07. Elastic Heart 💍

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

♡Happy-Reading♡

.

.

.

Pukul setengah lima subuh Kyara terbangun. Matanya terasa berat. Tentu, ia baru terpejam lewat tengah malam. Kyara tidak tahu pasti kapan ia tertidur dan tidak mengusahakan untuk itu. Ia sudah merasa cukup tertekan, memaksakan diri hanya akan membuatnya makin terluka. Penghujung hari semalam ia habiskan dengan terus berbaring, menunggu pikirannya lelah agar hipotalamus mereset waktu istirahat otomatis untuk tubuhnya.

Adya pun sama. Sejak keluar dari kamar mandi, tidak sekalipun ia beranjak. Kyara tahu Adya tidak langsung tidur. Beberapa kali ia mendapati suaminya itu mengubah posisinya dan menghela napas berat. Dari reaksi tersebut, Kyara menyadari bahwa Adya sama tertekannya dengan dirinya.

Yang kemudian Kyara pertanyakan adalah karena alasan apa? Apa Adya terlalu tidak sabar menunggu waktu untuk memupuk perasaan? Meski selama bertahun-tahun sosok Adya terus terkenang dalam lubuk hatinya, secara teknis mereka baru berkenalan sebulan yang lalu. Lebih mudah bagi Kyara mentolerir alasan tersebut.

Meskipun begitu, sikap Adya malam tadi kembali membuat Kyara bertanya-tanya. Apa Adya sebegitu tidak suka padanya sampai tidak bisa menerima pernikahan mereka? Bahkan untuk malam pertamanya berdua?

Dengan tidak bermaksud berbangga hati, Kyara mempermasalahkan soal ketertarikan Adya pada dirinya. Perjodohan dan segala tetek-bengeknya yang diungkit Adya kemarin memang sangat menyakitkan, sampai sekarang jantungnya masih saja berdetak nyeri mengingat segala tudingan yang dilontarkan suaminya itu. Namun yang paling menyakitkan bagi Kyara adalah penolakan Adya secara tidak langsung padanya.

Adya memang tidak menatapnya rendah, tidak menjelekkan dirinya, tetapi caranya memalingkan wajah, menghindari kontak mata dengannya, benar-benar menginjak harga diri Kyara. Seumur hidup, Kyara baru pertama kali merasa diabaikan sampai sedemikian itu.

Kyara bukan tidak tahu pujian orang-orang akan parasnya. Ia hanya menutup telinga, tidak ingin membiasakan dirinya dengan kekaguman dari persepsi indra semata. Di masa sekolah dulu, ia cukup kerepotan karena harus berurusan dengan bunga, surat, dan cokelat dalam laci maupun lokernya tiap pagi. Tidak sedikit pula murid yang mengejar bahkan memaksakan perasaan padanya, yang membuat mereka berakhir di ruang konseling bersama Keyva, bila bukan di ruang perawatan sekolah. Keadaan yang sama pun terjadi di masa kuliahnya di Sydney. Berulang kali Kyara menerima pernyataan cinta dari teman maupun seniornya.

Dari semua itu, tentu saja sikap Adya padanya patut untuk dipertanyakan. Kebutuhan seksual laki-laki lebih besar dibanding wanita. Hasrat mereka menggebu, gairahnya mudah dibangkitkan. Mereka bisa melakukan hubungan bahkan tanpa melibatkan perasaan sama sekali. Akan tetapi, mengapa Adya seolah tidak tersentuh karenanya? Apa jangan-jangan ...?

Tidak! Kyara membalikkan badan, mengenyahkan praduga negatif yang berputar di kepalanya. Matanya yang masih setengah terbuka membulat seketika saat mendapati Adya tidur menghadap ke arahnya dengan sebelah tangan terentang. Jemari Adya menggenggam ujung rambutnya, membuat ia merasa membeku. Kyara jadi merasa malu sendiri karena telah berpikir yang tidak-tidak pada suaminya tersebut, sedang dirinya saja masih mati kutu.

Kyara memandangi Adya yang masih mendengkur halus dengan mulut sedikit terbuka. Ekspresinya ketika tidur terlihat jauh lebih damai, berbeda dengan air muka dingin yang selalu ia tunjukkan. Alisnya panjang dan menukik, tidak lagi saling tertaut. Hidungnya tinggi dan meruncing tajam, bersambung dengan philtrum dalam yang membentuk bibir bagian atasnya menjadi lebih tipis. Adanya garis kerutan di sekitar mata menunjukkan bahwa suaminya itu adalah seorang pemikir keras. Gurat-gurat lelah yang terukir tipis pada kelopaknya membuat ego Kyara runtuh.

Dengan perasaan mawas dan jantung berdebar, Kyara mengulurkan tangan, mengusap pelan dahi Adya penuh kasih. Sisa amarahnya semalam menguar seketika.

Kyara pun manusia biasa, perasaannya bisa bergejolak juga. Hanya saja menumpahkan emosi sama sekali bukan pribadinya. Afeksi yang terlampau besar akan mematikan logika, dan segala sesuatu yang tidak didasari pemikiran matang akan berujung buruk. Sebab itu Kyara memilih diam meski perasaannya membara. Namun sekarang, dengan sangat payah Kyara mengakui, hatinya belum cukup kuat untuk menyimpan dendam pada Adya.

Adya melenguh kecil, lengannya memeluk tangan Kyara. Desah napasnya seakan meminta Kyara untuk terus berada di sana, seperti anak kecil yang tidak ingin ditinggalkan.

Kyara mengelus dahi Adya berulang kali sampai rengkuhannya melonggar. Setengah menguap ia bangkit. Udara yang masih dingin membuat bulu kuduk meremang, tetapi hari semakin pagi.

Baimanapun sikap Adya, Kyara sepenuhnya sadar bahwa lelaki itu masih suaminya yang perlu ia hormati dan ia penuhi kebutuhannya.

🍀🍀🍀

Suatu waktu ketika Adya terjaga dalam keadaan sangat lelah, titik paling dangkal dari logikanya mengharapkan munculnya kemampuan magis seumpama mantra sihir yang bisa melenyapkan piring kotor di meja makan, menyajikan menu sarapan yang menggugah selera, dan membuat setelan baju kerjanya rapi tanpa jejak lipatan sama sekali. Lalu hanya dengan begitu saja, ia bisa melalui paginya dengan sangat mudah.

Mustahil. Tentu saja.

Adya membuka mata lalu menegakkan punggung. Hangatnya aroma teh melati di atas meja sukses membuat kesadarannya yang masih mengawang terkumpul utuh. Begitu menoleh ke arah jendela yang tirainya sudah terbuka dan dikait rapi di kedua sisi, Adya mendapati setelan pakaian kantornya tergantung rapi di sampiran. Seketika matanya terbeliak. Seiingatnya, pakaian tersebut masih terselip dalam lipatan di lemari. Adya mengerjap beberapa kali, memastikan penglihatannya tidak keliru. Sedetik kemudian ia lantas merutuki diri.

Konyol sekali! Adya menyumpahi pikirannya tak tak keruan. Siapa lagi kalau bukan Kyara?

Adya menoleh pada sisi ranjang di sebelahnya yang kosong. Kyara rupanya sudah bangun lebih dulu. Adya tidak khawatir Kyara diam-diam pindah tidur semalam, sebab ia sendiri baru bisa menutup mata lewat dari pukul tiga. Sepanjang waktu itu ia memastikan Kyara tetap ada di sisinya. Itulah mengapa kepalanya sekarang terasa berat. Sialnya, teh hangat sangat tepat untuk meredakan denyut di pelipisnya yang mengganggu.

Kejadian semalam pun kembali terbayang di benak Adya. Sungguh, pikiran sistematisnya tidak menginginkan tindakan spontan seperti itu tanpa rencana. Adya yakin Kyara pasti kebingungan dengan perlakuannya yang terlalu tiba-tiba. Namun, ia terlalu di luar kendali untuk berpikir jernih. Pertahanannya yang memang mulai goyah sejak petang dalam sekejap luluh lantah saat ia membuka kamar dan mendapati Kyara dengan wajah bersemu.

Adya sudah beberapa kali melihat Kyara berias dan mengenakan gaun indah. Bahkan di saat akad dan malam resepsi, Adya berulang kali menegur dirinya karena terus-menerus menatap Kyara yang seanggun bidadari. Namun siapa sangka, dalam balutan pakaian tidur dan rambut panjang tergerai, istrinya itu ternyata berkali-kali lipat lebih menggoda.

Adya tidak bisa membiarkan dirinya menyentuh Kyara, sebab ia tahu dirinya akan candu. Maka ia pun meluapkan segala kejanggalan tentang perjodohan mereka yang selama ini membuatnya resah, tentang alasan Kyara, tentang keadaan keluarganya. Dengan itu Adya berharap amarahnya bisa meluap dan gairah yang meledak-ledak dalam dirinya berhenti bergejolak.

Namun, rupanya Adya salah perhitungan. Reaksi Kyara membuatnya makin terpojok. Kyara jelas sakit hati, tetapi ia terus saja mendengarkannya, tidak menyela meski ada jeda baginya untuk membela diri. Mata Kyara berkaca, sinarnya meredup, tetapi air matanya tidak dibiarkan tumpah. Adya tahu Kyara sedang menguatkan diri dan ia mati-matian melawan hati untuk tidak memeluknya.

Saat ayahnya menelpon, Kyara dengan lapang dada menerima. Bibirnya yang bergetar masih mengusahakan senyum kala ia bercerita tentang kebun bunga dan seluk-beluk rumah mereka. Adya jadi bertanya-tanya, bagaimana Kyara bisa tampak kuat dan rapuh diwaktu yang bersamaan.

Merasa kepalanya mulai mengepulkan asap, Adya menghabiskan tehnya lalu mengambil handuk. Tepat saat ia berdiri di depan kamar mandi, pintunya terbuka dan Kyara keluar dengan mengenakan handuk kimono berwarna marun yang kontras sekali dengan kulitnya.

Kyara tersentak kaget hingga tubuhnya berjengit. Bahkan Adya bisa mendengarnya menjerit kecil. Belahan kimononya yang membentuk celah dirapatkannya segera, lalu tanpa menunggu Adya berbicara, ia kembali masuk ke dalam kamar mandi.

Adya mengusap wajahnya dengan resah lalu berkacak pinggang. Kyara bertingkah seperti dirinya adalah sesosok hantu. Namun, masalahnya bukan itu. Ada sesuatu yang menegang di bawah sana yang membuatnya harus mengerang tertahan. Adya laki-laki normal dan pemandangan barusan tidak mungkin tidak membuat hasratnya tersulut.

Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi kembali terbuka, kali ini sangat perlahan sehingga Adya yang sudah tidak sabaran harus menariknya dari luar.

"Maaf Mas, tadi aku ganti baju dulu." Kyara berujar pelan.

"Ya," jawab Adya singkat saat Kyara melewatinya. Campuran wangi bunga dan aroma khas ceri yang manis membuatnya buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.

Adya melepas pakaiannya dengan cepat lalu berdiri di bawah pancuran. Uap pada partisi kaca menandakan Kyara menggunakan air hangat, tetapi Adya justru sebaliknya. Ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin untuk mematikan gairahnya yang membara.

Demi tuhan, ini masih pagi. Hormon lelakinya sedang berada di puncak dan ia harus melihat lekuk tubuh Kyara yang terpampang jelas. Adya nyaris gila rasanya.

Bila saja status mereka bukan suami istri yang sah, bila saja kenikmatan bercumbu dengan Kyara tidak bernilai pahala untuk mereka berdua, Adya tidak akan begitu menderita karena menekan dirinya seperti ini.

Demi nama baiknya dan citra keluarganya, Adya bisa menahan diri untuk tidak bermain fisik dengan perempuan, memilih melampiaskannya dengan cara lain seperti lelaki pada umumnya. Akan tetapi, Kyara adalah istrinya. Ia tidak berdosa dengan apa yang barusan dilihatnya, bahkan bila lebih dari itu. Hukum negara menerangkan dengan jelas haknya sebagai suami. Alam semesta mengijinkan mereka untuk menyatu.

Dari gerak-geriknya yang kaku dan penuh kecanggungan, Adya tahu Kyara perempuan yang masih suci. Untuk alasan itu pula ia tidak ingin bertindak terlalu jauh. Mudah bagi Adya untuk memanfaatkan posisinya sebagai suami. Tidak akan ada yang bisa menuntutnya bila malam-malam dingin di kawasan pengunungan ini mereka lewati dengan saling memadu kasih. Akan tetapi, Adya tak sanggup melukai Kyara terlalu dalam. Meminta sesuatu yang sangat berharga baginya sebagai seorang wanita, sementara akhir hubungan mereka sudah jelas akan seperti apa.

Mereka akan berpisah. Adya sudah merencanakan untuk itu.

Adya menyisir rambutnya yang basah. Semalam ia yang memulai penolakan, tetapi melihat Kyara merapatkan baju mandinya dan masuk kembali ke kamar mandi dengan wajah pucat pasi, Adya merasakan sakit yang lebih dari sekedar penolakan.

Saat bayangan senyum manis Kyara kembali membuat darahnya berdesir, Adya bermandi air dingin lagi. Tak peduli suhu rendah yang menusuk tulang dan tubuhnya sudah bergidik karena kedinginan.

Adya menumpukan tangannya di cermin yang memburam sembari memijat pelipis. Ia tahu, ia sedang menyakiti dirinya sendiri.

🍀🍀🍀

Adya menuruni tangga dengan tergesa. Kabarnya warga di lokasi pembangunan–yang sebagian besar mencari nafkah dengan membuka warung makan berunjuk rasa karena pondasi jalan dipertinggi dan menutupi rumah mereka.

Harum aroma masakan yang tercium di kamar tadi makin kuat, membuat Adya berhenti sejenak dan memperhatikan Kyara yang sibuk di depan kompor. Kedua tangannya mengaduk sesuatu di dalam wajan dengan lincah, seperti sudah biasa melakukannya.

"Kau sedang apa?" Satu pertanyaan bodoh dilontarkan Adya dengan nada tak suka saat Kyara berbalik dan mendongak, menyadari kehadirannya. Adya berdecak sendiri. Apa lagi yang dilakukan orang di depan kompor bila bukan memasak?

Tetapi Kyara ternyata jauh lebih sopan dari yang ia pikirkan. Perempuan itu membalas dengan jawaban lebih cerdas.

"Aku menyiapkan sarapan, Mas." Kyara berbalik, membawa dua piring nasi goreng dengan irisan sayur dan potongan daging bertabur keju.

Adya melirik nasi goreng dengan aroma menggoda tersebut kemudian tersenyum hambar. "Selamat menikmati sarapanmu kalau begitu."

"Mas Adya tidak makan dulu?" Kyara memutar badan menghadap Adya.

"Tidak," jawab Adya cuek.

"Tapi Mas Adya kemarin malam makan sedikit sekali." Kyara menyodorkan piring pada Adya. Bisa dibilang ini masakan perdananya. Kemarin malam menu yang mereka santap adalah bekal yang disiapkan bunda dari rumah.

"Aku bilang tidak, berarti tidak!" Adya menepis piring yang disodorkan Kyara. Sentakannya terlalu keras hingga nasi beserta lauk yang telah ditata Kyara sedemikian rupa berhamburan di atas meja.

Kyara berkedip beberapa kali sambil menggigit bibir, tidak menyangka Adya akan menolak masakannya sampai seperti itu.

"Angka kelaparan di dunia masih tinggi. Banyak orang miskin di jalanan yang butuh makan. Anak-anak di Afrika terancam gizi buruk." Kyara memunguti satu per satu butir nasi yang berceceran.

Adya yang juga terkejut karena tindakannya mengernyit. Ada banyak ungkapan kekesalan yang bisa digunakan Kyara, tetapi gizi buruk? Rasanya terlalu jauh berpikir ke sana.

"Jangan membuang-buang makanan, Mas." Kyara mengangkat kepala dan menatap Adya.

Adya hampir tidak percaya, Kyara tersenyum. Tepatnya mengusahakan senyum.

"Bumi akan memerahi kita bila mubazir.

Kerut di dahi Adya memudar. Diperhatikannya Kyara yang kembali membersihkan meja. Tidak ada kemurkaan dari mimik wajahnya. Yang Adya temui hanya pandangan sedih dan kecewa.

Adya merasa tertohok menyadari kebesaran hati Kyara menyebut dirinya dengan kata ganti "kita". Seakan menegaskan bahwa ia bersedia menanggung dosa bersama sebagai suami-istri.

"Aku sedang buru-buru. Tidak sempat makan." Adya melunak, meski hanya bisa memberi pembelaan diri.

"Kenapa? Apa ada masalah di kantor?"

"Bukan urusanmu."

Lagi, Adya melihat Kyara terkesiap dengan jawabannya, tetapi istrinya itu lantas mengangguk maklum.

"Semoga urusan Mas Adya selalu dimudahkan."

Untuk kesekian kali Adya merasa tidak berkutik. Membantah Kyara sama saja mendoakan keburukan untuknya. Sama seperti mendukung angka kelaparan untuk menolak argumen Kyara tadi.

Maka saat Kyara menyerahkan kotak bekal berisi roti gulung, Adya tidak menolak. Hanya agar tidak memperpanjang masalah. Bila pun tidak sudi menyantapnya, ia bisa membuangnya kapan saja, dan Kyara tidak akan pernah tahu.

Dengan mendengkus kecil Adya berlekas mengambil tas di kamar kerja lalu menuju pintu depan diiringi Kyara di belakangnya.

"Aku punya kunci cadangan di semua pintu." Adya memasang kaos kaki dan sepatunya. "Desa ini aman, tapi selalu pastikan semua pintu dan teralinya terkunci."

Senyum kecil terkembang di wajah Kyara mendengar wejangan Adya yang kemudian berlalu ke garasi. Kyara terus menunggu di depan pintu sampai mobil Adya melintasi pekarangan. Ada sengatan menyakitkan di dadanya saat Adya melewatinya tanpa membuka jendela, tetapi ia tetap bersikukuh dengan posisinya dan terus melambaikan tangan.

Adya yang diam-diam memperhatikan dari dalam mobil menghela napas berat. Saat mobilnya berbelok dan hampir mencapai gerbang, ia menurunkan kaca jendela, memberi satu anggukan pada Kyara yang semakin semangat mengayunkan tangan, baru kemudian lepas landas.

Ketika mobilnya keluar gerbang, Adya menghentakkan kepala begitu menyadari ia memperlambat kelajuan. Hanya untuk memantau Kyara selesai mengunci terali di pintu lewat kaca spion kiri.

Payah sekali bagi Adya. Semua ini adalah rencananya, tetapi mengapa ia merasa tidak bisa memegang kendali?

💍💍💍
TBC

Halo, Dear Readers! Karena masih banyak yang mengikuti cerita ini, Hate Me If You Can akan update di Wattpad 3 kali dalam seminggu di hari Senin, Rabu, dan Jumat. Di Karyakarsa update setiap hari.

Untuk chapter 11 akan ada voucher baca gratis bagi 3 orang pengguna pertama. Follow akun Karyakarsaku, ya
👋🏻👋🏻👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro