Judulnya adalah Kamu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Membuka halaman baru hanya untuk menulis kisah yang sama, untuk apa? Aku pun tak tahu. Semuanya masih sama, entah dengan siapa kini aku bersama.

Meski jarak dan waktu memisahkan kita. Membuat kita jauh. Membuatmu terpaksa menjadi memori lama, terkubur dalam album masa lalu.
Berulang kali aku mencari kata yang tepat untukmu agar tidak 'masa lalu' yang kupilih untuk ditulis. Karena bagaimanapun aku berharap kau akan menjadi masa depanku.

Begitulah aku, masih menuliskan semua tentangmu di setiap lembaran hidup yang belum tentu kau baca. Namun, sebuah kecelakaan membuat semua harapan yang selalu kutuliskan, kini menjadi kenyataan. Kamu benar-benar nyata di hadapanku, berbicara padaku dan yang paling membuatku ingin menangis, sekarang kamu bisa menatapku. Setelah sekian lama aku selalu menatapmu dari jauh, dan itu pun hanya punggungmu.

"Asma!"

"Asma!"

"Ah apa?" aku tersentak kaget. Suaranya begitu menusuk telinga dan berhasil mengembalikan kesadaranku.

"Apa sekarang kamu jadi tuli gara-gara kebentur?" tanyanya dengan sinis, kemudian ia duduk di sofa dan menyajikan bubur

Dia adalah Arsa, seseorang yang sudah kusinggung di awal. Karena kecerobohanku saat pulang kuliah, aku hampir dicopet dan aku sempat melawan. Tidak ada keahlian dalam bela diri, membuatku kewalahan dan tanpa sadar kepalaku terbentur tiang listrik. Saat aku pulih, aku sudah tertidur di ranjang pesakitan.

"Makasih, Sa. Aku janji akan ganti semua biaya rumah sakit yang telah kamu keluarkan untukku." Aku merasa tak enak hati setelah sekian lama tak bertemu, sekalinya bertemu malah merepotkan. Biaya operasi dan kamar inap VIV tidaklah murah, aku bingung harus gimana apalagi keluargaku di kampung belum tahu kondisiku hampir sekarat di rumah sakit.

Arsa duduk di dekatku sambil membawa semangkuk bubur. "Sudah jangan banyak pikiran, yang penting kamu sembuh. Sekarang makan dulu," ucapnya sambil menyodorkan satu suap bubur, aku hanya terpaku menuruti permintaannya. Tatapannya tidak seperti dulu, yang selalu cuek dan sinis, membuatku gugup. Kali ini tatapannya dingin tapi lebih bersahabat, mungkin bertambahnya usia kedewasaanpun melekat pada dirinya.

Tanpa ada percakapan di antara kami, ia menyuapiku dengan tenang sedangkan aku deg-degan tak karuan. Ini seperti mimpi, membayangkan bisa berdialog dengannya saja sudah kukubur dalam-dalam. Kini tanpa kubayangkan dan kupinta, ia menyuapiku dengan hati-hati seperti seorang ibu yang menyuapi anaknya, aku jadi menerka-nerka apa yang dipikirkannya tentangku.

"Ini minum dulu," ucapnya sambil menyodorkan segelas air putih.

"Sekarang kamu bisa tidur lagi." Arsa beranjak membereskan sisa makanku, "Aku juga akan tidur, kalau butuh apa-apa bilang."

Kok tidur sih, masih banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan untuknya. "Sekarang jam berapa?"

Arsa tidak menjawab, ia sudah memejamkan mata di atas sofa. "liat saja sendiri," tangannya menunjuk ke sisi dinding di sebrang tempatku sekarang. Ah bodohnya aku, di depanku ada jam. Aku terlalu sibuk dengan isi kepala, sampai tidak mengamati keadaan di sekitar. Jam di dinding itu sudah menunjukkan pukul 1, apa ini sudah malam? Waktu aku di copet itu habis Ashar, jadi aku sudah lama tak sadarkan diri.

Aku perhatikan lamat-lamat Arsa yang sedang tertidur dengan menjadikan tangan sebagai bantalnya. Ingin aku menyelimutinya, tapi apalah daya merubah posisiku saat ini saja susah.

Tidak banyak yang berubah darinya, kulit yang putih bersih, jam tangan melingkar di tangan kiri, hodie hitam dan jeans hitam. Semuanya masih hitam, yang paling aku suka darinya adalah rambut hitam mirip dengan gaya rambut Aktor Rangga Azof. Masih lekat dalam ingatanku, saat zaman SMP ia selalu membiarkan rambutnya memanjang dan  dia selalu menghindar kalau ada razia rambut. Menggemaskan rasanya, kalau diingat saat aku tanpa sadar tersenyum sendiri melihatnya memainkan rambutnya.

Sayangnya, aku sekarang dilema. Gejolak rasa yang hampir mati, kini meletup-letup kembali. Rasa rindu yang hampir sirna bahkan tiada, kini meronta-ronta. Rasanya aku ingin menangis, karena beberapa hari lalu aku memutuskan untuk mengiklaskan segala rasa yang ada untuknya dan berhenti mengaitkan segala aktivitasku dengannya.

Tak terasa air mataku sudah membasahi pipi. Ya Allah pertanda apa ini aku bisa bertemu kembali dengannya? Aku tarik selimut sampai ujung kepala, menutupi wajahku yang pasti sudah memerah. Rasa ini membuatku malu, kenapa harus menangis untuk seseorang yang belum tentu menangis untuk kita. Sesak pun ikut menghimpit dada, Astagfirullah. Sabar Asma.

***


Cahaya menyilaukan mengusik indra penglihatan, perlahan aku buka mata.  Kenapa aku lupa matiin lampu?  Aku di mana? Sesaat kemudian aku baru sadar aku terbaring di rumah sakit dan Arsa ia tidur sambil duduk di kursi dekat aku tertidur.

Kenapa dia jadi tidur di sini? Aku mengulurkan tangan menyentuh rambutnya. "Aku kira kita tidak akan ketemu lagi, Sa." tanpa sadar aku tersenyum, perkiraanku salah

Aku mengelus-ngelus kepalanya yang berambut tebal. "Dan aku kira jika jarak memisahkan kita, rasa ini akan hilang, nyatanya masih tetap ada." Pertahananku roboh, air mata mengalir. Rasa yang kusimpan rapi, tapi aku tak pernah tahu Arsa menyimpan rasa yang sama atau tidak. Meski aku pernah begitu sangat yakin Arsa memiliki rasa yang sama, tapi sungguh urusan hati tidak ada yang pernah benar-benar tahu dan memahami.

"Kamu udah bangun, As?" Aku segera menjauhkan tangan dari kepalanya, dan menghapus jejak air mata.

Arsa menggerakan otot-otot tubuhnya yang mungkin terasa pegal karena tidur dengan posisi duduk yang pasti tidak nyaman. Ia menatapku, aku gugup takut dia mendengar ucapanku sebelumnya.

"Kenapa kamu nangis, As?" tanya Arsa khawatir. "Apa kepalamu sakit?"

"Nggak apa-apa kok." Aku menggeleng, rasanya kepalaku masih sama yang berbeda adalah rambutnya hilang karena dicukur untuk memudahkan proses operasi. Untungnya aku pakai kerudung jadi nggak terlalu malu kalau botak dan makasih untuk Arsa yang sudah memakaikan kembali kerudung padaku, itu tandanya dia masih ingat aku yang dulu.

"Semalam kamu bikin aku khawatir. Tiba-tiba sudah terisak. Aku takut kepala kamu sakit, saat aku cek ternyata kamu tidur tapi pipi kamu sampai basah." Aku melihat ke kawatiran itu di wajhnya.

"Maafin aku, Sa." Rasa rindu untuk terus melihat Arsa bercampur dengan rasa bersalah telah merepotkannya.

Arsa tak acuh dengan ucapanku dan ia berpindah, duduk di sofa. Arsa memainkan hpnya. Aku memejamkan mata, kekakuan itu memyelimuti kita. Berlama-lama dengan suasana seperti ini, meski dengan orang yang kusuka hanya akan menyiksaku.

"Arsa!" ia melihat ke arahku. "Boleh pinjam hpnya, aku mau kasih tahu kondisiku pada orang rumah."

"Aku udah kasih tahu Putri, dan dia akan ke sini sama orang tuamu." ucapnya datar dan kembali melihat pada hpnya.

"Makasih, Sa!" Argh, dia tetap saja dingin. Sebenarnya tak ingin meminta tolong padanya, tapi hp dan dompetku dicopet. Seandainya aku kabur pun, hanya akan merepotkan diri sendiri. Tidak ada pilihan lain selain menerima semua kebaikannya dan beristirahat di sini.

Mataku kembali memanas, aku harus menahannya agar tidak pecah. Aku malu jika harus menangis di depan Arsa. Kendalikan diri kamu, Asma! Tidak ada pilihan lain, lebih baik aku kembali tidur, toh Adzan subuh juga belum berkumandang.

Pejamkan mata dan lupakan semuanya. Lupakan semua rasa itu untuknya yang perlu aku lakukan adalah semangat untuk kembali sembuh dan bisa kembali kuliah. Berbicara tentang kuliah, aku belum memberi tahu pihak kampus jika beberapa hari kedepan aku akan menghilang dari mata para dosen.

Saat aku membuka mata untuk minta bantuan Arsa. Dia Sudah berdiri di hadapanku, melihatku dengan cermat. Kemudian satu kalimat membuatku terlonjak kaget, "Kamu pikir cuma kamu saja yang merasa dengan kita tak bertemu rasa ini akan hilang. Kamu salah besar."

"Aku juga berpikir demikian, dan yang perlu kamu tahu. Cintamu tak pernah bertepuk sebelah tangan." Raut wajah Arsa berubah, ada kesedihan di matanya.

"Maksud kamu apa, Sa?" Aku bingung, kata-katanya mengindikasikan jika dia tahu perasaanku padanya. Tapi bagaimana bisa, aku tidak pernah memberi tahunya.

"Ini." Arsa menunjukan sebuah buku catatan kecil berwarna ungu. Aku melotot, itu catatan pribadiku. "Aku hanya menemukan buku kecil ini, dan dompet berisi kartu-kartu tanpa uang sepeser pun di tasmu."

"Kamu membacanya?" Arsa mengangguk. Ada rasa sakit menelusup ke rongga dada, itu artinya dia harus tahu tapi bukan dari lisanku langsung.

"Maaf, aku tidak bisa menahan rasa penasaranku." Arsa memberikan buku itu padaku, "Maaf, aku terlambat bertemu denganmu. Sehingga kamu harus menerima pinangan orang lain."

Arsa menunduk, tidak lagi menatapku. Kali ini kepalaku benar-benar sakit, apakah Arsa benar-benar memiliki rasa yang sama? Ah tidak mungkin.

"Saat kamu di operasi, aku membaca tulisan-tulisanmu yang penuh kerinduan. yang paling aku suka adalah harapan-harapanmu 'Aku ingin kau membaca semua ini, Arsa. Lantas harus kuberi judul apa semua tulisan tentangmu ini?' setiap akhir curahan hatimu selalu itu yang kau tulis dan kini menjadi kenyataan." Arsa mengembangkan senyuman, "Sekarang aku sudah membacanya, kamu mau meberinya judu apa?"

Aku menggeleng dan terisak. "Jangan nangis, As. Tangisanmu membuatku sakit." Arsa berusaha menghapus jejak air mata dipipiku, tapi urung ia lakukan karena aku segera menghapusnya sendiri.

"Kamu sedang berbohong, Sa. Kamu tidak pernah suka padaku." Aku menatapnya tajam.

"Liat mataku, As. Apa aku berbohong?" suara Arsa naik satu oktaf, "Pertemuan kita sekarang, aku menolongmu. Itu adalah takdir Allah, karena hati kita yang terikat meski jari manismu telah terikat orang lain."

Aku meremas jari-jari tanganku yang kini di tatap Arsa dengan penuh ke sedihan. "Pertemuan kita bukan tanpa Alasan, As. Allah pasti sengaja mempertemukan kita, untuk menyelesaikan semua yang belum selesai di antara kita."

Arsa duduk di dekatku, ia menatapku dan aku memalingkan wajah tak kuasa melihat kesedihan yang penuh harap di matanya.

"Asma!" Arsa menggenggam tanganku, "Aku mau kamu jujur, masihkah ada aku di hatimu?"

"Aku nggak bisa menjawabnya, Sa." Aku menarik tanganku dari genggamannya.

Arsa menunduk. "Baiklah, perlu kamu tahu. Meski rasanya sakit saat kamu memutuskan menerima pinangan laki-laki lain dan melupakanku. Sampai saat ini aku masih mencintaimu." Ia beranjak dan meninggalkanku sendiri, seketika air mataku meleleh kembali.

Rasa itu masih ada Arsa, tapi statusku sekarang adalah tunangan orang lain. Tidak semudah itu mengungkapkan perasaan. Jika aku mengungkapkan perasaan sama saja dengan aku menyatakan bahwa aku cinta kamu, setelah itu kamu akan berharap lebih padaku. Aku takut kamu semakin terluka.

Aku tatap cincin yang melingkar di jari manis. Ada rasa sesak, sesal dan rasa syukur bersatu. Sesak karena Arsa masih dihati. Sesal karena tahu Arsa memiliki rasa yang sama tapi aku memilih yang lain. Syukur karena aku bisa membuat kedua orang tua bahagia saat aku dipinang laki-laki mapan dan sholeh, dia adalah dosen di kampus.

***

Hari sudah siang, tapi Arsa belum kembali. Apa dia kecewa? Tentu saja kecewa pasti ada. Perawat saja udah dua kali chek-up, ganti perban di kepala dan ganti infus sama yang baru.

Terdengar derap langkah mendekat ke ruanganku. Aku memilih pura-pura tidur saja, siapa pun yang datang.

Suara pintu dibuka di susul suara Arsa yang mendekatiku. Aku harus menstabilkan wajah supaya nggak keliatan pura-pura tidur.

"Cepet sembuh ya, As." Kenapa sih harus ngelus kepalaku segala.

"Semua keputusan, ada padamu. Perasaanmu, perasaanku dan perasaan tunanganmu. Keputusan yang akan membuatmu bahagia." Suara Arsa terdengar pelan dan menyayat hati.

"Sekarang aku sudah membaca tulisanmu, As. Jadi beri tahu aku judulnya apa?" tanyanya dengan nada kegirangan. Aku coba menebak, apa sekarang dia sedang memegang buku catatanku lagi. Gawat, aku sempat menulis sesuatu yang baru di sana saat dia tadi pergi

Terdengar lembaran buku dibuka, aduh gimana ini. "Judulnya adalah Kamu, Arsa." ucap Arsa girang.

"Apakah aku bisa berharap menjadi pendamping hidupmu, Asma?"

"Mungkin kamu bisa membatalkan pertunangan deng...."

"Siapa yang akan membatalkan pertunangan?" Tiba-tiba sebuah suara lantang hadir, menghentikan ucapan Arsa. Siapa itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro