25. Intrigue 💍

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💕Happy-Reading💕

.

.

.

Sebulir keringat yang mengalir turun melintasi pelipis Kyara tampak berkilauan tertimpa cahaya matahari. Diam-diam Kyara menyeka peluh. Hari baru akan menjelang sore, tetapi rasa penat membuat intensinya untuk berkeliling jadi menyurut drastis.

Kyara memandangi punggung Adya yang berdiri tegap tanpa terlihat lelah. Sembari menyembunyikan hela napasnya yang berat, ia lekas mensejajarkan posisi dengan suaminya tersebut. Semburat rona merah merekah di wajahnya saat Adya menoleh sekilas dan tersenyum kecil.

Hati Kyara kembali berbunga ketika mengulang momen beberapa saat lalu yang membuat lututnya melemas. Lembutnya bibir Adya, sorot matanya yang memuja, dan kehangatan tiap sentuhan yang ia berikan. Bendungan emosi yang selama ini menyesakkan dada membuat Kyara tak kuasa menahan hasrat untuk menerima sensasi tersebut. Hingga tanpa sadar, setitik air matanya berderai.

"Masih jauh ...." Kyara membatin begitu melihat puncak gerbang utama. Udara yang berpendar di atas permukaan aspal membuat suasana semakin panas.

"Kau lelah." Adya menghentikan langkah dan berbalik.

Kyara tersentak dan menggeleng spontan. "Tidak kok, Mas!"

Adya menghela napas. "Kau lelah. Itu pernyataan. Bukan pertanyaan," jelasnya sambil membungkukkan badan setengah berlutut. "Sini, naik."

Wajah Kyara memanas seketika. Adya berniat menggendongnya. "Eh, tapi Mas ...."

"Naik atau kutinggal." Sebelah tangan Adya terulur menjangkau Kyara.

Kyara menangguk malu-malu lalu menggendong di punggung Adya dengan kedua tangan bertumpu di pundak suaminya tersebut. Cengkeramannya semakin kuat saat Adya mengambil ancang-ancang untuk berdiri.

"Mas Adya bisa?"

"Kenapa tidak?" Adya meluruskan punggung. "Baru begini juga."

"Baru begini juga ...." Kyara mengatupkan bibir rapat-rapat. Lengannya diluruskan sedemikian rupa agar tidak merapat pada tubuh Adya.

Adya yang baru memulai langkah pun berdecak. Mengimbangi posisi Kyara yang menjauhkan badan membuatnya jadi kesulitan berjalan. "Kyara, kau ingin membuat suamimu ini menderita kelainan tulang belakang?"

"Tidak, Mas!" bantah Kyara lalu memekik dalam hati. "Mas Adya menyebut dirinya suami!"

"Maju sedikit." Adya memberi perintah dengan menyentakkan badan.

Kyara menurut, tetapi kedua lengannya kini dibawa ke depan dada, mengantarai tubuhnya dan punggung Adya.

"Dasar istriku ini ...." Adya menghela napas dan terkekeh. Sebuah ide jahil pun terlintas di benaknya. Setelah memastikan posisi Kyara aman, tanpa aba-aba ia mengambil langkah seribu dan berlari.

"Mas Adya!" Kyara yang tidak siap refleks menghimpitkan badan dan memeluk erat leher Adya. "Mas, pelan-pelan!"

Adya tertawa. Setelah beberapa meter, barulah langkah dipelankan. Sambil mengatur napas, ia menoleh pada Kyara yang memasang wajah cemberut. Dari jarak yang cukup dekat itu, Adya bisa melihat jelas bibir mungil Kyara. Degup jantungnya kembali terpacu mengingat bibir Kyara yang manis dan basah. Ingin rasanya ia melumatnya kembali.

"Mas Adya, ya! Mas Adya mau aku jatuh?"

"Salah sendiri tidak berpegangan," balas Adya memalingkan muka. Semoga Kyara tidak menyadari rona yang bersemu di wajahnya.

Kyara melipat bibir lalu menyatukan kedua lengannya kuat-kuat. "Baiklah. Sekarang aku pegangan yang erat!"

"Hei! Ini namanya mencekik!"

"Mas sendiri yang bilang harus berpegangan!" Kyara terkikik lalu mengurai pelukannya.

"Tapi tidak mencekik juga." Adya berlagak menarik napas. "Kalau aku sesak, mau beri napas buatan?"

"Mas Adya bisa saja cari kesempatan!" Kyara mendelik dan memukul pundak Adya yang terkikik. Kyara tidak menampik bila pesona Adya sebagai suaminya meningkat berkali-kali lipat setelah ciuman mereka tadi. Namun, ia bersikukuh akan membatasi interaksi yang terlalu dalam sampai mereka benar-benar berdamai dengan masa lalu satu sama lain. Kyara tahu masih banyak hal yang perlu mereka luruskan.

"Mas Adya ...."

"Ya?"

"Habis ini Mas Adya mau ke mana?"

"Pulang ke rumah." Adya menaikkan alisnya. "Kau kelelahan. Hari ini sudah cukup. Kita bisa berkunjung lagi kapan-kapan."

"Mas Adya tidak punya urusan lain setelah ini?"

"Hanya masalah kebun dengan Pak Aru. Kenapa?"

"Bukan apa-apa, Mas." Kyara menyembunyikan wajahnya di balik pundak Adya. Jauh di lubuk hatinya masih bergelung kekhawatiran. Kyara tidak ingin kebahagiaan hari ini sekadar fatamorgana fana yang bisa lenyap begitu saja tersapu angin.

"Mas ..."

"Hm?" Adya menengok pada Kyara yang tahu-tahu sudah tertidur di bahunya.

"Mas Adya jangan pergi, ya ...." pinta Kyara dengan mata terpejam. "Jangan pergi dengannya."

Adya yang mendengar permintaan tersebut terpaku. Ia berpaling, mendapati Kyara yang terlelap. Istrinya tersebut pastilah sangat letih. Adya menyentakkan badan kuat-kuat agar Kyara bisa tidur dengan nyaman kemudian mempercepat langkah menuju parkiran. Dalam dersik angin yang berembus, ia berbisik lirih, "Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu."

🍀🍀🍀

"Adya mencintaiku. Dia menerima perjodohannya dengan Kyara hanya untuk sementara."

Kalimat yang diutarakan Irena bagai petir yang menggelegar di telinga Rendra. Gurat emosi tergambar jelas di wajahnya yang membara tersulut emosi.

"Kau jangan main-main!" Rendra berujar geram dan menyudutkan Irena di tembok.

Irena tersenyum singkat. Tanpa mengindahkan kecaman Rendra, ia kembali berujar, "Kau mencintai Kyara, bukan? Sampai mencari tahu tentangnya? Bukankah aku memberimu kabar baik?"

Kepalan tangan Rendra bergetar menahan amarah. Perempuan di hadapannya ini sungguh pandai bermain kata. Seakan tuntutan yang semula ia lontarkan untuk memojokkannya harus berubah menjadi ungkapan terima kasih. Namun, bukan Rendra Dwiangga Yudistira namanya bila ia tunduk dengan mudah. Martabatnya terlalu tinggi untuk itu.

"Kabar baik katamu?" Rendra berdecih. "Hentikan semua omong kosong ini!"

"Kau tidak senang? Atau hanya pura-pura tidak senang?" balas Irena tak kalah sengit. "Kalau tahu sendiri. Aku dan Adya sudah berhubungan sejak lama. Adya cinta mati padaku. Dia menikah dengan Kyara untuk memenuhi permintaan orang tuanya. Setelah itu, mereka akan bercerai dan kami akan hidup bahagia bersama."

"Adya akan menceraikan Kyara?" Perasaan Rendra semakin bergejolak. Meski demikian, ia tidak ingin langsung percaya dan melepas Irena begitu saja.

"Seperti itu, ya." Rendra menyeringai tipis. "Apa karena itu kau berniat mencelakai Kyara?"

"Aku tidak berniat mencelaikainya. Aku hanya terlalu kalut." Irena menahan napas sejenak. Rendra belum juga menunjukkan niat berkompromi. "Saat aku dan Adya sedang asyik berdua, Kyara tiba-tiba datang. Kau pasti tahu apa yang kami lakukan, bukan? Saat itu ... kacau sekali!"

Rendra terbeliak. Ingatannya kembali pada malam jamuan keluarga Marzuki
saat ia mendapati Kyara menangis sesenggukan seorang diri.

"Jadi Kyara tahu? Apa alasan ini yang membuatnya menangis di malam itu? Apa  Kyara sesungguhnya menderita dengan pernikahannya?"

Rendra menahan geram dalam hatibegitu mengulang tuduhan Adya yang menudingnya menyakiti Kyara. Padahal tersangka utama tak lain dirinya sendiri. Ambisinya untuk merebut Kyara  mendadak semakin menggelora. Siapa sangka, sebagai seorang suami, Adya ternyata punya kekurangan yang terlalu besar untuk disebut sebagai celah.

"Kalau kau menuntutku, sama artinya kau menghalangi perpisahan antara Adya dan Kyara." Irena berujar pongah saat mendapati Rendra bungkam. "Tapi bila kau ingin menunggu waktu dan bekerja sama, kita bisa meraih tujuan lebih cepat."

"Kau bilang apa? Bekerja sama?" Rendra tertawa sarkastik. Rendra mengakui tawaran Irena cukup menarik, tetapi ia punya ide yang lebih cerdas dibanding melibatkan diri dengan perempuan yang jelas-jelas punya kartu mati di tangannya.

Irena menekuk dahi saat Rendra kembali merendahkan tubuh dan menjatuhkan tatapan kelam padanya.

"Sayang sekali, aku tidak suka berbagi keuntungan." Rendra menarik diri, masih dengan tatapan mengintimidasi. "Kau bisa lolos kali ini, tapi sekali lagi kau mencoba menyentuh Kyara, kupastikan kau menangis darah di hadapanku!"

Rendra memutar badan dengan gusar. Sebelum berbelok menuju lobi, Rendra mengerling dan melihat Irena bergeming di tempat dengan wajah pucat, tetapi ia tidak bersimpati sama sekali. Rendra tidak memberinya kebebasan semudah itu. Bila saja Irena bukan perempuan, mungkin ia sudah dihabisi oleh kedua anak buahnya.

Rendra bukan tidak ingin membongkar kejahatan Irena. Ia hanya menunda sampai waktu yang tepat dan memanfaatkannya untuk menjatuhkan nama baik Adya. Sekarang yang paling penting bagi Rendra adalah bagaimana cara melampiaskan kemurkaannya saat ini.

"Kalian berdua bersiap-siap." Rendra menatap kedua anak buahnya bergantian. "Judo."

Ya. Rendra memutuskan untuk bergulat. Sedikit peregangan barangkali bisa membuat emosinya mereda. Akan tetapi, belum sempat ia mengambil langkah, sebuah seruan membuatnya memutar kepala.

"Rendra! Rendra, kan?"

Rendra mendecakkan lidah saat Siren melambaikan tangan padanya dengan semangat. Ia tahu ia tidak akan pergi dengan mudah. Sementara itu, dua anak buahnya bertukar pandang dengan lega.

🍀🍀🍀

Kyara mengamati besi pengangkut raksasa yang dipenuhi bola lampu berpijar terang. Langit mulai gelap saat mereka melalui jalan di sepanjang jalur proyek.  Kyara yang baru sekali ini melihat alat tersebut beroperasi di malam hari berdecak kagum. Dari kejauhan, kerangka bajanya tampak seperti kapal luar angkasa.

"Ada apa, Kyara?" tanya Adya di balik kemudi.

"Tidak apa-apa, Mas."  Kyara menunjuk susunan baja menjulang dengan bohlam menyala di setiap sudutnya. "Itu, kerangka alat pengangkut di sana seperti pesawat alien."

"Pesawat alien?" Adya berujar geli. Bertahun-tahun terlibat di dunia konstruksi, baru kali ini ada yang menyebut Crawler Crane sebagai pesawat alien. 

"Itu Crawler Crane," jelas Adya.

"Crawler Crane." Kyara mengulang lalu tampak berpikir. "Mirip pesawat alien."

Adya mendengkus. "Baiklah, sebut saja pesawat alien."

"Berarti proyek ini proyek alien."

"Jadi secara tidak langsung kau menyebutku alien?" Adya pura-pura mendelik.

Kyara otomatis terkikik. "Mas Adya sendiri yang menyimpulkan begitu."

Adya mengetuk dahi Kyara. Cermin di sudut jalan yang memantulkan bayangan mobil dari arah berlawanan kemudian membuatnya membunyikan klakson dan bersiaga.  Ranger Rover Adya menikung dengan mulus, tetapi pengendara yang berpapasan dengannya melaju kencang keluar dari jalur lintasan hingga mereka mungkin akan bersinggungan bila saja Adya tidak sigap menginjak rem. Sebelah tangannya direntangkan untuk menahan tubuh Kyara agar tidak tersentak.

"Kurang ajar!" umpat Adya pada si pengemudi yang kabur. Beruntung kontur tanah di sisi kiri jalan cukup rata.

"Be-benar! Kurang ajar sekali!" Kyara mendukung Adya meski keterkejutannya sendiri belum pulih. Kyara tahu memberi teguran pada Adya yang berusaha melindunginya hanya akan membuat suaminya tersebut semakin emosi.  "Untung Mas Adya hebat!"

Adya berpaling pada Kyara. Mendengar pembelaan tersebut membuat amarahnya menyurut. "Kau tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, Mas." Kyara menggeleng dengan mata tertuju pada tangan Adya di depan dadanya.

"Ah, maaf." Adya menarik tangannya dan menatap lurus ke depan. "Aku tidak bermaksud menyentuhnya."

Kyara melenggut kikuk. Salah tingkah, ia membawa pandangannya keluar jendela.
Adya pun berdeham beberapa kali. Mengusahakan pikirannya fokus pada perjalanan dan tidak mengembara.

"Mas, bisa menepi sebentar!" Kyara menepuk pundak Adya saat mengamati semak belukar di tepi jalan.

"Kenapa?"

"Menepi saja, Mas!"

Adya tidak mengerti dengan permintaan Kyara yang tiba-tiba, tetapi ia tetap menuruti kehendak istrinya dengan menyalakan lampu sen kiri.

Setelah mobil berhenti, Kyara lantas turun dan menuju semak belukar dengan terburu.

"Kyara! Ada apa?" Adya menyusul Kyara yang duduk menekuk lutut.

Kyara menempelkan telunjuk di bibir dan berbisik, "Pelan-pelan, Mas!"

Adya ikut berjongkok di sebelah Kyara yang mengulurkan tangan ke dalam semak. Matanya membola seketika. "Anak kucing!"

Kyara mengangguk lalu menimang-nimang. Tidak sengaja matanya menangkap sosok anak kucing yang familiar saaf mereka melintasi bahu jalan tadi. "Ini anak kucing kemarin!"

"Anak kucing kemarin?" ulang Adya.

"Ya, anak kucing di dekat lokasi proyek yang kuberi sedikit bekal mas Adya."

"Bekalku?" Adya menunjuk dirinya. "Pantas saja ikannya kurang secuil."

"Mas Adya makan bekal itu? Kupikir sudah dibuang. Pasti bentuknya sudah tak karuan."

"Ya, waktu lapar tengah malam bekal itu kuhabiskan. Bentuknya tidak penting, yang penting rasanya enak." Adya memalingkan muka. "Tidak boleh membuang makanan. Bumi akan memarahi kita."

Kyara tersenyum lalu mengelus anak kucing yang bergelung manja di kakinya. "Imut sekali kan, Mas?"

"Ya. Sok imut memang cara kucing bertahan hidup." Adya memperhatikan kucing mungil yang kini berjalan ke arahnya. "Hei, kau mau apa!"

Reaksi Adya membuat Kyara tergelak. "Sepertinya anak kucing ini suka Mas Adya."

Adya mengedikkan bahu lalu berdiri. Petang menjelang. Lokasi proyek beberapa meter di belakang sana mulai lengang, walau bunyi alat-alat mekanik masih riuh rendah.

"Mas Adya ...." Kyara menggendong kucing kecil berwarna putih yang ia dapati dari balik semak. "Boleh, ya?"

Mengerti maksud Kyara, Adya mencebik. "Tidak," balasnya. Adya tahu Kyara berniat membawa kucing tersebut ke rumah.

"Tapi Mas, anak kucing ini sendirian di jalan. Dearah ini sangat rawan."

"Tidak, Kyara."

"Mas Adya ...."

Adya berbalik dan mendapati Kyara beserta si anak kucing yang menatapnya dengan binar mata penuh pengharapan.

"Boleh ya, Mas?"

"Miaw ...."

Adya berkacak pinggang dan menahan napas.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Oke! Ia menyerah. Sambil mencebik, ia menarik tengkuk anak kucing di pelukan Kyara dan menatapnya lekat-lekat.

"Baiklah. Kau boleh ikut. Dengan tiga hari masa percobaan."

Kyara baru akan bersorak bahagia saat Adya membopong si anak kucing dengan sebelah tangan.

"Mas, bukan begitu cara gendongnya!" Kyara mengejar Adya yang sudah masuk ke dalam mobil.

"Sama saja," dalih Adya lalu meletakkan kucing kecil tersebut di pangkuannya dan menstarter mobil.

"Sini, anak manis!" Kyara memetikkan jarinya dengan senang hati. "Kuambil ya, Mas," izinnya pada Adya.

"Pelan-pelan. Awas salah pegang lagi."

Kyara berjengit sesaat sebelum menarik kucing kecil dipangkuan Adya dengan sangat pelan. Bisa-bisanya Adya mengungkit momen itu.

"Senangnya." Kyara mengecup anak kucingnya dengan gemas. "Sejak dulu aku ingin pelihara kucing, tapi ada aturan di apartemen untuk tidak  membawa hewan peliharaan."

Adya menanggapi dengan bergumam kecil. Sesekali ia melirik Kyara yang membelai kucing dalam dekapannya dengan penuh kasih.

Sambil menyetir, Adya merutuk dalam hati. "Sainganku bertambah satu lagi."

🍀🍀🍀

Menjelang pukul sebelas malam, lampu ruang kerja Adya masih menyala. Adya berkutat di balik laptop dengan kedua tangan saling bertaut. Sehabis makan malam, seorang kolega ayahnya menelepon dan merencanakan pertemuan tertutup esok hari. Gelagat yang sangat terbaca jelas. Adya tahu, topik pembicaraan mereka tidak akan jauh dari isu pilkada.

Adya meluruskan kakinya yang kesemutan. Ia menengadah sebentar, menatap flafon kayu dengan ukiran artistik, sebelum dering ponselnya mengudara.

"Selamat malam, Adya," sapa Dito di seberang dengan suara sengau.

"Selamat malam. Ada apa?"

Terdengar tarikan napas berat sebelum Dito menjawab, "Laporan analisis minggu ini bisa kukirim besok saja?"

"Kau sakit?" Adya menimbang-nimbang. Sebenarnya laporan mingguan tersebut bisa Dito kumpulkan saat masuk kerja kembali.

"Tidak. Hanya sedikit lelah. Aku baru saja tiba di rumah. Seharian aku menghibur Tisya. Mood-nya sedang buruk."

"Kalian bertengkar lagi?" Adya mendesah, prihatin juga pada situasi rumit yang selalu dihadapi Dito. "Sekali-kali kau harus tegas."

"Tidak. Kami tidak bertengkar. Tisya hanya tidak sengaja bertemu dengan ... seseorang."

"Siapa?"

"Bukan siapa-siapa."

"Kau hanya membuat-buat alasan, ya. Tapi tidak masalah. Kumpulkan saat kau masuk kerja saja."

"Bukan begitu, Adya. Aku sungguh-sungguh." Dito melanjutkan dengan ragu. "Tisya bertemu dengan ... Irena."

"Irena?" Suara Adya meninggi.

Dito dibalik teleponnya menggigit bibir. Ia tahu tidak semestinya menyinggung masalah sensitif tersebut pada Adya, tetapi mau tidak mau ia harus jujur. Dito tidak ingin Adya menilainya melalaikan tugas dengan sengaja.

"Ya. Kami bertemu Irena di Grand Mall Metro." Suara Dito tercekat di pangkal tenggoran. Setelah bersusah payah menjauhkan Tisya dari Irena di mal tadi, mereka justru bertemu di salah satu restoran Jepang. Terjadi sedikit konflik sebelum Irena memilih keluar mencari restoran lain, tetapi Tisya sudah terlanjur kehilangan selera makan.

"Grand Mall Metro?" Adya tersenyum miris.

"Aku tahu Irena itu temanmu. Teman kita semua juga." Dito tertawa kering, antara ikhlas dan tidak mengatakannya. "Tapi kau tahu sendiri bagaimana hubungan Tisya dengannya."

Adya tahu Dito sedang berusaha menetralkan suasana. Maka, ia mengiyakan saja dan memberi pemakluman hingga telepon berakhir.

"Grand Mall Metro, ya ...." Adya bermonolog, menatap nanar mug berisi sisa coklat panas yang dibuatkan Kyara. Irena bilang ingin menjaga ayahnya seharian ini.

Saat Adya larut dalam praduga, Irena tahu-tahu mengirim pesan dengan kata-kata manis sebagai permintaan maaf karena tidak sempat memenuhi janji. Malas mengetik, Adya pun menekan tombol panggilan.

"Adya? Tumben menelepon malam-malam begini."

"Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Adya langsung ke inti.

"Ah, itu. Sebentar." Jeda yang cukup lama diisi oleh suara derap langkah sampai Irena kembali menyapa. "Keadaan ayah belum stabil. Aku menjaganya seharian."

"Seharian?" Adya menahan diri untuk tidak merungus.

"Kau tahu sendiri, ayah adalah satu-satunya orang yang kumiliki. Selain dirimu." Irena bertutur lirih. "Kalian sangat berarti bagiku."

Adya mendengar dalam diam. Kalimat tersebut sudah terlalu sering ia dengar. Kata-kata yang dulu dapat dengan mudah membuatnya bersimpati, tetapi sekarang tiba-tiba terdengar menjemukan.

"Bagaimana dengan Kyara? Apa dia sudah menyerah?" Irena kembali bertanya.

Sudut bibir Adya semakin tertarik ke bawah. "Kau sendiri sudah sudah siap tinggal di Mallawa?"

"Mallawa?" Irena hampir memekik, tetapi suaranya dengan segera dibuat melembut kembali. "Kau bercanda? Kenapa di Mallawa?" ringisnya.

"Memang kenapa?"

"Adya, siapa yang ingin tinggal di pedalaman terpencil seperti itu? Kau jangan mengada-ngada!" Irena mendengkus. "Kau punya rumah megah yang sekarang dibangun di kawasan Center Point. "

"Itu hadiah pernikahan yang diberikan ayahku. Aku tidak pernah merasa membangunnya." Adya menyandarkan dirinya di penyangga kursi dengan malas.

"Karena itu kita harus berhati-hati dan menuruti orang tuamu, Adya." Irena mengerang. "Kau pewaris mereka. Keluarga Antariksha."

Adya tidak lagi menggubris. Kekalutan dalam hatinya kian bertambah. Bertahun-tahun ia bekerja keras, berusaha mandiri agar tidak terus terjerat dalam tuntutan keluarga besarnya. Ternyata, sedangkal itu Irena menyikapinya semua usahanya.

"Sudah malam, Adya. Istirahatlah. Aku tidak ingin kau sakit dan semakin kurus karena tidak terurus dengan baik." Nada bicara Irena perlahan mendayu. "Aku menunggu proyekmu selesai. Kuharap, kita bisa meresmikannya bersama."

Adya tidak menanggapi kalimat terakhir Irena dan membalas dengan dingin. "Kau juga istirahatlah. Kau pasti lelah setelah bersenang-senang seharian."

Tanpa mendengar balasan Irena, Adya mematikan ponsel dan keluar dari kamar kerjanya dengan wajah masam. Pelipisnya berdenyut, kepalanya sakit bukan main. Satu hal yang sangat ia inginkan saat ini adalah memeluk Kyara dan tidur nyenyak dalam dekapan yang hangat.


💍💍💍

TBC

Chapter 26 bisa dibaca gratis di Karyakarsa dengan voucher RENDRA26. Jangan lupa follow akunku, ya. Terima kasih bagi yang sudah mendukung. Yang mau peluk Kyara-Adya versi cetak jangan lupa menabung 🤗🤍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro