33. Censure 💍

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💕Happy-Reading💕

.

.

.

Untuk kali pertama selama tinggal di Mallawa, Kyara bangun kesiangan. Biasanya ia terjaga sebelum subuh, meski ketika sakit. Akan tetapi, kali ini tubuhnya terlalu lelah karena "kegiatan" semalam.

Semburat merah mendadak menghiasi pipi Kyara begitu mengingat apa yang telah ia dan Adya lakukan sebagai sepasang suami-istri. Belaiannya, suaranya, dan segala perlakuan manis manis yang ia berikan. Bahkan raut wajah Adya ketika mereka berada di puncak kenikmatan masing-masing masih tergambar jelas. Aroma tubuh sang suami pun masih sangat membekas, seolah meresap dalam dirinya.

Kyara mengambil posisi duduk sambil menutup wajah. Ia merasa sangat malu, tetapi juga bahagia. Sangat bahagia. Tangannya lalu meraba sisi ranjang di sebelahnya. Masih hangat. Ya, barangkali Adya belum terlalu lama beranjak dari sana.

Ketika tak sengaja menoleh ke arah cermin, Kyara spontan menunduk dan mengamati penampilannya yang sedikit kacau karena ulah Adya. Kimono yang dilepas Adya semalam sudah hilang jejak, berganti menjadi kaus kebesaran miliki suaminya tersebut yang menutupi sampai ke paha.

Keadaan tempat tidur pun sama berantakannya. Satu hal yang pasti, Kyara harus mengganti seprai dan selimut sesegera mungkin.

Sambil menggelung rambut menjadi satu kunciran, Kyara kemudian turun dari tempat tidur. Gejolak yang terasa dari dalam tubuhnya membuat ia meringis tertahan. Kyara belum terbiasa dengan sensasi ini. Dengan langkah pelan, ia lalu menuju kamar mandi.

Kyara bergidik menyaksikan jejak yang tercipta dari pagutan bibir Adya pada bantulan bayangannya di kaca. Di beberapa bagian tertentu bahkan terlihat cukup jelas. Untungnya bukan pada area terbuka yang bisa dilihat orang lain.

Setelah berkumur dan membasuh wajah, Kyara lalu keluar kamar untuk mencari keberadaan Adya. Besar kemungkinan sang suami ada di dapur.

"Mas ...." panggil Kyara ketika menuruni tangga. Aroma panggangan yang tercium kuat membuatnya bergegas. Barangkali Adya dan Winter kembali berkolaborasi menghancurkan dapurnya.

Benar saja. Dugaan Kyara terbukti ketika menengok dan mendapati pisau dapur beserta olesan mentega berceceran di meja. Winter sibuk menjilati bulunya yang terkena percikan sementara Adya mengelap dengan sebelah tangan mengangkat tinggi-tinggi sepiring roti bakar. Kyara terkekeh melihat suaminya misuh-misuh dan Winter hanya menoleh sesekali tanpa rasa bersalah.

"Meow!" Winter turun dari meja saat melihat Kyara turun dari tangga, tetapi Adya lebih dulu menghampiri.

"Bisa?" tanya Adya mengulurkan tangan pada Kyara yang berjalan tertatih, alisnya yang bertaut khawatir membuat Kyara tersenyum geli.

"Tidak apa-apa, Mas."

Adya meneguk sebentar melihat penampilan istrinya yang sangat polos. Kyara mengikat rambut tinggi-tinggi, menampakkan bekas kemerahan dari kecupannya pada leher jenjang yang kembali membangkitkan gairah tersebut. Belum lagi kaus kebesaran yang membuat tubuhnya kelihatan jauh lebih mungil.

"Ayo, sini." Adya menjangkau tubuh Kyara dan membopong istrinya. Satu kecupannya mendarat di bibir Kyara. "Selamat pagi, istriku."

Kyara mengulum senyum, Adya membuatnya mendadak merasa canggung. "Selamat pagi, Masku."

"Masku?" Adya tertawa kecil. "Boleh juga," katanya lalu merunduk sedikit ketika Kyara mencondongkan badan untuk mencium pipinya.

Ranum menghiasi wajah Kyara. Melihat garis rahang Adya yang tegas membuat jantungnya kembali bertalu-talu. Ingin rasanya ia bergelung manja di sana lagi. Sayang, waktu harus menjeda kali ini.

Adya membawa Kyara menuju ruang tengah yang jenuh oleh semerbak aroma cokelat. Ketika terbangun tadi, ia mendapati Kyara masih lelap dengan nyaman dalam pelukannya. Adya tahu Kyara pasti teramat lelah mengimbanginya semalam. Maka, pagi itu ia kembali menyiapkan sarapan. Tentu, yang lebih praktis dan tidak berpotensi mendapat interferensi dari si nakal Winter—cokelat panas dan roti bakar. Meski pada akhirnya makhluk berbulu itu mengganggunya juga dengan menggelindingkan toples dan menjilati bekas mentega di piring.

"Maaf ...." Adya mengecup puncak kepala Kyara sebelum mendudukkan di sofa. "Aku terlalu kasar, ya ...."

Kyara spontan menggeleng, tetapi Adya sudah terlanjur beranjak ke dapur. Begitu kembali, suaminya tersebut membawa piring berisi roti bakar. Aromanya tak kalah enak dengan bau cokelat di udara.

"Yang sedikit gosong ini karena Winter," lapor Adya meski Kyara tidak bertanya. "Dia menggelindingkan toples selai sampai jatuh, tepat di kakiku. Memang minta di deportasi kucing albino hiperaktif itu."

"Winter bukan albino, Mas." Kyara tertawa lalu mengelus lengan Adya yang mendelik pada Winter. "Tidak apa-apa. Rotinya enak, kok."

"Benar?"

Setelah meneguk coklatnya, Kyara melenggut kecil dan memamerkan senyum. "Ya, enak. Ada rasa-rasa karbonnya."

Lantas, Adya terkekeh. Tangannya diulurkan untuk menggelitik Kyara yang refleks menghindar. "Minta dihukum, ya!"

"Mas Adya, geli!" Kyara berkelit, tetapi Adya selalu berhasil menggapainya. Dengan pasrah ia kemudian menjatuhkan diri dan menyeruak ke dalam pangkuan suaminya. 

Adya diam-diam mengembangkan senyum, lengannya merengkuh tubuh Kyara yang bersandar manja. Sikap Kyara yang demikian membuatnya merasa selalu dicintai dan dibutuhkan sebagai lelaki. Sama seperti tatapan sayu dan rintihan nikmatnya yang sangat menggoda.

"Mas?" Kyara membolakan mata saat Adya memutar tubuhnya hingga mereka berhadapan. Matanya terpejam menyambut ciuman sang suami.

"Terima kasih." Adya mengelus pipi Kyara. "Terima kasih karena telah menerimaku."

Kyara mengatupkan bibir dan mengangguk malu. "Mas Adya buru-buru ke kantor?"

"Tidak juga," jawab Adya segera. "Aku menunggu pengawal ayah. Mereka akan datang untuk memantau situasi. Patroli akan dimulai minggu depan."

"Patroli?"

"Ya, menjelang pemilihan umum banyak hal yang bisa terjadi."

Kyara mengiyakan saja meski tidak sepenuhnya paham. Ia lalu menangkup wajah Adya dengan kedua tangan.

"Kalau begitu, Mas Adya mau mandi bareng?"

🍀🍀🍀

Dari balkon ruang kerjanya, Adya menatap besi kerangka yang mulai berdiri. Selain membangun kembali dinding goa, mereka merancang menara pengait untuk menopang tiang pancang. Para peneliti berhasil menemukan koordinat pas yang tidak mengganggu aliran air sehingga kecil kemungkinan merubah pola lingkungan.

Adya mengulas senyum. Barusan papa mertuanya menelepon, menanyakan keadaan Kyara juga perkembangan masalah proyek, bahkan tidak lupa memuji kerja kerasnya. Adya kini tahu dari mana sikap suportif Kyara diturunkan. Istrinya tersebut tumbuh dalam keluarga yang penuh perhatian.

Setelah termenung cukup lama, Adya memutuskan untuk kembali meninjau analisis kandungan mineral dalam campuran semen. Namun, sebuah hentakan dari belakang membuatnya menahan langkah. Satu detik, dua detik, sampai tiga detik. Adya menunggu sebelum berbalik. Orang yang menabraknya tanpa meminta maaf di tiga detik pertama hanya ada dua kemungkinan. Pertama, orang buta yang bisu. Kedua, Rendra si pengacau.

"Kudengar Kyara sakit."

"Sama sekali bukan urusanmu."

Rendra mendecih. "Dasar tidak becus!"

"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu. Minggir!" Adya berusaha mengabaikan Rendra. Belajar dari Kyara, ia harus bisa mengendalikan emosi. Sayangnya, Rendra tidak berkompromi dan menahan pundaknya.

"Tinggalkan saja dia bila kau punya perempuan lain." Geraham Rendra terdengar saling bersinggungan. "Laki-laki tukang selingkuh sepertimu tidak layak bersama–"

"Jaga bicaramu!" Adya memotong kalimat Rendra dengan menarik kerahnya. "Kau tidak tahu apa-apa tentang hubunganku dan Kyara."

"Oh, ya?" Rendra menyeringai. "Bagaimana dengan Irena? Bukankah kau ingin menikahinya setelah bercerai dengan Kyara? Ya, nikahi saja perempuan itu! Kalau perlu, perusahaanku akan menjadi sponsor pernikahan kalian!"

Mata Adya menggelap. Entah Irena atau Rendra yang memulai, keduanya memang sama-sama berhati busuk. "Kau terlalu jauh, Rendra. Kau tidak pernah tahu apa yang terjadi di antara aku dan Kyara. Jadi, berhentilah selagi aku masih menyuruhmu baik-baik."

"Berhenti katamu?" Rendra ikut menarik kerah Adya. "Sialan kau Adya!"

"Kau yang sialan!" Adya memperkuat cengkeramannya. "Kau boleh menghalangi segala usahaku, kau boleh membuntuti jalanku, tapi bila kau mencoba sedikit saja menyentuh Kyara, kupastikan itu akan menjadi gangguan terakhirmu di hidupku."

"Apa kau bilang? Membuntuti?" Sebelah mata Rendra mengedip, mengimbangi tekanan Adya yang makin kuat.

"Kau tidak sadar? Sejak dulu kau terus menjadi bayang-bayang di belakangku. Kau mengikuti segala apa yang kulakukan. "Apa pernah sekali pun aku membalasmu?" Adya mengunci tatapannya dengan Rendra. Satu tangan Adya terentang, menunjuk besi menara yang baru setengah jadi. "Kau lihat apa yang aku usahakan di sana? Kekacauan ini tidak akan terjadi bila kau tidak merekayasa laporan!"

Rendra mengisi paru-parunya dengan udara segar saat Adya melepas cengkeraman. Ia tidak ingin kalah dan kehabisan kata, tetapi Adya terus mencecarnya dengan kecaman mematikan.

"Mudah bagiku menyingkirkanmu. Aku punya bukti dan orang-orangmu mengakui itu." Adya tertawa rendah lalu berbalik. "Tapi aku tidak cukup kejam untuk membiarkan kerikil lepas sepertimu mati konyol. Jadi, tidakkah kau berterima kasih padaku?"

Suara pintu yang tertutup pelan membuat Rendra mati-matian menyumpahi Adya. Laki-laki itu kini lebih stabil dibanding saat terakhir kali mereka bertikai.

"Sial!" Rendra melonggarkan kerahnya yang berantakan. Ia merogoh saku, mencari-cari ponselnya tetapi tidak ketemu. Sambil menggerutu tidak jelas, Rendra berjalan menuju ruangannya. Benar saja, benda pipih tersebut masih terselip di laci tasnya.

Ada panggilan tak terjawab yang terpampang di layar saat Rendra membuka kunci. Sambil menggulirkan list, ia memilih log panggilan dari anak buahnya dan menunggu telepon terhubung.

"Apa? Irena sekarang menuju ke Mallawa?"

🍀🍀🍀

Kyara terbiasa dengan pengawalan sejak kecil, terutama saat ia dan Keyva masih sekolah. Pun ketika tinggal di Sydney, tidak jarang beberapa pengawal ayahnya menampakkan diri sekitar asrama.

Akan tetapi, baru pagi tadi ia menyaksikan segerombolan petugas yang akan mengamankan Mallawa dan jalan provinsi  menjelang pemilihan umum. Mau tidak mau, hawa ersaingan politik yang sarat problematika ikut menyesakkan dadanya.

"Non Kyara kenapa melamun?" Pak Aru yang baru selesai membersihkan kaki dengan air keran di dekat gazebo menegur Kyara. "Awas tangannya terjepit gegep, bisa dipecat Pak Adya saya!" kelakarnya.

"Pak Aru bisa saja." Kyara yang tengah merangkai anggrek terkikik geli. "Pak Aru tunggu sebentar, ya. Saya ada titipan."

Pak Aru yang memangkul perkakasnya tidak bisa menolak. Ia mendudukkan diri di salah-satu bangku taman. Kyara sering kali membagi sesuatu untuk keluarganya.

"Terima kasih, Non. Jangan repot-repot," kata Pak Aru menerima pemberian Kyara dengan sungkan.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga cuma berdua dengan Mas Adya." Kyara membungkukkan badan membalas Pak Aru. "Ngomong-ngomong, Pak Aru lihat Winter? Tadi main di sekitar sini."

"Winter? Oh, si kucing putih!" Pak Aru mengedarkan pandangan lalu menggeleng. "Mungkin main ke ladang, Non. Kalau ketemu di jalan nanti saya antar pulang."

Kyara hanya mengangguk, mengiringi Pak Aru yang pulang melalui jalan setapak menuju kebun. Ia memanggil-manggil Winter berulang kali, tetapi suaranya hilang begitu saja terbawa angin.

Lelah berteriak, Kyara kembali ke gazebo. Ia berusaha menenangkan hati, mengingat Winter sudah hapal lingkungan sekitar rumah dan pasti akan pulang. Ketika para petugas keamanan yang telah mengantongi izin patroli dari aparat desa pamit beberapa saat yang lalu, Winter pun masih bermain di dekat kakinya.

Suara gemerisik tanaman tiba-tiba membuat Kyara terkesiap. Asalnya dari luar pekarangan. "Winter?" serunya penuh harap.

Dengan mengggenggam pilinan batang anggrek yang belum sempat diikat, Kyara buru-buru melangkah keluar gerbang.

"Winter? Winter anak manis ada di mana?"

Deg! Kyara menggigit bibir melihat tanaman berduri yang tidak jauh dari pagar bergoyang. Langkahnya terhenti saat mendapati sesuatu berwarna putih bersih terbujur di tengah-tengah belukar. Kyara merasa paru-parunya menyempit melihat kaki mungil terjulur, beberapa duri tampak menancap di bantalan kulitnya yang kini memucat.

Dalam hitungan detik, bunga anggrek di genggaman Kyara jatuh berserakan. Ia menerjang sulur berduri dan mendapati kucing kesayangannya kejang-kejang dengan mulut berbusa.

"TIDAK!!! WINTER!!!"

💍💍💍
TBC

Halo, Dear Readers. Open PO novel Hate Me If You Can sudah dimulai dari tanggal 30 Oktober sampai 8 November. Info selengkapnya bisa cek chapter khusus open PO. Untuk pemesanan bisa DM atau ikuti cara yang tertera di banner
🤗🤗🤗











Konflik ke depannya akan semakin seru. Jangan lupa ikuti cerita ini sampai tamat dan ikut PO. Thank you in advance
💕💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro