Chapter 01

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Pak Alfin, tunggu!”

Seorang pria berkemeja slimfit biru langit dengan lengan yang digulung rapih sampai ke siku berhenti. Saat ia membalikkan badan, Angga, salah seorang anak buahnya berlari menghampirinya terengah-engah. Laki-laki yang dipanggil Alfin itu menunggu Angga yang baru selesai mengumpulkan napasnya.

“Punteun, balik lagi bentar ya, Pak. Ibu Hajat masih komplain tuh.”

“Apa lagi sekarang?”

“Katanya AC kamarnya nggak dingin. Nggak kayak kamar yang lain.”

Alfin mengangkat alis kirinya. Tanpa ekspresi ia melihat Angga yang berwajah lelah dan kesal, sudah sejak sore tadi ia menghadapi seorang tamu yang terus saja banyak mengajukan keluhan.

“Saya nggak tahu, para tamu kok kalau Pak Alfin yang hadapi pada nurut ya,” heran Angga, “padahal HOD lain juga udah pada turun tangan loh, Pak.”

Alfin memutar bola matanya mendengar pujian tersirat itu. Ia paham bahwa dirinya sudah harus turun tangan langsung.

“Ya, hayulah. Udah malam ini. Biar saya juga bisa cepet pulang”

Alfin akhirnya mengayunkan langkahnya menuju lobby alih-alih kantornya. Angga tersenyum lega melihat atasannya mau turut menangani tamu.

Lobby drop off Priangan Pride Hotel sedang didominasi karangan bunga ucapan selamat menempuh hidup baru. Terhitung ada dua puluhan lebih karangan yang berdiri manis di sisi-sisi lobby yang terlihat. Resepsi pernikahan salah satu tauke Bogor sedang digelar di hotel ini. Ibu Hajat yang dimaksud Angga tadi adalah panggilan untuk para ibu baik dari pengantin wanita maupun pengantin pria.

Alfin terus berjalan menuju lift. Ia tahu tujuannya bukan ke ballroom dimana resepsi sedang berlangsung. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya menyapa. Tidak sedikit Alfin mendapati karyawati yang tersenyum malu-malu ketika   ia menyapa balik mereka dengan senyum tipis andalannya. Angga yang tadinya mengintili Alfin sedikit kewalahan mengikuti langkah atasan barunya itu sampai akhirnya ia tertinggal. Di dalam lift sambil menunggu pintu lift terbuka di lantai tujuannya, Alfin merapihkan pakaiannya. Sudah menjadi rahasia umum para pekerja hospitality dituntut untuk tampil sempurna.

☪️☪️☪️

Alfin mengetuk pintu dengan ritme teratur dan sopan. Seorang wanita paruh baya bergaun merah menyambutnya ketika pintu dibuka.


“Selamat malam, Nyonya Aline. Bisa saya bantu atasi keluhan Nyonya?” sapa Alfin ramah.

Perempuan yang dipanggil Nyonya Aline itu hanya menyerahkan remote AC ke tangan Alfin dan membuka pintu kamar lebar-lebar. Membiarkan Alfin masuk untuk menyelesaikan tugasnya.

Selesai mengatur suhu AC yang sebenarnya tidak ada masalah, Alfin meletakkan remote di atas nakas. Ia menghampiri Nyonya Aline yang masih berdiri di dekat pintu kamar. Raut wajah muram nampak di wajah nyonya itu.

“Selamat atas kelancaran acaranya, Nyonya. Kami turut berbahagia dengan bertambahnya anggota keluarga Anda. Semua yang hadir tadi pasti mendoakan kebahagiaan untuk keluarga Nyonya. Tidak lama lagi kebahagiaan Nyonya akan bertambah dengan kehadiran cucu,” ujar Alfin beramah tamah sedikit, untuk menyenangkan kliennya.

Sang nyonya yang mendengarnya tersenyum menanggapi.  “Terima kasih atas doanya, Pak Manajer.”

Alfin tersenyum tipis membuat sang Nyonya terpana dan terlihat semburat rona merah di pipinya. Alfin hanya memutar bola matanya ketika tamunya segera menutup pintu begitu tersadar dari keterpanaannya. Sambil berjalan menuju lift Alfin kembali menarik ujung bibirnya, ia sedikit bangga dengan karismanya yang selalu bisa memukau siapa saja yang bertemu dengannya.


☪️☪️☪️

Sebelum Alfin meninggalkan lobby, ia memanggil Angga yang dilihatnya ada di dekat front desk. Dan yang menghampiri tak hanya Angga seorang. Dua rekannya pun ikut menghampiri.

“Yang saya panggil kan Angga. Kenapa kalian ikut kesini? Nanti HKM ngambek ke saya.”

“Nggak apa-apa, Pak. Kita lagi gabut soalnya. Lagian Bu Vani mana mungkin berani marah sama Pak Alfin. Satu-satunya HOD yang paling cepat tanggap,” jawab salah satu rekan Angga yang memakai nametag Firman.

Alfin hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban dari salah satu bawahan rekan kerjanya.

“Ngga, resepsi ini cuma tinggal setengah jam lagi. Kamu nanti koordinasi sama Pak Iwan, pastikan dalam setengah jam peralatan kita udah rapih. Terus shift tiga nanti kamu bertiga kan ya? Saya tunggu laporan hariannya besok pagi.”

Angga segera bersikap hormat ala tentara, “Siap 86, Ndan!” Alfin tertawa dan menepuk pundak Angga, “Ya udah. Saya pulang dulu. Kalo ada apa-apa hubungi Pak Iwan aja. Duluan semuanya.”

“Hati-hati di jalan, Pak,” kompak Angga dan teman-temannya berseru. Alfin melambaikan tangannya sambil terus berjalan menuju parkiran, melangkah menuju kendaraan roda empat kebanggaannya. Salah satu bukti hasil keringatnya selama bekerja di industry hospitally.

Alfin baru saja duduk di kursi pengemudi ketika ponselnya berdering. Layar ponsel menampilkan 'Ibu Memanggil' membuat Alfin segera menggeser tombol telepon hijau ke tengah layar.

Assalamu’alaikum, Sep.”

“Wa’alaikum salam, Bu. Ibu sehat?”

“Sehat atuh. Emangnya kamu mau Ibu sakit? Lagi dimana ini?”

“Jangan atuh, Bu. Alfin baru aja mau pulang ke kost-an. Masih di parkiran hotel ini.”

“Naha baru pulang? Kan biasanya juga udah di kamar kalo jam segini?”

Alfin melirik jam tangannya. Pukul 21.30, “Biasa, Bu. Namanya juga orang kerja.”

“Nggak boleh gitu, Sep. Walaupun kerja tetep aja ga boleh diporsir. Kamu kan juga butuh istirahat. Coba kamu kerjanya di deket rumah,Sep”

“Gajinya lumayan Bu kalo di sini. Lagipula Cianjur-Bogor itu dekat. Alfin bisa pulang seminggu sekali.”

“Kamu mah bilangnya aja pulang seminggu sekali. Geuningan udah mau sebulan, belum pulang keuneuh?”

“....”

“Apa yang kamu cari dari gaji besar sih, Sep?”

“Alfin kan laki-laki,Bu. Kalo gaji Alfin besar, Alfin bisa jadi lebih siap buat bertanggung jawab sama keluarga.”

“Ah, kamu mah. Keluarga apa yang jadi tanggung jawab kamu? Yang ibu lihat kamu itu kerja, kerja terus. Emang udah waktunya kamu berkeluarga, jadi kapan mau jadi kepala keluarga?”

“Bu. Udah dulu atuh, ya. Alfin mau pulang ini, teh. “

“Tah, kitu tah.Selalu aja alesan kalo ditanya kapan mau bawa calon ke Ibu?Ya soklah. Hati-hati di jalan.  Assalamu Alaikum.”

“Iya, Bu. Wa Alaikum salam.”

Setelah menunggu ibunya menutup telepon barulah Alfin meletakkan ponselnya di kursi penumpang. Pemuda yang memiliki tinggi 175 cm itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Ia merasa lelah hati karena itu bukan kali pertama ibunya mengungkit soal istri. Menghela napas pelan, ia lalu memakai seatbelt dan mulai menghidupkan mobil, meninggalkan ladang penghasilannya. Klakson yang ia bunyikan di gerbang membuat security melambaikan tangan. Saat ia menyerahkan kartu parkir, anggukan dan sapaan hormat  diterimanya, “Hati-hati di jalan, Pak Alfin.”

Dari balik spion tengah Alfin memandang gedung besar nan megah di belakangnya. Priangan Pride Hotel. Salah satu hotel berbintang empat terbaik di kawasan Bogor. Terletak di wilayah Bogor Selatan tidak membuatnya menjadi tersisih. Apalagi tidak hanya sekedar penginapan gedung tinggi, sarana olahraga golf dan penginapan rumah juga disediakan di Priangan Pride. Pemandangan langsung  Gunung Salak pun menjadi poin plus yang ditawarkan.

Alfin Pradipta.  Pria jangkung beralis tebal itu sudah dua bulan lebih bekerja di sana sebagai Assistant Chief Engineer. Bukan jabatan yang  diincar oleh Alfin sebenarnya, namun jumlah digit yang masuk ke rekeningnya menjadi alasan utama ia setuju untuk menerima pekerjaan ini. Meskipun salah satu resikonya ia terpaksa harus berjauhan dari ibunya.

Hening menjadi teman perjalanan Alfin. Selama 30 menit, ia hanya fokus berkendara menuju kamar kontrakannya yang berada di wilayah Tajur. Suasana sunyi jauh lebih disukai oleh pria kelahiran Cianjur ini, karena membuatnya tenang dan rileks, sehingga ia bisa sedikit mengurangi beban pikiran pekerjaannya sepanjang hari.

Alfin memilih rumah indekos yang berada di pinggir jalan. Selain lebih efektif, juga lebih mudah untuk memarkir kendaraan roda empatnya. Fasilitas yang diterima Alfin selain ranjang dan lemari adalah kamar mandi yang tersedia di dalam kamar. Alfin cukup menyukai rumah indekosnya itu karena suasananya yang tidak berisik. Pemilik indekos hanya membangun satu lantai dengan lima kamar. Dan seluruh penghuni indekos adalah para pekerja korporat.

Menghabiskan waktu setengah jam dalam keheningan tidak membuat kewaspadaan berkendara Alfin menurun. Setelah memarkirkan si hitam dengan baik. Ia segera bergegas turun. Letih membuatnya ingin segera bergelung di atas matras.

Denting nada pesan masuk yang terus saja berbunyi sejak ia turun dari mobil  membuat Alfin terpaksa membuka ponselnya sebelum ia masuk kamar. Wa grup departemen tercantum di baris paling atas.

👷⚡PP EngDep

Iwan Spv Engg PP :

Pak Alfin, sink kitchen ada masalah.

Pak, baca WA.

Pak.

Pak.

Pak Alfin.

Surya Engg PP :
Pak Alfin, sink kitchen bermasalah lagi. Pak Roni pengen Pak Alfin yang nanganin langsung.

🏨Priangan HoD

Roni FBm PP
Pak @Alfin_pra sudah pulang belum ya?

Roni FBM PP
Pak @Alfin_pra di kitchen ada sedikit problem. Bisa tangani sekarang kan?

Vania HKM PP
Kata staff saya tadi Pak @Alfin_pra sudah pulang.

Roni FBM PP
Waduh.. kumahabatuh ieu sink?

Kumaha atuh?

Alfin segera membuka menu kontaknya. Penat yang sejak tadi  Ia rasakan membuatnya memijit pangkal hidungnya. Ia sadar waktu istirahatnya akan kembali tertunda. Tanpa menunggu lama ponselnya mulai terhubung.

“ Selamat malam!”



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro