Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Help me!"

Suara itu kian jelas terdengar, membuat seluruh sel saraf di tubuh William memantik dirinya untuk berlari menemui siapa pun petugas di rumah sakit dan urung membuka lemari. Pria berambut putih itu tak bisa berpikir jernih ketika bayangan suhu dingin di dalam lemari jenazah bisa menyebabkan henti jantung pada manusia. Dirinya berpacu dengan waktu, terlalu takut jika dalam waktu kurang dari empat menit terjadi kematian batang otak pada manusia ajaib yang bangkit dari kematian.

"Tolong, ada suara perempuan di kamar jenazah!" seru William dengan muka pucat pasi saat berpapasan dengan seorang perawat laki-laki berambut blonde berbaju ungu.

"What the hell!" seru perawat seraya menekan alarm code blue di pintu masuk ruang jenazah kemudian berlari mendekati almari penyimpanan nomor 1025. "Mengapa bisa terjadi?"

"Aku tidak tahu. Kau harus menyelamatkannya sebelum dia kembali mati!" tandas William dengan intonasi tinggi.

Dengan gerakan cepat, perawat segera membuka kunci peti pendingin 1025 tanpa berpikir panjang bahwa di dalam berisikan tubuh mayat yang baru diautopsi hari ini. Dalam hitungan sepersekian detik, pintu peti berbahan besi itu terbuka cepat menampakkan tubuh perempuan yang diselimuti kain putih tipis. Perempuan berambut ginger bangkit dengan kedua iris mata menyala yang berbeda warna. Iris mata kanan berwarna keemasan, sedangkan iris mata kiri berwarna hijau zamrud yang begitu mencolok. Dia mengaum lalu melompat dari lemari sambil berkata,

"Ular! Ular! Ular!"

Tubuh perempuan itu tidak tertutupi sehelai benang pun. Dia seperti kehilangan akal ketika memorak-porandakan beberapa alat medis di ruang jenazah. Bahkan ketika dirinya melihat jasad istri dan anak William yang tertutupi kain, kedua matanya semakin menyala dengan menampakkan gigi taring.

Kedua lelaki itu tercengang dengan apa yang dilihat, perempuan yang lebih mirip seperti monster dalam cerita anak-anak kini memandang nyalang lalu mendesis seraya menjulurkan lidah seperti ular. Perawat berusaha kabur untuk memanggil bala bantuan, namun tidak berhasil ketika bahunya dicabik tanpa ampun.

Teriakkan tak terelakkan hingga tubuh besar perawat ambruk ke lantai dengan darah yang mengucur deras. Pupil biru William melebar dan tidak sengaja dia tersandung kakinya sendiri. Pantatnya mendarat di lantai mengenai darah yang masih mengalir dari tubuh perawat. William tidak yakin apakah lelaki itu masih hidup atau pingsan melihat luka robek yang cukup besar dan bisa saja memutus karotisnya.

"Ka-kau boleh me-membunuhku," ucap William terbata-bata, memejamkan kedua mata melihat tubuh molek perempuan itu. "Ja-jangan tubuh istri dan anakku di sana." Dia menunjuk dua brankar di belakang si manusia aneh.

Tidak ada respons. William mencoba mengintip dari balik bulu matanya. Si monster meringkuk sembari melihat tubuhnya sendiri dengan bingung. Sejenak, perempuan berkulit pucat seperti batu pualam menangis membuat William tertegun. Antara takut dan ragu, diraihnya kain putih yang tergeletak di lantai lalu memberikannya pada perempuan yang baru saja bangkit dari kematian.

Sedetik kemudian, beberapa perawat dan dokter datang. Mereka menjerit histeris melihat tubuh perawat berambut blonde terkapar tak berdaya dengan genangan darah segar di lantai. Mereka memandang perempuan berselimut kain putih dengan mulut yang berlumuran darah, mayat yang sudah diautopsi mendadak hidup dengan tanpa luka sedikit pun.

"Matt! Matt!" pekik perawat berkulit hitam menghampiri jasad Matt. "Dia tewas! Matt tewas!"

"Apa yang terjadi di sini! Ya Tuhan, kenapa dia bisa hidup!" seru dokter berkacamata meraih gunting dari atas meja petugas kamar jenazah.

"Bagaimana dia bisa hidup lagi setelah pihak dokter forensik sudah menyatakan bahwa dia meninggal karena bisa ular mematikan?" sahut perawat lain yang berusaha memindahkan jasad Matt.

Perempuan itu mendongak dan menatap William sambil sesenggukan. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir merahnya. Hidung lancip yang mencium berbagai aroma; anyir, amis, manis, hingga busuk. Kedua manik mata yang berbeda warna juga melihat berbagai kepulan asap yang mengelilingi orang-orang di depannya dengan huruf dan angka yang tidak dimengerti kecuali dua tubuh kaku yang berada di atas brankar.

Perempuan itu bingung bagaimana bisa dirinya bangkit setelah perang besar. Bagaimana dia bisa berada di tempat aneh yang penuh dengan manusia dan membunuh lelaki yang kini teronggok seperti bangkai. Dan bagaimana bisa dia memiliki tubuh yang mirip dengan mereka padahal seharusnya belum terjadi.

Aku di mana? Bagaimana aku bisa berubah seperti mereka? Jacob? Ayah? Ibu? Ke mana mereka?

Dia merasa harus pergi dari sini. Ini bukan tempat tinggalnya, lagi pula dia harus menemukan keluarganya di sekitar sungai Gordon. Dia mengendus aroma lain, tapi tak satu pun dari aroma itu yang mewakilkan aroma klannya.

"What the hell are you!" pekik dokter dengan wajah memerah seraya mengacungkan gunting ke arah perempuan yang dianggapnya gila. Tak sabar, dia pun menyerang tapi detik itu juga lehernya digigit hingga suara teriakan kembali terdengar memenuhi kamar jenazah.

Tubuh sang dokter ambruk, petugas medis yang tersisa kini bergerak mundur dengan irama jantung yang saling berpacu tak ingin menjadi sasaran selanjutnya. Sedangkan William masih terpaku di tempat, terlalu lemah untuk pergi dari sana. Monster mengerikan berwujud gadis cantik menatap tajam seraya menjulurkan lidahnya.

"Makhluk apa dia sebenarnya?" lirih salah satu petugas medis yang hampir kencing di celana.

Perempuan berlidah ular berlari cepat seperti seekor hewan yang mengabaikan dua manusia yang telah terbunuh. William berlari mengikuti perempuan itu dengan tenaga yang tersisa. Sedangkan para petugas medis berteriak meminta tolong untuk menangkap perempuan aneh dengan warna mata mencolok.

####

Ibukota Tasmania geger dengan kemunculan sosok perempuan pelik yang bangkit setelah dilakukan autopsi dan melakukan aksi penyerangan terhadap dua petugas rumah sakit. Para polisi berlomba-lomba mencari perempuan berambut cokelat bergelombang berwarna kemerahan sepinggang, iris mata yang berbeda warna nan mencolok, serta berkulit pucat bak pualam.

Bahkan hingga berita itu disiarkan, warga di seluruh kota Hobart tidak berani keluar rumah dengan alasan takut terbunuh. Banyak dari mereka yang mengaitkan hal itu dengan siluman jadi-jadian atau manusia yang dikutuk. Akan tetapi, beberapa pendapat juga mengatakan bahwa, bisa jadi perempuan itu adalah orang gila yang terobsesi menjadi reptil hingga memiliki lidah ular dan iris mata berbeda.

William mematikan siaran televisi yang tidak hentinya menyiarkan perempuan berambut ginger hampir seminggu ini. Kedua kakinya melangkah menatap jendela rumah sambil menerawang jauh. Malam yang harusnya begitu tenang di musim gugur menjadi begitu mencekam. Jalanan di depan rumah bergaya Inggris kuno itu terlihat sangat sepi seperti tidak ada kehidupan.

William menatap wajahnya yang terpantul di kaca jendela. Guratan di wajah yang tua serta cahaya remang-remang yang menghiasi rumahnya menambah kesan horor. Tangan kiri pria itu meraih cerutu dari dalam saku celana pipanya lalu menyalakannya dengan pikiran bercabang. Tapi, jika diingat-ingat, ketika William menatap pupil perempuan itu, dia melihat sesuatu yang aneh. Dia tidak bisa mengartikannya karena kejadian yang begitu cepat, sama seperti kecelakaan mobil yang menimpa keluarganya.

"Apa dunia ini sudah gila? Atau aku yang sudah tidak waras?" gumam William, menyesap ujung cerutu menikmati tembakau sebelum mengeluarkan asapnya dari lubang hidung.

Pria yang memiliki janggut putih sedikit memanjang, mengembuskan napas sambil membenarkan letak kacamata silinder yang menggantung manis di hidung bengkoknya. Kini, bayangan William beralih pada istri dan anaknya, menimbulkan rasa hampa yang begitu menyakitkan di hati. Biasanya di jam seperti ini, mereka akan berbincang di ruang keluarga dengan Alice yang sangat suka merajut pakaian untuk persiapan menyambut musim dingin. Air mata lelaki itu menggenang, disesapnya cerutu lebih dalam seakan mengisap kembali kenangan yang bisa jadi terlupakan karena usia.

"Aku sangat merindukanmu, Alice, Jessica," lirih William dengan mata berkaca-kaca jika mengingat kematian tragis mereka.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari pintu belakang rumah membuat si empunya terperanjat kaget. Jantung William berpacu ketika ketukan itu terdengar lagi dan malah lebih keras. Diraihnya tongkat pemukul bisbol yang berada di sisi kiri dekat dengan meja untuk menaruh foto dan vas bunga.

Dengan langkah mengendap-endap, dia mendekati pintu bercat putih gading yang mulai memudar dimakan waktu. Banyak spekulasi yang bersemayam di otak William, di luar pintu belakang tidak ada rumah kecuali kebun anggur milik mendiang istrinya. Jika itu pencuri, bukankah harusnya mereka mendobrak langsung. Kalau pun itu hewan, seharusnya ada suara geraman. Ah, mana mungkin hewan bisa mengetuk pintu, pikirnya.

Lalu siapa? Batin William.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro