4. Kodok Zuma

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ke-ke-"

"Apaan anjing? Keki?" tanya Ucup gemas.

Rizki langsung melompat. Cowok itu  memeluk Ucup dan tertawa girang. "Itu! Itu! Anu, itu!"

"Ki apaan sih?" tanya Hanin.

"A-EN-JE- DICAMPUR Y. JADI ES DOGER. FIKS, ITU MBAK KEKEY!" pekik Rizki.

Hanin, Ucup, Fatur, dan Daffa langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah telunjuk Rizki. "Aduh, hp lo mana hp lo?" tanya Rizki seraya memukul-mukul pundak Daffa.

"Lo juga punya setan!"

Rizki menepuk keningnya. "Lupa, Hamba."

"Demi Fizi bin Ucup, Kekey! RIZKI DATANG!" teriak Rizki.

"Eh gue harus ngasih apaan? Bunga? Aduh kelamaan, coklat? Sayang duit. Aduh apaan, ya? Pentol? Gue nggak bawa pentol. Ngasih diri aja deh," cerocosnya.

Setelahnya, Rizki berjalan mendekati mobil yang tengah berhenti di sebrang sana. Cowok itu mengipas-ngipasi wajanya dengan tangan.

Menarik nafas dalam, kemudian tersenyum menyeramkan. Tentu saja, senyum cowok itu terlalu dipaksakan. "Eh, tapi kalau dia nggak suka gue? Gue patah hati dong," gumamnya.

Rizki hendak menepuk pundak bapak-bapak berkemeja hitam yang tengah memasangkan ban mobil. Namun, ia terdiam sesaat.

"Gue manggilnya apaan, ya?"

"Bang, Kek. Eh, jatuhnya jadi bangke." Rizki menepuk mulutnya sendiri.

"Om! Eh, emang dia om-om?" gumamnya lagi.

"Pa--dia kan bukan Bapak gue," katanya lagi.

"Gini nih, kalau pentol dikasih nyawa. Apa-apa dibikin ribet," kesalnya.

Rizki menepuk pundak bapak-bapak itu. "Heeeittt--"

Rizki melongo kala Bapak-bapak itu memeragakan seolah dirinya tengah melakukan silat. "Punten, Mang. Mau ketemu sama Kekeynya boleh?" tanya Rizki.

Bapak-bapak itu berhenti kemudian beralih menatap Rizki. "Kirain siapa. Taunya anak bau kencur."

Rizki mencium bajunya sendiri. "Wangi parfumnya si Ucup, kok. Kenapa malah jadi kencur, mabok nih orang," gumamnya.

"Telinga saya tajem, Dek. Jangan ngumpat," ujarnya.

"Saya di sini, Mang. Saya nggak ngumpet," balas Rizki.

"Sa--MBAK KEKEY! IKI MINTA FOTO!"

Hanin, Daffa, Ucup, dan Fatur hanya diam menyaksikan di sebrang sana. Keempat remaja itu menggeleng pelan melihat tingkah cowok satu itu.

"MBAK! SAYA NGEFANS BANGET, MBAK! SAYA JUGA BANTU EMAK JUALAN PENTOL, MAU COBA? NANTI DEH KALO KETEMU LAGI. MBAK KELUAR, MBAK!" teriak Rizki tak sabaran.

Tak lama, pintu mobil terbuka. Rizki tersenyum senang, cowok itu langsung melompat kegirangan. "Tante, mintafoto bareng anaknya nggak papa, ya?" Rizki mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

"Iya-iya."

"Kekey tau nggak?" tanya Rizki.

"Apa?" tanyanya.

Rizki memekik girang. "GAIS GUE DI RESPON!" teriak Rizki pada teman-temannya.

Kekey tertawa. Begitupun dengan Mamanya. "Kekey membuat hidupku menjadi okey!" kata Rizki.

"Tante-Mama-Camer. Minta fotoin boleh?" pinta Rizki.

Rizki memposisikan dirinya di samping Kekey. Keduanya tersenyum menatap kamera. Setelahnya, ponsel milik Rizki dikembalikan.

Saat tengah melihat hasil fotonya, cowok itu melotot. "Mampus lima menit lagi masuk. MAKASIH BANYAK-BANYAK! DADAH!"

***

Hanin menyenggol lengan Fatur. Menunjuk Rizki yang tengah senyum-senyum sendiri. Fatur menepuk pundak Ucup pelan. "Si Rizki udah sinting," bisiknya.

"Diakan tiap hari juga sinting," jawab Ucup.

Daffa menatap ngeri ke arah Rizki. "Harusnya kita nggak jalan situ tadi," sahut Daffa.

"Harusnya sih gitu." Fatur menyahut.

Dena dan Ivi datang. Kedua gadis itu langsung menatap ngeri ke arah Rizki. "Udah sinting, ya, dia?" tanya Dena.

"Ki!" panggil Ivi.

"Rizki!"

"RIZKI ANSHARIIIIIIIIII!" teriak Ivi kesal.

Cowok itu tersentak kaget. Ia menatap kesal ke arah Ivi yang sudah berhadapan dengannya terhalang bangku. "Ganggu lo monyet!"

"Lo monyet!" jawab Ivi cepat.

Rizki beranjak dari duduknya. Tangannya terulur merangkul Ivi kemudian mencubit gemas pipi gadis itu. "Berhubung gue lagi baik, lo gue traktir."

Rizki menyeret Ivi menuju ke arah kantin. Hanin, Daffa, Fatur, Dena, dan Ucup saling bertatap heran. "Tumben," cibir Daffa.

***

Malik berjalan memasuki markas dengan tas gitar yang ia gendong. Setelahnya, ia duduk dan menyimpan gitar miliknya di samping kursi. "Udah balik aja lo," ujar Devano.

"Pada kemana, Bang?" tanya Malik.

"Ya biasalah ... jam segini mah masih jam-jamnya sekolah. Yang lain pada kuliah, gue bentar lagi juga berangkat. Ada kelas," jawab Devano.

Malik tersenyum menanggapi. "Hanin kemarin tau gue main ke sini."

"Marah dia?"

"Nggak. Marahnya gara-gara si Ditto ngirim foto gue sama kak Helen di grup. Yang bukanya Hanin," adunya terkekeh geli.

Devano tertawa. "Cewek emang gitu, Indira juga suka marah kalo gue deket-deket sama Helen. Padahal nggak macem-macem."

"Apanih ngomongin gue?"

Malik dan Devano sontak mengalihkan pandangannya ke asal suara. Gadis dengan senyum cerah itu, langsung duduk di samping Malik dan melingkarkan lengannya pada lengan Malik. "Kak, jangan gini," ujar Malik.

"Yaelah, cupu banget. Nggak bakal kenapa-napa juga kali," jawabnya.

Malik menghela nafasnya pelan. Jika begini jadinya, ia jadi malas bermain ke sini lagi. "Malik, gue sama pacar lo cantikan siapa?" tanya Helen menyandarkan kepalanya pada bahu milik Malik.

"Cewek mah semuanya juga cantik." Malik membuang nafasnya kasar.

"Lik, sama gue aja yuk. Gue duitnya banyak kok, lo bisa minta apapun dari gue," rayunya.

"Nggak minat, Kak."

Enak saja, susah-susah dirinya mendapatkan Hanin. Akan melepas gadis itu begitu saja demi Helen? Tidak akan!

"Len, udahlah, si Ditto aja si Ditto," ujar Devano.

Ponsel milik Malik berdering. Cowok itu meraihnya, saat melihat layar, ia melirik Helen sebentar. "Lepasin, Kak. Doi gue nih."

Bukannya melepaskan, Helen malah merampasnya kemudian mengangkat panggilan vidio itu. Setelahnya, ia mengarahkan wajahnya yang tengah bersandar pada Malik.

"Mal--eh?"

"Hanin ini nggak--"

"Salah sambung. Sorry-sorry!"

Tut.

Malik mengacak-acak rambutnya sendiri. Ia merampas kembali ponselnya kemudian beranjak dan mengambil kasar gitarnya. "Nggak guna banget lo kodok zuma," gumamnya kesal.

Malik langsung pergi begitusaja meninggalkan markas. Devano menatap Helen kemudian menggelengkan kepalanya, "Nggak bakalan mau dia jadi bonekaan lo, Len. Yang lain aja."

"Orang gue maunya dia, kok."

***

Hanin mematikan sambungannya. Gadis itu mendesis kesal dan memilih mendudukkan dirinya di halte depan sekolahnya. "Awas aja kalo ketemu gue, gue bejek-bejek kaya rujak!" geram Hanin.

"Kak Hanin, ya?"

Gadis itu mengalihkan pandangannya. Alisnya mengernyit heran. "Siapa?"

"Galuh," jawabnya.

"Beruntung banget gue dihukum hari ini. Bisa sekalian cuci mata juga deh," kata cowok bernama Galuh itu.

Hanin terdiam beberapa saat. "Lo ... cowok yang berantem sama Malik, kan?" tanya Hanin.

Cowok itu mengangkat bahunya acuh. "Iya kali," jawabnya.

"Karna ...."

"Karna gue ketahuan nyimpen coklat di loker lo," jawabnya.

Hanin kembali diam. Pantas saja Malik marah sampai segitunya, tapi ... untuk apa Galuh melakukan itu? fikir Hanin. "Kenapa? Bingung bu Haji?" tanya Galuh seraya tertawa.

"Ya iyalah, kenal aja nggak. Ngapain nyimpen-nyimpen coklat, nggak sekalian lo nyimpen rumah lo ke loker gue?" tanya Hanin kesal.

"Karna, pertama kali gue nginjek sekolah ini, gue langsung naksir sama lo. Gimana dong?" tanya cowok itu.

"Kelas berapa lo?" tanya Hanin.

"Kelas sebelas. Murid pindahan," jawabnya.

Pantas saja. Jika Galuh tahu Malik orangnya bagaimana, mungkin cowok itu tak akan nekat melakukan itu. "Mending lo jauh-jauh deh dari gue," saran Hanin.

"Lah, orang guenya nggak mau. Kok larang-larang sih?" jawabnya sewot.

Hanin beranjak. Gadis itu melipat kedua tangannya di dada. "Bandel banget lo," kesal Hanin.

"Biar lo inget terus," jawabnya seraya tersenyum.

Tiiiiiin.

Hanin dan juga Galuh tersentak. Kedua remaja itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah mobil hitam yang berhenti di depan keduanya. Hanin berdecak kesal. "Lo bawa motor nggak?" tanya Hanin pada Galuh.

"Bawa," jawabnya.

"An--"

Tin.

"Anterin gue--"

Tin

"Anter gue pu--"

Tiiiiin.

"Anjing!" geram Hanin.

Galuh mengusap wajah Hanin dengan tangannya. "Kasar!" katanya.

Seseorang keluar dari dalam mobil. Dia Malik, cowok dengan hoodie hitam itu langsung mencengkal pergelangan tangan milik Hanin. "Ayo pulang!"

"Gue sama Galuh!" jawab Hanin.

Malik menatap Hanin tajam. "Nin," panggil Malik kesal.

Hanin melepaskan cengkalan Malik dan beralih memegang lengan seragam milik Galuh. "Ayok!" ajak Hanin.

"Lo bawa cewek gue, gue pastiin lo masuk rumah sakit hari ini juga," ancam Malik.

"Kalo sampe Galuh masuk rumah sakit, gue botakin si Ulen-Ulen itu. Lo juga! Nggak bakal gue mau ketemu lo lagi," balas Hanin.

"Kamu salah paham, Nin," ujar Malik.

Hanin membuang arah pandangnya. Galuh terdiam sesaat. "Lo balik sama cowok lo aja."

Jika dibilang kesempatan, ini mungkin bisa disebut sebagai kesempatan untuknya. Tapi, ia tidak mau gegabah, lagipula rasanya ia menjadi rendahan jika mengambil kesempatan di saat-saat begini.

Galuh memilih pergi. Sedangkan Hanin, langsung masuk ke dalam mobil Malik tanpa mengatakan apapun.

Malik menghela nafasnya. Cowok itu ikut masuk setelahnya.

"Hanin, kamu salah paham," ujar Malik menatap ke arah Hanin setelah dirinya duduk di kursi kemudi.

Hanin memilih membuang arah pandangnya. "Nggak denger, nggak peduli, nggak mau tau," jawab Hanin.

"Dia yang rampas hp aku. Aku udah nyuruh dia lepas tangannya di lengan aku, tapi dianya yang nggak mau. Kalau kamu nggak percaya, kamu tanya aja bang Devano," ujar Malik.

"Iya, yaudah sih."

"Jangan marah terus dong, sumpah, Yang. Aku nggak sengaja ketemu dia. Dia tiba-tiba dateng tadi," kata Malik lagi.

Hanin menghela nafasnya. Gadis itu menatap Malik tajam. "Aku maafin kamu kali ini. Kalo sampe kamu ketemu cewek itu lagi, awas aja, aku beneran bakal pedekatein Galuh," ujar Hanin.

Malik menghela nafasnya. "Mana bisa, Nin. Dia anggota saghost juga."

"Nggak peduli."

"Hanin."

"Nggak denger."

"Nin, ayolah--"

"Nggak mau tau."

Malik menghela nafasnya kasar. Cowok itu memilih melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Bukannya takut, Hanin malah bersandar melipat kedua tangannya di dada seraya menatap ke arah Malik. "Jangan pernah deketin galuh."

"Kamu juga deket-deket sama Helen, kok. Sama Ashila juga," jawab Hanin.

Malik semakin menambah kecepatan mobilnya. Ia melirik Hanin sekilas, gadis itu masih terlihat tenang. "Kamu nggak mau protes? Ini kita lagi ngebut loh," kata Malik.

"Nggak papa. Kalau kecelakaan, yang mati bukan cuman gue. Lo juga," ujarnya santai..

Malik memilih mengendurkan gasnya. Perlahan, mobilnya berhenti tepat di pekarangan rumah milik Hanin. Malik menatap gadis itu. "Jangan deket-deket Galuh."

"Dia baik kok."

"Aku nggak suka!" kesal Malik

"Gue juga nggak suka lo deket sama Helen!" jawab Hanin.

Malik diam. Cowok itu menarik Hanin ke pelukannya, kemudian, ia menyandarkan kepalanya pada puncak kepala milik Hanin. "Aku sayang kamu, Hanin. Aku nggak bakal mungkin ninggalin kamu apalagi karna Helen. Aku nggak mau kamu deket-deket sama Galuh, karna aku nggak mau kamu tiba-tiba nyaman sama dia. Perasaan orang nggak ada yang tau, Nin." Malik mengusap pelan rambut milik Hanin.

Hanin mendongkak. Gadis itu melingkarkan lengannya pada tubuh Malik. "Maafin aku, aku nggak bakal deket-deket Galuh. Janji," kata Hanin pelan.

"Iya, aku juga minta maaf, ya?" ujar Malik.

Hanin menganggukan kepalanya. Malik tersenyum, ia kemudian mengecup pelan dahi gadis itu. "Sana masuk, aku bentar lagi jum'atan. Nanti malem aku main ke sini sama Leo," ujar Malik.

***

Malam sabtu, Malik benar-benar datang ke rumahnya bersama Leo. Hanin duduk di ruang tengah dengan Rios yang berada di pangkuannya. Gadis itu mengecupi pipi gembul milik adiknya itu. "Lucu banget sih, jadi pengen lempar ke sumur," ujar Hanin.

"Emang boleh lempar anak kecil ke sumur?" tanya Leo.

"Nggak boleh, Leo. Tapi kalo Bang Malik usilin Leo, kamu lempar aja dia ke sumur," jawab Leo.

Leo mengangguk-anggukan kepalanya paham. "Nah, Abang jangan usilin Leo, nanti Leo lempar ke sumur!" ancamnya.

Malik menatap Leo. "Lo duluan yang gue lempar ke lubang buaya. Biar dimakan lo sama buaya, nggak pulang lagi ke rumah. Diem deh lo di perut buaya," jawab Malik.

"HUAAA KAK HANIN! LEO NGGAK MAU TINGGAL DI PERUT BUAYA!" pekiknya.

Rios yang melihat Leo menangis melongo. Anak kecil itu kemudian tertawa dan bertepuk tangan. "Rios mau Leo pukul?!" teriaknya pada Rios.

Namun, bukannya menangis, Rios malah semakin gencar bertepuk tangan dan tertawa. "KAK HANIN! Eh? Ih Leo udah gede masih nangis," ujar Ara.

"Eh, ada Ara. Ara bentar lagi perutnya buncit loh. Kemarin kan rambutnya di pegang Leo," kata Malik.

Ara terdiam. Gadis kecil itu mencebikan bibir bawahnya menahan tangis. "Ara nggak mau buncit," ujarnya.

"Tapi Ara bakalan buncit," jawab Malik.

"NGGAK MAU! ARA NGGAK MAU!" teriaknya.

Ara menghampiri Leo. Gadis kecil itu langsung menjambak rambut milik Leo. "INI SEMUA GARA-GARA LEO! KALO BUKAN KARNA LEO, PERUT ARA NGGAK BAKALAN BUNCIT. HUAAA!" teriak Ara.

"LEO NGGAK TAU! LEO JUGA NANTI BUNCIT. LEO NGGAK MAU!" teriaknya.

Rios semakin tertawa lebar dan bertepuk tangan. Sedangkan Malik, cowok itu sudah tertawa puas melihatnya.
"Heh! Udah-udah. Ara jambakin Leo gitu, perut Ara bakalan buncit loh bentar lagi," ujar Hanin.

Ara langsung melepaskan jambakannya. Gadis kecil itu semakin menangis histeris.

Astaga, apa Hanin salah bicara?

"Ini lagi, si Rios malah ketawa-ketawa. Jangan-jangan humor lo receh lagi kaya si Rizki," kata Hanin heran.

"Udah Ara, kalo Ara nangis, Ara nggak bakal jadi loh di ajak nyemplung ke got sama bang Fatur," ujar Malik.

Ara terdiam. Gadis kecil itu menatap polos ke arah Malik. "Got itu apa?"

"Kebun binatang. Banyak binatang kecil di sana," jawab Malik.

"Leo juga mau!" teriak Leo.

"Minta ke Papa. Nanti Leo ajakin ya Papanya," ujar Malik.

Hanin diam. Gadis itu menggeleng pelan. Apa begitu cara Malik berbicara dengan anak kecil?

Leo dan Ara mengangguk semangat. Kedua anak kecil itu langsung melompat kegirangan dan berpelukan. "YEY! ARA MAU KETEMU MONYET DI GOT!" pekik Ara.

"Kenapa nggak ngaca aja, Ra? Di sana ada monyet kok," saran Malik.

"Wah? Ada?" tanya Ara.

"Ada dong! Gih lihat. Minta kaca ke Aunty Anneth," kata Malik.

Leo menatap Ara. "ARA TADI PELUK LEO? NANTI KALO HAMIL GIMANA?!"

"HUAA! LEO JAHAT! LEO YANG PELUK ARA DULUAN!" teriaknya.

Leo langsung memeluk Malik. Anak itu menangis di sana, "cengeng banget lo," ujar Malik.

Ara diam. Gadis kecil itu langsung menarik lengan Leo. "Leo, kita lihat monyet yuk di cermin. Ara nggak papa deh hamil," ujarnya.

Leo menatap Ara dengan sisa-sisa air matanya. "Nanti Leo nggak dikasih jajan kalo hamil," kata Leo.

Ara diam. Gadis kecil itu perlahan tersenyum. "Nanti Ara minta aja sama Papa. Nanti kita bagi dua, yuk kita lihat monyet di cermin," ajaknya.

Leo mengangguk. Cowok itu beranjak kemudian membalas uluran tangan Ara. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar Anneth dan Guntur.

Hanin menatap Malik tajam. "Kamu ngatain sepupu aku monyet?" tanya Hanin kesal.

"Dianya aja yang percayaan, Yang," jawab Malik.

"Dibilangin ajarin anak kecil itu jangan yang aneh-aneh. Nggak bisa?"

Malik tertawa. Cowok itu memilih membawa Rios ke gendongannya. "Rios, kalau udah besar jangan galak kaya kakak kamu. Nanti nggak akan ada yang suka," ujar Malik.

"Jadi kamu nggak suka sama aku?!"

"Suka kok. Suka mau nerjang," jawabnya.

"HEH!"

Malik tertawa. Cowok itu langsung mengusap lembut puncak kepala milik Hanin. "Mau nggak?"

"Apaan sih?"

"Aku terjang."

TBC

Hallo gimana ceritanya? Suka nggak?

Panjang nih, kenapa? Spesial ulang tahun Author wkwk😭🤏

Ada yang ingin di sampaikan ke :

Hanin

Malik

Helen

Galuh

Ara

Rios

Leo

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Mau part selanjutnya panjang kaya sekarang?

Spam next di sini yok!

Follow akun RP instagram mereka juga ya guys!

@hanind_mheswra. (Hanin)
@malikrezayn_. (Malik)
@daff.aprasetyo. (Daffa)
@fatur_mhndra. (Fatur)
@gisela_ivi. (Ivi)
@alfariza_ucup. (Ucup)
@hana_frhsy. (Hana)

Follow instagram pribadiku juga :
@Octaviany_Indah.
@Wattpadindah_.

Buat yang mau masuk GC WA, yok conttac aku aja ya!



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro