Jilid Kelima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sepandai-pandainya perempuan dalam menjaga diri, akan percuma jika pihak laki-laki tidak mampu menjaga pandangannya."

Harastha duduk tepat di samping sang pemilik indekost tempat dirinya tinggal, sedangkan di seberang sana ada seorang perempuan yang di-klaim sebagai keponakan Aminah.

"Salam kenal Harastha, saya Zanitha keponakannya Bi Aminah," tuturnya begitu hangat dengan disertai senyum lebar.

Harastha pun mengangguk dan tersenyum di balik cadarnya.

Aminah mengelus paha Harastha lantas berkata, "Neng Astha ini penghuni baru Rumah Bidadari, bisa bantu dia untuk berpenghasilan, kan, Tha? Neng Astha lulusan pesantren, pasti bisa jadi salah satu pengajar di Rumah Tahfiz Qur'an milik kamu dan Dipta."

"Sebetulnya kalau untuk saat ini Rumah Tahfiz Qur'an belum membutuhkan tenaga pengajar. Tapi, Nitha butuh orang buat bantu-bantu di Rumah Sang Pemimpi. Apa Astha mau?"

"Rumah Sang Pemimpi?"

Zanitha mengangguk singkat. "Rumah Sang Pemimpi itu semacam galery foto yang dibuka untuk umum, di sana pun terdapat studio foto yang bisa diakses oleh setiap pengunjung. Ada pula perpustakaan mini yang memuat buku serta novel karya Tante dan teman-teman penulis yang bernaung dalam percetakan sama yang kebetulan dikelola oleh pihak keluarga suami Tante."

"Baru-baru ini kami memperluas usaha tersebut dengan menyediakan jasa layanan foto profesional untuk event-event tertentu, semisal untuk acara wedding, post wedding, dan lain sebagainya. Kebetulan kami sedang mencari orang yang sekiranya tahu soal fotografi, atau setidaknya tahu basic-basic tentang kamera. Nggak perlu yang berpengalaman, asalkan dia tekun dan mau belajar."

Harastha termenung beberapa saat, dia melihat ke arah Aminah yang seakan memberinya lampu hijau serta dukungan semangat.

"Saat di pesantren saya pernah menjadi bagian dari ekstrakurikuler jurnalistik, sedikit banyak saya tahu tentang fotografi. Saya tidak bisa menjanjikan hasilnya bagus, tapi saya akan mengusahakan yang terbaik jika memang Ibu memberikan kesempatan itu untuk saya," sahut Harastha kemudian.

Zanitha terkekeh kecil. "Jangan panggil Ibu, saya bukan istri pejabat. Cukup panggil Tante aja ya, Astha."

Harastha pun mengangguk patuh.

"Kalau memang kamu bersedia, mari ikut saya berkeliling Rumah Sang Pemimpi. Saya akan menjelaskannya lebih detail," ajak Zanitha.

"Baik, Tante."

"Tha, Bibi titip Neng Astha ya. Bibi nggak bisa ikut kalian, masih banyak yang harus Bibi kerjakan. Neng Astha masih ingat jalan pulang, kan?"

Harastha meringis kecil tapi akhirnya mengangguk pelan. "Insyaallah, Bu."

"Bibi nggak usah khawatir nanti Nitha yang akan antarkan Astha pulang," ujar Zanitha.

Aminah pun bangkit dari duduknya, dia menghampiri Zanitha lantas berkata, "Emang Dipta tuh nggak salah pilih istri, beruntungnya Bibi bisa punya ponakan yang baik banget kayak kamu."

Zanitha menyalami punggung tangan Aminah. "Bibi ini suka berlebihan ah. Pokoknya Bibi yang jongjon, insyaallah Astha aman di tangan Nitha."

Aminah pun berpamitan pulang setelah mengucapkan salam. Sedangkan Harastha dan Zanitha berjalan berdampingan menuju Rumah Sang Pemimpi yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Zanitha.

"Astha asal mana?" tanyanya sepanjang jalan.

"Tasikmalaya, Tante."

"Masyaallah, jauh juga ya. Sengaja merantau ke sini?"

Harastha hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Sedikit Tante jelaskan ya, Rumah Sang Pemimpi lebih dulu ada, ketimbang Rumah Tahfiz Qur'an yang baru Tante bangun setelah menikah. Keduanya sengaja dibangun di lahan yang sama, agar memudahkan kami dalam memantaunya."

Harastha hanya manggut-manggut paham.

"Dulu Tante dan suami sempat berencana untuk mengembangkan Rumah Tahfiz Qur'an menjadi sebuah pesantren. Namun, rencana itu nggak bisa kami realisasikan karena keterbatasan lahan. Alhasil yang saat ini benar-benar berdiri ya hanya Rumah Sang Pemimpi dan Rumah Tahfiz Qur'an saja."

Harastha pun tersenyum di balik cadarnya.

"Astha hebat ya bisa mengambil langkah untuk tinggal jauh dari orang tua. Apa nggak susah dapat izinnya?"

Harastha sedikit meringis kecil. "Bukan hebat, hanya modal nekat."

Zanitha pun terkekeh kecil. "Anak pertama pasti ini, sangat mandiri dan pemberani. Pandai menjaga diri juga, masyaallah kagum Tante lihat ada anak muda yang istiqamah dengan niqabnya. Tante mah belum bisa kayak Astha."

"Astha masih dalam tahap belajar kok, Tante. Nggak se-istiqomah yang Tante kira."

Zanitha merangkul lembut bahu Harastha. "Kalau Tante punya anak cowok, sudah Tante jadiin mantu pasti Astha ini."

Harastha dibuat terbatuk-batuk mendengar penuturan Zanitha. Sedangkan sang lawan bicara justru terkekeh tanpa dosa.

"Mata Astha itu mengingatkan Tante sama seseorang, mirip banget. Teduh juga lihatnya, berasa sudah kenal lama. Padahal kita baru kenal, kan ya?" sambungnya.

"Mirip siapa memangnya, Tan?"

"Almarhumah ponakan Tante. Sudah ah nggak usah dibahas lagi, sedihnya masih kerasa kalau nggak sengaja keinget dia."

"Maafin Astha ya, malah mengorek luka masa lalu. Ya udah deh nanti kalau Astha mau ketemu Tante, Astha pakai burqa," katanya terlihat tidak enak.

"Nggak usah ih, mata kamu itu cantik. Jangan ditutupi lagi, nanti susah dikenali. Berniqab seperti ini juga sudah lebih dari cukup."

"Secantik apa mata Astha menurut Tante? Apa bisa menimbulkan fitnah jika Astha tidak menutupnya?"

Zanitha merasa gemas dengan pemudi di sampingnya ini, dia merangkul hangat Harastha lantas berucap, "Insyaallah nggak akan, Astha sudah berpenampilan setertutup ini masa iya masih mengundang fitnah. Kalau pun memang ada, yang salah bukan Astha, melainkan orang yang memandang Astha dengan syahwat berlebih."

"Kok Tante baik banget sih sama Astha? Padahal kita baru kenal lho, apa Tante nggak memiliki pandangan buruk pada Astha? Karena orang-orang masih sangat tabu dengan perempuan bercadar. Memangnya Tante nggak takut sama Astha?"

Zanitha malah tertawa dibuatnya. "Apa yang Astha pakai merupakan sunnah yang dianjurkan. Kenapa juga Tante takut dan berpandangan buruk. Tak dapat dipungkiri memang di negara kita ini, wanita bercadar kerap kali dipandang tidak baik, tapi itu karena ada 'oknum' yang mencorengnya."

Dengan lembut Zanitha mengelus wajah Harastha yang tertutup niqab. "Ini adalah kain suci, hanya orang-orang terpilih yang Allah perkenankan untuk memakainya. Nggak usah takut dan pedulikan omongan orang, mereka nggak tahu apa pun tentang Astha."

Harastha merasa terenyuh seketika. "Boleh Astha peluk Tante?"

Zanitha melebarkan kedua tangannya tanpa ragu. "Astha bisa menganggap Tante seperti ibu kandung Astha sendiri, kalau memang Astha sedang merindukan sosoknya."

"Terima kasih banyak, Tante."

Zanitha mengangguk tanpa ragu, dia lepas rengkuhannya lalu kembali berkata, "Nanti kalau ada waktu dan kesempatan Tante ingin bertemu dengan wanita hebat yang sudah melahirkan Astha. Tante harus belajar banyak dari beliau karena sudah berhasil mendidik putrinya dengan begitu baik."

"Astha pun menginginkan hal yang sama sebagaimana Tante," lirihnya.

"Maksud Astha apa?"

Harastha menggeleng kecil, dan berusaha untuk tidak menjatuhkan air mata. "Nanti Astha kenalkan Tante Zanitha sama Umi yang masyaallah sangat berperan besar dalam mendidik Astha."

"Aamiin, insyaallah ya."

Padalarang, 26 Mei 2024

Kira-kira bagaimana ya pertemuan antara Harastha dengan orang tuanya nanti? 🤔 ... Penasaran nggak sih?

Adakah yang mengingat siapa itu Dipta dan Zanitha? 🤭

Mau digaskennn ke Jilid Keenam nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro