|5|

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak terasa, usia pernikahan mereka sudah lebih dari 6 bulan. Samatoki dan Ichiro-sannya menjalani kehidupan pernikahan dengan baik. Banyak rintangan, juga banyak kesenangan, dan yang pasti banyak susahnya. Namun yah, Samatoki sendiri tak masalah selama selalu bersama Ichiro-sannya.

Terkadang Samatoki masih merasa bermimpi jika ia telah bersama dengan Ichiro-sannya. Ini terlalu indah, dan Samatoki tak mau keindahan ini direnggut begitu saja. Kalaupun ada yang mau merenggut, Samatoki bakal mencoba merenggut kembali meskipun nyawa taruhannya.

Ada suara erangan kecil. Samatoki memutuskan lamunannya. Sepasang merahnya bercinta kembali dengan hijau-merah yang selalu berkilau. Ternyata suaminya sudah bangun, ia mengerjap-ngerjap dan melemparkan senyum kepadanya.

Ah rasanya saat inipun, Samatoki bisa mati karena kelebihan banyak gula.

"Tumben bangun pagi."

Samatoki mengusap-usap helai-helai hitam suaminya yang mencuat berantakan. "Hm, sedang ingin. Ayo bangun, sikat gigimu dan aku akan membuatkan sarapan."

Ichiro-sannya mengangguk. Samatoki baru akan beranjak, ketika kecupan kecil mampir di bibirnya. Kepalanya seketika kosong, dan ketika ia kembali menjajaki dunia nyata, suaminya telah kabur terlebih dahulu ke kamar mandi. Ah sialan, sialan, sialan, kenapa suaminya begitu manis, huh?!

"Sialan, Ichiro. Aku akan membalasmu!"

Setelah berteriak dengan volume yang bisa didengar suaminya, Samatoki beranjak bangun dan pergi menuju dapur untuk membuat sarapan.

"Samatoki, lihat sikat gigiku gak?"

Samatoki melirik suaminya dari sudut matanya, kemudian fokus kembali ke telur yang digorengnya. "Aku kemarin menaruhnya di rak, coba kau cek."

Setelah suaminya kembali ke kamar mandi, Samatoki meletakkan dua telur ke piring. Ia kemudian menggoreng bacon.

"Samatoki!"

"Hm?"

"Kau lihat sikat gigiku gak?"

"Ada di rak! Coba kau cek!" Samatoki menjawab dengan sabar teriakan suaminya dari kamar mandi. Ia membalik-balikkan bacon, dan kemudian menaruhnya di piring.

Setelah menyiapkan sarapan dan susu stroberi kesukaan suaminya, Samatoki akhirnya merasakan keanehan samar-samar. Suaminya belum kembali dari kamar mandi semenjak 17 menit yang lalu, padahal Samatoki bahkan sudah selesai menyiapkan sarapan. Akhirnya Samatoki memutuskan untuk melihat keadaan suaminya.

"Ichiro—"

Suara Samatoki berhenti.

Tubuhnya membeku. Sepasang merahnya menggelap dan menangkap kepanikan yang menguasai suaminya. Ichiro-sannya sedang berdiri di depan kaca kamar mandi. Hijau dan merahnya meredup dan jutaan bintang-bintang bergetaran.

"Ichiro—"

Samatoki hampir tak bisa mengucapkan apa-apa. Tenggorokannya mendadak sempit dan jari-jarinya menegang.

Ichiro-sannya berdiri dengan jarak satu orang di depannya. Ia berbalik, memandangnya dengan tatapan asing yang tak pernah ditunjukkan. Samatoki merasa jantungnya merosot di perut saat itu juga.

"Samatoki ...." Cengkraman tangan Ichiro-san pada wastafel semakin menguat. Ranumnya sedikit membuka, dan sepasang iris berbeda warnanya bergetar menahan air mata di pelupuknya. "Aku ... dimana sikat giginya ... Samatoki ... sikat giginya dimana ... dimana Samatoki .... "

Sepasang merah Samatoki semakin menggelap saat itu juga, tak ada cahaya, hanya merah yang gelap dan kosong. Kepanikan yang hebat menghantam seluruh tubuhnya, mengusir merah muda dan warna cerah dari tubuhnya.

Semesta ternyata tak sedermawan itu kepadanya.

.

Samatoki membawa Ichiro-san ke kamar, setelah menenangkan suaminya berjam-jam. Ia menaruh suaminya di ranjang, menyelimutinya dan mengusap-usap pelan helai-helai hitamnya.

Suaminya tak mengatakan apa-apa. Jejak kelelahan tergambar jelas. Jutaan bintang-bintang dalam hijau dan merahnya entah kenapa sedikit meredup. Samatoki berusaha menahan gemetar di jari-jarinya, ia mengusap-usap kepala suaminya dengan kasih sayang.

"Istirahatlah, aku di sini." Samatoki berusaha menarik sudut bibirnya. Ia tak tahu apakah ia betulan dapat tersenyum atau malah membentuk senyum yang aneh. Namun ketika melihat suaminya mengangguk dan melemparkan senyum kecil kepadanya, Samatoki akhirnya bisa menghembuskan napas dengan lega.

"Baiklah istirahatlah, aku akan menjagamu dalam tidurmu, Ichiro-san."

Samatoki menarik tangannya dari kepala suaminya. Ia mengambil cangkir di atas meja dan meminum kopinya yang sempat terlupakan.

"Samatoki sejak kapan memanggilku dengan suffix 'san'? Nama panggilan baru? Haha, bisa saja Samatoki. Aku menyukainya."

Samatoki tersedak. Napasnya kembali tercekat, dan tanpa sadar cangkir di genggamannya tergelincir dan jatuh dalam sekejap menampar lantai.

Sepasang merah Samatoki bergetar hebat, menatap takut-takut pada suaminya. Saat itu juga, ia ingin telinganya saja yang bermasalah, dan salah menangkap perkataan ichiro-sannya.

Musim semi tahun ini merampas hal-hal indah di hidupnya.

.

Beberapa hari yang lalu, Ichiro-san kehilangan ponsel dan laptopnya, ia hampir menghancurkan seluruh rumah mereka. Beberapa hari yang lalu, Ichiro-san tak dapat mengingat kerjaannya. Semalaman Samatoki menenangkannya. Beberapa hari lalu, Ichiro-san lupa membawa sepedanya kembali ketika ia pergi ke supermarket. Beberapa hari yang lalu, Ichiro-san tersesat di rak-rak perpustakaan kota. Ia menangis ketika Samatoki menemukannya berjongkok di sudut rak.

Dan beberapa hari yang lalu, Ichiro-san tak dapat mengingat cara memainkan biolanya.

Ia mengamuk, menangis begitu keras, berteriak dan hampir menghancurkan biolanya jika tidak dihentikan Samatoki. Ia terus bergumam tanpa henti di pelukan Samatoki. "Gak bisa Samatoki ... aku lupa caranya ... bagaimana ini ... aku ga bisa memainkannya ... aku lupa lagunya Samatoki.... "

Canzonetta, Andante. Lagu yang Ichiro mainkan pertama kali untuknya. Lagu yang Ichiro mainkan saat ia melamarnya. Dan lagu yang Ichiro mainkan di hari pernikahan mereka.

Samatoki meneguk pilu, teguk, teguk, teguk. Gemetaran di tangannya saat memeluk Ichiro-sannya terasa sangat menyakitkan. Kepanikan yang terus melanda, membuat sepasang merahnya tak mampu kembali cerah.

Samatoki hanya bisa memeluk Ichiro-sannya, membisikkan kata-kata penghiburan. Dan kemudian sampailah pada suatu saat jutaan bintang-bintang di hijau-merah Ichiro musnah seluruhnya. Hijau-merah itu kosong, gelap, tak ada lagi jutaan bintang-bintang yang bersinar. Semuanya musnah, bersama ingatan-ingatan lain di kepala suaminya. Samatoki memeluk semakin erat, berusaha menyerap sisa-sisa aroma matahari sebelum itu semua direnggut paksa darinya juga.

Ternyata sedari awal ia memanglah cuma pendosa, dan semesta tak pernah mengakuinya sebagai kesayangan. Sebaliknya ia membencinya dan menamparnya dengan semua rasa sakit untuk hukumannya. Ternyata semesta tidak dermawan lagi memberi hadiah, ia semakin dermawan memberi hukuman kepadanya sebab terlalu menikmati waktu indah bersama malaikat yang dikirimnya.

Samatoki pernah bilang bahwa ia tak akan membiarkan keindahan hidupnya direnggut. Namun pada akhirnya, ia sama sekali tak dapat berbuat apa-apa ketika jutaan bintang-bintang malaikatnya meredup perlahan-lahan dan musnah, dan itu disusul dengan ingatan-ingatan penting yang tersimpan di rak seolah dibakar seketika.

Semesta memberi hukuman kepada orang sombong sepertinya.

Samatoki memandang kertas pemeriksaan di genggaman tangannya yang bergetar. Sepasang merahnya jatuh pada kata 'Alzheimer's disease'.

Musim semi membawanya kepada malaikatnya, namun musim semi itu juga merenggut paksa malaikatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro