49. Bab Bonus: Dunia Memang Sempit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah menjadi alarm alam. Almira terbangun dari tidurnya di sepertiga malam terakhir, kala jarum panjang berada di angka 6 dengan jarum pendek berada di posisi antara angka 2 dan 3. Mengerjap sejenak untuk kemudian kedua mata mongoloidnya membuka sempurna. Pemandangan wajah pulas Emil dalam lampu temaramlah yang dia dapatkan begitu kesadarannya utuh.

Bukannya langsung beringsut bangun, perempuan yang mengenakan night robe putih tulang itu malah bergeming seraya menatap lembut suaminya.

Sudah 4 tahun usai kelahiran Almaas, kehidupannya terasa ringan. Bukan sebab tak ada masalah atau cobaan menerpa, lebih tepatnya karena Emil selalu membersamainya, memberi afeksi, kerap menguatkannya kala dirinya rapuh.

Apalagi di masa sulit itu, saat untuk kali keduanya, dia keguguran di waktu mengandung sosok adik untuk Almaas, Almira sempat mengalami stres. Atas dukungan Emil, beban beratnya perlahan meringan, lebih ringan, dan akhirnya bisa mengikhlaskan secara sempurna.

Tangan kanan Almira terulur. Mengusap sebelah pipi Emil yang tidur miring menghadapnya untuk kemudian membangunkan Emil dari tidurnya. Terdengar iguan samar Almaas yang tidur di tengah mereka berdua, sempat mengerjap-ngerjap. Atas elusan lembut Almira di kepala dan memeluknya sejenak, bocah yang mengenakan piyama bergambar Pikachu ini kembali terlelap pulas.

Waktu terus berjalan.

Emil dan Almira mendirikan salat tahajud. Usai mengamalkan wirid singkat, Almira beranjak pergi. Lain halnya dengan Emil yang tetap khidmat duduk di atas hampar sajadah, menyambung waktu sampai waktu subuh datang dengan membaca wirid Dalailul Khairat yang diijazahkan oleh Abah-nya.

Semenjak Adiba tabarukan di Al-Anwar, Almira memiliki rutinitas baru; yaitu menjalankan program sambung ayat bersama Adiba di setiap hari, di jam 3 pagi.

Adiba adalah adik Asma. Alumni dari Pesantren Al-Munawwir Krapyak. Usianya 23 tahun. Dia khatam menghafalkan al-Quran 30 juz sejak usia 18 tahun.

Seperti biasa, Almira memanggil Adiba di musala pesantren putri. Adik Asma itu sudah menunggunya dengan muraja'ah di pojok belakang dengan mengenakan mukenah lajuran berbordir bunga di bagian lengan dan kepala.

"Mbak Adiba," panggil Almira yang langsung disambut tengokan takdzim Adiba.

"Nggih, Ning." Tubuh tinggi ramping Adiba beranjak mendekati Almira, membuntuti langkah Almira ke dalam ndalem untuk melakukan tartilan estafet sambung ayat di ruang tengah.

Jika ditanya, apakah Adiba mirip Asma? Jawabannya adalah nyaris tidak mirip sama sekali. Dari postur tubuh, Adiba kentara lebih tinggi, tubuhnya semampai, kulit kuning langsat, mancung, dengan bibir penuh yang ranum. Adiba amat manis, apalagi ketika tersenyum dengan kedua lesung pipi yang tampak. Kemiripan dengan Asma adalah suaranya yang lembut, tetapi juga tegas.

Sudah sebulan Adiba menjalani tabarukan di Al-Anwar usai resmi bertunang dengan salah satu alumni Al-Anwar. Selain keinginan sendiri, kedua orangtuanya juga memasrahkannya demikian kepada Ummi Wardah hingga mendekati hari H pernikahan yang sudah direncanakan akan digelar di bulan syawal.

Omong-omong, perkara Adiba hendak menikah dengan salah satu Alumni Al-Anwar adalah hasil dari Emil yang menjodohkan. Bahkan, Emil sempat membuat guyon kepada Almira dalam hal ini untuk mengawali percakapan dalam hal menanyakan pendapat.

"Dek, Mas mau minta restu kamu," tanya Emil di suatu pagi seraya menyesap teh kurma merah.

"Minta restu nopo, Mas?" sahut Almira yang sedang menaruh sepiring pisang goreng ke atas meja kayu yang ada di gazebo belakang rumah.

"Hm, begini, Dek." Sebelah tangan Emil menyambut, menyentuh tangan Almira yang terulur memegang piring porselen.

Almira beringsut duduk di kursi kayu sebelah Emil.

Sempurna meletakkan cangkit teh kurma merah, Emil berdehem untuk mengawali percakapan.

Bukan langsung mengutarakan maksud di kepala, pria berkumis tipis ini malah bergeming menatap Almira. Menjadikan Almira menerka-nerka bahwa agaknya Sang Suami hendak mengatakan sesuatu yang serius.

"Mas mau jodohin Kang Labib sama Adiba, nggak apa-apa 'kan, Dek?"

***

Ibu Mertua Emil, Ibunya Asma, meminta Emil agar membantu mencarikan jodoh untuk Adiba. Dengan pertimbangan matang, pada akhirnya Emil tertuju pada Labib yang sudah bermukim di kampung halamannya, menjadi ustadz muda seraya menjadi dosen.

Dengan usia yang kian matang untuk menikah, Labib memiliki keadaan 'selalu tidak cocok dengan kaum hawa yang sudah dijodohkan dengannya', sampai-sampai ibunya yang usianya kian senja mengeluh, "Mau cari wanita yang kayak apa lagi kamu ini toh, Anak Lanang?"

Hingga bapaknya nelangsa sembari mengucapkan nasihat, "Ojo terlalu pemilih." Kala Labib dilangkahi menikah oleh adik perempuannya.

Mencari jodoh adalah tentang memilih. Memilih wanita seperti apa yang hendak menemani hidup kita, baik atau buruknya, kitalah yang memutuskan--dengan jelaslah atas ketetapan-Nya dalam hal perwujudan menjadi nyata. Menikah sekali untuk seumur hidup adalah dambaan bagi setiap insan, oleh dari itu, harus dipikirkan matang-matang.

Labib akui, dia jelaslah pemilih dalam mencari pasangan hidup, tetapi dia bukanlah tipe terlalu pemilih yang menuntut harus setipe ini, setipe itu, yang terpenting adalah perempuan baik, solehah. Dia pasrahkan semuanya pada Allah dengan mengandalkan kemantapan hati & istikharah untuk memutuskan, maka biarlah waktu yang menjawabnya untuk hal terbaik yang ada, entah di saat yang tepat dalam jangkau sebentar lagi atau masih lama, atau bahkan justru kematian yang duluan menjemput, biarlah.

Semua manusia berpasang-pasangan, memiliki jodoh, hanya saja, kadangkala jodoh itu belum dilihatkan oleh Allah. Mau sampai ke ujung dunia mencari, jika Allah belum berkehendak mempertemukan--walau sebatas papasan di jalan, misalnya--tak akan bertemu. Walau mau ngotot menikah tahun ini, bulan itu, atau umur segini, sekeras apa pun berupaya, bahwa Allah berkehendak belum, maka tak akan pernah terwujud.

Biarlah segalanya bagaikan air yang mengalir. Doa-doa terbaik pun tak pernah putus dilambungkan ke langit.

Hingga di ujung penantian panjang, di waktu yang tepat, Allah mengkonspirasikan semesta menyatukan dua insan dengan Ibunya Asma yang meminta bantuan Emil dicarikan mantu, dikenalkanlah pada Labib, hingga memang sudah ditakdirkan berjodoh, Adiba dan Labib saling cocok, dilancarkan urusannya.

"Kang Labib sama Adiba, dari bukan apa-apa, awalnya kenal juga nggak, bakalan jadi partner hidup seumur hidup ya, Dek," kata Emil pada Almira usai pulang dari acara khitbahnya Adiba dan Labib. Wajahnya masih basah, baru keluar dari kamar mandi.

"Nggih, Mas. Kita juga begitu, 'kan?" sahut Almira yang sedang ngeloni Almaas di petiduran.

"Nggak pernah terbesit sedikitpun berjodoh sama kamu, Mas. Dulu begitu asingnya, sekarang ternyata saling sayang." Almira melempar senyum ke arah Emil seraya sebelah tangannya tak luput dari mengelus lembut kepala Almaas yang mulai bisa tidur lelap.

Menyambut hangat senyuman istrinya, Emil mengurvakan bibir seraya mendekat. Dipandanginya wajah pulas sang buah hati, mendaratkan kecupan hangat di kening, lantas beralih penuh ke arah Almira dengan sebelah tangan terulur mengelus penuh cinta kepala Almira.

"Dunia memang sesempit ini, 'kan? Kali pertama ketemu kamu, dulu kira kamu hanya sekedar pemeran figuran, cameo, atau apalah itu, dalam hidup Mas. Siapa kira, kini kamu menjadi salah satu bagian terpenting dan begitu berharganya dalam lembaran cerita yang Mas miliki, menjadi leading role bersama."

"Nggih, Mas. Masya Allah."

Gerimis membasahi bentala. Kesunyian malam diganti detingan melodi syahdunya alam. Lampu utama kamar dimatikan. Lambat-lambat, kian menderas, bertambah gemercik suaranya.

_________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro