10 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Benak Eric sepertinya sedang salto, kayang, sampai lompat indah saat mantan terindah di sampingnya ini tengah memberikan satu tablet obat lambung dan botol mineral berukuran kecil yang sengaja disimpan di laci mobil. Untuk beberapa saat tadi, Eric bertanya-tanya apakah Sherly memiliki gangguan asam lambung sehingga selalu menyetok obat tersebut. Seingat lelaki berseragam kejaksaan itu, Sherly bukan tipikal orang yang tidak akan melewatkan jam makan sesibuk apa pun dirinya. Karena makan adalah sumber energi penting terutama saat marah.

Eric mengunyah tablet kehijauan rasa mint lalu menenggak air mineral sesuai perintah Sherly. Ekor matanya melirik sejenak mengamati banyak perubahan yang terjadi pada gadis yang dulu digilainya itu. Mulai dari penampilan fisik yang bakal membuat pria mana pun terpana, mulutnya yang pandai membalas sindiran, hingga cara pandang yang tak ditemukan Eric seperti lima tahun lalu. Lelaki itu menelengkan kepala dan berkata,

"Gue kangen Sherly yang dulu."

Kontan Sherly yang memberesi kembali stok obat dalam mobilnya mendadak mematung. Sebisa mungkin dia tidak berpaling untuk mencari keseriusan di mata Eric walau dari nada bicaranya terdengar sungguh-sungguh. Sial, getaran di dadanya kini makin lama makin bergemuruh bagai ombak yang siap menghancurkan karang. Sherly mengambil botol mineral lalu meneguk cepat sampai tetes terakhir agar otaknya kembali pada kenyataan kalau mereka tidak bisa bersatu apa pun yang terjadi.

Atmosfer di mobil kesayangannya mendadak terasa begitu panas padahal dia tidak menutup pintu mobil. Inilah efek dari terlalu lama melakukan kontak fisik dengan Eric. Selalu ada hal di masa lalu yang lelaki itu gali untuk bisa memicu sebuah retakan di dinding pertahanan Sherly. Bahkan kini tangan Eric membelai untaian rambut panjang Sherly sambil tersenyum manis. Sentuhan seperti itu saja sudah membuat seluruh sel sarafnya lumpuh bersamaan jikalau Sherly tidak berpegangan pada setir mobil sudah dipastikan dirinya akan meleleh.

Gelombang perasaan langsung bergerombol dalam perut Sherly, membumbung tinggi dan mendesak keluar membentuk garis pelangi tak kasat mata. Akibatnya Sherly diserang sesak napas, lantas keluar dari mobil untuk menghirup sebanyak mungkin oksigen di sekitar. Apakah waktu lima tahun menghilang tak lantas membuatnya kuat menghadapi daya pikat Eric? Bukankah sejak bertemu di awal persidangan, Sherly mengibarkan bendera perang untuk menyatakan kalau dia membenci setengah mampus lelaki itu. Apakah perkataan sarkasme darinya tidak bisa menyingkirkan sosok Eric?

"Kenapa lo?" tanya Eric keluar dari mobil dan menutup pintunya.

"Sesak napas gue deket sama lo," jawab Sherly mengibaskan sebelah tangannya. "Kalau lo udah baikan, gue pulang. Ada urusan di kantor."

"Lo bilang mau anterin gue ke dokter," ujar Eric mengulur waktu agar bisa berbincang dengan mantannya yang tampak salah tingkah. "Lo sesak napas beneran apa grogi deket gue?" Eric mengerlingkan mata sambil terkekeh.

"Lo beneran sakit apa pura-pura deketin gue?" sambar Sherly menangkap gelagat Eric yang mencurigakan. Wajahnya sudah tidak seberapa pucat seperti layaknya orang terkena maag.

"Keduanya. Ah, yang kedua gue enggak pura-pura." Eric berjalan mendekat, Sherly malah bergerak mundur seolah mereka berdua adalah dua kutub sama yang tidak bisa bertemu.

"Sudah berapa banyak cewek yang lo rayu sampai lihai banget jadi buaya?"

"Berapa banyak cowok yang sudah lo ghosting?" Eric berhasil membalikkan pertanyaan. Kesehariannya sebagai jaksa yang biasa melakukan tugas penyidikan menjadikan Eric begitu lihai menyudutkan lawan. Lihat sekarang, muka Sherly memerah menahan geram seakan ingin menelan bulat-bulat Eric.

"Lo mau adu mekanik sama gue?" Sherly malah menantang tahu kalau Eric juga si tukang ghosting. Mana mungkin lima tahun ini dia masih betah melajang sementara pria di luaran sana suka menjelajahi wanita. Sedangkan beberapa waktu lalu, Eric juga menggandeng perempuan bernama Amel. Sherly mengernyitkan alis, kenapa pula dia mesti terbakar cemburu dengan perempuan yang dibawa Eric?

"Enggak," jawab Eric. "Gue cuma pengen tahu sejauh mana lo nutupi rahasia yang disembunyikan dari gue."

"Lalu? Lo berharap gue balik sama lo lagi?" Sherly menggeleng. "Jangan menaruh ekspektasi tinggi. Gue udah enggak ada rasa."

Sherly hendak pergi namun lengannya ditahan Eric. "Kalau lo enggak ada rasa, boleh dong gue ngajak nongkrong sekarang? Anggap sebagai reunian."

"Gue enggak bisa," tolak Sherly.

"Berarti lo masih suka sama gue," tandas Eric makin memojokkan Sherly. "Semakin lo menghindar, semakin gue yakin lo masih suka sama gue."

"Jangan kepedean," ejek Sherly mulai jengkel dengan kegigihan Eric yang benar-benar tidak tahu malu.

"Selama gue masih hidup, gue selalu pede," ungkap Eric melempar senyum lebar.

###

Di sinilah Sherly, duduk berhadapan dengan si kepala batu di sebuah restoran Italia di rooftop hotel di daerah Gatot Subroto yang menyajikan panorama kota Jakarta. Gedung-gedung tinggi yang angkuh seperti dirinya tampak gagah dengan latar belakang cahaya senja serta semilir angin yang menggoyangkan anak rambut panjang Sherly. Dia berpaling, menyapu pandangan di mana tak banyak pengunjung yang datang. Kalau pun ada, hanya mereka yang memiliki dompet tebal yang bisa makan dan minum di sini termasuk Eric, si anak mami.

Meski yakin berada di sini menguras kantong, tapi interior elegan, fancy yang memberikan kesan mahal serta pelayanan mereka patut diacungi jempol. Ketika pelayan berwajah bulat dengan lesung pipi datang membawa pesanan Sherly dan Eric, dia menjelaskan detail isi piring yang sesungguhnya bagi Sherly tidaklah penting. Sepotong daging salmon yang dipanggang dan diberi saus lemon serta asparagus yang dipesan Eric, sementara Sherly memesan tenderloin steak dipadu saus lada hitam serta potongan kentang. Tak afdol jika kedua main course itu tidak dikombinasikan dengan segelas wine.

Mahal? Sepertinya tidak dibandingkan dengan waktu Sherly yang harus terbuang sia-sia demi mengiyakan permintaan konyol Eric. Lagi pula lelaki sok tampan yang memiliki kepercayaan diri setinggi langit ke tujuh ini adalah anak orang sialan kaya yang hartanya tak akan habis tujuh turunan nanti.

Tangan kanan Eric terulur tuk mengambil piring milik Sherly sebelum gadis itu sempat menyentuhnya. Dengan cekatan, tangan yang memegang garpu dan pisau itu memotong daging tenderloin sambil sesekali melempar tatapan dari balik bulu matanya. Sudut bibir mungil Eric terangkat lalu berkata, "Selagi gue baik, lo mesti baik-baik juga sama gue. Nih!"

"Enggak perlu repot-repot kalau lo cuma nyari kesempatan buat narik perhatian," tukas Sherly menerima piringnya lagi. "Enggak bakal ngaruh juga sama gue."

"Jadi ..." Eric mengiris salmonnya yang terasa empuk ketika dipotong, mencomot dengan garpu lalu membawanya masuk ke dalam mulut. Seketika daging ikan mahal itu pecah di lidah berbarengan bumbu-bumbu rahasia yang digunakan oleh koki. Saus lemonnya tidak terlalu asam pun tidak terlalu encer di mulut, pas dibarengi asparagus yang renyah.

Dalam hal makanan, Eric memang agak pemilih terutama aroma ikan yang sensitif di hidung lancipnya. Walau di restoran mahal, kadang olahan mereka masih meninggalkan bau amis yang membuat mood makan Eric langsung drop. Oleh karena itu, pihak katering langganan Eric pun mau tak mau juga selektif dan hati-hati menyajikan makanan untuk pelanggannya.

"Gimana kerjaan lo di kantor? Lo enggak naksir sama temen-temen lo di sana kan?"

Sherly memutar bola mata, jika steak yang dilahapnya ini tidak enak, pasti dari tadi dirinya melempar satu piring ke wajah Eric yang dinilai terlalu ikut campur dalam urusan pribadi. Dia sudah melewati batas yang digarisi Sherly semenjak menyetujui ajakan mantannya ini. Kalau terus dibiarkan bisa jadi Eric akan menduduki hatinya yang sudah tertutup rapat.

"Kenapa harus gue taksir kalau mereka cuma modal omongan doang?" Jemari kanan Sherly melingkari kaki gelas wine lalu menenggak sedikit minuman itu. "Lo sendiri?"

"Sama." Eric menundukkan pandangan, tersenyum nanar membuat luka lamanya setelah ditinggal Sherly di masa lalu.

Harusnya setelah kelulusan menjadi sarjana hukum, mereka akan pergi ke Bali untuk liburan setelah dipusingkan oleh skripsi dan teror dosen pembimbing. Nyatanya, Sherly mematahkan rencana besar Eric yang sudah matang. Gadis di depannya ini tiba-tiba mengatakan ingin berpisah tanpa menjelaskan alasan yang logis lalu menghilang tanpa jejak.

Siapa yang tidak frustrasi mendapati kenyataan pahit seperti itu? Eric merasa tidak pernah berselisih paham dengan Sherly. Hubungan empat tahun yang mereka jalani semasa kuliah juga berjalan lancar semulus paha perawan. Selain itu, tidak ada seorang pun yang tahu tentang ke mana perginya Sherly termasuk ibunya yang memilih tak ikut campur atas permasalahan anaknya. Akibatnya, Eric menaruh kekesalan kepada semua perempuan dan melampiaskannya agar mereka bisa merasakan apa yang dirasakan lelaki berjambul ayam itu.

"Lalu?" Sherly mulai gugup dengan isi pikiran Eric bahwa masih ada percikan gairah yang belum padam di antara mereka. Tatapan Eric tertuju padanya, meniti begitu detail seakan tidak ingin melewatkan satu hal kecil dari wajah oval milik Sherly. Dia salah tingkah, berpaling ke arah cakrawala berharap angin yang berhembus ini sedikit kencang untuk membaurkan debaran dadanya agar tidak didengar oleh telinga Eric. Dentuman yang merambat di aliran darah Sherly begitu cepat sampai-sampai jantungnya merasa terlalu bekerja cepat. Tulang belakangnya mendadak lemas kala serangan masa lalu menyerangnya tanpa ampun.

Seperti medan magnet yang memiliki kekuatan yang sangat besar, Eric beranjak dan menarik tangan Sherly keluar restoran setelah membayar bill. Napasnya memburu berlomba-lomba bersama jantung yang bertalu-talu tak sabar meluapkan segala hasrat yang sudah terpendam selama bertahun-tahun. Seperti terhipnotis, Sherly menurut begitu saja bagai anak ayam yang tidak ingin kehilangan induk. Bedanya, rasa yang membelenggunya sekarang didominasi gelora membara sampai dadanya terasa sakit.

Eric membuka pintu darurat di lantai 19, mendorong tubuh Sherly ke dinding dan membungkam bibir sensual itu dengan bibirnya. Mencecap dan memagut penuh damba, mencari celah kalau masih ada cinta di hati Sherly sementara gadis itu tak menolak ciuman panasnya. Eric menunduk, menyusuri lekuk leher jenjang Sherly menghirup dalam-dalam aroma manis buah dari parfum mahal yang selalu digunakannya lalu meninggalkan jejak-jejak di sana untuk menandai bahwa dia adalah miliknya.

Pikiran Sherly sudah kalang kabut menerima perlakuan Eric yang benar-benar membuatnya kewalahan. Dia mendongakkan kepala, memberi akses untuk lelaki itu menikmati sebagian kecil tubuhnya sementara kedua tangan Sherly meremas lengan Eric agar tidak jatuh. Tungkainya sudah tak bertulang lagi, pesona Eric memang tidak bisa dia abaikan begitu saja apalagi dulu mereka sama-sama bermain api di malam-malam yang dingin sambil memuja kisah cinta.

Erangan pelan terdengar, Eric menang atas luluhnya si gadis kepala batu. Ditangkup wajah yang merah padam itu dengan kedua tangan seraya berbisik, "Gue ingin bersama lo saat ini juga dan enggak peduli kesalahan yang dulu pernah gue buat, Sher."

Otak yang bisanya mampu diajak berdebat itu kini hanya mengangguk pasrah menerima ajakan Eric untuk kembali memantik api di antara mereka. Eric kembali menarik lengan Sherly menuruni anak tangga sambil sesekali bercumbu tak sabar untuk sampai ke dalam kenikmatan dunia yang menghilangkan kewarasan mereka. Hanya tersisa rindu yang makin membuncah mengulangi kisah cinta yang kini mulai menyala.

"Fuck! Sherly!" pekik suara bariton membuyarkan ciuman panas sejoli itu.

Sherly membeliak melihat teman sekantornya memergoki aksi mesum Sherly dan Eric di tangga darurat. Lantas Sherly berseru, "Benedict! Ah, sialan lo tukang celup!"

Jangan lupa mampir ke cerita Benedict si tukang celup di Swinger Club. Kalian bisa baca di akun kak BelladonnaTossici9 💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro