Warna

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Semburat jingga menghiasi cakrawala, burung-burung beterbangan menuju sarangnya. Debur ombak menghantam batu karang, menambah indah suasana untuk dua insan yang berjalan beriringan. Begitulah deskripsi lukisan yang baru saja diselesaikan oleh Nara.

Nara menatap kagum lukisannya. Akhir-akhir ini ia habiskan waktunya untuk melukis di kamar dan sepertinya melukis menjadi hobinya setelah membaca. Bahkan saking senangnya melukis, Nara mengikuti ekskul melukis di sekolahnya.

"Ra, kamu melukis lagi?" Angga sang kakak merasa aneh melihat adiknya itu. Biasanya juga Nara lebih suka mencumbu buku-buku tebalnya daripada mengotori tangannya seperti yang dilakukan saat ini.

Nara mendongak, melihat kakaknya sudah berdiri di sampingnya tak lupa dengan segelas kopi di tangannya. Nara tersenyum dan mengangguk.

Angga duduk di kursi meja belajar Nara dan meneguk kopinya. Ia perhatikan tangan Nara yang begitu hati-hati dan gemulai merapikan siluet dua insan di bawah senja. Ternyata Nara begitu serius mengikuti ekskul melukis, Angga bangga.

"Lukisan kamu sama seperti yang kemarin?" tanya Angga heran. Masa ikut ekskul melukis tidak diajarkan mencari ide.

Masih dengan senyumnya Nara menjawab, "kata siapa sama, beda kok. Lihat tuh yang kemarin! Beda kan?" Nara menunjuk karyanya yang terpasang di dinding.

Angga mengangguk setuju, lukisannya berbeda. Jika lukisan yang kemarin siluet perempuannya berjalan di belakang siluet laki-laki, tapi di lukisan hari ini keduanya beriringan.
Ah, Nara sedang jatuh cinta.

"Kamu pacaran sama siapa, Ra?"

Pertanyaan Angga sukses membuat Nara kaget, membuatnya tak sengaja menggores senja itu dengan warna hitam. Nara bingung mau jawab apa dia hanya bisa diam. Ia tidak pacaran sama siapa-siapa, hanya sedang mengagumi.

"Jangan kecewakan Abang. Keluarga kita tidak ada yang pacaran, agama kita juga melarangnnya dan kau pun tahu itu." Setelah mengucapkan itu Angga langsung keluar.

Nara merasa geram, kenapa kakaknya itu selalu marah padahal dia tak tahu yang sebenarnya. Seakan dirinya tak pernah remja saja. Aku hanya menyukainya.

***
Dedaunan berserakan di lapangan, angin berhasil menggugurkannya membuat Pak Amir-tukang bersih-bersih sekolah, setiap pagi harus menyapukannya.

"Selamat pagi, Pak."

"Selamat pagi, dik." Pak Amir mengembangkan senyumnya mendapat sapaan dari Nara.

Nara pamit untuk ke kantin.

"Dik Nara sudah cantik pakai jilbab, sopan, murah senyum lagi." Sapaan Nara membuat Pak Amir tambah semangat melakukan rutinitas paginya.

Sesampainya di kantin, Nara segera memesan nasi kuning dan gorengan, ingin rasanya makan bakso tapi ini terlalu pagi untuk makanan pedas.

Nara memilih duduk di meja yang dekat jendela. Ada beberapa orang yang sama dengan dirinya untuk sarapan di sekolah. Gara-gara salah paham kemarin ia enggan untuk sarapan di rumah dan Angga pun membiarkannya pergi tanpa mengisi perut dahulu.

Nara melirik jam yang ada di kantin, Ada setengah jam lagi menuju lonceng berbunyi, ia mempercepat aktivitasnya, agar bisa bersantai dulu sebelum masuk kelas.

"Hai, Nara!"

Sapaan tersebut sukses membuat Nara tersendak karena kaget.

"Maaf!" Orang itu menyodorkan botol minum milik Nara.

Nara menerima dan segera meminumnya.

"Maaf, Ra! Aku mengagetkanmu." Ia tampak khawatir.

"Ah, tidak apa-apa kak." Nara tersenyum, sebagai tanda ia baik-baik saja.

"Lagian kamu ngelamunin apa sih?"

Ngelamunin kamu, puas? Kalau bukan gara-gara aku suka kamu, gak mungkin aku bikin lukisan itu dan buat abang marah.

Orang yang kini tengah duduk di depan Nara adalah Anwar. Seseorang yang berhasil membuat Nara jatuh cinta pada suara pertama yang merdu tiada tara. Peristiwa itu terjadi saat MPLS, dimana dia sedang berkunjung ke ruang seni. Ia menemukan kakak kelasnya sedang melukis sambil melantunkan ayat suci Al-qur'an.

Suara Anwar yang begitu merdu berhasil melelehkan air matanya dan Nara malu karena pemilik suara merdu itu menyadari dia sedang memperhatikannya dengan air mata.

Ada hal yang membuat Nara sedih, ternyata Anwar tidak mengingat sama sekali pertemuan pertamanya, bahkan Anwar baru menanyakan namanya satu minggu yang lalu ketika Nara mendapat pujian dari pembimbing dan Anwar merasa penasaran dengan Nara. Setelah peristiwa satu minggu itu, Anwar tidak lagi cuek ia jadi sering menyapa Nara, seperti saat ini ia datang tiba-tiba dan duduk di hadapan Nara.

"Gak ngelamunin apa-apa, kok."

"Oh iya. Nanti Bu Asma gak bisa hadir untuk bimbing kita, jadi senior yang bimbing Junior."

Nara mengangguk saja, karena sarapannya belum selesai

"Dan aku jadi pembimbing kamu." Lagi-lagi Nara tersendak. Sejak kapan kakak kelasnya ini bicara aku-kamu.

Nara segera minum, malu-maluin aja sih.

"Kamu kenapa, sih? Anwar sedikit tersenyum mekihat ekspresi lucu Nara saat tersendak. "Apa ada yang salah?"

"Gak kok, Kak." Nara cengengesan, "Aku siap dibimbing."

"Ya Sudah, Aku ke kelas dulu." Anwar pamit dan kemudian pergi.

Nara memperhatikan kepergian Anwar. Aduh jantungku, kenapa sih dia aneh banget tiba-tiba ramah, biasanya juga irit senyum.

"Kak Anwar pasti penasaran dengan kemampuan melukisku, jadi dia memilih membimbing aku. Dasar gak mau kalah." Nara bergumam.

***

Tepat pukul dua sore, sekolah di bubarkan. Nara bergegas ke ruang seni untuk mengikuti ekskul rutin setiap hari rabu, tapi sebelum itu ia sempatkan mampir ke toilet untuk merapikan kerudungnya. Karena jam terakhir ada ulangan Fisika dan membuat tak sadar dirinya telah merusak posisi kerudungnya karena pusing.

Ruang seni masih sepi, ia menjadi orang yang pertama datang. Ingin rasanya duduk di depan, tapi kursi depan hanya untuk para senior dan akhirnya Nara memilih duduk di belakang dekat tembok.

Lima menit berlalu, semua anggota ekskul sudah berada di tempat masing-masing. Anwar, selaku ketua menjelaskan kegiatan hari ini sebagaimana yang di jelaskan pada Nara pagi tadi.

Para senior menemui juniornya dengan membawa tiga buah warna primer. Jadi yang akan mereka pelajari adalah cara menemukan warna baru dari warna primer tersebut.

Anwar sudah duduk di samping Nara dengan membawakan warna.

Antara rezeki dan ujian, Nara begitu tegang bisa diajari langsung oleh pujaan hatinya.

"Kamu lebih suka senja atau fajar?" Anwar memulai percakapan.

Nara menatap canvasnya yang masih kosong, "Mm, aku suka senja."

"Coba lukis senja sekarang." Nara merasa bingung karena warna yang disediakan cuma tiga, kuning, merah dan biru.

Anwar terus memperhatikan tingkahnya, membuat Nara semakin gerogi. Ih, aku pengen pulang.

"Bingung sama warnanya?"

Nara melirik orang di sampingnya dan mengangguk. Anwar menyadari kegelisahannya.

"Sekarang kan kita akan belajar warna, jadi kamu coba campurkan warna yang ada."

Nara mulai mengaduk warna di palet, menemukan warna-warna baru. Lima belas menit berlalu Anwar hanya memperhatikan Nara. Kenapa dia diam saja dan tampak kaku. Berbeda dengan anak lain yang saling becanda dengan seniornya.

"Kamu suka warna apa, Ra?"

menjawab tanpa mengakihkan pandangan dari palet, "ungu, Kak."

"Ada warna ungunya?"

Nara menggeleng.

"Campurkan biru dan merah!"

Nara mengangguk dan melakukannya.

"Berhasil," ucap Nara gembira, saat warna ungu berhasil di buatnya.

Senyum tipis terukir di wajah  Anwar, ia ikut senang melihat Nara tersenyum.

"Buatlah sesuatu dengan warna ungu itu!"

Nara berpikir untuk membuat bunga saja.

"Kamu tak mau menanyakan warna kesukaanku apa?" tanya Anwar dengan sedikit tawa.

Nara makin gerogi melihat perdana tawa kakak kelasnya itu.

"Mm, kakak suka warna apa?" tanya Nara gerogi.

"Jangan panggil kakak dong, kamu kaku banget ih." Kenapa kakak kelasnya ini jadi banyak bicara.

Nara diam, ia sedikit ragu "Kamu suka warna apa?"

"Warnai hidupmu." Anwar terkekeh.

Nara langsung tersenyum malu, pipinya memanas. Ah, rasanya ia ingin terbang tinggi.

"Candaa, aku suka warna biru," ucap Anwar sambil mengatur senyumnya, ia senang melihat orang di sampingnya gugup.

***

"Pulangnya aku anterin sampai rumah." Nara membaca pesan masuk di whatsapp, siapa yang mengirimnya?

Nara melihat foto propilnya, "Kak Anwar." Nara langsung menutup mulutnya kaget. Dari mana dia dapat nomornya. Ah Nara melupakan satu hal, Anwar ketua ekskul seni pasti dia menyimpan biodata setiap anggota dan tentu nomornya.

Masih dengan kebingungannya, seseorang memanggilnya. "Nara, Ayo pulang bersamaku. Sebentar lagi hujan."

Nara hanya bergeming, memastikan bahwa ini bukan mimpi. Selain merasa aneh dengan keadaan ini, Nara juga merasa senang.

"Ayo, Ra!"

Nara mendekati laki-laki di tepi jalan yang sedang menaiki motornya. "Kakak tidak sedang becanda, kan?"

Anwar tertawa, "Ayolah, Ra. Ini mau hujan. Rumah kamu dimana?" Ia menyerahkan helm.

Nara menerimanya, dan mengatakan alamat rumahnya.

***

Wajah pria itu menyiratkan khawatir, ia bergegas memakai jas hujan dan mengeluarkan motornya untuk menjemput seseorang yang belum pulang, bahkan untuk memberinya kabar pun tidak.

Suara motor sport berhenti di depan rumah pria itu, membuat ekpresi pria itu berubah, ia tidak lagi khawatir tapi sedikit menahan marah.

"Assalamualaikum, Abang!" Nara menyalami kakaknya, meski tubuhnya basar kuyup.

"Wa'alaimkumsalam. Siapa itu?" tanya Angga ketus.

Nara ingin menjelaskan, tapi orang yang dimaksud kakaknya sudah mendekat dan mengenalkan dirinya. Anwar hendak pamit, namun ditahan Angga karena hujan masih deras.

"Nara, tolong ambilkan minum dulu, setelah itu ambilkan baju abang." Nara melenggok ke dapur, menuruti perintah kakaknya.

Dua laki-laki beda usia itu duduk di teras rumah. Anwar tampak canggung tapi bisa mengendalikan diri.

"Terimakasih sudah mengantar pulang adik saya," ucap Angga dengan nada ketusnya.

Anwar hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian Nara membawa nampan dengan dua gelas kopi.

"Silahkan!" Nara mempersilahkan kemudian masuk kembali untuk mengambilkan kaos kemudian diberikannya pada Anwar untuk dipakai supaya tidak masuk angin.

Angga mempersilahkan Anwar untuk meminumnya, kemudian ia menegaknya. Setelah itu Angga mengajukan banyak pertanyaan pada teman adiknya ini.

"Apakah kamu bisa membaca Al-qur'an?" sebuah pertanyaan yang membuat Anwar kaget, ia seperti sedang diseleksi untuk mengikuti audisi.

Anwar mengangguk, kemudian melantunkan QS. Al-qiyamah dengan merdu, bersamaan dengan lelehan air mata Nara yang mendengarnya.

Angga kini tersenyum, pantas saja Nara suka, seleranya mirip dengan kakaknya ini. Ada rasa bangga di hatinya, Nara tidak salah dalam menyukai seseorang tapi ada sedikit rasa takut dihatinya.

"Kamu mengenal Nara sejak kapan?" Nara dari dalam rumah diam diam mendengarkan perbincangan keduanya, ia merasa geram karena kakaknya bertanya sudah seperti wawancara saja.

"Saya lupa sejak kapan kak. Yang saya ingat itu kami bertemu di ekskul seni," jawab Anwar seadanya.

Ah, dia benar-benar melupakan pertemuan pertama itu.

***

Hujan itu masih saja turun, ia menyapa malam. Membuat Nara betah berlama-lama di bawah selimut, dan bukan karena dingin Nara bersembunyi di balik selimut tapi ia tengah asik berkirim pesan dengan seseorang lewat aplikasi chat whatsapp.

"Abang tahu kamu belum tidur."
Sangking asiknya ia tak menyadari Angga sudah ada di kamarnya.

Nara terlonjak kaget dan keluar dari persembunyiannya. Ia melirik jam, sudah pukul 10 malam, pantas abangnya ke sini menyadari lampu kamarnya yang lupa ia matikan.

Nara duduk dan bersila di atas kasurnya, dan mempersilahkan kakaknya itu untuk duduk, dan Angga pun duduk di pojong ranjang.

"Sekarang abang paham, kenapa kamu ikut ekskul. Karena kamu menyukai seseorang?"

Nara menatap lekat kakaknya dan mengangguk.

"Dan kau berasil melukiskan sosoknya di atas canvas penuh warna. kau berhasil masuk ke dunianya, Nara." Angga melirik lukisan di dinding, "tanpa sadar kau terobsesi padanya, lihatlah sudah berapa lukisan yang kau buat dengan alasan dirinya."

Abang tahu semunya. Nara pasrah apa yang akan terjadi berikutnya.

"Sebelum terlalu jauh, jauhi dia, Nara!"

Ponsel Nara berbunyi, sebuah notifikasi masuk, membuat Angga berhenti berbicara.

"Matikan ponselmu!" Nara langsung mematikanny, meski ada rasa tidak setuju dihatinya.

"Jauhi dia, Nara! Karena orang yang kamu sukai menyukaimu juga."

Baru juga merasa dekat, udah disuruh menjauh.

"Melihat kamu memendam perasaan untuknya saja, mampu membuatmu menghabiskan waktu hanya untuk mempelajari orang yang kamu sukai. Bagaimana ceritanya kalau kaliam terus berdekatan, mungkin akan lebih dari itu."

"Sekarang kamu hanya mempelajarinya, tapi besok-besok memberi perhatian bahkan mungkin bisa sampai jalan-jalan. Meski kelihatannya, kamu tidak akan melakukannya karena Abang tahu kamu sangat menjunjung jilbabmu, tidak mungkin akan melakukan hal itu. Tapi orang yang jatuh cinta, ia buta, ia tuli, bisa saja kamu lupa dengan dirimu sendiri."

"Abang mohon jauhi dia, cukup kamu sampai di sini. Karena kamu sudah sejauh ini, membuat dia menyuakaimu juga."

"Ingat tidak ada Aturan Allah yang diturunkan untuk hamba-nya, kecuali untuk kebaikannya. Jauhi zina! Jangan sampai kamu pacaran dan merusak identitasmu sebagai muslimah." Angga rasa cukup dengan presentasinya malam ini, ia beranjak.

"Segeralah tidur, jangan lupa wudhu dan berdoa." Angga keluar kamar setelah mematikan lampu, agar Nara bergegas.

***

Hujan masih senang bermain, sepagi ini dia sudah menyapa bumi. Membuat aktivitas orang-orang terhambat, diantaranya ada yang marah-marah karena akan ada meeting di kantor, ada juga yang bersyukur karena saat hujan adalah waktu yang tepat untuk berdoa, dan Nara adalah salah satu orang yang bersyukur. Nara sudah di sekolah, ia memilih duduk di kantin dan sekarang ia sedang berdoa.

Nara meminta agar mendapat petunjuk dari Allah, atas kegelisahan hatinya. Sungguh ia sangat ingin bisa terus dekat dengan Anwar tapi kakaknya menyuruh ia menjauh dari makhluk-Nya yang bersuara merdu itu.

Nara mengamati halaman sekolah yang sudah di genangi air, pikirannya tenggelam di antara rintik-rintik sampai ia tak sadar seseorang sudah duduk di depannya.

"Ra! Naraaa."

"Iyaah." Nara kaget, ia langsung menutup mulutnya karena suaranya cukup membuat penghuni kantin menatapnya.

"Mikirin apa sih?"

Nara menggeleng, ia sedang tak ingin bertemu dirinya. Dia Anwar, penyebab kegalauan dirinya saat ini. Apakah ini jawaban doa-doanya tadi? Allah hadirkan Anwar disini. Nara gelisah, tangannya berkeringat mendapati Anwar terus mentapnya heran.

"Kakak ngapain di sini?" tanya Nara, berusaha mengalihkan.

Anwar beralih mentap jendela, "Aku hanya ingin memberikan ini untukmu." Ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.

Sebuah gelang? Untuk apa?

"Selamat ulang tahun, Ra. Sekarang kamu sudah 17 tahun." mendapat tatapan bingung dari Nara, Anwar langsung menjelaskan.

Nara bergegas mengecek ponselnya, benar hari ini ia ulang tahun. Dari mana dia tahu hari ini aku ulang tahun? Ahh iya biodata itu, dasar punya akses tak terbatas.

Nara menormalkan wajahnya, kasian orang di depannya khawatir. Nara tersenyum, "Ah, terima kasih kak. Aku yang punya tanggal lahirnya saja lupa."

"Terimalah, Ra." Anwar menyodorkan gelang itu.

Nara mengambilnya. Nara suka dengan gelang sederhana itu, tapi kenapa tulisannya.

"Warna?" tanya Nara, membutuhkan penjelasan.

"Warna adalah Anwar dan Nara," ucapnya datar.

Hati Sudah bersorak, apakah ini maksudnya Anwar menyatakan perasaannya. Ah tidak, ini terlalu cepat. Tanpa sadar Nara menggelengkan kepalannya.

"Kenapa, Ra?" tanya Anwar melihat respon Nara tidak sesuai harapannya.

"Aku hanya kaget, kak. Apakah ini maksudnya, kakak sedang mengungkapkan perasaan padaku?" Nara bertanya dengan hati-hati, sesungguhnya ia ragu untuk mengungkapkan ini tapi rasa penasarannya meronta-ronta.

"Iya, Nara. Aku suka sama kamu." Tatapan Anwar begitu sendu memandang Nara, ia tidak sedang becanda atau berbohong. Nara tidak menemukan kebohongan di matanya.

"Kok bisa kak? Padahal kita kenal baru satu bulan yang lalu," Nara belum bisa percaya begitu saja, ia takut ini april mop, karena ia lahir tepat 1 april.

Anwar menunduk, mengalihkan matanya dari pandangan Nara yang penuh selidik. Sudah ia duga Nara nggak akan percaya.

"Aku menyukaimu sudah lama, Ra. Lebih dari 1 bulan yang kau maksud." Anwar menarik napas, ia butuh pasokan oksigen untuk menjelaskan perasaannya yang sakral.

Nara mendengarkan serius menati kalimat berikutnya, sembari sesekali memperhatikan gelang itu. Gelang yang indah dengan perpaduan warna ungu dan biru. Warna kesukaan kita.

"Jujur aku suka sama kamu sejak...."

KRING

Suara bel berbunyi memotong penjelasan Anwar. Sangking larutnya dalam percakapan, mereka melupakan harus masuk ke kelas.

"Maaf kak, aku duluan." Nara memyambar tasnya, "dan makasih untuk hadiahnya."

Anwar menatap kepergian gadis berjilbab itu dengan sendu. Satu-satunya gadis yang berhasil memikat hatinya, karena memang di sekolahnya hanya sedikit yang berjilbab, padahal mayoritasnya muslim tapi yang berjilbab jadi minoritas.

***

Selama pelajaran Nara tak bisa pokus, ia terus memikirkan peristiwa di kantin dan apa alasan Anwar menyukainya? Ia masih tidak percaya dengan semua ini? Dan gelang yang di pakainya ini, ahh sungguh bermakna.

Apa yang harus ia lakukan? Menerima atau menolaknya? Jika menerima itu sama dengan pacaran, dan jelas Nara malu karena selama ini dia selalu mengingatkan teman-temannya untuk tidak pacaran. Jika menolak, kesempatan tidak datang dua kali. Nara rasanya ingin menghilang saja, karena dalam dirinya sudah terjadi perang dunia ke-3, otak dan hatinya bertengkar keras.

Apakah aku harus meminta solusi pada ka Angga? Itu adalah pilihan yang membunuhnya. Lantas harus bagaimana?

Nara lupa, kenapa ia tak kembalikan semuanya pada Allah, dengan segala aturan terbaiknya? Ia sekarang kini tengah menerima ungkapan cinta Anwar setelah tahu alasannya, mengapa ia suka sama dirinya.

Alasannya adalah, karena Nara menitikan Air mata saat mendengarkan lantunan ayat suci Al-qur'annya.

Sungguh mereka sudah tidak bisa membedakan mana putih mana hitam.
Sudah jelas yang di bahas itu Al-qur'an tapi tindakan mereka pacaran.
Astagfirullah.

"Sebagaimana kamu mengenalkanku pada warna ungu, jika ungu adalah merah dan biru. Dan kamu menyukai biru, biru bangian dari ungu bagian dariku. Maka memilikimu adalah memiliki seluruh warna dihidupku. Jadi, yang kubutuh adalah kamu untuk warnai hidupku." Begitulah kalimat yang membuat Anwar senang, Nara memerimannya.

"Padahal aku suka warna hijau," lirih Anwar hampir tak terdengar.

"Apa kak?"

"Ahh tidak." Anwar salah tingkah, ia merutuki lisannya, hampir saja.

"Itu artinya kamu menerimaku?" tanya Anwar antusias.

Nara mengangguk. Keduanya bertukar senyuman.

***

Semenjak peristiwa Anwar memberikan gelang, kini sudah satu bulan berlalu. Keduanya saling bertukar informasi, bertukar perhatain dan saling menyemangati, seperti sudah sepasang kekasih saja. Ya memang begitu, meski tidak ada tanggal jadian yang dipublikasi, kedekatannya dirahasiakan.

Rabu sore yang cerah, tidak menampakkan akan hujan turun. Nara tengah asik menunggu seseorang yang berjanji akan mengantarnya pulang. Saat tengah asik menunggu seseorang, tiba-tiba ia kaget orang yang seharusnya mengantarkan dirinya pulang, malah mengantarkan orang lain dan yang diantar adalah perempuan tak berjilbab. Bukannya kak Anwar tak suka sama yang tak memakai kerudung?

Nara bagai kepiting rebus, pipinya merah. Ia cemburu, dan langsung mengabadikan Anwar dengan siapapun itu. Ada rasa kecewa dihatinya, ia langsung berjalan menuju halte untuk menunggu angkot.

Saat tiba di halte ia terus memandang langit, berusaha menahan tangis. Tiba-tiba ponselnya berdering. Anwar menelponnya, namun Nara membiarkannya. Tapi ponsel itu terus berbunyi.

"Apa?"

"Kok gitu sih? Kamu dimana? Aku cari di parkiran kok nggak ada?"

"Bohong, orang tadi kamu pergi sama cewek." Nara sedikit terisak.

"Aku nggak bohong, aku baru keluar dari mushola."

Nara mematikannya sepihak.

Anwar yang seolah tahu keberadaannya Nara, tiba-tiba ia sudah di halte.

"Ra, ayo pulang."

Nara diam saja.

Akhirnya Anwar turun dari motornya. "Kamu kenapa sih?"

Nara tak menjawab, ia menunjukkan sebuah gambar. Saat melihat itu Anwar kaget, bagaimana ini?

"Itu bukan aku, mungkin hanya mirip. Lihat motor yang digunakannya saja beda, itu warna biru, sedangkan punyaku warna merah." Anwar berusaha menjelaskan.

"Bisa aja kan kamu ganti motor dulu, baru kesini. Kan kamu kaya  pasti banyak motornya." Anwar mengacak rambutnya frustrasi, ia kehilangan kata-kata.

"Itu orang lain, Ra. Bukan aku."

"Kak aku nggak buta ya." Nara berdiri dari duduknya, "Jelas-jelas ini kakak, lihatlah mirip banget, bahkan bukan mirip tapi sama."

Laki-laki di depan Nara itu pasrah, ia tak dapat berbohong lagi. Lalu ia keluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto. Foto dirinya dan kembarannya.

"Aku punya sodara kembar, dan yang kamu lihat itu kembaran aku?"

Nara kaget, ia baru tahu sekarang bahwa pujaan hatinya itu punya kembaran.

"Kenapa kakak baru kasih tahu aku sekarang? Kakak tidak sedang mengelak kan?" Nara masih tidak percaya, ini terlalu mengejutkan untuknya.

"Aku serius, Ra." Nara tak menangkap kebohongan di matanya, dan ia tahu orang di depannya ini tak suka bercanda apalagi berbohong.

"Terus siapa namanya?"

Ia hanya diam, ragu untuk menjawab.

"Namanya siapa, kak?"

"Itu adalah Anwar, kakakku?"

"Kakak becanda?"

Ia hanya menggeleng

"Lalu kamu siapa?"

Ia menunduk, "Aku Anhar."

"Gak mungkin." Nara menggelengkan kepalanya. Nara menjauhinya, orang yang mengaku sebagai Anhar.

"Gak mungkin. Kamu sedang mengarang cerita, kan?" Nara berusaha untuk meyakinkan dirinya, kenyataan apa ini?

"Aku memang punya kembaran, Nara." ia berusaha meraih tangan Nara, namun di tepisnya. "Tapi aku yang mencintaimu, bukan Anwar."

"Tidak! Hanya Anwar yang menyukaiku."

"Katakan sekarang padaku, bahwa kau Anwar dan yang tadi itu adalah Anhar?"

"Tidak Nara, Aku Anhar yang mencintaimu." Nara masih saja menggelengkan kepalanya, tak percaya.

"Apa maksud ini?" Nara menunjuk gelang yang dipakainya 'Warna'.

"Yang kau temui di ruang seni saat MPLS adalah aku, Anhar bukan Anwar. Aku langsung jatuh cinta padamu saat itu. Beberapa bulan kucari informasi tentang gadis yang menitikan air mata itu, tapi aku tak menemukannya. Sampai akhirnya bukan Februari yang lalu, aku mendapatimu ikut ekskul melukis. Saat itu aku melihat, tatapanmu begitu berbeda pada Anwar. Aku tak rela, orang yang kusuka menyukai saudara kembarku padahal seharusnya aku. Di bilik hatiku yang lain berkata, kamu masuk ekskul seni karena mendengar suaraku tapi kau datang pada orang yang salah.

Jadi waktu itu aku sedang bertukar peran dengan Anwar.

Beberapa hari berlalu, kilatan matamu makin menunjukkan bahwa kamu suka dengannya. Dan aku tidak bisa membiarkan itu. Maka aku mulai mendekatimu dan ya aku bisa dekat denganmu meski menggunakan identitasnya."

"Sulit untuk dipercaya." Nara merasa dibohongi, mereka bersekutu mempermainkannya.

"Maafkan aku, Ra. Saat itu terlalu takut untuk menjelaskan identitasku, karena aku takut kamu menjauh."

"Aku pusing, ini terlalu mendadak."

"Biarkan aku sendiri, dan jangan temui aku lagi. Aku merasa di bohongi." Nara melepaskan gelangnya dan melemparkannya pada Anwar, ah bukan Anhar. Terserah siapa pun itu.

Nara berjalan menjauh, laki-laki itu tak bisa mengejarnya lagi. Sulit dipercaya.

Nara lelah untuk menerka-nerka semua ini, otaknya terlalu capek untuk menemukan jawaban.

Jadi selama ini aku berinteraksi dengan dua orang yang berbeda?

*.'''*.

Nara masih tidak percaya dengan identitas orang yang memberikan gelang untuknya. Ia bukan Anwar yang namanya selalu menghiasi diarynya, tapi kembarannya. Tidak mungkin. Selama ia setahun sekolah, kenapa tidak terdengar ketua seni itu memiliki kembaran. Sangat Aneh.

Kecewa? Tentu saja. Nara seperti sedang jadi mainan si kembar. Butuh waktu untuk mencerna semua ini, otak dan hatinya masih menolak.

Untuk menuntaskan rasa gelisahnya. Nara memutuskan untuk mencari informasi ke teman-teman seni yang senior untuk mencari kebenaran.
Dan ternyata benar, Anwar memiliki kembaran. Nara menangis sejadinya dengan kenyataan itu, siapa yang berinteraksi dengannya selama ini.

***

Mentari begitu cerah, tapi wajah gadis itu tidak secerah mentari. Wajahnya kusut, kelopak matanya hitam. Semalam ia menangis.

"Maafkan aku, Ra!" bujuk laki-laki itu pada gadisnya.

Nara hanya menatap kosong bunga-bunga di hadapannya. Kini mereka sedang di taman. Mengabaikan orang yang mengajaknya bertemu, dan mengklarifikasi semuanya.

"Kenapa waktu itu harus warna, sedangkan kakak bukan Anwar?" akhirnya Nara mengeluarkan pertanyaan.

Laki-laki itu kebingungan, tapi ia tak mau gadisnya marah dan terus menjudge dirinya pembohong. "Karena kamu terlanjur suka sama Anwar dan dia sudah punya pacar, nggak mungkin akan mencintaimu. Dan aku yang mencintaimu ingin kamu bahagia, karena aku ingin selalu dekat denganmu maka aku harus menjadi Anwar."

Nara tertawa sumbang, "lebih baik aku kecewa kak Anwar punya pacar, daripada aku bahagia dengan kebohongan."

Anwar memalingkan wajahnya, Nara benar-benar kecewa.

"Sebagaimana dulu aku bilang, 'memiliki berarti aku memiliki seluruh warna di hidupku. Termasuk warna ungu dan biru. Jadi yang kubutuh adalah kamu untuk mewarnai hidupku.' ah aku tak tahu dulu mengungkapkannya pada siapa." Nara menghapus air matanya, ia berdiri menatap laki-laki yang sedari enggan duduk seperti dirinya.

"Tapi sekarang, warna-warna itu kehilangan pemiliknya, membuat keindahannya tak lagi berguna." Nara menarik napasnya dalam-dalam, ia akan mengakhiri cinta yang entah untuk siapa.

"Rindu melukis kita menjadi warna
Menghiasi cakrawala
Menyatukan kita dalam canvas cinta
Merapikan garis-garis senja
Menenggelamkan kita di sana

Aku tidak tahu siapa yang mengenalkanku pada warna
Aku tidak tahu siapa yang membuatku jatuh cinta
Aku juga tidak tahu kebohongan apalagi yang harus kuterima

Karena yang kutahu warna itu telah sirna."

Baitan puisi tiba-tiba keluar dari mulutnya Nara, sebagai bentuk kekecewaan hatinya.

Dengan berlinang air mata Nara berkata, "terimakasih atas warna yang kau berikan dihidupku. Sekarang warna itu pudar dan aku harus pulang tanpa warna, pucat pasi."

Kata-kata Nara menghujam hatinya, kalimatnya mengisyaratkan cerita mereka telah usai.

Nara beranjak pergi dari taman itu, air matanya tak dapat di bendung. Kenapa ia menangis? Karena ia dikecewakan oleh pujaan hatinya dan entah siapa yang membuatnya jatuh cinta. Kecewa dengan Anwar, Anhar, terserag siapa mereka. Ia menyesal tak mendengarkan kakaknya dulu.

Jadi selama ini aku berinteraksi dengan dua orang dan tidak pernah menyadarinya, dasar bodoh. Ia juga jatuh cinta pada keduanya pada warna indah dan pada suara merdu tiada tara.

Sesungguhnya, siapa pemilik warna indah itu? Dan siapa pemilik suara merdu tiada tara? Nara tidak tahu siapa.

***

Warna sudah usai sampai di sini
Pantaskah ini disebut cerita pendek?

Menurutmu bagaimana, apakah harus di perpanjangan kisah warna ini?

Terimakasih untuk kamu, yang telah meluangkan waktunya untuk membaca. Jangan lupa kritik dan sarannya, ya😘


Follow my sosial media @ani.shalim_


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro