46. Penyusup

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan bergerak atau berteriak, aku tak akan segan langsung membunuh wanita ini jika kamu bebal!" gertak Si Penyusup begitu sadar akan keberadaan Emil di ambang pintu. 

Kepalan sebelah tangan Emil kian kuat. Kakinya yang hendak beringsut mendekat, seketika tertahan. 

Entahlah, penjahat itu yang memang tepat disebut penyusup atau bukan karena masuk secara terang-terangan ke warung, ibu paruh baya bertubuh gendut dengan gemetaran mulai beringsut membukakan pintu karena takut kepadanya.

Almira dipaksa bergerak selaras dengan gerakan kaki penyusup. Pisau tajam tetap ditodongkan ke lehernya. 

Tatapan mata penyusup teratensikan penuh ke arah ibu paruh baya yang sudah berada di depan pintu yang terhubung ke dapur warung. 

"Cepat, Gendut!" desak penyusup tak sabaran. Menahan cemas kalau-kalau ajang kaburnya ditemukan juga oleh 2 polisi yang awalnya dia kira hanya pelanggan jasa reparasi biasa. 

Tidak menyahut, ibu paruh baya mulai merogoh saku celana kulot yang dikenakan untuk mengambil kunci. Begitu kunci lolos terambil, tangannya yang gemetaran menjatuhkan kunci itu ke lantai.

Penyusup menggeram atas kecerobohan ibu paruh baya, matanya menyala kesal tak karuan, berjongkok untuk mengambil kunci. 

Di situasi ini dengan atensi penyusup abai akannya, Almira mengambil peluang. Tanpa pikir panjang, Almira menggigit keras lengan tangan penyusup yang menodongkannya dengan benda tajam itu.

Tak perlu waktu lama, penyusup terkejut, bilah pisau terjun bebas ke lantai, mendesis kesakitan.

Pun begitu, Emil mengambil kesempatan atas ulah Almira. Dia beringsut cepat ke belakang. Mencengkeram kerah jaket penyusup yang kini kunciannya pada Almira sudah terbuka. Mendorong ke belakang. Langsung menghadiahkan 3 pukulan beruntun ke wajah penyusup.

"Cepat keluar dari warung sama ibu itu, Dek," seru Emil, melepaskan pukulan ke-4 dengan tenaga paling penuh ke wajah penyusup.

Tanpa babibu, Almira dan ibu paruh baya yang menyaku kuncinya lagi, keluar dari warung mencari pertolongan.

Di sela mereka berdua tergesa keluar warung, Emil menendang rusuk penyusup hingga terbanting ke lantai. 

Napas Emil berpacu cepat. Tubuhnya mulai berkeringat. 

Penyusup menggeram kesakitan. Masih dengan posisi duduk di lantai, dia melepas maskernya dengan napas memburu. Membuang maskernya sembarang, menyeka sudut bibirnya yang berdarah dengan sebelah tangan. 

Tidak mau membuang banyak waktu. Si penyusup cepat berdiri. Menerkam Emil yang tengah lengah membuang muka, menyeka peluhnya di dahi sembari mengatur napas. Giliran mencengkeram kerah jaket ojol milik Emil. Memberinya pukulan balasan ke wajah Emil, setara dengan pukulan yang sudah diberikan padanya; 4 pukulan.

"Sialan! Dasar tukang ojol kepar*t!" umpat penyusup itu sembari meloloskan pukulan terakhir ke wajah, tinggal menendang rusuk Emil. 

Tubuh Emil terdorong brutal mengenai kursi meja warung berisi piring-piring menu pesanannya. Meja itu ikut terdorong kasar ke sudut. Piring-piring di atas bergetar hebat atas guncangan yang ada. 

Kini tinggal Emil mendesis kesakitan. Tubuhnya ambruk, terduduk di lantai. 

Si penyusup menyeringai. Melirik ke arah lantai, menemukan pisau lipatnya tergeletak bisu di situ, beringsut meraihnya. 

Emil menghempaskan napas kasar. Dia memaksa berdiri untuk mencoba menggagalkan penyusup meraih senjatanya.

Namun, gagal. Cekatan nian penyusup memindahkan pisau lipat ke tangannya. Gesit berbalik karena menangkap bayangan pergerakan Emil. Sebelah tangannya otomatis menodongkan benda tajam itu ke perut Emil. 

Tidak semudah itu melukai Emil. Dulu, saat ikut bela diri, dia terlatih dengan teknik-teknik mandiri melumpuhkan todongan belati lawan. 

Dia pun tangkas meraih pergelangan tangan penyusup yang menodongkan belati dengan kedua tangan secara silang, dipilin.

Penyusup mulai meringis menahan sakit. Tulang sebelah tangannya berasa mau patah. 

Emil menendang rusuk penyusup dengan kaki. Memilin lebih kuat pergelangan tangan penyusup, hingga pisau lipat lepas landas ke lantai. 

Detik itu juga, Almira dan ibu pemilik warung kembali membawa 2 polisi yang tengah mengejar penyusup. Dibuntuti sekolompok warga.

Langit siang begitu terik. Pelataran warung nasi padang yang sepi mendadak ramai. 

***

"Mas hampir ketusuk pisau lipat, Dek," curhat Emil begitu Almira tengah mengobati bibir bawah Emil yang robek akibat tinjuan maut penyusup.

Tidak menanggapi, Almira memilih fokus mengoleskan hidrogen peroksida dengan cotton bud. 

Begitu cairan hidrogen perioksida menempeli bibirnya yang cedera, Emil mengerang, "Perih banget, Dek."

"Tahan sebentar, Mas." Almira mengoleskan menyeluruh ke area luka. 

"Ya Allah, perihnya," keluh Emil begitu Almira selesai mengobati. Dia bicara dengan agak tidak jelas karena masih membiarkan mulutnya terbuka sedikit. 

"Mas kayak bocil, gini aja banyak ngeluh. Padahal bodinya L-Men, tapi perasanya kayak anak Bebelac," ledek Almira yang kemudian beringsut meninggalkan Emil untuk mencuci tangan dan membuang bekas cotton bud, serta kapas. 

Sembari menatap punggung Almira yang menjauh, Emil cemberut. Walau dirinya tahu bahwa sekedar ledekan, tetapi rasanya tetap tidak terima perihal dianalogikan bodi L-Men dan perasanya seperti anak Bebelac. Maksudnya Almira berkelakar perihal bodi tubuhnya yang laki banget seperti pengonsumsi susu L-Men, tetapi perasanya seperti pengonsumsi susu Bebelac, suka ngeluh. 

"Assalamualaikum ...."

Suara seorang yang samar-samar ini mengalihkan atensi Emil. Dia beranjak dari ruang keluarga menuju ruang tamu. Membukakan pintu. 

"Waalaikum salam .... "

Rupanya itu Labib. Emil menyilakan Labib masuk.

"Sampun matur kalih Pak Darno, Gus. Mengkin ba'da ashar teng ndalem."

(Sudah bilang ke Pak Darno, Gus. Nanti sehabis ashar ke ndalem).

"Oh, iya. Matur nuwun, Kang." 

"Nggih, sami-sami, Gus."

"Kemarin udah ambil ijob pesantren di Pak Mujib?" tanya Emil, membahas tentang ijop pesantren atau izin operasional pesantren yang harus diperbarui setiap 5 tahun sekali. 

"Nggih, sampun, Gus. Sampun kulo paringaken Kang Jufri."

(Iya, sudah, Gus. Sudah saya berikan ke Kang Jufri).

Emil mengangguk.

Tak berselang lama karena memang kepentingan Labib hanya menghaturkan soal Pak Darno yang akan datang sehabis ashar untuk mengurut Emil, Labib pun pamit untuk kembali ke asrama pesantren. 

Tubuh Emil pegal semua akibat perkelahian dengan penyusup yang ternyata buronan polisi--kasus perampokan toko emas di beberapa kota. Itulah kenapa dia menghubungi tukang urut. Almira belum tahu bahwa dirinya menghubungi tukang urut, nanti kalau sudah tahu, barangkali hendak meledekinya kalau bodi L-Men, stamina Bebelac.

Jika demikian terjadi, Emil akan ngambek ke Almira, malas menuruti nyidamnya yang kadang aneh-aneh. Dia tidak peduli soal nanti debay-nya bisa menjadi suka ngeces, dia tidak percaya begituan, hanya mitos. 

"Mas, barusan ada tamu siapa? Belum dibuatkan teh malah udah pamit," selidik Almira begitu kembali, mendapati Emil tampak berjalan dari ruang tamu dan dia masih bisa melihat sekilas punggung sosok lelaki di pelataran ndalem lewat jendela kaca. 

"Cinta pertamamu, Dek," sahut Emil. Duduk di sofa. 

"Kang Labib?" sebelah alis Almira terangkat. Ikut duduk di sebelah Emil yang mukanya kusut sebal. 

Emil mengangguk, menyesap wedang gingseng madu buatan Almira. 

"Kamu kenapa, Mas? Kok mukanya kusut? Kenapa sih? Cemburu sama Kang Labib? Ya Allah, aku udah nggak naksir ke dia," selidik Almira akan Emil yang sehabis menemui Labib, wajahnya tampak kurang semringah. 

"Aku nggak cemburu ke dia, Dek," jelas Emil, di sela menyesap wedang gingseng madunya. Sesungguhnya dia hanya sebal atas bercandaan Almira tentang L-Men dan Bebelac.

"Ngapunten nggeh, Mas. Seharusnya dulu aku nggak kasih tahu kamu kalo Kang Labib adalah cinta pertamaku." Selain wajahnya yang berubah rikuh, nada bicara Almira juga penuh kehati-hatian.

"Dulu, sesungguhnya aku cuman pengin buat kamu cemburu. Tetapi nyatanya, aku nggak berhasil," imbuhnya di saat Emil meletakan kembali cangkir wedang gingseng madunya ke meja.

Ah, ya Allah, Emil menjadi kembali terbawa dalam momen itu. Kesaksian Almira bahwa Labib adalah cinta pertamanya sempat membuat kobaran besar di hatinya.

Emil beringsut menatap wajah Almira yang didera rasa rikuh mendalam.

"Ngapunten sanget nggeh, Mas," pinta Almira seraya menggenggam sebelah tangan Emil.

Bukan langsung menjawab, Emil justru melontarkan senyum. Dia sudah lupa akan rasa kesal atas ledekan Almira sebelumnya. Sebelah tangannya yang menganggur, terulur untuk mencubit cuping hidung Almira seraya bersaksi, "Nggak apa-apa, Dek. Dan kamu berhasil banget buat Mas cemburu, hingga Mas bahkan tanya-tanya ke Kang Labib perihal apakah dia kenal sama kamu saat kalian sepesantren."

Perlahan, kedua mata sipit Almira melebar. Dia sungguh tidak percaya bahwa ajang membuat suami kakunya cemburu di masa lalu tersebut sungguhlah berhasil. Berarti bukankah menandakan bahwa di saat lampau itu, Mas Emil-nya sudah mulai mengecambahkan cinta untuknya?

________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro