala beliau di-rontgen oleh seorang dokter, dokter tersebut amat terkejut sampai-sampai melontarkan pertanyaan perihal; apakah beliau manusia atau bukan.

"Waktunya istirahat, Dek," ujar Emil begitu sesi menjenguk itu berakhir.

"Tapi aku udah nggak ngantuk, Mas," sahut Almira yang duduk setengah berbaring di ranjang medisnya.

Hawa panas di dalam tenda kian menyiksa. Emil memilih menarik kursi plastik untuk didudukinya, lantas mengipasi Almira dengan kipas anyaman bambu yang dibawakan Pak Sihab.

Almira bebal. Dia disuruh Emil untuk tidur dan dikipasi agar mudah terlelap, tetapi dia kukuh membuka mata dan terus memandangi Emil, mengeja wajah lelah suaminya itu dengan kedua matanya yang tak lagi memerah.

Almira prediksi, Emil banyak menangis selama dirinya belum ditemukan. Lihatlah, kedua mata Emil bendul; yaitu bengkak sebab kebanyakan menangis. Bibirnya juga pucat dan kering, pasti itu faktor tak bernafsu makan dan terlalu banyak pikiran, serta kurang minum air putih.

"Tidur, Dek. Walau nggak ngantuk, tapi coba deh pejamin mata, nanti pelan-pelan bisa tidur," kata Emil seraya sebelah tangannya mengusap kening Almira yang berpeluh, menatap wajah pucat kesi Almira yang mengenakan hijab jersey hitam.

"Mas yang butuh istirahat. Mas pasti nggak bisa tidur selama aku belum bisa ditemukan 'kan?" Tangan kanan Almira yang terinfus, bergerak pelan meraih sebelah tangan Emil yang sedang mengusap keningnya.

Usapan tangan Emil di kening Almira terhenti, mendikte lebih detail tatapan khawatir Almira, merekahkan senyum, bersaksi, "Justru sekarang Mas lagi istirahat, Dek. Lihat kamu yang kuat, lihat kamu sudah bisa tersenyum lebar lagi, semua rasa lelah dan beban pikiran yang ada, hilang sudah, Dek."

Sejenak, mendengar jawaban jenis tersebut, jantung Almira berdetak rancu, kedua pipi dan hatinya menghangat. Dia tahu, demikian bukanlah jenis gombalan, tetapi kata hati Emil yang sejujurnya, tapi walau begitu, lolos membawa perasaannya ke euforia yang amat membahagiakan. Dan tatapan mata kelam Emil itu yang penuh cinta, aduhai, dia menjadi salah tingah layaknya anak ABG kasmaran. Segera, dia tarik sorotan matanya, beralih melihat ke arah lain, berpikir cepat untuk membuat dalih.

"Kenapa ada Oppa Korea nyasar di sini?" dalih Almira itu agar atensi Emil padanya buyar seketika.

"Oppa Korea?" Kepala Emil celingak-celinguk. Menyusuri satu persatu ranjang-ranjang medis yang berderet dan menyusuri area luar tenda yang bisa dijangkau oleh pandangan matanya. Sejauh yang dia tangkap, tidak ada lelaki berwajah oriental khas lelaki Korea. Atau barangkali dia luput seperti Almira justru sudah melihat di luar sana bahwa ayah kandungnya sudah datang. Atau mungkin, Ayah Mertuanya itu membawa serta Junho?

Emil meneguk ludahnya getir. Dia menyesal kenapa dirinya malah menyebut nama Junho dalam prediksi yang ada. Sungguh, entah dirinya ini jahat atau terlampau cemburu, tetapi untuk sang waktu yang sedang bergulir, dia tidak ingin ada pertemuan antara Almira dan Junho, dia belum sanggup melihat mereka berdua bertemu dan bercakap-cakap secara langsung.

"Siapa, Dek? Nggak ada Oppa Korea di sini," ujar Emil dengan dada berdebar-debar cemas. Dia kembali teratensi pada Almira yang kedua mata mongoloidnya itu sudah menatapnya secara penuh.

Bukan menjawab, Almira malah menahan senyum. Lolos membuat kening Emil mengernyit bingung dan memiliki firasat yang tidak beres--bahwa Almira sedang menjailinya.

"Maksudnya di samping aku ini, Mas. Sejak kapan kamu jadi mirip Oppa Korea? Kok jadi sipit?" ledek Almira seraya menepuk sebelah tangan Emil yang terlampir di sisi ranjang medisnya.

Awalnya Emil tidak maksud, tetapi sesaat ke depan, dia paham perihal sipit yang Almira maksud yaitu sebab kedua matanya bengkak karena kebanyakan menangis. Bengkak yang ada lumayan kentara, menjadikan dia tampak sipit--dengan kesipitan yang jelaslah berbeda dengan mata mongoloid seperti milik Almira.

Wajah Almira semringah nian karena telah berhasil meledeki Emil. Bibir pucatnya melengkung indah bersamaan dengan senyuman lebar Emil yang sesungguhnya ingin sekali tertawa, menutup mulutnya dengan sebelah tangan, lantas berujar, "Dek, kamu selalu bisa aja kalau masalah ngeledek. Mas jadi malu. Apakah Mas perlu pakai kaca mata hitam?"

_________________

Mianhae: maaf (Bhs Korea)
Oppa: Kakak laki-laki, panggilan yang digunakan perempuan untuk memanggil pria yang lebih tua darinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro