TUGAS DIALOG MEMBER WWG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Games kali ini adalah membuat dialog dari premis berikut:

∆Karakter Cewek: Dialog reaksi tokoh saat divonis kena kanker serviks stadium akhir, dan usianya menghitung hari.
∆Karakter Cowok: Dialog reaksi tokoh divonis impotensi dan kemungkinan tidak bisa memiliki keturunan.

Tutor: Abiyasha

1. somenaa

“…maaf, hanya itu yg bisa aku sampaikan, Liz.”
Aku memalingkan wajahku yang sudah pias dan menggumam, “Apa tidak ada harapan lagi, Rez?”
“Kau sendiri sudah cukup tahu resikonya, Liz. Kankermu sudah menjalar jauh ke organmu yang lain. Terlalu lambat saat kau mengetahuinya hal ini. Bahkan dengan pengobatan yang paling canggih pun, kurasa tak akan mampu. Paling lama—aku berharap—kau bisa bertahan hingga dua minggu lagi,” tegas dokter Reza.
Tanpa bisa kucegah, air mata ini luruh ke pipi. Aku menangis dalam diam. Senyap ruang putih ini telah menjadi saksi vonis kematianku.

2. deanakhmad

"Sial!" Umpat Bimo yang menghantamkan kepalan tangannya di dinding rumah sakit. Membiarkan rasa nyeri menjalari buku-buku jarinya yang mulai membiru kemerahan.
Setelahnya Bimo hanya bisa terduduk lemas, bersandar pada dinding guna menopang tubuh kekarnya.
"Aaargh ... " Bimo merobek kertas hasil pemeriksaan lab yang terima barusan.
"Kenapa harus gue! Kenapa?" Lengkingan suara Bimo menggema di koridor rumah sakit.
"Gimana gue bisa ngejelasinnya sama Raya? Apa mungkin Raya bakalan nerima gue yang impotensi? Ray, apa yang harus aku lakukan?" Suara Bimo merendah yang di selingi dengan suara isakan tertahan di tenggorokannya.
"Gue gak bisa ngasih anak ke Raya, gue bukan suami yang bauk buat Raya. Gue ...." isakannya tak lagi tertahan namun pecah menjadi isak tangis memilukan.

3. spoudyoo

"Jadi, saya mengidap kanker serviks? Dan apa, umurku tidak lama lagi?" tanya Siti begitu mendengar penjelasan dari hasil pemeriksaannya.

"Tapi … bagaimana bisa? Saya pikir saya baik-baik saja selama ini. Tolong, Dok, katakan ini bohong," ucap Siti tersedu. Cariran bening itu mulai muncul dan mengalir di pipinya. Kanker serviks? Bagaimana mungkin? Sejauh ini Siti merasa dirinya sehat. Lalu bagaimana dengan masa depannya? Keluarganya? Apa kata kekasihnya nanti?

NisaAtfiatmico

"Kanker serviks?" Diana mengangkat alis tinggi-tinggi, ia masih tak percaya dengan hasil yang dikatakan oleh dokter Abi.

"Ba-bagaimana mungkin, Dok? Saya gadis baik-baik, saya gak macem-macem, saya masih muda, dan saya---" Diana tak mampu melanjutkan kata-katanya. Suara gadis manis itu tertelan oleh deras isak serta sengalan demi sengalan yang nyaris membuatnya tak sanggup bernapas.

4. umaya_afs
Dokter : Seprtinya Bapak, mengalami impotensi dan kemungkinan tidak bisa memiliki keturunan ke depannya. Saya turut prihatin
Pria : "Apa Dok? Saya diduga impotensi dan tidak akan memiliki keturunan." Pria itu menunduk memikirkan apa yang akan dihadapinya. "Dok, ada solusi kah! Bagaimana saya menghadapi istri juga keluarga saya. Masih ada kah harapan bisa normal kembali?"

5. meoowii

"Saya mengidap kanker serviks, Dok? Dokter ini suka sekali bercanda, ya? Saya sedang tidak lagi ulang tahun loh, Dok! Hahahaha," ujar Nirina yang saat ini sedang duduk di hadapan Dokter Irawan.

"Tapi kenyataannya seperti itu, Bu." Dokter Irawan menyerahkan selembar kertas kepada Nirina, yang langsung ia baca dengan baik-baik. Air mata Nirina tumpah ruah.

"Kalau begitu kenyataannya, saya hanya bisa pasrah saja,Dok. Selamat siang dan terima kasih." Nirina pun langsung berjalan keluar ruangan dengan air mata yang masih membasahi pipinya.

6. AndiAR22

Kening Abay mengerut mewujudkan rasa tidak percaya. "Jangan bercanda, dok. Mustahil, keluargaku gak ada yang mandul, kami dari keluarga baik-baik. Jangan-jangan ada kesalahan. Tolong cek ulang," katanya dengan nada tak senang.
Masih dengan posisi duduknya dokter berkumis tipis menatap pasiennya. "Kami sudah melakukan pengecekan tiga kali, Mas," balasnya singkat.
Abay berdiri, ia menoleh ke belakang sebentar lalu kembali memulangkan pandangannya pada lelaki dengan seragam dinasnya. "Lalu aku harus bagaimana, dok?" tanyanya dengan suara yanag amat direndahkan, "ada obatnya? Tentu ada terapi-terapi yang dapat membantuku. Ya 'kan dok?"
Tatapan Abay terlihat kosong. Lurus melewati bahu dokter seolah menembus dinding yang bercat jingga.

7. FairyGodmother3

1. "Ak... Aku nggak mungkin, hahaha... Jangan bercanda!"
"Hidup saya sudah sialan Dokter! Saya nggak mungkin... ini salah! Jelas sekali kalau saya sehat! Saya serius, Dok!"

2. "Anda baik-baik saja?"
Prima menatap kosong. "Saya sudah menyiapkan kamar bayi di rumah saya, Dok."

"Saya bahkan sudah menanti bagaimana perut istri saya membesar dan mengandung, Saya tidak bisa...." Prima menangis tertahan.

8. opicepaka

Dokter dihadapannya membuka kacamata, menatap dalam, "Kanker yang Anda miliki sudah masuk stadium akhir."
Perkataan dokter tadi lirih, tetapi berhasil membuat jantung Retno melompat dan rasanya mengganjal di tenggorokan. Susah payah wanita di akhir empat puluh tahun itu menelan ludah, "Apakah... masih ada harapan untuk sembuh?" tangannya tak sadar mencengkram ujung selimut.
"Maafkan kami," sang dokter menghela napas. "Persentase untuk Anda kembali sembuh sudah mendekati nol. Sel kanker sudah menyebar ke organ lain, bukan hanya di serviks saja." Kembali terdengar helaan napas dari pria berjubah putih itu, "Waktu yang Anda miliki hanya satu minggu, dua minggu paling lama."
"Terima kasih, bisa tinggalkan saya dulu?" akhirnya Retno bersuara setelah sunyi mencekam mereka.
Setelah dokter menutup pintu, dengan tangan bergetar wanita yang terkenal sebagai wanita besi itu mengambil HP di nakas. "Mas...," suara wanita itu bergetar, "bisa pulang ke Indonesia? Ada yang perlu kukatakan langsung."

9. aizawa_yuki666

"Nona Mira, perlu anda ketahui bahwa anda mengidap kanker cervick stadium akhir. Sangat disayangkan sekali kenapa tidak dari dulu anda memeriksakan kesehatan anda. Kalau kita mengetahui penyakit anda lebih awal, setidaknya anda lebih memiliki peluang untuk sembuh" kata dokter.
Air mata Mira perlahan menetes setelah mendengar perkataan dokter itu. Hatinya terasa hancur. Bibirnya bergetar sesekali terbuka meski tanpa suara.
" Aku mengerti perasaan anda saat ini. Saya akan terus mencoba untuk membantu anda meski tidak mungkin untuk menyembuhkan penyakit anda".
Mira semakin terpukul. Hatinya yang hancur semakin melebur. Kalau ada jurang di depannya saat ini, mungkin ia lebih memilih untuk terjun daripada harus menerima kenyataan pahit yang ia rasakan.
"Terima kasih dokter" gumam Mira dengan suara yang bergetar.

10. fffttmh

Jari tanganku menyatu, keringat dingin mengucur dari dahiku, meski ku tau ruangan putih ini sudah dilengkapi pendingin. Ku lihat raut wajah lelaki berusia senja di hadapanku sedikit menerawang.
"Ku kira aku akan memeriksamu kembali setelah ini, tapi tanda-tandanya tak dapat diragukan. Kau, bacalah ini sendiri."
Aku bergetar saat menyentuh amplop putih di tanganku.
Aku tercengang.
"Dok? Ini, saya terkena kanker? Dan apalagi ini, stadium akhir? Akh,"
"Secara medis tak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu sampai sekarang, dan itu artinya harapan hidup anda terbilang singkat. Maafkan saya."
"Mungkin ini ada kesalahan cetak, katakan dokter, bilang ini hanya mimpi." Aku menepuk pipiku kencang.
"Tidak ada kekeliruan dalam hasil tes ini nona, saya tau ini berat bagi anda. Sekali lagi saya minta maaf."
Aku diam, tak tau harus bereaksi seperti apa. Kau tau, aku sangat terpukul saat ini.

11. destiianaa

"Kanker... Serviks, dok?"
"Iya, Nyonya. Terdapat Kanker dalam rahim anda."
"Tapi... Tapi... Kenapa bisa, dok?"
"Saya tidak pernah berhubungan kecuali dengan suami saya."
"Maaf, Nyonya. Mungkin suami nyonya sering jajan diluar." Maudy tau jika memang suaminya tidak bisa hidup dengan 1 wanita saja, tapi Maudy tidak menyangka bahwa dia yang divonis penyakit ini.
"Apakah saya bisa bertahan dan sembuh, dok?"
"Menurut medis, hanya beberapa bulan waktu anda, tapi kami bisa mengusahakan dengan kemoterapi" dengan lemas Maudy meninggalkan ruang dokter dengan wajah sendi sambil mengucapkan terimakasih.

12. irmaharyuni

"Saya turut prihatin,  anda mengidap kanker serviks stadium akhir.  Menurut medis kemungkinan bertahan sampai 1 bulan lagi. Tapi,  semua bergantung pada kehendak Tuhan. "
"ASTAGHFIRULLAH HAL'ADZIIM... jadi saya-- kena kanker serviks Dok? A-aku? Kanker?!! Ya Allah...aku harus gimana Dok? Kayaknya aku harus nikah secepatnya!" ucapku penuh keteguhan berharap mendapatkan kebahagiaan di akhir hidupku.

13. rachmahwahyu

Aku terdiam. Mataku menatap kosong hasil pemeriksaan kesehatan di tanganku. Lalu perlahan-lahan berpaling pada dokter berusia hampir enam puluh tahun yang rambutnya sudah mulai memutih. Pria itu memaksakan diri tersenyum padaku.
“Ini bohong kan, Dok?” tuntutku. Aku benar-benar berharap hasil pemeriksaan ini bohong.
Sang dokter kembali mengembangkan senyum prihatinnya. “Maafkan saya,” kata pria itu.
Tanganku bergetar. Aku meremas kertas itu. Air mataku luruh seketika. Kanker Serviks stadium akhir... aku mengira penyakit itu hanya ada di film. Aku sungguh tak menyangka bahwa hal ini bisa terjadi padaku.
Seketika aku teringat pada ibuku yang belum sempat kubahagiakan. Aku teringat pada suami serta putraku. Putraku baru duduk di kelas empat SD. Bisakah aku melihatnya tumbuh dewasa nanti? Aku menggosok-gosok mataku. Aku berharap ini mimpi dan aku akan segera terbangun.
“Saya... belum mau mati, Dok,” erangku, “saya ingin terus hidup.”

14. VannieTrsenyoem

Hujan deras mengguyur kota Bogor sore itu. Seorang gadis bernama Yuki Atfiatmiko memandang kosong ke arah jalanan. Jika dia bisa, ingin sekali dia marah pada Tuhan.
Masih jelas ucapan dokter ketika dia mengambil hasil pemeriksaan kesehatannya.
"Nona Yuki Atfiatmiko, hasil pemeriksaan Anda mengidap kanker serviks stadium akhir. Kami memprediksi bahwa usia anda tidak lebih dari satu bulan."
"Terima kasih, Dok"
"Nona, Anda harus mengikuti kemo--"
"Tidak perlu, Dok. Saya permisi!"
Dia mengambil hasil pemeriksaan lab, lalu keluar ruangan dokter.
Di umurnya yang menginjak 17 tahun, dia bahkan masih ingin menikmati masa mudanya. Namun takdir berkata lain, dokter mengatakan dia mengidap kanker serviks stadium akhir.
"Ini tidak adil Tuhan. Kenapa? Kenapa harus aku?!" Yuki berteriak seperti orang gila di depan rumah sakit.
Dirinya masih tidak percaya bahwa dokter mengatakan usianya bahkan tidak lebih dari satu bulan.
"Dia pikir, dia siapa huh? Dia hanya dokter bukan Tuhan!" teriak Yuki. Dia bahkan tidak peduli ketika orang memandang ke arahnya dengan tatapan aneh.
"Aku ingin hidup...." Airmatanya jatuh bersama air hujan yang telah membasahi tubuhnya.

15. beingacid

Jane tahu ada yang tidak beres ketika dokter di depannya begitu lama merenungi kertas yang ada di depannya, sesekali mencuri pandang ke arahnya.
Dokter itu menarik napas berat sebelum akhirnya membentangkan kertas itu di depan Jane.
"Nona Jane, Anda menderita kanker serviks stadium terakhir. Waktu Anda terbatas."
Jane membelalak kaget.
"Stadium terakhir?"
"Kanker Anda menyebar sangat cepat. Kami menyarankan Anda untuk ikut kemoterapi."
Suara dokter terdengar begitu tenang. Mungkin dia sudah menghadapi ini puluhan kali. Namun, tidak dengan Jane. Hidupnya hanya sekali dan kini dia dihantui oleh kanker sialan, stadium terakhir pula.
"Persetan dengan terapi!" Jane mengebrak meja, membuat dokter di depannya berjengit kaget. "Berapa lama yang saya punya?"
Dokter itu baru saja membuka mulutnya untuk menjawab. Namun, Jane lebih cepat.
"Saya tidak perlu tahu. Dan saya tidak percaya pada Anda. Dasar dokter gadungan!"
Jane menyambar tasnya dan segera keluar dari ruangan dokter.

16. TriyaRin

"Kamu ngga apa-apa? Ada yang aneh sama aku, ya?" bagas memperhatikan istrinya yang sejak tadi tak lepas memandanginya.
Lara mendengar ucapan suaminya namun ia bergeming. Tatapan matanya belum bosan memperhatikan tiap lekuk wajah tampan suaminya itu. Suami yang selama enam tahun ini setia menemaninya dalam suka dan duka.
"Kok janggut kamu makin banyak, sihh? Sini aku cukurin. Nanti kalo aku udah ngga ada kamu harus bisa cukuran sendiri. Nanti kalo aku udah ngga ada ...." lara menggantung ucapannya sendiri. Ia menunduk dalam. Menyembunyikan wajah sedihnya dari bagas.
Bagas menyadari arah pembicaraan lara. "Ra, cukup dokter itu aja yang salah vonis kamu tentang penyakit itu. Aku ngga percaya kalo dokter bilang kamu mengidap kanker serviks. Dan dia bukan Tuhan yang berani-beraninya vonis hidup orang lain." bagas membelai lembut pipi lara yang sudah terhiasi air matanya itu.
"Aku udah ngga sanggup, bagas. Rasanya penyakit ini semakin hari semakin merenggut bagian tubuhku yang lain. Aku takut." lara semakin sesegukan dalam tangisnya. Bagas menarik tubuh lara dalam pelukannya.

17. Reia_ariadne

"Ru..., Heru! Tunggu gue!" Shinta setengah berlari mengejar pacarnya yang baru saja keluar dari ruangan dokter.
"Apa kata dokter, Ru?" tanya Shinta dengan napas tersengal.
"Ga apa-apa," jawabnya datar.
"Ru, kenapa?"
"Ga ada apa-apa."
"Sayang... kamu kenapa?" ujar Shinta pelan sambil merangkul lengan kekasihnya.
"Kampret! Gue bilang ga kenapa-kenapa! Lo tuh ya, dibilangin sekali aja, cerewetnya minta ampun. Bangke!"
Shinta terdiam. Tubuhnya bergetar ketakutan.
"Gue impoten! Anak dalam perut lo bukan anak gue! Babi lo!"
Seluruh pengunjung rumah sakit kini memandangi mereka berdua.
"Gue bersyukur divonis impoten, karena gue bisa tahu kalo lo tu busuk, najis, sampah, murahan!"
Kemudian Heru pergi meninggalkan Shinta yang terduduk lemas di lantai. Gadis itu tidak percaya kalau dalam janinnya ini ternyata bukanlah darah daging Heru. Siluman babi yang bersetubuh dengannya saat itu ternyata bukan mimpi belaka.

18. WindaZizty

"Ka--kanker? Stadium akhir? You're kidding me, Dok. Bagaimana bisa aku divonis kanker serviks? Dan ... usiaku gak lama? Lelucon apa ini?" Kutatap sekali lagi kertas di genggamanku. "Mungkin hasil tes ini salah. Mungkin ini hasil tes orang lain. Saya sehat, Dok. Gak sakit!"

19. c2_anin

Segala pijakanku meluruh. Duniaku hancur. Total. Tak tersisa.
Lembaran kertas berisi tulisan ini penyebabnya. Aku lebih baik mati. Dengan segala kenyataan yang membelenggu diriku.
"Apa kata dokter, Bun?" Suara itu pun menambah beban di pundakku.
Ya, Tuhan! Matikan saja aku dengan segera.
Sudut mataku sudah menggenang air mata. Rasa ingin tumpah tak berdaya, namun aku tahan. Sebisa mungkin. Sekuat yang aku bisa.
"Enggak apa-apa, Yah. Cuma sakit biasa," kataku.
Menyentuh ujung bahu orang yang paling aku cinta. Mengusap lembut agar terus terasa dalam ingatanku bahwa bahu inilah yang selalu menguatkan diri rapuh ini.
Dokter bilang, aku tak kan bertahan lama. Aku tak kan lagi bisa tertawa bersamanya.
Salahkan aku Tuhan, jika kali ini aku egois?
Matikan saja diriku hari ini.
Agar aku tak lagi bersitatap dengan mata penuh tanya ini. Yang aku yakin, aku tak mampu mengatakan kejujuran ini.

20. TiaraWales

Ucapan Dokter Mela membuatku tersentak. Namun, aku sudah bertekad untuk menguatkan hati.
"Berapa lama waktu yang tersisa buat saya, Dok?"
Dokter Mala terdiam sebelum menjawab. "Perhitungan medisnya enam bulan dari sekarang. Tapi itu hanya perkira-"
"Itu artinya sudah tidak ada harapan lagi buat saya. Begitu 'kan, Dok?" potongku sambil berusaha menahan air mata yang telah bergayut.
"Berserahlah pada Yang Kuasa, Tari."

21. iamtrhnf
"Saya mengidap kanker serviks, Dok? Dokter ini suka sekali bercanda, ya? Saya sedang tidak lagi ulang tahun loh, Dok! Hahahaha," ujar Nirina yang saat ini sedang duduk di hadapan Dokter Irawan.
"Tapi kenyataannya seperti itu, Bu." Dokter Irawan menyerahkan selembar kertas kepada Nirina, yang langsung ia baca dengan baik-baik. Air mata Nirina tumpah ruah.
"Kalau begitu kenyataannya, saya hanya bisa pasrah saja,Dok. Selamat siang dan terima kasih." Nirina pun langsung berjalan keluar ruangan dengan air mata yang masih membasahi pipinya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro