46. Foretime 💍

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

💕Happy-Reading💕

.

.

.


Jalan ruas provinsi, 9 tahun yang lalu

Rintik hujan membentuk titik-titik air di jendela, mengaburkan pandangan dari jalan raya dan perlahan lengang. Dari kursi penumpang kelas dua, Kyara tersenyum sendu, menatap para pemulung cilik yang mendorong gerobak berisi rongsokan sembari bersorak girang. Bahagia mereka sesederhana rinai hujan. Barangkali sebab itulah Tuhan memberi mereka imunitas mahakuat yang tahan terhadap gempuran cuaca.

“Anak-anak pemulung ini bukannya sekolah, malah main di jalanan!”

Suara klakson diiiringi omelan dari sopir di balik kemudi membuat Kyara mengalihkan perhatian ke depan.

“Pak Wira beri jalan saja. Kita juga tidak buru-buru.” Kyara menyahut, tidak menanggapi protes dari sang sopir.

Pak Wira lantas menuruti keinginan Kyara dengan berhenti sejenak. Pria yang bertugas untuk mengantar-jemput putri bungsu  keluarga Jayachandra tersebut mengamati satu per satu anak jalanan dengan mata memicing.

“Ada bakti sosial keluarga Antariksha rupanya.”

“Keluarga Antariksha?” Kyara ikut menengok dan mendapati  bingkisan sembako yang dibawa anak-anak pemulung. Ada logo perusahaan tertera di sana.

“Saya dengar bakti sosial setiap bulan ini gagasan putra pertama keluarga Antariksha.” sambung pak Wira yang mengintip lewat spion tengah. “Nona Kyara kenal orangnya?”

Spontan Kyara menggeleng. Ia tahu bila keluarga Antariksha memilik hubungan kerjasama dengan keluarganya, tetapi urusan bisnis adalah tanggungjawab Keyva. Dibanding itu, Kyara lebih tertarik mengamati para pemulung cilik yang mulai menimbang isi sembako dengan senang.

Ketika tembok underpass mengalangi pandangan, Kyara mengalihkan perhatian pada kotak musik di pangkuannya. Miniatur tata surya itu dibuat olehnya untuk pameran sains. Keyva membantunya menghitung kecepatan rotasi masing-masing sumbu logam sehingga ketika puzzle berhasil dirangkai, setiap planet dapat berputar sesuai sesuai revolusinya masing-masing.

Ujung jari Kyara memutar gerendel berbentuk bulan sabit yang terhubung dengan piringan lagu. Musik yang mengalun seakan meredam segala suara. Deru hujan pun tidak lagi membuat jantungnya berdebar. Akan tetapi, suara gaung yang memekakkan telinga tiba-tiba terdengar. Sekian milisekon setelahnya, kecelakaan beruntun terjadi. Kendaraan di depan mobilnya berhenti tiba-tiba, tepat sebelum bongkahan beton jatuh memblokade jalan.

Napas Kyara tercekat. Meski tubuhnya tertahan oleh sabuk pengaman, gaya lembam membuat isi perutnya bergejolak. Pak Wira memutar kemudi, berusaha mengambil haluan untuk berbalik,
tetapi kendaraan yang saling berhimpit membuat mereka tidak bisa bergerak. Sesaat kemudian dentuman susulan kembali terdengar, kali ini disertai bunyi longsoran, beradu dengan gelegar petir.

“Nona, kita harus keluar! Terowongan ini akan runtuh!”

Mata Kyara membola. Belum sempat tangannya bergerak untuk melepas kuncian sabuk pengaman, kendaraan yang memutar arah dengan kecepatan tinggi tiba-tiba menghantam bumper depan dan
membuat mobilnya berputar. Badan mobil membentur tembok berulang kali hingga kehabisan momentum.

Pandangan Kyara berpendar. Kepalanya berulang kali beradu dengan sandaran kursi depan dan jendela. Suara klakson dan jeritan memenuhi terowongan yang semakin pengap. Dari jendela yang hampir pecah akibat tubrukan, Kyara menyaksikan retakan merambat di dinding terowongan. Rekahannya menjalar hingga menghancurkan ornamen gipsum menjadi serpihan rapuh.

Di balik langit-langit runtuh yang menciptakan badai kerikil, terlihat gurat petir membelah angkasa. Kyara kehilangan kesadaran selama beberapa saat sampai suara kasak-kusuk membuatnya kembali terjaga. Tampak dua relawan membopong pak Wira keluar dari mobil. Satu di antara mereka berniat menolongnya, tetapi menyadari sabuk pengaman yang ia kenakan macet, relawan tersebut menyerah.

Kyara berulang kali memukul jendela dan berteriak meminta pertolongan, tetapi orang-orang yang lewat hanya memandangnya sekilas. Seorang pemuda yang mendorong motor sempat berhenti,
tetapi hanya mengincar ransel dan ponsel di sakunya.

“Mama! Papa! Kak Keyva! Tolong Kyara!”
Kyara menagis sambil memeluk badan ketika longsoran batu mengapit pintu mobilnya. Debu yang menyelimuti membuatnya terbatuk hingga sesenggukan. Satu-satunya harapan bagi Kyara adalah kotak musik yang tergeletak di lantai.

Sambil berurai air mata, diputarnya gerendel berbentuk bulan pada figura tersebut, berharap seseorang mendengar dan datang menyelamatkannya.

Kyara tahu, ia hanya menghibur diri.

🍀🍀🍀

Suasana gempar menyambut Adya ketika turun dari mobil ormas milik partai ayahnya. Kegiataan bakti sosial baru saja selesai ketika mereka mendapat kabar dari pos jaga bila underpass di jalan arteri kota ambruk dan kemacetan lalu lintas membuat satuan Badan Penanggulangan Bencana kesulitan mengakses lokasi. Kebetulan mereka sedang berada di jalur searah.

"Kakek akan mengirimkan bantuan alat berat," lapor Adya pada ketua tim. Kakeknya punya perusahaan konstruksi dan mereka bisa menyediakan berbagai alat berat untuk membantu evakuasi.

"Terima kasih, Tuan." Ketua tim menepuk pundak Adya sambil bernapas lega. Tidak ada yang perlu diragukan bila putra pertama keluarga Antariksha yang berkata demikian. "Anda bisa menunggu di sini."

Adya menggeleng. Selayang pandang, diperhatikannya situasi sekitar yang tidak kondusif. Patahan kerangka jalan ambruk hingga menutupi lebih dari setengah jalan masuk. Debu yang terbasahi oleh hujan menyelimuti beberapa kendaran yang berhasil lolos dengan keadaan rusak parah. Adya merinding sendiri membayangkan bagaimana buruknya keadaan di dalam sana, bila mereka yang berhasil keluar hampir tidak dikenali rupanya.

"Saya bisa membantu, Pak. Kita kekurangan tenaga di sini." Adya bersikukuh.

Di sebelah Adya, Dito yang baru selesai menurunkan tali tambang dari bagasi mobil menahan lengannya. "Adya, kau serius? Di dalam sana berbahaya!"

"Itulah gunanya kita latihan selama ini," balas Adya berusaha menutupi debar jantungnya yang terpacu. Ia mengenakan PDH organisasi dan berbalik. "Kau ingin ikut atau tidak?"

Dito meringis sebelum akhirnya mendesah pasrah. Bila ada yang patut diberi penghargaan karena terlalu berdedikasi, maka Adya adalah orangnya. Padahal mereka sebetulnya bisa kembali ke posko untuk berisitrahat.

"Aku beri kabar ke Tisya dulu."

"Untuk?"

"Ya, laporan saja."

Adya merungus dan menarik Dito untuk bergabung dengan anggota yang lain. Ketua tim yang berdiri di tengah-tengah sedang memberi instruksi, mereka tidak boleh melewatkan informasi penting sekecil apa pun.

"Sebelum masuk, kenakan masker dan peluit. Gunakan senter dan cari jalan alternatif. Jangan coba-coba menggeser puing, besi, atau apa pun yang menghalangi jalan, bisa jadi benda tersebut menyangga reruntuhan di atasnya."

Adya dan Dito menyimak arahan dengan serius.

"Bila kalian terjebak atau menemukan korban yang sulit dievakuasi, bunyikan peluit. Sampai di sini paham?"

Serempak, Adya dan Dito mengangguk. Ketua tim selanjutnya menjelaskan jalur evakuasi yang paling memungkinkan dari struktur patahan, sebelum melepas mereka membantu korban yang terjebak.

Adya dan Dito mengambil jalur yang sama. Bermodal lampu sorot dan senter, mereka merangkak masuk ke dalam terowongan yang sesak oleh kabut debu dan serpihan kerikil. Terdengar jeritan minta tolong yang bersahut-sahutan, diselingi suara tangis anak-anak.

"Di sini tim evakuasi! Harap tenang, kami akan memandu keluar dari terowongan." Ketua tim berdiri di atas kap mobil yang telah kehilangan bentuk setelah menubruk tiang, mengimbau orang-orang yang terjebak agar bersikap koperatif dan mengikuti arahan.

Adya berbalik sekilas sebelum menyusur terowongan lebih dalam lagi. Tugasnya adalah mencari korban yang terjebak.

"Adya! Ada anak kecil di sini!" Dito berjongkok di samping sebuah sedan dan menarik anak usia lima tahun dari bawah mobil.

Adya tercekat sebentar. Sepertinya bocah tersebut terpisah dari orang tuanya dan berlindung di sana. Ia lekas merunduk dan mengarahkan cahaya senter ke bawah mobil.

"Kakinya terjepit di ban."

"Apa yang harus kita lakukan?" Dito menjadi panik, apalagi anak kecil di pangkuannya mulai menangis.

"Sebentar." Adya menengadah, memandang serpihan beton yang tertahan di atas mobil. Ia menyapu kotoran di kaca dan melihat ke dalam. "Kunci mobilnya tertinggal di sini!"

"Bahaya, Adya! Ada beton di atasnya!"

"Aku hanya menggeser ban sampai kakinya bisa lolos." Adya menelan ludah, menimbang keputusannya sendiri. "Tolong awasi dari luar."

Dengan debar dada di atas rata-rata, Adya masuk ke dalam mobil. Nyalinya sempat menciut saat kerikil lepas berjatuhan ketika ia menyalakan mesin. Beruntung guncangan tersebut tidak meruntuhkan beton di atasnya. Setelah menggeser ban sesuai arahan Dito, anak kecil yang terjebak tersebut berhasil bebas.

Dito yang sedari tadi menahan napas langsung mendesah lega. Bocah malang tersebut segera digendong di pundaknya.

Sementara itu, Adya yang mengikuti dari belakang menajamkan pendengaran. Begitu telinganya menangkap sebuah melodi yang mengalun samar, langkahnya terhenti.

Dito yang sudah mencapai pangkal jalanan menuju rute evakuasi utama berbalik pada Adya. "Adya, cepat! Jalanan di atas akan runtuh!"

Adya bergeming. Panggilan Dito memantik logikanya untuk segera mengamankan diri, tetapi nuraninya berkata lain. Adya yakin bila nada yang didengarnya bukan berasal dari dering ponsel yang mungkin tertinggal di antara deretan mobil. Instingnya menduga melodi tersebut adalah isyarat dari seseorang.

"Duluan saja, Dito! Aku mendengar suara, masih ada orang yang terjebak di sini!"

"Kau yakin?" seru Dito sangsi.

"Jangan khawatir! Aku akan keluar menyusulmu!" Adya melambai pada Dito lalu bergegas memutar haluan. Matanya dipejamkan sesaat, mereka-reka sumber suara.

"Dari balik beton di sana!" Adya membatin kemudian naik ke atas mobil, memilah pijakan dengan hati-hati. Suara tadi terdengar semakin jelas. Adya menelusuri arah frekuensinya dan berakhir pada mobil ringsek yang terhimpit di antara dinding terowongan dan tiang yang roboh.

"Ada orang di dalam?" Adya mengetuk kaca depan yang retak. Mobil tersebut pasti telah mengalami benturan berkali-kali. Lensa matanya yang berdilatasi semakin melebar tatkala cahaya senter menyorot pada sesosok perempuan yang meringkuk ketakutan di balik kursi. "Permisi! Kau baik-baik saja?"

"Si-siapa itu?"

Adya mengerutkan dahi mendengar suara serak yang membalasnya. Ia meloncat ke atas kap dan mendapati seorang gadis di kursi penumpang kelas dua. Wajahnya tidak kentara karena tertutup debu, tetapi sorot matanya kelihatan takut.

"Aku dari tim evakuasi." Adya menunjuk logo di seragamnya.

Gadis berambut panjang di dalam mobil tersebut menghela napas lega. "Tolong, aku terjebak di sini! Sabuk pengamanku macet! Jangan pergi!" serunya terisak.

"Jangan khawatir. Aku akan menyelamatkanmu." Pikiran Adya  berputar cepat membaca keadaan. Mobil yang ia pijaki terhimpit dan tidak memiliki akses keluar. Bongkahan beton yang menghalangi pintu samping terlalu besar untuk digeser. Adya sempat tersandung oleh patahan lempeng kerangka jalan yang bisa dijadikan pengungkit. Namun, mendongkrak beton tersebut dengan tuas juga bukan ide yang bagus, melihat papan reklame yang rebah tepat berada di atasnya.

"Pakai ini." Adya membuka masker dan mengulurkan tangan lewat celah kecil yang terbentuk dari retakan jendela. "Aku akan memecahkan kaca. Bersembunyilah di balik kursi."

"Ba-baik. Hati-hati, kakimu bisa terluka."

Alis Adya terangkat sedikit mendengarnya, tetapi ia berlekas mengambil ancang-ancang. Dengan menumpukan bobot badan di ujung kaki, dalam tiga kali tendangan retak di kaca depan berhasil dibuat jebol.

"Kau sendirian?" tanya Adya sambil menyesar masuk.

"Ya. Sopirku pingsan karena terbentur setir. Ada petugas yang membawanya keluar. Mereka berjanji akan kembali ...." Perempuan berambut panjang di hadapan Adya tersengguk.

"Tidak apa-apa, kita akan keluar dari sini." Adya melenggut, memaklumi ketakutan perempuan tersebut. Dari badan mobil yang rusak parah, kemungkinan tejadi tumbukan siku-siku. Tekanan emosional pasti membuatnya trauma.

"Apa itu? Kotak musik?" Mata Adya menangkap sebuah benda menyerupai peraga tata surya saat berusaha menarik retratrors sabuk pengaman yang tersangkut. Musik yang didengarnya tadi berasal dari sana. "Kau yang menyalakannya?"

"Ya. Aku tidak bisa menyalakan ponsel. Ada orang yang mengambil ranselku lalu kabur."

"Apa?" Adya menahan diri untuk tidak mengumpat. Bisa-bisanya ada orang yang sempat berbuat kejahatan saat nyawanya di ujung tanduk. "Baiklah, kita harus tenang. Kau bisa melapor setelah keluar nanti."

Adya mengerahkan segenap tenaga untuk melepaskan pengait yang tersangkut. Dibantu gadis kecil tersebut, mereka menarik kait bersamaan hingga kunciannya terbuka. Akan tetapi, belum sempat mereka bergegas, terdengar getaran dari atas mobil. Adya sadar telah menimbulkan sentakan yang cukup keras. Tersisa kurang dari sekian detik sebelum bongkahan besar bergelinding dan mengurung mereka di tengah reruntuhan.

"Pegang tanganku!" Adya meraih sang gadis yang berhasil lepas dari jeratan sabuk pengaman dan mendorong tubuhnya keluar lewat ruang kosong di kaca depan. Lengan baju Adya tersabet pinggiran kaca, tetapi tangannya tetap dibawa melingkar melindungi kepala gadis dalam dekapannya agar tidak berbenturan dengan tepi jendela.

Suara berdegum tercipta saat tubuh mereka terhempas keluar dan berguling di antara puing. Adya bangun lebih dulu. Di dekat kakinya tergeletak kotak musik milik gadis tadi yang sudah tidak berbunyi lagi. Adya mengambil benda tersebut sebelum hancur diterpa batu yang longsor.

"Pundakmu!" Gadis di sebelah Adya ikut bangkit dan menunjuk ke bahu Adya yang mengucurkan darah.

"Bukan apa-apa! Kita harus pergi dari sini sekarang!"

Adya menggenggam tangan halus sang gadis dan berlari di antara hujan batu. Jalan napasnya terasa kering dan sesak, tetapi menghirup udara hanya akan meloloskan debu ke paru-paru. Beruntung gadis yang bersamanya sangat kooperatif. Ia sesekali mendongak dan memberi aba-aba bila ada puing besar yang jatuh ke arah mereka.

"Lewat sini!" seru Adya begitu melihat rute evakuasi yang dilaluinya bersama Dito tadi. Cukup sulit menemukannya karena reruntuhan menutupi jalur tersebut.

"Sedikit lagi!" Adya menyemangati diri begitu meliat secercah cahaya. Hanya butuh beberapa sekon bagi mereka untuk berhasil keluar dan menghirup udara bebas.

Akan tetapi, takdir ternyata berkata lain. Kurang selangkah lagi dari rute penyelamatan, PDH Adya tersangkut pada potongan besi yang menjorok keluar. Belum sempat Adya melepas pakaian tersebut, gemuruh datang dari atas.

Adya mendongak dengan mata terbeliak. Semua terjadi sangat cepat. Balok besi yang menghujam dari atas berubah menjadi sekelebat cahaya kilat, sebelum pandangannya diselimuti kegelapan.

🍀🍀🍀

"Perut bagian kanan atas tertusuk besi. Lukanya cukup dalam, beruntung tidak mengenai hati."

Kyara membekap mulut dengan air mata berlinang. Lebam di pelipisnya yang berbalut perban dan olesan gel masih meninggalkan nyeri, tetapi tidak seberapa dibanding rasa khawatir yang menderanya. Laki-laki yang membantunya keluar dari terowongan tertimpa besi dan reruntuhan. Sekarang sedang ditangani dokter.

Kyara menyeka air mata, membayangkan kembali keadaan di dalam mobil saat dirinya terjebak dan nyaris kehilangan harapan hidup. Kyara ingat jelas bagaimana laki-laki itu berusaha mendobrak kaca depan, menarik sabuk sekuat tenaga, dan melindungi kepalanya dari benturan. Bahkan ketika mereka berlari, laki-laki tersebut berbalik sesekali untuk memastikan keadaannya.

Untuk pertama kali seumur hidup, Kyara menemukan pribadi yang begitu tulus. Di saat orang lain mengabaikan bahkan mengambil keuntungan darinya, laki-laki itu justru berjuang setengah mati, bahkan membahayakan nyawanya sendiri.

Adya Shakti Angkasa. Nama yang tertera di nametag yang terhempas sewaktu runtuhan besi terjadi. Kyara tidak akan melupakannya. Laki-laki yang bersedia mengulurkan tangan meski wajahnya tertutup debu, memberinya pertolongan tanpa ragu meski tidak mengetahui status keluarganya. Sosok yang menyadarkan Kyara bahwa di antara banyaknya manusia picik di dunia ini, masih tersisa orang-orang berhati mulia.

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" Ketua tim Siaga Bencana yang berbicara dengan dokter mengusap wajahnya sambil meringis. Pria tersebut yang menyelamatkan Adya dan membawa serta Kyara ke rumah sakit. Kyara menilik pria seusia ayahnya yang kelihatan frustrasi itu sebelum beralih ke dokter yang berujar lirih.

"Operasi harus segera dijadwalkan, tetapi kita butuh pendonor darah." Dokter berkacamata tebal memberi penjelasan dengan air muka tegang. "Karena seluruh pasien dari kecelakaan underpass dilarikan ke sini, bank darah rumah sakit kekurangan stok."

"Apa tidak ada pendonor alternatif?"

"Golongan darah O rhesus negatif tidak bisa menerima donor dari golongan darah lain, Tuan." Seorang perawat di sebelah dokter ikut menyahut.

"O rhesus negatif?" Kyara berdiri. Golongan darah tersebut sama seperti golongan darahnya. Maka dengan menarik kakinya agar kelihatan berjalan normal, Kyara menghampir ketiga orang dewasa tersebut.

"Permisi, Dokter. Golongan darah saya O rhesus negatif. Saya bersedia jadi pendonor."

Serempak, dokter dan perawat menoleh pada Kyara.

"Kau serius, Nak?" Ketua tim berjongkok di hadapan Kyara. Terbetik sebuah harapan di matanya.

Sang dokter memperbaiki letak kacamatanya sebelum merendahkan tubuh dan mengamati kondisi Kyara. "Pendonor harus memilki status kesehatan yang baik, Dik."

"Saya baik-baik saja, Dokter. Hanya lebam di dahi saja."

Perawat di sebelah dokter mengelus kepala Kyara. "Adik usia berapa? Sesuai prosedur, kami butuh persetujuan tertulis dari orang tua untuk pendonor di bawah usia 17 tahun."

"Apa itu penting saat keadaan genting begini, Suster?" Kyara terdiam sejenak sebelum meraih tangan sang dokter dengan wajah memelas. "Surat persetujuan saya akan menyusul nanti. Saya mohon, Dokter."

Dokter di hadapan Kyara mendesis. Hanya dari kelopak matanya yang sayu, ia tahu bila gadis kecil tersebut tidak dalam kondisi prima. Namun, desakan dari ketua tim dan permohonan Kyara membuatnya tidak punya pilihan lain. Perihal administrasi memang bukan hal sepele, tetapi ia tidak sanggup mendapat tuntutan dari keluarga Antariksha.

"Baiklah." Dokter mengembuskan napas panjang. "Suster, tolong arahkan adik ini untuk persiapan transfusi darah."

Kyara memeluk dokter tersebut dan berterima kasih. Ia kemudian dibawa ke sebuah ruangan untuk mengisi formulir. Setelah menjalani tes kesehatan dan pengecekan golongan darah, transfuse pun dilakukan. Selama prosedur berlangsung, Kyara merasa kepalanya berkedut, tetapi bayangan laki-laki bernama Adya yang menolongnya tanpa ragu membuat denyut di kelopak matanya mereda. Kyara tahu telah melakukan sesuatu yang benar.

"Suster, apa stok darah untuk operasi sudah cukup?" Kyara bertanya pada perawat yang membalut bekas jarum suntik dengan plester luka.

"Ya, dengan ini sudah cukup. Kita doakan yang terbaik untuk operasinya."

Kyara menghapus air mata di pelupuknya. Perasaannya lega luar biasa. Dibantu perawat turun dari tempat tidur, ia berjalan keluar menuju ruang istirahat. Dokter memberinya susu kotak dan roti.

"Ada apa, Dik?" Suster pendamping menghentikan langkahnya saat Kyara memegangi kepala dan meringis.

Pertanyaan sang suster terdengar berdengung di telinga Kyara. Penglihatannya berkunang-kunang, bersamaan dengan dua tungkainya yang mendadak lunglai. Dalam sekejap mata, Kyara jatuh pingsan.

💍💍💍
TBC

Halo, Dear Readers. Bagi yang kemarin ikut PO dan menemukan kesalahan cetak (halaman tidak utuh) dalam novelnya, bisa DM ke aku, ya. Aku sudah konfirmasi ke penerbit untuk up masalah ini ke percetakan. Karena ini murni kesalahan dari percetakan, kemungkinan novelnya akan diganti baru. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini 🙇🏻‍♀️🙇🏻‍♀️🙇🏻‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro