22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Iya, waktu itu Pak Gatot yang menyuruh saya untuk membuat surat untuk ikut acara pelelangan barang di rumah sakit Sejahtera untuk diserahkan ke Pak Eko Sahandi sebagai kuasa direktur di sini," terang seorang lelaki berkacamata silinder bernama Tedi yang merupakan manajer keuangan perusahaan yang dibawahi Gatot Prasaja. "Tapi, surat itu hanya sebatas permintaan penawaran harga kepada distributor kami yaitu PT. Indonesia Sehat. Mereka juga memberikan dukungan buat perusahaan kami agar ikut pelelangan."

"Apa itu melalui surat tertulis perintahnya atau lisan?" tanya Sherly sementara Sandra mencatat poin penting dari informasi penting itu. 

Tedi menggeleng. "Tidak. Pak Gatot menghubungi saya melalui telepon saat memberi perintah."

"Baik, kalau misalnya Pak Tedi dipanggil kejaksaan untuk bersaksi apa mau?" tanya Sherly. "Karena dari apa yang saya tangkap, keterangan Bapak sangat berarti di persidangan."

"Tapi ..." Tedi terlihat sedikit ketakutan karena bagaimana pun juga pelakunya adalah atasan sendiri sementara dia hanyalah bawahan yang bisa saja dipecat jikalau memberikan keterangan. Di sisi lain, dia juga ingin membantu para penegak keadilan ini agar persidangan yang melibatkan petinggi perusahaan segera diputuskan. 

"Ada perlindungan bagi saksi, Bapak enggak usah takut," sahut Sandra dengan senyum menguatkan. "Kami bekerja sama dengan LPSK, Pak, jadi jangan khawatir."

Lelaki itu mengiyakan seraya berharap kalau apa yang dikatakan Sandra adalah benar. Dia tidak ingin menjadi orang-orang yang tiba-tiba dilenyapkan saat akan bersaksi. Terlalu banyak drama dan kebenaran yang ditutupi oleh mereka yang berbuat dosa. Tedi memang bukan manusia suci tapi mengambil keuntungan untuk diri sendiri adalah hal yang tidak bisa dimaafkan oleh siapa pun. 

Lantas, pertemuan itu berakhir dengan jabatan formal ketika Sherly akan membantu Tedi mengajukan permintaan perlindungan di LPSK. Sherly dan Sandra bergegas pergi setelah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk persidangan yang entah kapan dilaksanakan. Kasus besar seperti ini membutuhkan waktu yang benar-benar lama belum lagi harus mengetik laporan berlembar-lembar mirip skripsi. Sandra menguap lebar begitu juga Sherly yang dilanda rasa lelah yang teramat sangat. 

Jika seperti ini dia merindukan kehidupan malam yang biasanya rutin dilakukan. Seakan mendapat ide, Sherly merangkul pundak Sandra dan berkata, "Kita ke kelab yuk!"

Sandra menganga lebar. "Lu gila apa, Sher. Gue capek mana lo tadi kebut-kebutan bikin gue mual sampai sekarang. Nih!" tunjuknya pada bibir keringnya. "Lo enggak liat bibir gue udah kering kerontang butuh istirahat?"

"Halah ... butuh istirahat apa butuh kecupan? Lo bisa nginep di rumah gue, manja banget lo jadi cewek!" ejek Sherly seraya menarik lengan Sandra menuju sebuah kelab membuat temannya itu menjerit tak rela. 

###

Gelas-gelas martini itu berdenting di bawah gemerlap lampu-lampu yang menerangi area kelab diiringi musik yang memekakkan telinga. Sherly menyesap koktail yang langsung mengembalikan mood-nya yang cukup buruk. Tak luput pula dia mengibaskan rambut yang sengaja diikat tinggi-tinggi untuk menonjolkan lekukan leher jenjangnya juga pulasan gincu merah menyala. Sherly mengedarkan pandangan sekadar memancing buaya mana yang akan terjerembap masuk ke dalam jebakan sang pengacara. 

Tak sengaja, Sherly menangkap satu laki-laki dengan kemeja Hawaii mencolok dengan perawakan mirip Nicholas Saputra sedang duduk tak jauh. Dari pandangan matanya saja, Sherly sudah tahu kalau lelaki berambut ikal itu tertarik padanya. Umpan yang sudah tersebar ini akhirnya mendapat satu mangsa, Sherly melambaikan tangan kanan mengisyaratkan lelaki itu untuk bergabung dengannya sementara Sandra meneguk koktail seraya terkantuk-kantuk. 

Sherly menyikut Sandra dan membisiki kalau lelaki fotokopi si Rangga AADC mendekat sambil melempar senyum menggoda. Dasar dua perempuan itu seperti memiliki kontak batin, Sandra yang awalnya mengantuk berat mendadak melek melihat penampilan lelaki yang kini menyapa dua betina pengejar cinta sambil mengulurkan tangan. 

"Nico," ucap lelaki itu memperkenalkan diri. 

"Sandra Angelica!" Sandra menyambar tangan Nico sambil tersenyum malu-malu membuat Sherly ingin membenturkan kepalanya ke tembok. Tahu kalau temannya ngambek, Sandra yang perawakannya lebih kecil dari Sherly hanya bisa mengedip-ngedipkan mata bulatnya. 

"Sherly," ucap Sherly. "Sendirian aja?"

"Iya nih, suntuk kalau di rumah terus," kata Nico sambil terkekeh. "Dari penampilan kalian, kayaknya anak kantoran nih."

"Pegawai bank," jawab Sherly bohong. "Maklumlah, mabuk ngitung duit seharian."

"Kalau dimabuk cinta enggak kok," timpal Sandra hafal dengan isi otak Sherly. Kalau lidah gadis itu sudah luwes menyamarkan pekerjaan mereka, artinya Sherly memang tidak ingin menonjolkan diri sebagai pengacara apalagi setelah kejadian diikuti orang tak dikenal. Sandra mengirimkan sinyal melalui pancaran wajah kalau buaya di depan mereka ini tidak boleh lepas. "Duduk dulu, Nic, lo kayak mau nagih utang sama kita," sambungnya lagi menunjuk kursi bar di samping kirinya. 

Nico menuruti permintaan Sandra lalu memesan minuman koktail lain kepada bartender kemudian berpaling dan berkata, "Sandra mau minum lagi? Sherly?"

"Enggak, gue nanti nyetir," tolak Sherly. "Sandra aja tuh, dia mau mabuk sama elo."

"Sherly kampret ..." umpat Sandra pelan dengan wajah memerah. 

Sherly merasakan ponselnya bergetar dan seketika mendengus kesal melihat kontak Eric lagi-lagi muncul. Padahal dia sudah bahagia kalau Eric akhirnya menjauh dengan sendirinya. Namun, angan itu sepertinya tidak berlangsung lama. Mau tak mau Sherly menjawab panggilan itu sambil mengumpat, "Apa! Lo enggak enakin gue clubbing!"

"Kelab mana lo? Gue samperin!"

"Mau ngapain lagi? Lo enggak capek apa ngejar gue, Ric? Gue aja capek lari dari lo," teriak Sherly mengabaikan pandangan Nico yang penasaran dengan percakapan si gadis cantik. "Udah ya gue sibuk!" Sherly memutuskan sambungan telepon dengan rasa dongkol kemudian menenggak koktailnya sampai habis.

"Abaikan dia, lagi ada masalah sama mantan," bisik Sandra kepada Nico. 

"Ah, I see ... kalau lo? Ada mantan apa enggak?" tanya Nico menggoda Sandra.

"Lo mau modusin gue?" Sandra terkikik lalu menyesap minuman. 

"Kenapa enggak?" Nico masih melirik Sherly dengan tatapan penuh arti. "Lo mau ke sana?" ajaknya sambil menunjuk ke arah dance floor. 

"Boleh," jawab Sandra. "Sher, lo mau joget enggak?"

Sherly menggeleng. "Lo aja deh. Gue tunggu di sini."

Sandra dan Nico pun berjalan ke arah lantai dansa bergerak bebas mengikuti irama disk jockey sementara Sherly memesan kembali koktail kepada bartender. Dia tidak habis pikir dengan kelakuan Eric yang kembali mengusiknya seakan Sherly adalah manusia yang mudah dipermainkan setelah dibuat mabuk kepayang oleh malam-malam penuh gairah itu. 

Sialnya, seramai apa pun tempat yang dipijak Sherly, selalu terbayang wajah Eric dan makin bertambah setelah lelaki itu menerornya. Sherly menggeleng pelan, mungkinkah efek koktail yang diminum atau efek betapa kosong hatinya sekalipun sudah banyak laki-laki yang mencoba singgah di sana. Gadis itu menopang kepala dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya bermain di bibir gelas. 

Gelisah, akhirnya Sherly berbalik melihat Sandra dan Nico masih asyik menggoyangkan badan melepaskan penat di bawah sorot lampu laser kebiruan. Detik berikutnya, di antara puluhan orang yang bergabung di sana, mata Sherly malah tertuju pada satu sosok yang berdiri tak jauh darinya. Entah ini halusinasinya atau bukan, orang di sana yang tidak jelas penampilannya itu tampak mengawasi seolah Sherly adalah sesuatu yang tidak boleh dilewatkan. 

Ponselnya bergetar menampilkan nomor rahasia kembali. Debaran jantung Sherly langsung berpacu cepat, iris matanya mengedar ke sekitar dan orang yang melihatnya tadi sudah tidak ada. Gemetaran, Sherly menekan ikon hijau dan merekam panggilan itu ketika mendengar suara berat yang diingatnya sebagai penelepon asing. 

"Lo pikir bisa menghindar? Mundur dari pekerjaan lo atau--"

"Atau apa? Lo mau bunuh gue?" tantang Sherly memotong pembicaraan si penelepon. "Mau lo apa sih? Enggak jelas!"

"Mundur dan menghilang dari Jakarta," pintanya tegas. 

"Lo mau bayar hidup gue pakai suruh menghilang? Siapa yang memperkerjakan lo? Eveline? Gatot Prasaja? Dibayar berapa lo sampai mau dipakai mereka?"

 Dan lagi-lagi panggilan itu terputus membuat Sherly makin yakin kalau pelakunya di antara mereka berdua. Jikalau memang benar, maka hanya dua pilihan ; menghilang seperti dulu atau menghadapi dengan banyak risiko. Sherly berpikir keras lantas cukup lama sebelum memantapkan diri memilih opsi kedua. Masalah yang dihadapinya sekarang tidak hanya masalah pidana melainkan dendam pribadi yang bisa saja menghancurkan karier atau keluarganya.

"Kalau itu permainan lo, bakal gue ladenin," desis Sherly dengan pandangan mata berkilat. 

***

Buat nemenin malam takbiran kalian. Selamat hari Raya idul Fitri ya gaes, mohon maaf lahir batin kalau ada salah kata yaaa~

Yang mudik hati-hati di jalan, semoga selamat sampai di tujuan. Yang nggak mudik, yuk tos dulu 😂🤣🤣🤣

Mau update lagi nggak? Wkwkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro