[delapan--a]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Hidup. Hanya itu?" tanya Dodit setelah selesai membaca proposal milik laki-laki yang duduk semeja dengannya. Sebuah judul pameran yang sangat sederhana, untuk karya seni luar biasa milik pelukis dengan nama yang sudah sangat diperhitungkan.

Pijar mengangguk. "Saya lebih suka judul yang simple."

Dodit menggaruk alis. "Biasanya seniman yang pernah bekerja sama dengan saya, akan memakai judul yang njelimet. Karena katanya jadi seniman itu harus serba njelimet. Nggak bikin orang pusing, bukan seniman katanya."
 
Pijar tersenyum. "Kalau menurut saya, menjadi seniman bukan untuk memperumit karya, tapi bagaimana mengungkapkan kerumitan imajinasi yang ada di kepala, tapi bisa ikut dimengerti orang lain."

Dodit terkekeh. Tubuh tambunnya ikut berguncang. "Saya setuju dengan pendapat Anda."

Lelaki pemilik galeri seni itu lalu sedikit menggeser cangkir kopi yang baru setengah diminumnya, dan meletakkan proposal tersebut di atas meja.

"Jadi apa boleh mengadakan pameran lukisan saya di galeri Pak Dodit?" tanya Pijar yang mengundang decak heran lelaki yang tampak berwibawa itu.

"Saya nggak mungkin menolak seorang Pijar Karunanidi. Seharusnya malah saya yang meminta kepada Anda untuk mengisi acara di galeri ini," tukas Dodit. "Saya malah sangat berterima kasih pada Anda karena mau memercayakan karya Anda di galeri kecil saya ini."

Pijar merasa Dodit terlalu merendah, karena siapa pun tahu kalau galeri seni di bilangan Kemang ini termasuk yang paling direkomendasikan bagi para pegiat maupun pelaku seni di Jakarta.

"Untuk bulan Februari tahun depan masih bisa, Pak?" Pijar menanyakannya karena ia tidak ingin menggeser atau mengubah jadwal orang lain.

"Tentu bisa. Kebetulan jadwal di bulan Februari masih belum ada kegiatan pameran," kata Dodit yang kemudian memperkenalkan Pijar pada seorang wanita yang baru saja memasuki ruang meeting.

Wanita berperawakan kurus itu memperkenalkan dirinya sebagai kurator yang akan bertanggung jawab pada pameran lukisan Pijar.

"Saya sangat beruntung kalau bisa bekerja sama dengan pelukis sehebat Pak Pijar." Wanita berkacamata persegi itu benar-benar menunjukkan keantusiasannya pada sosok Pijar. Siska lalu menarik kursi di sebelah Dodit.

"Siska adalah salah satu kurator senior di galeri ini. Kredibilitasnya sebagai kurator, nggak perlu diragukan lagi." Dodit lantas mempersilakan Siska menerangkan lebih lanjut tentang sistem kerja kurator yang berlaku di galerinya.

Sekitar satu jam kemudian, Pijar baru meninggalkan bangunan galeri seni yang bergaya kontemporer itu. Mobilnya perlahan keluar dari pelataran parkir galeri. Membelah kepadatan jalan raya.

Satu per satu urusan yang berhubungan dengan pekerjaan sudah mulai ia lakukan. Kantornya yang baru sedang dalam tahap renovasi besar-besaran, karena dulu merupakan sebuah rumah tinggal yang sudah lama tidak berpenghuni. Ia mengubah dan menambah bagian-bagian ruangan yang akan mendukung kegiatannya. Sebagian lukisan miliknya sudah datang. Namun, sebagian lagi sengaja ia hibahkan untuk galeri seni yang selama ini banyak membantunya di Belanda.

Pameran lukisan kali ini adalah wujud langkah awal Pijar menetap di Indonesia. Perlahan, ia ingin memulai kembali hidup di negeri asalnya. Dan tentunya tidak berjauhan lagi dengan ibu angkatnya. Terlalu egois baginya kalau terus menerus menetap di Belanda.

Saat mobilnya berhenti di lampu merah. Pijar baru ingat untuk menyalakan ponselnya, yang selama meeting tadi memang sengaja dimatikan. Ada beberapa panggilan masuk. Salah satunya dari Suri, tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah nama Tara. Terhitung ada lima panggilan tak terjawab dari remaja itu.

Ada apa, ya?

Pijar menelepon balik Tara, tapi tidak ada jawaban. Ia akan mencoba meneleponnya lagi nanti.

Menjelang sore, Pijar sampai di rumah. Sebuah mobil yang tidak dikenalinya terparkir di halaman. Saat ia keluar dari mobil, Ratmi sudah menunggunya di depan pintu. Raut wajahnya tampak cemas.

"Mas Pijar." Ratmi hendak mengatakan sesuatu.

Kedua alis Pijar terangkat. Heran dengan sikap Ratmi yang tidak biasanya. "Ada apa, Bi?"

"Mbak Praya ada di dalam."

"Terus?"

Namun, Aneta lebih dulu muncul sebelum wanita paruh baya itu akan menjelaskan. Ratmi pun meninggalkan mereka berdua.

"Sudah lama kita nggak bertemu," ucap Aneta yang berjalan menghampiri Pijar. "Apa kabar, Mas?"

Pijar tersenyum pada teman Praya yang juga dikenalnya. "Baik. Kamu apa kabar?"

"Yah, gini-gini aja. Apa, sih, yang berubah? Paling umur yang bertambah terus."

"Berdua aja ke sini sama Praya?" tanya Pijar yang langsung disambut oleh perubahan ekspresi Aneta.

Wanita itu menggeleng. Dan Pijar bisa menangkap sesuatu yang mungkin tidak mengenakkan sudah terjadi.

"Ada apa?" Pijar tak sabar lagi. Firasatnya mengatakan kalau ini pasti berhubungan dengan Praya.

Aneta mengembuskan napas pelan, lalu berkata, "Aku tadi yang antar Praya ke sini, karena aku pikir dia butuh pertolongan untuk memulihkan dirinya sendiri."

"

Maksud kamu?"

"Praya semalam mencoba untuk bunuh diri."

Pijar hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Praya tidak mungkin bisa senekat itu.

"Bagaimana bisa?"

"Semalam dia bertengkar dengan Bagas. Terus, ya ... begitulah ...." Aneta mengedikkan pundak dan berkata pelan, "Praya menyayat nadinya dengan pisau."

Fakta tersebut masih sulit diterima Pijar. Menyayat nadi? Praya bahkan takut melihat darah. Apalagi bisa sampai senekat itu melakukan tindakan menyakiti dirinya sendiri.

"Tapi beruntung, sayatan pisaunya nggak sampai mengenai nadinya," lanjut Aneta.

Pijar menggelengkan kepala. Ia tak terima hal seperti ini bisa terjadi pada wanita yang disayanginya.

"Praya tadinya nggak mau orang lain tahu kondisinya. Tapi aku berusaha bujuk dia agar mau terbuka. Karena aku pikir, dia nggak boleh sendirian melewati masalahnya ini. Praya juga nggak mau anak-anaknya sampai tahu keadaannya yang sekarang. Tapi aku nggak mungkin bisa menutupi ini dari Tara. Anak itu sudah paham dengan masalah bundanya."

"Tara dan Salwa di mana sekarang?"

"Mereka ada di rumah aku."

Pijar sebenarnya ingin bertanya lebih jauh lagi tentang masalah yang dihadapi Praya dengan Bagas. Namun, ia ingin segera melihat kondisi Praya. Ia ingin memastikan dengan matanya sendiri kalau Praya dalam keadaan baik-baik saja.

Pintu kamar di hadapannya tertutup, tapi tadi Aneta bilang kalau ada sang ibu juga yang menemani Praya di dalam. Pelan-pelan, ia membuka pintu itu.

Arini sedang duduk di kursi. Pandangan wanita itu tak lepas dari putrinya yang tengah tertidur. Pijar pun merasa miris melihat perban yang membebat pergelangan tangan Praya. Ia membayangkan kematian yang tinggal sedikit lagi berada di depan Praya, kalau saja pisau itu berhasil mengenai nadinya.

"Bu." Pijar mengusap bahu Arini. Ia bisa melihat jejak air mata di pipi wanita itu. Raut cemas jelas tercetak di wajahnya yang sendu.

Arini melihat Pijar sekilas, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Praya.

"Ibu takut, Jar ...." ucap Arini lirih. "Ibu takut Praya mau bunuh diri lagi ...."

Pijar memaklumi kekhawatiran itu. Ia pun takut kalau Praya akan mengulangi lagi kenekatannya. Hatinya merasa sakit melihat orang-orang yang disayanginya kini terluka.

•••♡•••

Lho, Bagasnya ke mana?

Tadinya mau update kemarin tapi ada beberapa yang kuubah. Jadi baru bisa sekarang ❤❤

Jangan lupa untuk VOTE dan komentarnya, ya
❤❤

Terima kasih sudah membaca cerita ini ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro