43

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bisakah Tuhan memberinya kekuatan tuk memutar ulang waktu? Bisakah dia diberi kesempatan untuk berkata maaf walau hanya satu menit saja? Atau ... bisakah dia kembali mendekap tubuh hangat yang sudah merawatnya sejak dalam kandungan? Dan ... bisakah dia menuruti permintaan terakhirnya untuk berlibur bersama sebagai layaknya ibu dan anak?

Bisakah?

Awan berarak ke utara membawa gumpalan-gumpalan kesedihan serta berbagai penyesalan yang dipendam Sherly seorang diri. Isi kepalanya bergemuruh atas ucapan belasungkawa juga doa-doa agar jiwa sang ibu bisa tenang di surga tapi juga dipenuhi oleh bisikan-bisikan dewi batinnya. Dia berkata bahwa Sherly layak kehilangan karena naif dan egois akibat enggan memberi maaf atas kesalahan yang diperbuat oleh Sarah. Di sisi lain, gadis itu tengah meringkuk di sudut ruang gelap, menangisi kenapa harus berpisah seperti ini di saat keluarganya nyari utuh seperti itu. Dia, Sarah, dan kakanya. 

Bak bongkahan batu kata tertahan di kerongkongan, menyumbat aliran napas Sherly sampai-sampai gadis itu dibuat sesak. Dia mencoba bernapas sebanyak mungkin seraya menahan diri untuk tidak pingsan kesekian kalinya. Walau beberapa kali, tungkai Sherly dibuat lemas atas musibah yang menimpa secara tiba-tiba. 

Derai air mata masih saja membasahi pipi hingga matanya membengkak dan pedih, tapi sampai menangis darah pun tak akan bisa menghidupkan lagi tubuh kaku yang terbaring dalam kedamaian dan keabadian. Angin berhembus sepoi-sepoi, menggoyangkan sebentar bunga-bunga Kamboja lantas berjatuhan ke tanah pemakaman seakan memberi jalan untuk jiwa Sarah berpulang kepada Yang Maha Kuasa. Sementara angin yang bersatu dengan jejak-jejak matahari kala itu merangkul Sherly dan menerbangkan sebagian kedukaan. 

Barra berjalan perlahan mendekati sang adik yang masih termangu memandangi kuburan basah ibunya. Ditarik lengan Sherly lalu mendekap erat dan mengelus punggungnya seraya berbisik bahwa semua ini akan berlalu. Bahwa Sarah pastinya tidak rela anak-anak mereka berlarut-larut dalam kesedihan tanpa tepi. 

"Gue belum minta maaf sama Mama," lirih Sherly terbata-bata.

"Mama udah maafin lo, Sher ... dia pasti udah maafin lo," ucap Barra menenangkan kegelisahan adiknya. 

Kecelakaan nahas yang dialami Sarah memang tidak dapat disangka-sangka oleh siapa pun. Manalagi pelaku yang belum diketahui identitasnya begitu tega menabrak Sarah dengan mobil dan tidak bertanggung jawab hingga membiarkan tubuh Sarah tergeletak tak bernyawa di jalanan. Barra juga paham bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini sekali pun manusia sudah berhati-hati menjaga nyawanya sendiri. Tapi ... kenapa harus sekarang ketika dia mau menikahi kekasihnya? Ketika hubungannya bersama Sarah sudah membaik? Kenapa?

Sementara itu Eric dan Sandra yang berdiri di belakang mereka hanya bisa terdiam membiarkan kakak-beradik itu saling menyembuhkan luka. Sandra menghapus air matanya dengan tisu, paham betul apa yang dirasakan sahabatnya itu. Meski Sherly tidak akur, tapi Sandra tahu kalau temannya itu menyayangi perempuan yang kini tertidur dalam tanah terlepas masa lalu yang memorak-porandakan mereka. 

Ponsel Eric bergetar, buru-buru dia merogoh benda kotak itu dari dalam saku celana lalu melirik Sandra untuk memberi isyarat jika dirinya menerima panggilan tersebut. Sandra menyengguk, lantas Eric berjalan lebih jauh memberikan ruang tersendiri bagi mereka yang sedang berduka. Suara berat dari seberang memberitahu kronologi pasti kecelakaan tersebut dan sudah menyelidiki siapa pemilik mobil keluaran Jepang berwarna hitam. 

"Yang gue takutkan, kejadian ini ulah bokap gue lagi," bisik Eric memijit keningnya yang terasa pening. "Meski gue enggak bisa baca isi kepala bokap, tapi feeling gue mengatakan itu. Gue takut."

"Takut kenapa? Lo kan bukan penjahat, Ric."

"Gue takut Sherly enggak mau sama anak penjahat. Gue takut dia ninggalin gue lagi."

"Lo tenang aja dulu, oke. Gue sama tim penyidik masih terus nyari itu tersangka. Gue harap enggak ada sangkut-pautnya sama bokap lo."

"Gue harap begitu juga."

"Nanti gue kabarin lagi ya."

###

Sherly lebih banyak berdiam diri di kamar Sarah, mengelus lembut seprai bermotif bunga dengan wangi tubuh sang ibu yang masih melekat di sana. Seolah-olah Sarah masih ada di sini, menawarinya makan atau sekadar menyuruhnya pulang jika kelewat malam. Dada Sherly seperti dilubangi paksa, menyisakan luka menganga yang tidak akan sembuh walau diobati antibiotik paling mahal sekalipun. Bibirnya bergetar lagi, matanya kembali memerah hendak meneteskan air mata yang tidak bisa berhenti. 

Diusap matanya yang sudah berkaca-kaca lagi lantas meraih bantal bersarung senada dengan seprai lalu menyesap kuat aroma sampo yang biasanya digunakan Sarah. Dipeluk erat bantal tersebut layaknya mendekap tubuh hangat Sarah, makin lama Sherly makin tersedu-sedu. Sungguh dia benar-benar menyesali kebodohan dan keegoisannya mengapa tidak mengatakan kalau dia menyayangi ibunya dan akan menuruti semua keinginan Sarah.

"Sher," panggil Barra mendatangi adiknya. "Makan yuk!"

Yang ditanya menggeleng. Hilang sudah selera makannya sejak menerima kabar kematian Sarah. Apalagi ibunya tewas karena ulang seseorang yang kini belum juga ditangkap oleh pihak kepolisian. Sherly murka bukan main, bagaimana bisa aparatur negara tampak lamban menyelesaikan kasus tabrak lari ini. Begitu menerima telepon dari kantor polisi selepas kejadian, Sherly nyaris mengobrak-abrik meja kerja petugas berseragam cokelat itu jika tidak ditahan Sandra. 

"Gue enggak nafsu. Gue pengen nyusul Mama aja, Bang," kata Sherly, "Gue bersalah sama Mama. Gue anak kurang ajar."

"Sher ..."

"Gue udah enggak punya orang tua! Gue udah nyakitin hati Mama bertahun-tahun, Bang! Elo mikir enggak sih!" seru gadis itu melempar bantal milik Sarah sembarangan. Mendorong tubuh Barra menjauh darinya. 

"Iya gue tahu, tapi apa Mama seneng lihat elo udah kayak mayat hidup gini?" balas Barra memegang bahu adiknya. "Sher, lo harus terus hidup. Mama tetap ada di sini meski kita beda alam, lo tetap jadi anaknya Mama, Sher! Itu enggak mengubah apa pun. Oke!"

"Gue pengen sendiri, Bang," lirih Sherly sesenggukan. 

"Lo harus makan, Sher," pinta Barra frustasi. 

"Gue pengen sendiri! Lo denger enggak sih!" pekik Sherly membeliakkan mata dan menepis genggaman tangan kakaknya di pundak.

"Oke, oke ... gue bakal pergi. Kalau lo sakit, gue enggak mau tanggung jawab, Sher," tukas Barra lantas keluar kamar. 

Begitu pintu tertutup, tubuh Sherly merosot ke lantai, merangkul kedua lututnya sambil menjerit memenuhi kamar yang terasa kosong tersebut. Dia merindukan Sarah. Dia ingin bersama Sarah. Dia ingin mewujudkan keinginan Sarah yang terakhir kalinya. 

"Kita liburan ke Lombok sebagai ibu dan anak."

"Mama!" pekik gadis itu lagi. 

Barra dan kedua asisten rumahnya hanya bisa menghela napas tidak bisa melakukan apa pun ketika Sherly sedang tenggelam dalam rasa duka. Jika ditanya, Barra sebenarnya juga sedih, hanya saja siapa yang mau merangkul adiknya jika dia sendiri ikut larut dalam penderitaan ini? Apalagi kini tinggallah dirinya seorang sebagai keluarga kandung Sherly walau Om Hartono mau menerima secara terbuka sebagai keluarga paling dekat. 

"Mas Bar, kalau Mbak Sherly enggak mau makan, penyakit magnya kambuh lagi loh," celetuk salah satu pembantunya. 

"Iya, dulu sampe dibawa ke UGD sama Ibu Sarah," sahut yang lain. 

"Mau gimana lagi, Mbak? Ya udah enggak apa-apa, tapi  bisa dihangatkan lagi kan?"

"Bisa kok, wong saya bikin rawon. Bisa tahan sampai beberapa hari kalau dihangatkan terus."

"Oh iya udah, makasih. Kalian bisa istirahat dulu aja. Saya masih nunggu adik saya biar tenang," kata Barra. 

###

Eric tidak bisa tidur sepanjang malam juga tidak bisa menemui sang kekasih karena masih setia mengurung diri di kamar. Rasa gelisah langsung membelenggu, merasa kalau masalah yang menerpa Sherly tidak pernah ada kata habis. Dia menyipitkan pandangan, menilik kembali nanti kejadian yang dirasa masih punya benang merah. Kemudian, dia meraih ponsel dari atas meja kerjanya lalu menelepon temannya yang bekerja sebagai tim penyidik. Sampai saat ini, Eric juga belum menerima berkas kasus tabrak lari tersebut. Dia jadi curiga, apakah ada pihak lain yang menghambat tertangkapnya pelaku? Lantas siapa?

"Ck, kok enggak dijawab sih!" gerutu lelaki itu ketika teleponnya tak kunjung mendapat respons. 

Tak sabar, dia mengirim pesan singkat sebelum memaksa memejamkan mata karena esok pagi harus mengurus persidangan lain. Jika dia memforsir dirinya sendiri, bagaimana bisa dia menjadi tempat sandaran sang kekasih? Eric berencana selepas sidang langsung menemui Sherly untuk mengajaknya keluar sekadar mencari angin. Dia tidak ingin Sherly berlarut-larut terlalu lama dalam duka, hatinya sakit seperti ditusuk ratusan pisau tajam. 

Dia merindukan senyum ceria Sherly. Merindukan bagaimana gadis itu kuat melawan badai yang sudah menerpa selama ini. Namun, Eric juga sadar bahwa Sherly bukanlah robot. Dia punya hati yang bisa saja retak sama seperti perpisahannya beberapa tahun lalu. Hanya saja Sherly sering kali memendam dan menenggelamkan diri dalam lubang keputusasaan yang membuat sikapnya bisa menjadi lebih dingin. 

Tadi, dia sempat menawarkan diri untuk menginap di rumah Sherly tapi dilarang keras Barra. Calon kakak iparnya itu bersikeras untuk menyuruh Eric memberi ruang dan waktu tersendiri agar adiknya menenangkan hatinya dulu. Eric menolak dan berpendapat bahwa yang dibutuhkan Sherly adalah pelukan dan seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahnya. 

"Gue tahu niat baik lo, tapi please jangan sekarang, Ric. Jangankan elo, gue aja ngasih kesempatan adek gue buat nenangin diri dulu. Dia bakal menghubungi lo, tenang aja," kata Barra. 

"Gue khawatir, Bang."

"Gue paham, Ric. Tapi, biarin Sherly sendiri dulu. Kematian Mama enggak mudah buat dia setelah masalah besar lima tahun lalu. Elo ingat kan?"

Eric melenggut. "Gue minta maaf atas nama bokap gue, Bang."

"Sher, gue yakin lo kuat," gumam Eric. 

Tiba-tiba ponselnya berdering mengejutkan lelaki manis itu. Dia tercengang dan segera menjawab panggilan dari temannya yang bekerja di kantor polisi lantas berseru, 

"Gimana? Gue telepon dari tadi lo sibuk melulu!"

"Sorry, gue tadi ngejar pelaku yang newasin nyokapnya Sherly."

"Ketangkap akhirnya?"

"Iya, tapi dia tewas. Kami terpaksa menembak mati karena pelaku melawan dengan senjata api," jelas teman Eric. 

Jantung Eric rasanya melorot saat itu juga, padahal seharusnya dia senang bukan main kalau pelaku sudah membayar tuntas atas nyawa yang dihilangkannya. Tapi yang jadi misteri adalah kenapa dia membawa senjata api? Darimana senjata itu didapatnya? Di negara ini, mendapatkan pistol ilegal adalah hal yang salah. Jika sampai seseorang memilikinya, sudah dipastikan dia terlibat dalam jaringan kejahatan yang lebih luas. Firasatnya mengatakan kalau pelaku bukanlah pelaku biasa, kalau memang dia tabrak lari, bukankah lebih baik mengaku seperti kejadian lakalantas yang sebelum-sebelumnya?

"Gue menemukan hal mencengangkan, Ric."

"Apa itu?"

"Ponsel pelaku."

"Kenapa? Lo kalau mau ngomong jangan setengah-setengah, gue udah enggak bisa napas normal ini!" tegur Eric kesal. 

"Ada nama bokap lo di dalamnya, Gatot Prasaja."

Dunia kembali membalikkan kehidupan Eric, membawa lelaki itu menuruni dasar jurang paling dalam dengan kecepatan tinggi. Menghempaskannya sampai tidak berbentuk mendapatkan kenyataan bahwa ayahnya lagi-lagi terlibat dalam pembunuhan berencana. 

"Bokap lo ... kalau terbukti jadi otak tabrak lari itu ... dia bisa dihukum mati, Ric. Lo tahu kan gugatannya makin lama makin bertambah?"

"Sial," rutuk Eric mengepalkan tangan. Kini dilema melanda perasaannya, gelisah bercampur takut akan kebenaran yang makin terkuak lapis demi lapis. Dia semakin membenci nama belakang yang disematkan keluarganya, kalau bisa ingin sekali Eric dilahirkan kembali sebagai manusia tanpa harta asalkan hidupnya tenang bersama Sherly. 

Kalau kayak gini, kenapa gue harus dilahirkan sebagai keluarga Prasaja? Gimana kalau Sherly tahu dalang tabrakan itu adalah Papa? Sher ... gue enggak mau kehilangan elo lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro